Oleh
MEI EDI Prayitno, S.T., M.Tr. Hanla., M.M.
Letkol Laut (T) NRP 14647/P
i
ANALISIS KEBIJAKAN LARANGAN PENGGUNAAN CANTRANG
DALAM PENANGKAPAN IKAN
1. PENDAHULUAN
1
hari menjadi menurun (Ermawati dan Zuliyati 2015; Satria 2015; Kalita et al 2015).
Namun, sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan penghapusan jaring
Trawl pada tahun 1980 yaitu Keppres No 39 Tahun 1980. Peraturan tersebut
menjelaskan bahwa penghapusan jaring trawl dilakukan secara bertahap dengan
mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl terhitung mulai tanggal 1 juli 1980. Upaya
tersebut dilakukan untuk membatasi jumlah keseluruhan kapal trawl yang beroperasi di
perairan Indonesia. Saat keputusan dikeluarkan sampai akhir September 1980, secara
bertahap dilakukan penghapusan seluruh kapal trawl yang berasal dan beroperasi di
sekitar jawa dan bali. Semua kegiatan yang menggunakan jaring trawl mulai dilarang
pada tanggal 1 Oktober 1980. Para pemilik kapal diberikan hak memilih untuk
mengganti alat tangkap selain jaring trawl untuk mengatur jumlah kapal.
Pengaturan tersebut diatur oleh Menteri Pertanian dan menteri-menteri yang
bersangkutan yang mengatur pengalihan kapal trawl dan penyerahan kepada
kelompok nelayan. Hal itu menunjukkan belum adanya kementerian yang berfokus
pada persoalan perikanan dan kelautan masa kepemerintahan saat itu. Selain itu,
dalam keputusan tidak disertakan sanksi yang jelas bagi para pemilik kapal jaring trawl
yang masih tetap menggunakan jaring trawl di perairan yang telah dilarang sehingga
bertambahnya jumlah kapal trawl tidak bisa dihindari. Jumlah kapal trawl yang
bertambah setiap tahunnya membuktikan bahwa Keppres No 39 Tahun 1980 belum
terlaksana dengan baik dalam mengurangi kapal trawl yang beroperasi di perairan
Indonesia khususnya sekitar jawa dan Bali. Kerjasama antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dengan para pemilik kapal dan kelompok nelayan sangat diperlukan
untuk memperlancar pelaksanaannya (Nurhayati 2012). Penetapan sanksi yang tegas
bagi para pemilik kapal dan perizinan yang diberikan harus sesuai dengan poin-pon
pasal yang telah diputuskan. Hal tersebut untuk mengurangi konflik yang terjadi antar
nelayan. Penetapan Permen Nomor 2 Tahun 2015 didasarkan oleh kesepakatan
bersama antara pemerintah dengan kelompok nelayan yang dilakukan sejak tahun
2009 untuk menindaklanjuti kebijakan sebelumnya.
Penetapan kebijakan pelarangan alat tangkap jenis cantrang tersebut juga
didasarkan oleh kondisi perikanan Indonesia yang mulai menurun setiap tahun.
Turunnya hasil produksi perikanan diakibatkan adanya kerusakan ekosistem laut
seperti padang lamun maupun terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi
disebabkan oleh penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan. Sisi
lain, penetapan kebijakan tersebut memengaruhi struktur kehidupan sosial-ekonomi
nelayan. Hasil tangkapan ikan nelayan dapat menurun akibat alat tangkap yang kurang
memadai. Nelayan yang terbiasa menggunakan alat tangkap pukat, salah satunya
cantrang, harus beralih ke alat tangkap lain yang lebih ramah lingkungan namun dapat
menghasilkan ikan yang sama banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Dikeluarkannya kebijakan larangan penggunaan alat tangkap, khususnya cantrang
berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi nelayan.
2
Alat penangkap ikan bernama pukat termasuk juga cantrang telah banyak
merusak sumber daya alam, Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan secara
tegas melarang penggunaan cantrang dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor
2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela
(Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP Negara Republik Indonesia.
Penggunaan cantrang merusak terumbu karang dan bentuk jarring yang kecil akan
menangkap berbagai ukuran ikan yang akan menggangu kelestarian sumberdaya
perikanan. Namun Kebijakan pemerintah ini mendapat protes dari masyarakat nelayan
yang sudah terbiasa menggunakan cantrang. Yang harus dicarikan solusinya adalah
penggantian jaring penangkap ikan yang ideal bagi nelayan, sehingga kegiatan
penangkapan ikan tetap dapat dilaksanakan dengan memperhatikan kelestarian
ekosistem dan keselamatan terumbu karang dimana ikan karang hidup.
