Anda di halaman 1dari 15

PERTEMUAN IV

ZAKAT

1. Pengertian Zakat

Zakat adalah kewajiban bedasarkan syariat. Islam mewajibkannya atas setiap muslim yang

sampai padanya nisab (batas minimal dari harta mulai wajib dikeluarkan) zakat. Zakat

adalah salah satu rukun Islam, bahkan merupakan rukun kemasyarakatan yang paling tampak

di antara semua rukun-rukun Islam sebab di dalam zakat terdapat hak orang banyak yang

terpikul pada pundak individu.

Dinamakan zakat, karena ia menyucikan jiwa dan masyarakat. Firman Allah SWTdalam surat

At-Taubah 103,artinya : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka…”

Zakat membersihkan atau menyucikan jika dari sifat kikir dan bakhil, Ketika mengeluarkan

zakat dengan merelakan hartanya, tatkala itulah seseorang memenangkan nafsunya, menang

atas kikir dan bakhilnya sehingga menyucikan dan membersihkan jiwanya. Zakat juga

membersihkan dan menyucikan masyarakat dari saling mendendam dan mendengki, dari

kegoncangan dan fitnah. Pada saat masyarakat saling membantu menutupi mereka yang

sangat berkebutuhan, ketika itulah mereka mengikis habis merajalelanya huru-hara dan

kegoncangan yang terwujud dari rasa dendam kaum melarat terhadap mereka yang hidup

berlebihan.

Didin Hafifudin (2002) menguraikan pengertian zakat secara lebih lebih luas. Ditinjau dari

segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu "keberkahan", al-namma

'pertum buhan dan perkembangan", an-thaharatu "kesucian", dan ash-shalahu “Keberesan".

Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak
berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu

adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada

pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu

pula.

Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan dengan pengertian menurut istilah,

sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi

berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan beres (baik). Hal ini sebagaimana

dinyatakan dalam surat At-Taubah:103 dan surat Ar-Ruum :39.

Surat At-Taubah :103, artinya :

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan

mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)

ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Surat Ar-Rum :39, artinya :

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,

maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat

yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah

orang-orang yang melipat gandakan (hartanya)”

Di dalam Al-Qur'an terdapat beberapa kata, yang walaupun mempunyai arti yang berbeda

dengan zakat, tetapi kadangkala dipergunakan untuk menunjukkan makna zakat, yaitu infak,

sedekah den hak1). Sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Taubah :34, 60 dan 103 serta

surat Al-An’aam: 141.

Surat At-Taubah : 34, artinya :

“…. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada

jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa

yang pedih”.

1
) Infak adalah menyerahkan harta untuk kebijakan yang diperintahhn Allah SWT. Sedekah adalah sesuatu
ymg diberikan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hak salah satu artinya adalah
ketetapan yang bersifat pasti.
Surat At-Taubah : 60, artinya :

“ Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,

pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang ditunjuk hatinya, untuk (memerdekakan budak),

orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam

perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Bijaksana”.

Surat Al-An’aam : 141, artinya :

“….dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya …”.

Dipergunakannya kata-kata tersebut dengan maksud zakat, hemat penulis karena

memiliki kaitan yang sangat kuat dengan zakat. Zakat disebut infak (At-Taubah : 34) karena

hakikatnya zakat itu adalah penyerahan harta untuk kebajikan-kebajikan yang diperintahkan

Allah SWT. Disebut sedekah (At-Taubah : 60 dan 103) karena memang salah satu tujuan

utama zakat adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Zakat disebut hak,

oleh karena memang zakat itu merupakan ketetapan yang bersifat pasti dari Allah SWT yang

harus diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik).

1. Hikmah dan Manfaat Zakat

Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan manfaat yang

sedemikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki),

penerimanya .

Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut :

Pertama, sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya,

menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat
kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan

mengembangkan harta yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat

At-Taubah : 103 dan Ar-Ruum : 39. Dengan bersyukur, harta dan nikmat yang dimiliki akan

semakin bertambah dan berkembang.

