Case 4 Fix
Case 4 Fix
Defenisi
Drug Induced Liver Injury (DILI) merupakan komplikasi yang hampIr selalu ada
dari semua obat dan baan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh. Kejadian ini jarang
terjadi namun akibat yang dihasilkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebahagian besar
idiosinkratik pada dosis terapeutik yang diberikan, dari 1/1000 pasien sampai 1/100000
pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan setiap golongan obat,
sebahagian lagi tergantung dosis obat. Sebahagian besar obat bersifat lipofilik sehingga
dapat menembus membran sel intestinal, kemudian diubah menjadi hidrofilik melalui
proses biokimiawi di dalam hepatosit.(1)
Menurut International DILI expert working group defenisi dari DILI yaitu
peningkatan ALT ≥ 5x atas nilai normal atau peningkatan ALT ≥ 3x atas nilai normal
dan bersamaan dengan peningkatan total bilirubin ≥ 2x atas nilai normal atau
peningkatan ALP ≥ 2x atas nilai normal dengan peningkatan Gamma GT tanpa adanya
penyakit tulang.(2)
Faktor risiko DILI dapat diklasifikasikan sebagai Faktor obat (misalnya, dosis,
obat bersamaan, polifarmasi) atau Faktor host (misalnya, usia, jenis kelamin, asupan
alkohol, infeksi bersamaan).(3)
1. Faktor obat
Yaitu berupa obat yang digunakan, dosis obat, dan polifarmasi. Antibiotik
adalah penyebab paling umum dari DILI, diikuti oleh obat-obatan psikiatri
neuro, agen imunomodulator, antihipertensi, analgesik, obat antineoplastik,
dan obat anti tuberkulosis.
2. Factor host
Kerentanan pada DILI dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin pasien. Pasien
yang sangat muda dan sangat tua memiliki peningkatan risiko terjadinya
DILI. Resiko DILI meningkat pada usia lanjut karena faktor komsumsi obat
yg beragam (polifarmasi) selain itu juga proses penuaan yang menyebabkan
penurunan metabolisme, distribusi, serta eliminasi obat dalam tubuh.
Beberapa penelitian menemukan bahwa wanita memiliki risiko lebih besar
terjadinya DILI daripada pria.
Drug Induced Liver Injury terjadi melalui 2 mekanisme apoptosis dan necrosis.
Pada apoptosis terjadi kerusakan hepatosit imbas asam empedu dimana terjadi
penumpukan asam empedu didalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli
yang menghasilkan translokasi fasitoplasmik ke membrane plasma dimana reseptor-
reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu apoptosis. Sedangkan
pada necrosis menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria dan deplesi ATP yang
menyebabkan pembengkakan dan lisis sel, yang merangsang teradinya proses
inflamasi lokal(1,4)
1. Stimulasi Autoimun
Cedera autoimun melibatkan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi atau
toksisitas sel langsung. Jenis cedera ini terjadi ketika enzim obat bermigrasi ke
permukaan sel dan membentuk neoantigen. Neoantigens berfungsi sebagai target untuk
serangan sitolitik oleh sel T dan lainnya.
2. Reaksi idiosinkratik
Reaksi idiosinkratik jarang terjadi dan biasanya terjadi pada sebagian kecil
individu. Reaksi ini sering dikategorikan ke dalam reaksi alergi dan nonallergic. Reaksi
alergi mewakili 23% hingga 37% dari semua obat-obatan yang menyebabkan
kerusakan hati dan ditandai oleh demam, ruam, eosinofilia, dan granuloma. Mereka
biasanya terkait dengan dosis dan memiliki periode latensi pendek (kurang dari 1
bulan). Pada pemaparan ulang terhadap agen, ada rekurensi hepatotoksik yang cepat.
reaksi idiosinkratis nonallergic tidak memiliki fitur hipersensitivitas, biasanya
memiliki periode laten yang panjang (beberapa bulan), dan tidak berhubungan dengan
reinjury cepat dengan rechallenge. Pasien-pasien ini sering memiliki tes fungsi hati
normal selama 6 bulan atau lebih dan kemudian tiba-tiba berkembang. hepatotoksisitas.