2. STUDI LITERATUR
3
cantrang digolongkan ke dalam kelompok Danish Seine atau Snurrevard yang terdapat
di Eropa dan beberapa di kawasan Amerika (George et al, 1953 dalam Subani dan
Barus, 1989). Cantrang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu sayap, badan, dan kantong.
Sayap berfungsi sebagai penggiring agar ikan dapat masuk menuju kantong melalui
badan. Badan berfungsi untuk mengkonsentrasikan ikan menuju kantong dalam satu
arah dan kantong akan menampung ikan-ikan yang masuk sebagai hasil tangkapan
(Bambang, 2006).
5
2.3 Indikator Policy Output
Menurut Ripley dalam Erwan dkk (2012), terdapat beberapa indikator untuk
menilai kualitas policy outputs adalah sebagai berikut :
a. Akses. Indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa program atau
pelayanan yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Selain itu,
akses juga mengandung pengertian bahwa orang-orang yang bertanggung
jawab untuk mengimplementasikan kebijakan atau program mudah dikontak
oleh kelompok sasaran sehingga apabila masyarakat membutuhkan informasi
atau ingin menyampaikan pengaduan dapat dijangkau dengan mudah.
b. Cakupan. Indikator ini digunakan untuk menilai seberapa besar kelompok
sasaran yang sudah dapat dijangkau oleh kebijakan publik yang
diimplementasikan.
c. Frekuensi. Indikator ini digunakan untuk mengukur seberapa sering
kelompok sasaran dapat memperoleh layanan yang dijanjikan oleh suatu
kebijakan atau program. Semakin tinggi frekuensi pelayanan maka akan
semakin baik implementasi.
d. Bias. Indikator ini digunakan untuk menilai apakah pelayanan yang
diberikan oleh implementer bias (menyimpang) kepada kelompok masyarakat
yang bukan menjadi sasaran.
e. Service delivery. Indikator ini digunakan untuk menilai apakah pelayanan
yang diberikan dalam implementasi kebijakan dilakukan secara tepat waktu atau
tidak. Indikator ini sangat penting untuk menilai output suatu program yang
memiliki sensitivitas terhadap waktu.
f. Akuntabilitas. Indikator ini digunakan untuk menilai apakah tindakan
implementer dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan keluran
kebijakan kepada kelompok sasaran dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah menyangkut apakah
hak-hak kelompok sasaran dikurangi atau tidak.
g. Kesesuaian program dengan kebutuhan. Indikator ini digunakan untuk
mengukur apakah berbagai keluaran kebijakan atau program yang diterima oleh
kelompok sasaran memang sesuai dengan kebutuhan mereka atau tidak.
6
dilapangan, tidak mudah untuk merumuskan indikator dampak ini. Hal ini disebabkan
oleh dua hal, yaitu :
a. Luasnya cakupan kebijakan
b. Tujuan kebijakan seringkali tidak spesifik
7
Gambar 2. Analisis Dampak Resiko Tidak Menerapkan Ria
Sumber: Nuri Andrawaulan IPB, 2015.
Dalam salah satu panduan yang diterbitkan Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD), RIA dijelaskan sebagai suatu proses yang secara
sistematik mengidentifikasi dan menilai dampak yang diinginkan dari suatu pengajuan
undang-undang dengan metode analisia yang konsisten seperti benefit-cost analysis.
RIA merupakan proses komparasi yang didasarkan tujuan pengaturan yang telah
ditetapkan dan mengidentifikasi semua kemungkinan kebijakan yang mmempengaruhi
dalam mencapai tujuan kebijakan. Semua alternatif yang tersedia harus dinilai dengan
metode yang sama dalam rangka menginformasikan pengambil keputusan akan
pilihan-pilihan yang efektif dan efisien sehingga dapat memilih secara sistematis pilihan
yang paling efektif dan efisien. Menurut OECD pengertian RIA: “RIA’s most important
contribution to the quality of decisions is not the precision of the calculations used, but
the action of analyzing – questioning, understanding real-world impacts and exploring
assumptions”
Menurut OECD dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
ataupun kebijakan didasarkan dengan RIA diperlukan beberapa tahan yang meliputi::
h. Mendefinisikan konteks kebijakan dan tujuan khususnya mengidentifikasi
secara sistemik masalah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan oleh
pemerintah.