Firman Allah dalma surat Ibrahim : 7, artinya :

“ Dan (Ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur,

pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku,

maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.

Kedua, karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong,

membentu dan membina mereka, terutama fakir miskin, kearah kehidupan yang lebih baik

dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak,

dapat beribadah kepada Allah swt, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan

sifat iri, dengki dan hasud yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat

orang kaya yang memiliki harta yang cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah sekedar

memenuhi kebutuhan para mustahik, terutama fakir miskin, yang bersifat konsumtif dalam

waktu yang sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka,

dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi

miskin dan menderita.

Kebakhilan dan ketidakmauan berzakat, disamping akan menimbulkan sifat hasud dan

dengki dari orang-orang yang miskin dan menderita, juga akan mengundang azab ALLAH

SWT. Firman-Nya dalam surat An-Nisaa ‘ : 37, artinya :

“ (Yaitu) orang-orang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyempurnakan

karunia-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan orang-orang kafir siksa yang

sangat menghinakan”.
Ketiga, sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang

berkecukupan hidupnya dengan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk

berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak memiliki waktu dan

kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.

Allah berfirman dalam Al-Baqarah : 273, artinya :

“ (Berinfaklah ) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka

tidak dapat berusaha di muka bumi; orang yang tidak tahu menyanga merea orang kaya

karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-

sifatnya mereka tidak meminta – minta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta

yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui”.

Disamping sebagai pilar bersama, zakat juga merupakan salah satu bentuk konkret

dari jaminan social yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melaui syariat zakat, kehdupan

orang-orang menderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik. Zakat merupakan salah satu

bentuk pengejawantahan perintah Allah SWT untuk senantiasa melakukan tolong-menolong

dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maa’idah : 2,

artinya :

“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa ….”

Juga hadist Rasulullah saw riwayat Imam Bukhari dari Anas, bahwa Rasululah

bersabda, artinya :

“ Tidak dikatakan (tidak sempurna) iman seseorang, sehingga ia mencintai saudaranya,

seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun

prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan,

sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana pengembangan falitas sumber daya manusia
muslim. Hampir semua ulama sepakat hahwa orang yang menuntut ilmu berhak-menerima

zakat atas nama golongan fakir dan miskin maupun sabilillah..

Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat. Itu bukanlah

memhersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari

harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Allah SWT

yang terdapat dalam surat Al-Baqarah : 267, dan hadits Rasulullah saw. Yang diriwayatkan

oleh lmam Muslim dalam hadits tersebut Rasulullah saw hersabda, artinya :

"AllahSWT tidak akan menerima sedekah (zakat) dari harta yang didapat secara tidak sah".

Dalam hadits lain riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Rasullulah saw bersabda :

“ Barangsiapa yang bersedekah dengan senilai biji kurma dari hasil usaha yang halal,

dan Allah tidak akan akan menerima kecuali dari yang baik (halal). Dan Allah akan menerima

sedekah yang baik dengan tangan kanan-Nya, lalu mengembangkannya buat miliknya, seperti

halnya seseorang di antara kamu mengembangkan anak ternaknya, sehingga hartanya itu

akan menjadi besar seperti sebuah gunung”.

Hadist tersebut sejalan dengan firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah : 276 – 277,

artinya:

“ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai

setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang

yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, mereka

mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak

(pula) mereka bersedih hati ”.

Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu

instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan

membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang

dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus


pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan

membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic with equity.

Monzer Kahf menyatakan zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada kepada

distribusi harta yang egaliter dan bahwa sebagai manfaat dari zakat, harta akan selalu beredar.

