Anda di halaman 1dari 20

Pengabdian Masyarakat

Di Kecamatan Paciran - Kabupaten Lamongan

ANALISIS KEBIJAKAN LARANGAN


PENGGUNAAN CANTRANG DALAM
PENANGKAPAN IKAN

Oleh
MEI EDI Prayitno, S.T., M.Tr. Hanla., M.M.
Letkol Laut (T) NRP 14647/P

MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI ANGKATAN LAUT (STTAL)
2018

i
ANALISIS KEBIJAKAN LARANGAN PENGGUNAAN CANTRANG
DALAM PENANGKAPAN IKAN

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikaruniai dengan luas ekosistem


perairannya (aquatic ecosystem) yang lebih besar daripada ekosistem daratannya
(terrestrial ecosystem). Luas perairan laut Indonesia adalah 5.8 juta km2 yang terdiri
dari 2.4 juta km2 perairan laut territorial dan 3.4 juta km2 perairan zona ekonomi
eksklusif (ZEE) Indonesia. Sementara untuk perairan umum daratannya (perairan air
tawar), luasnya mencapai 3,2 juta km2 yang terdiri dari danau, sungai, waduk dan situ.
Dalam konteks ini, maka keanekaragaman hayati biota perairan tersebut menjadi
sangat penting. Ekosistem perairan tropis dicirikan antara lain dari keanekaragam
hayatinya yang tinggi namun dengan jumlah stok yang terbatas, termasuk di dalamnya
sumberdaya ikan yang dimanfaatkan dalam bentuk kegiatan ekonomi yang disebut
dengan perikanan (fisheries).
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada
perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam
konteks dasar hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua
upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati. Secara alamiah pengelolaan perikanan dihadapkan pada
pengelolaan sebuah sistem yang kompleks (complex system) yang paling tidak harus
mempertimbangkan dinamika dari 3 sistem yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu
(1) sistem sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) sistem pelaku pemanfaatan
sumberdaya perikanan dalam konteks kepentingan sosial ekonomi; dan (3) dimensi
kebijakan dan manajemen perikanan itu sendiri (Charles, 2001).
Sejak Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan
alat penangkapan ikan jenis cantrang yang terdiri dari pukat hela (trawls) dan pukat
tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan diterbitkan, peraturan tersebut menuai pro-kontra di
kalangan masyarakat nelayan, khususnya nelayan yang menggunakan alat tangkap
cantrang untuk penangkapan ikan. Peraturan tersebut dianggap menurunkan
penghasilan nelayan, dimana alat tangkap tersebut menjadi andalan bagi nelayan dan
kesejahteraan nelayan yang notabene bergantung kepada hasil tangkapan ikan sehari-