i. Mengidentifikasi dan mendefinisikan semua opsi peraturan dan kebijakan
lain untuk mencapai tujuan kebijakan yang akan ditetapkan.
j. Mengidentifikasi dan mengkuantifisir dampak dari opsi yang
dipertimbangkan, termasuk efek biaya, manfaat dan pendistribusian.
k. Membangun strategi penegakan hukum dan kepatuhan dari setiap opsi,
termasuk mengevaluasi efektivitas dan efisisensi tiap pilihan,
8
l. Membangun mekanisme monitoring untuk mengevaluasi keberhasilan
kebijakan yang dipilih dan member masukan informasi untuk respon pengaturan
di masa mendatang.
m. Konsultasi public secara sistematis untuk member kesempatan kepada
semua pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan
peraturan. Tahap ini memberikan informasi yang penting akan biaya dan
manfaat dari semua alternatif termasuk efektifitasnya.
3 PEMBAHASAN
9
kedalam Fishing Area 57 (Indian Ocean, Eastern) dan 71 (Pacific, Western Central)
dari 19 Fishing Areas yang ada di dunia.
10
3.3 Dampak Kebijakan Larangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang
12
pukat hela dan pukat tarik, khususnya cantrang mempunyai mata rantai ekonomi yang
panjang. Dalam dokumen IHPS II 2017 diungkap bahwa adanya Permen KP Nomor 2
Tahun 2015 telah memberikan ancaman kredit macet dan terganggunya ekonomi
sektor perikanan di daerah dominan cantrang. Dampak pelarangan API cantrang di
Provinsi Jawa Tengah antara lain meliputi dampak ekonomi dan dampak sosial, yaitu
hilangnya pendapatan dari usaha secara keseluruhan dan hilangnya mata pencaharian
yang menyokong kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, adanya potensi penolakan
kembali terhadap pelarangan API cantrang melalui kegiatan demonstrasi baik di daerah
maupun di pusat maupun potensi menurunnya pendapatan nelayan akibat hasil
tangkapan dengan alat pengganti tidak seproduktif cantrang.
Dampak sosial pelarangan alat tangkap cantrang memang akan berdampak besar
terhadap banyak nelayan. Distribusi spasial alat tangkap cantrang telah menyebar di
hampir seluruh laut Jawa, yang terkonsentrasi di Selatan Belitung dan Selatan
Kalimantan sampai Selat Makasar (Atmaja dan Nugroho, 2012). Menurut data
Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan tangkap di laut menurut alat
tangkap Pukat Tarik pada tahun 2014 mencapai 690,629 ton. Berdasarkan hal
tersebut, jika alat tangkap cantrang dilarang maka akan berdampak tidak hanya secara
sosial, tapi juga ekonomi. Selain itu, juga adanya potensi kehilangan jaringan kerja dan
keuangan antara pemilik dan penyedia kebutuhan kapal. Hal ini terjadi karena Menteri
Kelautan dan Perikanan dalam mengeluarkan kebijakan Permen KP Nomor 2 Tahun
2015 sebagaimana diganti dengan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tidak didukung
perencanaan yang memadai. Dari aspek ekonomi hasil tangkapan berkualitas rendah
dan biaya operasi tinggi, aspek sosial berpotensi menimbulkan konflik antar nelayan
dan antar alat tangkap. Namun, BPK tidak sependapat, karena KKP tidak menilai
dampak pelarangan API terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan dan sektor
perikanan lainnya.
13
Perikanan (KKP) memberlakukan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik
(seinen net). Cantrang sendiri masuk kedalam kategori tersebut, sehingga
penggunaannya kemudian dilarang oleh pemerintah. Sebelumnya penggunaan
cantrang masih diperbolehkan hingga 1 Januari 2017 dan setelah itu sudah dilarang.
Alasan pelarangan alat tangkap tersebut adalah potensi rusaknya ekosistem
akibat pemakaian cantrang. Cantrang termasuk kedalam alat tangkap yang non
selective yakni menangkap semua ikan tanpa adanya seleksi. Ikan-ikan kecil yang
seharusnya tumbuh menjadi dewasa kemudian bertelur kembali malah tertangkap
jaring cantrang sehingga populasi ikan semakin menurun karena tidak memiliki
kesempatan untuk beregenerasi.