Zakat, menurut Mustaq Ahmad, adalah sumber utama kas negara dan sekaligus merupakan

sokoguru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Qur’an. Zakat akan mencegah

terjadinya akumulasi harta pada satu tangan dan pada saat yang sama mendorong manusia

untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan instistusi

yang komprehensif untuk distribusi harta karena hal ini menyangkut harta setiap muslim

secara praktis, saat hartanya telah sampai melewati nishab. Akumulasi harta di tangan

seseorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allah swt, sebagaimana

firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr:7, artinya :

“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di

antara kamu... ”

Ketujuh, dorongan ajaran islamyang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman

untuk berzakat, berinfak, dan bersedekah menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umat-

Nya untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan yang disamping

dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, juga berlomba-lomba menjadi

muzakki atau munfik. Zakat yang dikelola dengan baik, akan mampu membuka lapangan

kerja dan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset oleh umat Islam. Dengan

demikian, zakat menurut Yusuf Al-Qardhawi adalah ibadah maaliyyah Al-ijtima’iyyah, yaitu

ibadah di bidang harta yang memiliki fungsi strategis, penting, dan menentukan dalam

membangun kesejahteraan masyarakat.

3.Harta Yang Wajib Dizakati


Menurut ahli fiqih, hartayang wajib dizakati memiliki persyaratan tertentu, yaitu

termasuk yang dapat diharapkan perkembangannya, bukan harta yang digunakan untuk

menutupi kebutuhan.

Kalau harta itu termasuk yang dapat diharapkan perkembangannya, ia wajib dizakati

meskipun pemilik uang tersebut hanya menyimpan uangnya dan dia belum

mengembangkannya maka dia tetap diwajibkan membayar zakat.

Adapun kalau itu termasuk yang tidak dikembangkan, dan hanya dimanfaatkan oleh diri

sendiri, seperti peralatan rumah tangga, peralatan bekerja dan rumah yang disediakan untuk

dihuni oleh pemiliknya, tidaklah wajib dizakati.

Disamping itu, juga ditetapkan bahwa harta itu dapat menggolongkan pemiliknya ke

dalam golongan orang-orang kaya menurut pegertian zakat. Harta itu dapat menggolongkan

pemiliknya ke dalam golongan orang-orang kaya menurut pengertian zakat bila memenihi

duau syarat :

Pertama, harta itu telah sampai kepada batas minimal yang diistilahkan dengan nisab.

Batas minimal ini diperkirakan untuk barang-barang komoditi seharga 20 dinar emas. Adapun

untuk hasil-hasil pertanian, jumhurul fuqaha (kebanyakan ahli hukum islam) berpendapat

bahwa setiap tetumbuhan bumi yang wajib zakat tidak ada nisab tertentu.

Kedua, Harta tetap mencapai nisab dalam masa satu tahun penuh, setelah digunakan

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti tempat tingggal, makanan dan pakaian.

Harta yang memenuhi sifat pertumbuhan di masa Nabi SAW ada emapt bagian, yaitu berikut

ini:

a. Binatang ternak

Yang dimaksud binatang ternak disini, yaitu unta, sapi, dan kambing, apabila

dipelihara hanya untuk dipertumbuhkan, bukan untuk diperkerjakan, dan


dalam satu tahun itu lebih banyak digembalakan di padang rumput yang bukan

milik seseorang. Rasulullah SAW bersabda, artinya :

“ Pada binatang-binatang ternak disini, yaitu unta, sapi, dan kambing,

apabila dipelihara hanya untuk dipertumbuhkan bukan untuk diperkerjakan,

dan dalam setahun itu lebih banyak digembalakan di padang rumput yang

bukan milik seseorang”

b. Emas dan Perak

Zakat diwajibkan pada emas dan perak yang merupakan mata unag yang dapat

digunakan sebagai alat tukar-menukar. Oleh karena itu, zakat emas dan perak

diistilahkan pula dengan zakatun naqdan ( zakat dua mata uang)

Yang ada hubungannya dengan perak, Rasulullah SAW bersabda, artinya :

“ Setiap dua ratus dirham zakatnya lima dirham”.