Bergantung pada medikasi, insiden bisa tidak terkait dari dosis atau terkait dosis.
3. Gangguan Homeostasis Kalsium dan Cedera Sel Membran
Kerusakan yang disebabkan obat pada protein seluler yang terlibat dengan
homeostasis kalsium dapat menyebabkan masuknya kalsium intraseluler yang
menyebabkan penurunan tingkat adenosine triphosphate dan gangguan pada perakitan
actin fibril. Dampak yang dihasilkan pada sel adalah kerusakan dari membran sel,
pecah, dan lisis sel.
4. Aktivasi Metabolik dari Enzim Cytochrome P450
Sebagian besar kerusakan hepatoseluler melibatkan produksi metabolit reaktif
energi tinggi oleh sistem CYP450. Metabolit reaktif ini mampu membentuk ikatan
kovalen dengan protein seluler (enzim) dan asam nukleat yang menyebabkan
pembentukan adduksi. Dalam kasus toksisitas akut, adduksi enzim-obat dapat
menyebabkan cedera sel atau lisis sel. Adisi yang terbentuk dengan DNA dapat
menyebabkan konsekuensi jangka panjang seperti neoplasia. perbedaan genetik
individu dapat memainkan peran penting dalam proses ini.
5. Stimulasi Apoptosis
Apoptosis merupakan pola berbeda dari lisis sel yang tunjukan oleh penyusutan
sel dan fragmentasi kromatin nukleus. Jalur apoptosis dipicu oleh interaksi antara ligan
dan reseptor kematian. Interaksi ini mengaktifkan caspases, yang membelah protein
seluler dan akhirnya menyebabkan kematian sel
6. Cidera mitokondria
Obat-obatan yang merusak struktur mitokondria, fungsi, atau sintesis DNA dapat
mengganggu β-oksidasi lipid dan produksi energi oksidatif dalam hepatosit. Pada
penyakit akut, interrupsi β-oksidasi yang berkepanjangan menyebabkan steatosis
mikrovesikular, sedangkan pada penyakit kronis, penyakit steatosis makrovesikular.
Kerusakan parah pada mitokondria akhirnya menyebabkan kegagalan hati dan
kematian.
Efek anti retroviral terhadap hati diistilahkan dengan Antiretroviral drug related
liver injury (ARLI). ARLI ditandai dengan peningkatan kadar ALT lebih tiggi dari
AST. Pasien dengan kadar ALT dan AST sebelum terapi normal, maka peningkatan 5
kali lipat termasuk sedang dan peningkatan 10 kali lipat termasuk berat. Namun jika
sebelum terapi kadar ALT dan AST abnormal maka peningkatan 3,5x termasuk sedang
dan peningkatan 5 kali lipat termasuk berat.(1)
Obat anti tuberculosis (OAT) lini pertama yaitu : Rifampisin, Isoniazid (INH)
dan Pirazinamid merupakan hepatotoksik potensial. Obat-obatan tersebut
dimetabolisme di hati. Masing-masing obat bersifat hepatotoksik dan jika diberikan
bersamaan akan menambah toksisitasnya. Berdasarkan studi hepatotoxicity diagnosis
criteria dilaporkan insiden kejadian hepatotoksis akibat OAT sekitar 2% sampai
28%.(1,6)
Rifampisin dan Isoniazid (INH) meningkatkan kejadian DILI. Rifampisin
menginduksi enzim sitokrom P450 yang menyebabkan peningkatan produksi metabolit
toksis dari asetil hidrazin (AcHz) dan juga meningkatkan metabolisme INH menjadi
asam isonicotinic dan hydrazine, dimana keduanya bersifat hepatotoksis. Isoniazid juga
dimetabolisme menjadi produk toxin oleh sitokrom P450. Mekanisme pirazinamid
menginduksi toksisitas belum diketahui.(6,7,8)
Pengelolaan pemberian obat anti tuberculosis pada pasien yang mengalami drug
induced liver injury sangat perlu diperhatikan agar pengobatan berjalan efektif.