Dampak cantrang dalam aspek biologi dan ekologi memang menimbulkan
degradasi sumber daya ikan (SDI), pengoperasian alat penangkapan ikan berbentuk
kantong dengan ukuran mata jaring kecil berpotensi ikan anakan (juvenile) dari spesies
bernilai ekonomis tinggi maupun ikan yang mempunyai nilai penting bagi lingkungan
dan berpotensi merusak lingkungan. Menurut Djumanto (Dosen Departemen Perikanan
UGM), dari sisi akademis, ikan yang ditangkap memiliki batasan sendiri yang bertujuan
untuk mempertahankan populasi mereka. Cantrang dapat dioperasikan misalnya
dengan syarat-syarat tertentu ataupun pembatasan jumlah penangkapan tiap kapal
atau tiap wilayah perikanan. Penerapan kebijakan pelarangan cantrang dianggap
sebagai solusi paling baik oleh pemerintah untuk menjaga kelestarian alam, namun
realita yang ada dimasyarakat khususnya nelayan tidak selaras dengan tujuan itu.
Nelayan yang notabene telah bertahun-tahun menggunakan cantrang sebagai senjata
pamungkas belum siap untuk sepenuhnya beralih menggunakan alat lain. Banyak
pekerjaan rumah yang harus dirampungkan pemerintah sehingga kebijakan yang
diambil tidak saling merugikan. Jika kebijakan itu tidak selaras dengan realita yang ada,
baiklah rakyat meninta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
14
Sanksi atas tindak pidana perikanan terkait penggunaan alat tangkap trawl ini diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 100B. Pasal tersebut menyatakan: “Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dilakukan oleh nelayan kecil
dan/atau pembudidaya ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)“.
Penggunaan cantrang dapat menyebabkan rusaknya dasar lautan dan
ekosistem lautan. Hasil tangkapan cantrang tidak selektif dengan komposisi hasil
tangkapan yang menangkap semua ukuran biota laut, sehingga akan mengganggu
proses recruitment dan mengancam keberlanjutan sumberdaya. Selain itu juga
penggunaan Cantrang akan terus menimbulkan konflik horizontal dengan nelayan yang
tidak menggunakan Cantrang. Kebijakan pelarangan cantrang sudah dilakukan selama
bertahun-tahun dan melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
teruji. Tahun 1980 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980
yang menginstruksikan untuk melarang penggunaan jaring Trawl. Tahun 1997
Cantrang diperbolehkan untuk nelayan kecil dengan ukuran kapal maksimal 5 GT dan
mesin maksimal 15 PK. Dalam perkembangan fakta lapangan banyak alat tangkap
yang dimodifikasi, sehingga alat penangkapan ikan (API) harus mengacu kepada salah
satu kelompok jenis API. Selain itu juga fakta dilapangan menunjukan bahwa kapal-
kapal Cantrang banyak yang melakukan Markdown, kapal cantrang dengan ukuran 85
GT. Akibatnya tahun 2015 negara mengalami kerugian yang mencapai 10,44 T.
Kerugia tersebut bersumber dari 3 komponen utama, yaitu kehilangan PNBP sebesar
328,41 M, penyalahgunaan BBM bersubsidi untuk kapal nelayan sebesar 280,09 M dan
deplesi sumberdaya ikan sebesar 9,83 Triliun. Tahun 2015 API cantrang dilarang
dioperasikan di seluruh WPP-NRI. Masa tenggang untuk pengalihan ke alat tangkap
lainnya diberikan sampai Juli 2017
Sosialisasi kebijakan pelarangan Cantrang sudah dilakukan sejak tahun 2009
kepada perwakilan Nelayan Kabupaten Rembang, Pati, Batang dan Kota Tegal.