Nash ini menunjukkan bahwa nisab perak adalah 200 dirham, dan ukuran

zakatnya yang wajib 1/40 –nya atau 2,5 % - nya.

Adapun tentang emas tidak ada nash yang tegas dari Rasulullah SAW. Akan

tetapi, para sahabat mengkiaskannya kepada perak, mereka berkesimpulan

bahwa zakat untuk setiap 20 dinar adalah ½ dinar.

Dewasa ini tukar-menukar dengan uang kertas telah menggantikan emas dan

perak. Tukar-menukar dengan emas dan perak praktis terhenti atau hampir

terhenti di kebanyakan negara. Maka terlontarlah pertanyaan kepada kita,

wajib pulakah zakat pada uang kertas ini ?

Berdasarkan apa yang tertera diatas uang kertas, bahwa uang kertas ini

merupakan mata uang yang mengganti fungsi emas, maka kalau tidak wajib

dizakati, itu artinya meniadakan zakat emas dan perak Adapun nisab uang
kertas ini adalah 20 dinar emas. Hal ini karena emas menjadi standar segala

sesuatu.

Zakat mata uang tetap wajib meskipun merupakan simpanan sebagaimana

sabda Rasulullah SAW, artinya :

“ Perdagangkanlah harta anak yatim itu, sehingga tidak habis termakan zakat

”.

Dalam hadis tersebut terkandung dorongan untuk mengembangkan harta anak

yatim dan tidak hanya menyimpannya saja.

c. Barang Dagangan

Maksudnya adalah hara perniagaan. Nisabnya sama dengan nisab barang dagangan

(komoditi, yaitu seharga 20 dirham emas “77,56 gram emas). Ukuran zakatnya ialah 1/40-

nya, apabila pemiliknya tetap memiliki senisab tersebut sepanjang tahun.

Namun, Imam Malik berpendapat bahwa syaratnya cukup kalau pedagang itu

memiliki senisab itu pada awal dan akhir tahun sebab dalam berdagang ada kemungkina

untung dan rugi. Kerugian pada awal tahun bukan berarti tidak memberi kemungkinan

baginya menjadi orang kaya yang memiliki senisab pada awal dan akhir tahun itu. Kami

menganggap kuat pendapat ini karena kalau kita berpegang dengan syarat memiliki senisab

sepanjang tahun, tentu akibatnya banyak niagawan yang dibebaskan dari zakat padahal

kekayaan mereka tiada berkurang.

Ketiga, bagian (binatang ternak, mata uang dan barang dagangan) yang telah kami

sajikan ini, semua adalah transportable, dan nisabnya juga terhitung kecil, jika dibandingkan

dengan kekayaan yang kita saksikan kini.

Hikmahnya adalah pemerataan jaminan sosial dan agar hak orang fakir semakin

meningkat. Itulah yang benar-benar diinginkan oleh hukum islam.

d. Hasil Bercocok tanam dan Buah-buahan


Hasil bercocok tanam dan buah-buahan adalah wajib dizakati berdasarkan sabda Rasulullah

SAW, artinya :

"Pada apa yang ditumbuhkan oleh bumi ada zakatnya”.

Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa apa yang dihasilkan oleh bumi dan apa yang dibuahkan

oleh pepohonan tidak mempunyai nisab tertentu, dan juga tidak disyaratkan melewati setahun

tetapi diwajibkan zakat ketika panen, dengan firman Allah SWT, artinya :

“ Dan makanlah olehmu sekalian buah (dari tetumbuhan) bumi apabila berbuah dan

tunaikanlah zakatnya ketika panennya".

Ukuran zakatnya yang wajib ialah 1/ 10-nya kalau tanah itu dari diairi tanpa alat dan 1/20-

nya kalau diairi dengan alat.

Itulah harta yang dapat dieksploitasi pada masa Rasul SAW yang wajib dizakati.

Kesanalah orang harus mengkiaskan hal-hal baru dari segala macam hasil industri dan

perdagangan.