Rekomendasi The national TB guidelines of Nepal untuk mengelola drug induced liver
injury antara lain:(10)
1. Jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT
dihentikan
2. Tunggu sampai ikterik hilang atau sembuh terlebih dahulu
3. Dalam banyak kasus pasien dapat memulai kembali obat yang sama tanpa
hepatitis kembali
4. Jika ikterik kembali, dan pasien belum menyelesaikan fase intensif, berikan
dia 2 bulan Streptomisin, INH dan Ethambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan
Ethambutol.
5. Jika pasien telah menyelesaikan fase intensif, beri INH dan Ethambutol
sampai total 8 bulan perawatan untuk Short Course Chemotherapy (SCC)
atau 12 bulan untuk rejimen standar.
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk terapi ulangan pada pasien
dengan drug induced liver injury:(10)
1. INH diberikan awalnya dengan dosis 50 mg / hari, meningkat secara
bertahap menjadi 300 mg / hari, setelah 2-3 hari jika tidak ada reaksi yang
terjadi, terapi dilanjutkan.
2. Setelah 2-3 hari berikutnya tanpa reaksi terhadap INH, rifampisin dengan
dosis 75 mg / hari dapat ditambahkan, ditingkatkan menjadi 300 mg setelah
2-3 hari, kemudian dinaikan menjadi 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50
kg) yang sesuai untuk berat badan pasien setelah 2-3 hari berikutnya tanpa
reaksi, terapi dilanjutkan.
3. Terakhir, pyrazinamide dapat diberikan dengan dosis 250 mg / hari,
meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari, dan kemudian ditingkatkan
menjadi 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 28 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 6 November 2018 pukul 21.55 WIB dengan
:
Riwayat Pengobatan
Pasien mendapatkan terapi ARV (Atripla 1x1 tab) sejak 1 bulan yang lalu
Pasien mendapatkan terapi OAT kategori 1 fase intensif (INH 1x300mg,
Etambutol 1x750mg, Rifampisin 1x450mg dan Pirazinamid 1x1000mg) sejak 1,5
bulan yang lalu
Toraks
Bentuk dada : Normochest
Paru depan :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikular, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikular, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di medial Linea Mid Clavicularis Sinistra, Ruang
Inter Costa V, tidak kuat angkat, luas 1 ibu jari, thrill tidak ada
Perkusi : Batas kanan Linea Sternalis Dextra, batas atas Ruang Inter Costa II,
batas kiri 1 jari medial Ruang Inter Costa V
Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada, M1>M2,
P2<A2.
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membengkak, vena colateral tidak ada, venaetasi tidak
ada
Palpasi : Hepar teraba 3 jari bawa arkus costarum, 3 jari bawah proxecus
xypoideus, permukaan rata, konsistensi kenyal, pinggir tajam, nyeri tekan tidak
ada, nyeri lepas tidak ada, lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani, shifting dullness tidak ada
Auskultasi : Bising usus normal
Punggung : Nyeri ketok CVA tidak ada
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anus : kondiloma tidak ada, lecet tidak ada
Ekstremitas : Edema tidak ada, akral teraba hangat, refleks fisiologis ada, reflek
patologis tidak ada, pitting edema tidak ada, palmar eritem tidak ada
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah rutin
Hb : 6,8 g/dl
Leukosit : 1920 /mm3
Trombosit : 147.000 /mm3
Ht : 21 %
Gambaran Darah Tepi :
Eritrosit : Anisositosis normokrom
Leukosit : jumlah kurang
Trombosit : jumlah kurang, morfologi normal
Kesan : Anemia berat normositik normokrom, leukopenia, trombositopenia
Urin
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning muda Leukosit 0-1/LPB Protein negatif
Kekeruhan negatif Eritrosit 0-1/LPB Glukosa negatif
BJ 1.015 Silinder Negatif Bilirubin negatif
pH 7.5 Kristal Negatif Urobilinogen positif
Epitel Gepeng (+)
Kesan : Hasil dalam batas normal