1
hari menjadi menurun (Ermawati dan Zuliyati 2015; Satria 2015; Kalita et al 2015).
Namun, sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan penghapusan jaring
Trawl pada tahun 1980 yaitu Keppres No 39 Tahun 1980. Peraturan tersebut
menjelaskan bahwa penghapusan jaring trawl dilakukan secara bertahap dengan
mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl terhitung mulai tanggal 1 juli 1980. Upaya
tersebut dilakukan untuk membatasi jumlah keseluruhan kapal trawl yang beroperasi di
perairan Indonesia. Saat keputusan dikeluarkan sampai akhir September 1980, secara
bertahap dilakukan penghapusan seluruh kapal trawl yang berasal dan beroperasi di
sekitar jawa dan bali. Semua kegiatan yang menggunakan jaring trawl mulai dilarang
pada tanggal 1 Oktober 1980. Para pemilik kapal diberikan hak memilih untuk
mengganti alat tangkap selain jaring trawl untuk mengatur jumlah kapal.
Pengaturan tersebut diatur oleh Menteri Pertanian dan menteri-menteri yang
bersangkutan yang mengatur pengalihan kapal trawl dan penyerahan kepada
kelompok nelayan. Hal itu menunjukkan belum adanya kementerian yang berfokus
pada persoalan perikanan dan kelautan masa kepemerintahan saat itu. Selain itu,
dalam keputusan tidak disertakan sanksi yang jelas bagi para pemilik kapal jaring trawl
yang masih tetap menggunakan jaring trawl di perairan yang telah dilarang sehingga
bertambahnya jumlah kapal trawl tidak bisa dihindari. Jumlah kapal trawl yang
bertambah setiap tahunnya membuktikan bahwa Keppres No 39 Tahun 1980 belum
terlaksana dengan baik dalam mengurangi kapal trawl yang beroperasi di perairan
Indonesia khususnya sekitar jawa dan Bali. Kerjasama antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dengan para pemilik kapal dan kelompok nelayan sangat diperlukan
untuk memperlancar pelaksanaannya (Nurhayati 2012). Penetapan sanksi yang tegas
bagi para pemilik kapal dan perizinan yang diberikan harus sesuai dengan poin-pon
pasal yang telah diputuskan. Hal tersebut untuk mengurangi konflik yang terjadi antar
nelayan. Penetapan Permen Nomor 2 Tahun 2015 didasarkan oleh kesepakatan
bersama antara pemerintah dengan kelompok nelayan yang dilakukan sejak tahun
2009 untuk menindaklanjuti kebijakan sebelumnya.
Penetapan kebijakan pelarangan alat tangkap jenis cantrang tersebut juga
didasarkan oleh kondisi perikanan Indonesia yang mulai menurun setiap tahun.
Turunnya hasil produksi perikanan diakibatkan adanya kerusakan ekosistem laut
seperti padang lamun maupun terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi
disebabkan oleh penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan. Sisi
lain, penetapan kebijakan tersebut memengaruhi struktur kehidupan sosial-ekonomi
nelayan. Hasil tangkapan ikan nelayan dapat menurun akibat alat tangkap yang kurang
memadai. Nelayan yang terbiasa menggunakan alat tangkap pukat, salah satunya
cantrang, harus beralih ke alat tangkap lain yang lebih ramah lingkungan namun dapat
menghasilkan ikan yang sama banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Dikeluarkannya kebijakan larangan penggunaan alat tangkap, khususnya cantrang
berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi nelayan.

2
Alat penangkap ikan bernama pukat termasuk juga cantrang telah banyak
merusak sumber daya alam, Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan secara
tegas melarang penggunaan cantrang dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor
2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela
(Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP Negara Republik Indonesia.
Penggunaan cantrang merusak terumbu karang dan bentuk jarring yang kecil akan
menangkap berbagai ukuran ikan yang akan menggangu kelestarian sumberdaya
perikanan. Namun Kebijakan pemerintah ini mendapat protes dari masyarakat nelayan
yang sudah terbiasa menggunakan cantrang. Yang harus dicarikan solusinya adalah
penggantian jaring penangkap ikan yang ideal bagi nelayan, sehingga kegiatan
penangkapan ikan tetap dapat dilaksanakan dengan memperhatikan kelestarian
ekosistem dan keselamatan terumbu karang dimana ikan karang hidup.

1.2 Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini, diantaranya:


a. Bagaimana dampak penggunaan cantrang terhadap kerusakan ekosistem
dan lingkungan laut.
b. Apakah dampak dari penggunaan cantrang terhadap social economic
nelayan.
c. Bagimana penangkapan ikan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan
kelestarian sumberdaya ikan

1.3 Tujuann Penelitian.

Adapun tujuan dari penelitian tentang analisis RIA terhadap peraturan


pelarangan transshipment ikan di perairan yurisdiksi nasional adalah:
a. Untuk mengetahui dampak penggunaan alat tangkap ikan cantrang
terhadap kerusakan ekosistem dan lingkungan laut.
b. Untuk mengetahui dampak social ekonomi nelayan terhadap pelarangan
penggunaan cantrang.
c. Untuk mengetahui bagaimana penangkapan ikan dilaksanakan dengan
tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan.

2. STUDI LITERATUR

2.1 Alat Tangkap Cantrang


Cantrang adalah alat tangkap berbentuk jaring yang apabila dilihat dari
bentuknya menyerupai alat tangkap payang, tetapi ukuran di tiap bagiannya lebih kecil.
Jika dilihat dari fungsi dan hasil tangkapan utamanya, cantrang menyerupai trawl, tetapi
bentuknya lebih sederhana dan pada saat pengoperasiannya tidak ditarik oleh kapal
dan tidak menggunakan pembuka jaring (Subani dan Barus, 1989). Secara umum,

3
cantrang digolongkan ke dalam kelompok Danish Seine atau Snurrevard yang terdapat
di Eropa dan beberapa di kawasan Amerika (George et al, 1953 dalam Subani dan
Barus, 1989). Cantrang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu sayap, badan, dan kantong.
Sayap berfungsi sebagai penggiring agar ikan dapat masuk menuju kantong melalui
badan. Badan berfungsi untuk mengkonsentrasikan ikan menuju kantong dalam satu
arah dan kantong akan menampung ikan-ikan yang masuk sebagai hasil tangkapan
(Bambang, 2006).