4. Lembaga-lembaga Penerima Zakat

Allah SWT secara tersendiri menerangkan lembaga-lembaga penerima zakat ini dan tidak

menyerahkan begitu saja kepada itjtihad seseorang ataupun kepada Rasulullah SAW sendiri.

Dalam nash Al-Qur’an pada surat At-Taubah : 60, artinya:

“ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,

pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,

orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam

perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Bijaksana”.

Lembaga-lembaga penerima zakat akan kami jelaskan berikut ini :

Para Fakir dan Miskin

Ada perbedaan pendapat dalam ilmu fiqih tentang perbedaan antara fakir dan miskin.
Sebagian ulama berpendapat bahwa fakir adalah orang yang lebih membutuhkan

daripada miskin. Sebab fakir berarti tidak memiliki apa-apa. Adapun miskin boleh jadi ia

masih memiliki sedikit harta. Hanya saja apa yang dimiliki tidak mencukupi untuk dirinya

dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Pendapat ini berdasarkan dalil atau firman

Allah SWT, artinya:

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut”.

Mereka dikatakan miskin, padahal mereka masih memiliki bahtera. Ini menunjukkan

bahwa miskin boleh jadi ialah orang yang masih memiliki sedikit harta.

Sementara yang lain berpendapat bahwa miskin adalah orang yang masih menahan

diri, tidak meminta kepada orang lain. Adapun fakir adalah orang yang meminta-minta.

Mereka beralasan dengan sabda Rasulullah SAW, artinya:

“Bukanlah miskin orang yang memiliki sebutir atau dua butir kurma dan sesuap atau dua

suap makanan. Tetapi miskin ialah orang yang masih menahan dirinya (tidak meminta-minta

kepada manusia).

Golongan ketiga berpendapat bahwa fakir ialah orang-orang yang masih

membutuhkan, tetapi tidak mampu lagi bekerja atau tidak mendapatkan pekerjaan. Sedang

miskin ialah orang yang sakit lagi pula fakir. Jadi, pada miskin ada dua sifat dari sifat-sifat

kebutuhan : Satu diantaranya ialah kefakiran dan yang lain adalah sakit.

Yang perlu kami ingatkan disini perbedaan ini tidak terlalu penting dalam

hubungannya dengan zakat.

Pengurus-pengurus Zakat

Mereka adalah para petugas yang mengumpulkan zakat dari para wajib zakat dan

membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya.

Mereka boleh menerima zakat meskipun kaya sebab apa yang mereka terima merupak

upah dari jerih payahnya.


Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaj telah merincikan syarat-syarat yang wajib

dipatuhi oleh para petugas pelaksana zakat ini, yang dianggap merupakan undang-undang

yang wajib dalam soal ini.

Para Muallaf yang Dibujuk Hatinya

Mereka boleh jadi adalah kaum yang sangat membutuhkan Islam atau kaum dibutuhkan oleh

Islam.

Golongan pertama, ialah seperti mereka yang baru masuk islam, dan sebab islamnya

ini mereka terputus dari familinya. Mereka perlu menerima zakat, agar tidak mengalami

kesulitan karena Islamnya.

Golongan kedua, adalah mereka yang berpengaruh pada kaumnya. Mereka masuk

Islam sementara kumnya masih musyrik. Mereka perlu diberi harta yang memungkinkan

mereka mengajak kaumnya masuk Islam.

Ada lagi golongan ketiga, yang diberi agar baik Islamnya. Rasulullah SAW pernah

memberi zakat kepada segolongan orang dari laskar dan para bangsawan Tulaqa (mereka

yang telah ditaklukkan dan mendapat kebebasan). Akan tetapi, karena Umar r.a. pernah

mencegah orang-orang muallaf ini pada masanya, maka sebagian ulama berpendapat bahwa

bagian orang-orang muallaf ini terputus, atau bahwa Umar r.a. menganggap bagian ini tidak

terpakai nash dalam kitab Allah.