Sosialisasi dilanjutkan pada tahun 2013, 2015, 2016 dan 2017. Berdasarkan usulan
penggantian Cantrang tahun 2017 terlihat bahwa Cantrang beroperasi di 8 provinsi,
yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, JAwa Timur, Kalimantan Utara, Lampung, Kalimantan
Barat, Jambi dan Sumatera Utara. Alat tangkap ramah lingkungan yang dapat dijadikan
sebagai pengganti cantrang adalah Gillnet, bubu lipat untuk ikan dan rajungan, trammel
net, rawai dasar dan Handline. Untuk kapal dibawah 10 GT, pemerintah mengganti
semuanya dengan alat tangkap ramah lingkungan. Untuk kapal 10-30 GT, pemerintah
membantu fasilitas permodalan dari bank. Sedangkan untuk kapal di atas 30 GT,
pemerintah menyediakan WPP (Wilayah Pengelolaan Penangkapan) di Timur dan
Barat yaitu Laut Arafura dan Natuna, yang dulunya dikuasai asing secara ilegal. Kini
kedua wilayah tersebut sudah bebas dari kapal-kapal illegal, karena sejak awal Kabinet
Kerja, Menteri Kelautan dan Perikanan secara tegas dan konsisten memberantas
15
praktek-praktek kejahatan perikanan (IUUF). Pasca tidak adanya kapal-kapal illegal
tersebut, Perairan Laut Arafura dan Natuna menjadi sangat potensial untuk
dimanfaatkan oleh para pemilik kapal eks Cantrang. Saat ini sudah banyak kapal-kapal
eks Cantrang yang telah beralih alat tangkap dan beroperasi di laut Arafura. Pada
2015, tercatat sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Idnonesia. Kemudian di awal
2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.367 unit. Pelarangan
penggunaan alat tangkap cantrang, sedianya mulai diberlakukan pada Juli 2017.
Namun, ditunda hingga akhir 2017, sebagai upaya pendampingan nelayan beralih alat
tangkap yang ramah lingkungan.
Dalam penerapan kebijakan RIA diperlukan panduan agar dapat menjadi
pedoman bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Dengan adanya buku panduan
tersebut, berbagai pihak dapat mengenal lebih jauh metode RIA. Meskipun demikian,
hingga saat ini secara kelembagaan metode RIA belum diterapkan di lingkungan
Kementerian PPN/Bappenas. Di kementerian/lembaga lain juga demikian, penggunaan
metode RIA baru sebatas uji coba yang tidak berkelanjutan. Regulatory Impact
Analysis (RIA) menurut Bappenas merupakan proses analisis dan pengkomunikasian
secara sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan baru maupun kebijakan yang
sudah ada. Butir penting dari definisi ini yaitu:
a. Metode RIA mencakup kegiatan analisis dan pengkomunikasian.
b. Obyek metode RIA adalah kebijakan, baik berbentuk peraturan ataupun
nonperaturan.
c. Metode RIA dapat diterapkan untuk kebijakan baru maupun untuk
kebijakan yang sudah ada, bersama dengan beberapa kementerian/lembaga
lain.
4. PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari analisis kebijakan pelarangan penggunaan alan penangkap ikan trawl jenis
cantrang dapat disimpulkan sebagai berikut:
4.1 Saran
17
pengelolaan nelayan tradisional dalam rencana zonasi di setiap provinsi dan
kabupaten/kota pesisir; dan memastikan pada masa transisi agar semua pihak
dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan kriminalisasi.
d. Meninjau kembali Peraturan Menteri Nomor 2/PERMEN-KP/2015 dengan
tetap memberikan perizinan bagi kapal perikanan di bawah 30 GT sesuai
kewenangan provinsi.
e. Meminta kepada pemerintah pusat untuk melakukan beberapa hal seperti
menganggarkan penggantian alat penangkapan ikan yang dilarang dan
pelatihan penggunaan alat penangkapan pengganti.
f. Pemerintah pusat juga dituntut menyediakan lapangan pekerjaan
alternatif bagi yang terdampak, dan membuka kemudahan impor ikan sebagai
bahan baku industri pengolahan hasil perikanan.
Daftar Pustaka
18
Sumber Internet.
http://www.koransindo.com/read/970395/151/cantrang-takkan-lari-ikan-kutangkap-
1425182873.
http://www.radarpekalonganonline.com/60013/nelayan-batang-tolakpermen-kelautan-
dan-perikanan-no-2-tahun-2015/.
http://www.koransindo.com/read/973835/149/cantrangdilarang-nelayan-meradang-
1425868493.
http://www.jitunews.com/read/9696/gara-gara-cantrang-dilarang-kapalbanyak-yang-
curang#ixzz3XKpCPKnk #Jitu #InfoJitu #CaraJitu #TipsJitu
19