Gambar1. Pukat Tarik Cntrang


Sumber: Bambang (2006)

Cantrang berbeda dengan pukat hela. Sering terjadi kesalahan mengenai


pengertian pukat hela dan cantrang. Seringkali cantrang disamakan dengan pukat hela.
Pukat hela menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.06/MEN/2008
Tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela Di Perairan Kalimantan Timur
Bagian Utara, Pukat Hela adalah semua jenis alat penangkap ikan berbentuk jaring
berkantong, berbadan dan bersayap yang dilengkapi dengan pembuka jaring yang
dioperasikan dengan cara ditarik/ dihela menggunakan satu kapal yang bergerak.
Kapal Pukat Hela adalah kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkap
ikan pukat hela. Sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-7237-2006)
definisi pukat hela adalah alat penangkap ikan berbentuk kantong yang terbuat dari
jaring dan terdiri dari dua bagian sayap pukat, bagian badan serta bagian kantong
pukat. Menurut SNI 01-7236-2006, pukat tarik cantrang adalah alat penangkap ikan
berkantong tanpa alat pembuka mulut pukat dengan tali selambar yang
pengoperasiannya di dasar perairan dengan cara melingkari gerombolan ikan,
penarikan dan pengangkatan pukat (hauling) dari atas kapal.

2.2 Kebijakan Publik


Kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom)
karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan
4
sesuai situasi dan kondisi setempat oleh pejabat yang berwenang (Inu Kencna Syafie,
2006). Menurut Thomas R. Dye dalam Dwiyanto Indiahono (2009), kebijakan publik
adalah whatever goverments choose to do or not to do yang maknanya yaitu apapun
kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan.
Menurut RC. Chandler dan JC. Plano dalam Inu Kencana Syafie (2004),
kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber
daya yang ada untuk memecahkan masalah. Sedangkan, menurut Willy N. Dunn,
kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang
dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut
tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain. James E. Anderson
dalam Dwiyanto Indiahono (2009) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah perilaku
dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor
dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah segala sesuatu kegiatan baik yang dilakukan maupun yang tidak
dilakukan pemerintah dalam menghadapi suatu permasalahan tertentu dengan
menggunakan metode dan pertimbangan tertentu dengan memanfaatkan sumber daya
yang ada.

2.2 Implementasi Kebijakan


Menurut Ripley dan Franklin dalam Winarno (2011) berpendapat bahwa
implementasi adalah apa yang terjadi setelah Undang-Undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis
keluaran yang nyata (tangible output). Sementara itu, Grindle Winarno (2011) juga
memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara
umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu ikatan (linkage) yang
memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu
kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya 'a
policy delivery system', dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan
dengan harapan sampai pada tujuan yang diinginkan.
Di sisi lain, Tachjan (Tahir, 2014 : 53 ) mengemukakakn bahwa implementasi
kebijkan publik disamping dapat dipahami sebagai salah satu aktivitas dari administrasi
publik sebagai institusi (birokrasi) dalam proses kebijakan publik, dapat dipahami pula
sebagai salah satu lapangan studi administrasi publik sebagai ilmu. Selanjutnya, van
Meter dan van Horn (Winarno, 2011) membatasi implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah
maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