Feses:
Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Leukoit 0-1/LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Telur Cacing Negatif
Kesan ; Hasil dalam batas normal
EKG:
Irama : Sinus QRS Komplek : 0.04 dtk
HR : 100 x/mnt ST Segmen : isoelektrik
Axis : Normal Gel T : normal
Gel P : Normal SV1 + RV5 <35
PR interval : 0.12 dtk R/S V1 <1
Kesan : Sinus rhytm
MASALAH
Ikterik
Hepatomegali
Gangguan faal hepar
Underweight
Pansitopenia
TB paru dalam pengobatan
HIV/AIDS dalam pengobatan
Diagnosis Kerja :
Diagnosa Primer :
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis
Diagnosa Sekunder :
HIV/AIDS dalam terapi
TB paru dalam terapi
Pansitopenia ec Aplasia sekunder
Malnutrisi
Diagnosa banding
Hepatitis Viral
Drug Induced Liver Injury ec ARV
Kolestasis
Terapi :
Istirahat/ Diet Makan lunak diet hepar II
Stop OAT
IVFD Aminofusin Hepar : Triofusin : NaCl 0.9% = 1:1:1 = 8 jam /kolf
Cotrimoxsazole 1x960 mg (PO)
N acetylsistein 3x200 mg (PO)
Atripla 1x1tab (PO)
Rencana :
Cek Faal Hepar (SGOT/SGPT, Bilirubin I/II, Alkali fosfatase, Gama-GT,
Albumin/ Globulin
Cek Hepatitis marker (HbsAg, Anti-HCV, IgM-Anti HAV)
Cek CD4+
Cek elektrolit (Natrium/Kalium/Clorida)
Tranfusi PRC sampai Hb ≥10
USG Abdomen
Follow Up
7 November 2018
S/
Mata kuning (+), batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 110/70 83 19 37oC
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
IVFD comafusin hepar 500cc/24jam
Tranfusi PRC 1 Unit
Hepatoprotector 3x1 Tab
UDCA 3x1 Tab
Terapi lain lanjut
Follow Up
8 November 2018
S/
tampak kuning (+)↓, batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 120/70 79 20 36,7oC
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
Tranfusi PRC 1 Unit
Terapi lain lanjut
Follow Up
11 November 2018
S/
tampak kuning (+) ↓, batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 120/70 78 20 36,7oC
Keluar hasil laboratorium
Hb 10,0 g/dl Bilirubin total 2,2
Leukosit 2.030 /mm3 Bilirubin direct 2,1
Trombosit 92.000 /mm3 Bilirubin indirect 0,1
HT 31 % SGOT 162 u/l
SGPT 81 u/l
Kesan : anemia ringan normositik normokrom,leukopenia,
trombositopenia, hypoalbuminemia, peningkatan SGOT dan SGPT
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
Terapi lain lanjut
Follow Up
15 November 2018
S/
tampak kuning (+)↓, batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 110/70 80 19 36,5oC
Keluar hasil laboratorium
SGOT 155 u/l Bilirubin total 1,6 mg/dl
SGPT 80 u/l Bilirubin direct 1,5 mg/dl
Bilirubin indirect 0,1 mg/dl
Kesan : peningkatan SGOT dan SGPT
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
Etambutol 1x750mg
INH 1x100mg
Terapi lain lanjut
Follow Up
22 November 2018
S/
tampak kuning (-) , batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 110/80 80 20 36,1oC
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
Rifampisin 1x450mg
Terapi lain lanjut
Follow Up
25 November 2018
S/
tampak kuning (-) , batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 110/80 81 21 37,1oC
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
Pirazinamid 1x1000mg
Terapi lain lanjut
Follow Up
27 November 2018
S/
tampak kuning (-) , batuk (-), demam (-)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 110/80 79 21 37,4oC
A/
Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis
TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
HIV/AIDS dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi Berat
P/
Inj. Streptomicin 1x1000mg (im)
Terapi lain lanjut
DISKUSI
Telah dirawat pasien laki-laki usia 28 tahun dibangsal penyakit dalam RSUP
M.Djamil Padang dengan:
Drug Induced Liver Injury ec OAT
Tuberkulosis Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif
Aquired Imunno Deficiency Syndrme dalam terapi ARV
Pansitopenia ec aplasia sekunder
Malnutrisi berat