Mereka berpendapat bahwa nash (ayat surat At-Taubah) menggolongkan beberapa

orang dengan identitas tertentu, yaitu muallafu qulubuhum (perlu dijinakkan hatinya). Jadi,

sebab pemberian adalah mereka tergolong yang perlu dijinakkan hatinya. Apabila ada

identitas tersebut, mereka berhak mendapat zakat. Kalau tidak ada , mereka tidak berhak

mendapatkannya. Dan tidak dikatakan bahwa bagian mereka terputus atau dianggap tidak

terpakai, melainkan karena identitas muallafu qulubuhum tidak ada pada nereka. Dengan kata

lain, syarat-syarat yang terdapat dalam nash ini tidak terpeuhi. Itulah apa yang dilakukan
Umar r.a. Islam pada masanya benar-benar mulia dan tidak perlu usaha penjinakkan hati.

Jadi, seolah-olah identitas yang disebutkan dalam nash ini tidak diperuntukkan lagi. Itulah

sebabnya mengapa Umar r.a. , tidak menerapkan nash ini, tetapi bukan berarti ia

menganggapnya tidak terpakai lagi, juga bukan berarti memutuskan bagi para muallaf karena

Umar r.a. tidak berhak melakukan itu. Buktinya kalau identitas dari orang yag berhak

menerima benar-benar ada, saat kapan pun saja, dan Islam kembali menjadi lemah sehingga

memerlukan usaha penjinakkan hati, maka Waliyatul Amri wajib memberikan bagian ini

kepada mereka.

Pengarang, kisah As-Syarhu Kabir mengatakan, “Kita memiliki dalil firman Allah

Ta’ala (dan para muallaf yang dibujuk hatinya) dan Nabi SAW pun pernah memberi kepada

mereka yang dijinakkan hatinya baik dari kaum musyrikin maupun kaum muslimin”. Abu

Bakar sendiri pernah juga memberi kepada Adi Bin Hatim. Selain itu, tidak diperbolehkan

menyalahi kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, serta membuang keduanya tanpa alasan. Juga

tidak ada ketetapan nashkah

Demikianlah sikap Islam terhadap mereka yang berutang, yang belum Pernah diterapkan

dalam sistem politik lain. Salah satu contohnya adalah undang-undang Romawi Pernah

membolehkan pihak piutang menjadikan pihak yang berutang sebagai budak dan menjualnya

seharga utangnya. Sementara itu Islam, seperti yang kita lihat, mewajibkan kepada baitul mal

kaum muslimin untuk menutupi utang-utang yang tidak mampu tertutup oleh para

penanggungnya.

Untuk Jalan Allah

Jumhur ahli fiqih berpendapat, maksud sabilillah (jalan Allah) ialah para pahlawan

sukarelawan. Mereka diberi zakat, meskipun mereka kaya, untuk mendorong keberanian

mereka dalam bertempur.


Imam Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa maksud sabilillah ialah

orang yang menunaikan ibadah haji, tetapi terputus karena kehabisan biaya.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sabilillah maksudnya semua bentuk qurbah (usaha

mendekatkan diri kepada Allah). Jadi, termasuk dalam sabilillah adalah setiap usaha untuk

menaati Allah dan jalan bermacam-macam kebajikan apabila diperlukan.

Prof. Syekh Ahdul Wahab Khallaf rahimahullah memperkuat. pendapat Imam Abu hanifah.

la berkata, "Saya tidak melihat adanya indikasi yang mengharuskan kita mesti mengartikan

sabilillah khusus hanya perjuangan (perang) dan haji semata. Zakat yang dikeluarkan untuk

kepentingan-kepentingan umum dan untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan umat, itulah

yang disebut sabilillah”.

Orang Yang Sedang Dalam Perjalanan

Yaitu orang yang sedang dalam bepergian jauh, yang tidak dapat pulang dari negerinya

karena tidak meiniliki ongkos. la diberi zakat sebagai ongkos pulangnya.

Anda mungkin juga menyukai