5
2.3 Indikator Policy Output
Menurut Ripley dalam Erwan dkk (2012), terdapat beberapa indikator untuk
menilai kualitas policy outputs adalah sebagai berikut :
a. Akses. Indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa program atau
pelayanan yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Selain itu,
akses juga mengandung pengertian bahwa orang-orang yang bertanggung
jawab untuk mengimplementasikan kebijakan atau program mudah dikontak
oleh kelompok sasaran sehingga apabila masyarakat membutuhkan informasi
atau ingin menyampaikan pengaduan dapat dijangkau dengan mudah.
b. Cakupan. Indikator ini digunakan untuk menilai seberapa besar kelompok
sasaran yang sudah dapat dijangkau oleh kebijakan publik yang
diimplementasikan.
c. Frekuensi. Indikator ini digunakan untuk mengukur seberapa sering
kelompok sasaran dapat memperoleh layanan yang dijanjikan oleh suatu
kebijakan atau program. Semakin tinggi frekuensi pelayanan maka akan
semakin baik implementasi.
d. Bias. Indikator ini digunakan untuk menilai apakah pelayanan yang
diberikan oleh implementer bias (menyimpang) kepada kelompok masyarakat
yang bukan menjadi sasaran.
e. Service delivery. Indikator ini digunakan untuk menilai apakah pelayanan
yang diberikan dalam implementasi kebijakan dilakukan secara tepat waktu atau
tidak. Indikator ini sangat penting untuk menilai output suatu program yang
memiliki sensitivitas terhadap waktu.
f. Akuntabilitas. Indikator ini digunakan untuk menilai apakah tindakan
implementer dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan keluran
kebijakan kepada kelompok sasaran dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah menyangkut apakah
hak-hak kelompok sasaran dikurangi atau tidak.
g. Kesesuaian program dengan kebutuhan. Indikator ini digunakan untuk
mengukur apakah berbagai keluaran kebijakan atau program yang diterima oleh
kelompok sasaran memang sesuai dengan kebutuhan mereka atau tidak.

2.4. Indikator Policy Outcame


Indikator ini berisi penilaian terhadap hasil implementasi kebijakan. Indikator ini
juga disebut sebagai indikator dampak kebijakan (policy impact). Hasil atau dampak
kebijakan pada dasarnya berkaitan dengan perubahan kondisi masyarakat yang
menjadi kelompok sasaran yaitu dari kondisi awal yang tidak dikehendaki menuju ke
kondisi baru yang lebih dikehendaki. Hasil kebijakan ini jika diruntut merupakan
konsekuensi lanjutan atas keluran kebijakan yang diterima oleh kelompok sasaran.
Dampak yang terjadi tentu sangat bergantung dengan kebijakannya. Realita

6
dilapangan, tidak mudah untuk merumuskan indikator dampak ini. Hal ini disebabkan
oleh dua hal, yaitu :
a. Luasnya cakupan kebijakan
b. Tujuan kebijakan seringkali tidak spesifik

2.3 Peraturan tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkat Ikan Jenis


Cantrang.
Kebijakan pelarangan alat penangkapan ikan jenis cantrang termaktub dalam
Peraturan Menteri KKP Nomor 2/ Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sesuai pasal 2 menjelaskan
bahwa setiap orang dilarang menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls)
dan alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia. Cantrang merupakan Alat Penangkap Ikan
(API) yang berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan 2 panel dan tidak dilengkapi
alat pembuka mulut jarring. Bentuk konstruksi cantrang tidak memiliki medan jaring
atas, sayap pendek dan tali selambar panjang. Cantrang bekerja dengan cara
menyapu seluruh dasar lautan, karena cantrang menangkap ikan demersal (ikan
dasar). Oleh karena itu, cantrang dianggap berpotensi dapat merusak ekosistem
substrat tempat tumbuhnya organism atau jasad renik yang menjadi makanan ikan dan
juga merusak terumbu karang. Cantrang dilarang karena dinilai merusak ekosistem
lautan. Hasil tangkapan cantrang didominasi ikan kecil yang harganya pun murah di
pasaran. Menurut data WWF Indonesia, sekitar 60-82% tangkapan cantrang adalah
tangkapan sampingan atau tidak dimanfaatkan. Selain itu juga Cantrang selama ini
telah menimbulkan konflik horizontal antar nelayan. Konflik penggunaan cantrang ini
sudah berlangsung lama, bahkan sudah terjadi pembakaran kapal-kapal Cantrang oleh
masyarakat.

2.2 Regulatory Impact Assessment (RIA)

Penggunaan RIA untuk pengajuan peraturan baru telah diwajibkan di


pemerintah pusat Inggris sejak tahun 1998 dan pedoman RIA diperkenalkan pada
tahun 2000 untuk departemen pemerintahan di Inggris. Pada tahun 2001, 20 negara
anggota OECD mengklaim telah menerapkan RIA. Selain itu organisasi donor
internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank telah berinisiatif untuk
menyebarkan konsep RIA ke negara berkembang, sedangkan Komisi Eropa
memperkenalkan system Impact assessment pada tahun 2003. Perkembangan
berikutnya semakin banyak anggota OECD yang menggunakan konsep RIA.

7
Gambar 2. Analisis Dampak Resiko Tidak Menerapkan Ria
Sumber: Nuri Andrawaulan IPB, 2015.

Dalam salah satu panduan yang diterbitkan Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD), RIA dijelaskan sebagai suatu proses yang secara
sistematik mengidentifikasi dan menilai dampak yang diinginkan dari suatu pengajuan
undang-undang dengan metode analisia yang konsisten seperti benefit-cost analysis.
RIA merupakan proses komparasi yang didasarkan tujuan pengaturan yang telah
ditetapkan dan mengidentifikasi semua kemungkinan kebijakan yang mmempengaruhi
dalam mencapai tujuan kebijakan. Semua alternatif yang tersedia harus dinilai dengan
metode yang sama dalam rangka menginformasikan pengambil keputusan akan
pilihan-pilihan yang efektif dan efisien sehingga dapat memilih secara sistematis pilihan
yang paling efektif dan efisien. Menurut OECD pengertian RIA: “RIA’s most important
contribution to the quality of decisions is not the precision of the calculations used, but
the action of analyzing – questioning, understanding real-world impacts and exploring
assumptions”
Menurut OECD dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
ataupun kebijakan didasarkan dengan RIA diperlukan beberapa tahan yang meliputi::
h. Mendefinisikan konteks kebijakan dan tujuan khususnya mengidentifikasi
secara sistemik masalah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan oleh
pemerintah.
i. Mengidentifikasi dan mendefinisikan semua opsi peraturan dan kebijakan
lain untuk mencapai tujuan kebijakan yang akan ditetapkan.
j. Mengidentifikasi dan mengkuantifisir dampak dari opsi yang
dipertimbangkan, termasuk efek biaya, manfaat dan pendistribusian.
k. Membangun strategi penegakan hukum dan kepatuhan dari setiap opsi,
termasuk mengevaluasi efektivitas dan efisisensi tiap pilihan,

8
l. Membangun mekanisme monitoring untuk mengevaluasi keberhasilan
kebijakan yang dipilih dan member masukan informasi untuk respon pengaturan
di masa mendatang.
m. Konsultasi public secara sistematis untuk member kesempatan kepada
semua pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan
peraturan. Tahap ini memberikan informasi yang penting akan biaya dan
manfaat dari semua alternatif termasuk efektifitasnya.

3 PEMBAHASAN

3.1 Mekanisme Pengelolaan Ikan Indonesia.


Agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara lestari, maka pengelolaan
sumberdaya ikan perlu dilaksanakan dengan benar. Pengelolaan sumberdaya ikan
secara benar pada dasarnya adalah pelaksanaan dari Amanat Rakyat yang dituangkan
dalam Pasal 33 UUD-RI tahun 1945, dan diatur lebih lanjut dalam UU no 31 tahun
2004. Pengelolaan sumberdaya ikan harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah
agar sumberdaya tetap lestari. Sesuai dengan Code of Conduct for Responsible
Fisheries dari FAO (1995), pengelolaan sumberdaya ikan harus didasarkan pada bukti-
bukti data dan informasi yang terbaik (the best scientific evidence). Data dan informasi
terbaik untuk penyusunan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya ikan tersebut
diperoleh dari monitoring kegiatan perikanan, yang di dasarkan pada karakteristik
sumberdaya tersebut, yang meliputi (1) karakteristik biologis dan sejarah hidup, (2)
karakteristik lingkungan (daerah penyebaran), (3) dinamika komunitas, (4) intensitas
dan cara pemanfaatannya. serta (5) karakteristik sosial dan ekonomi perikanan
masyarakat setempat. Sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia, umumnya termasuk sumberdaya ikan yang beruaya (migrasi) dari satu
wilayah administrasi daerah ke wilayah lain. Sehingga diperlukan manajemen data dan
informasi. Untuk mendapatkan data-data dan informasi tersebut, perlu dikoordinasi
dengan pelaksanaan pemantauan dari pelaku yang berasal dari masing-masing daerah
dalam satu wilayah pengelolaan, yang mencakup antara lain; jumlah dan jenis hasil
tangkapan, jumlah dan ukuran kapal, serta (3) jenis, ukuran dan jumlah alat tangkap
yang digunakan pada masing-masing wilayah pengelolaan perikanan.
Wilayah penangkapan ikan dibagi dalam beberapa wilayah (WPP-NRI). Komisi
Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan (KOMNASJISKAN) melakukan revisi WPP-NRI
dari 9 WPP-NRI menjadi 11 WPP-NRI. Penentuan 11 WPP-NRI mengacu kepada FAO
(Food and Agriculture Organization of The United Nations) dimana penomoran dan
pembagian wilayah pengelolaan sudah sesuai standar internasional FAO. Sementara
berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/MEN/2009 tentang
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan pembagian
WPP menjadi 11 WPP Adapun dasar dari penomoran WPP NKRI di Indonesia adalah
mengacu kepada pengaturan Fisheries Area dari FAO. Di Indonesia sendiri, masuk

9
kedalam Fishing Area 57 (Indian Ocean, Eastern) dan 71 (Pacific, Western Central)
dari 19 Fishing Areas yang ada di dunia.

Gambar 3. Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.


Sumber; KKP, 2014

3.2 Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jenis Cantrang


Pada awalnya cantrang adalah alat penangkap ikan yang ramah lingkungan.
Bahkan pernah menjadi usulan alat penangkap ikan yang diperbolehkan pemerintah
untuk menggantikan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan dan dilarang
oleh Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980.
Perkembangan saat ini, cantrang yang digunakan oleh nelayan sebagian besar adalah
cantrang yang dimodifikasi dengan ukuran jaring hingga puluhan bahkan ratusan
kilometer, menggunakan pemberat, dan penarikan yang dilakukan oleh mesin.
Kebanyakan cantrang yang digunakan juga memiliki rata-rata ukuran mata jaring
sebesar 1,5 inchi, dimana hal ini tidak sesuai dengan Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 02 Tahun 2011 bahwa ukuran mata jaring cantrang yang diperbolehkan harus
berukuran lebih dari 2 inci.
Ukuran mata jaring yang terlalu kecil dapat menyebabkan kerusakan lingkungan
dan kelestarian ikan. Karena ikan ikan kecil yang seharusnya masih bisa berkembang
malah ikut terangkut dan menyebabkan populasi ikan menjadi menurun. Seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh IPB (2019), di Brondong–lamongan yang membuktikan
bahwa hanya 51% hasil tangkapan cantrang yang berupa ikan target, sedangkan 49%
lainnya merupakan non target. Adapun hasil penelitian oleh Undip (2008) di Tegal yang
menjelaskan bahwa penggunaan cantrang hanya dapat menangkap 46% ikan target
dan 54% lainnya non target yang didominasi ikan rucah. Belum lagi terumbu karang
yang rusak akibat tersapu jaring cantrang.

10
3.3 Dampak Kebijakan Larangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang

Penerapan larangan penggunaan alat penangkap ikan di laut bagi kapal-kapal


perikanan tentunya membawa dampak bagi pelaku usaha perikanan Indonesia antara
lain akan dianalisis terhadap kerusakan ekosistem dan lingkungan laut, terhadap sosial
economi nelayan dan kelestarian sumberdaya ikan.

3.3.1 Dampak Terhadap kerusakan ekosistem dan lingkungan laut.


Pada 1980, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang mendorong
pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kala itu, pemerintah menerbitkan
Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawls (Pukat
Harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali; guna menjaga kesehatan habitat serta
produktivitas penangkapan nelayan tradisional. Dalam dua dekade terakhir, alat
penangkapan ikan jenis trawls terutama jenis cantrang telah berkembang pesat dalam
bentuk serta nama yang beragam, dan semuanya mengacu pada sifat
penangkapannya yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan cantrang dengan
mengeruk dasar perairan merusak habitat serta penggunaan mata jaring yang kecil
juga menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis biota yang masih anakan atau belum
matang. Aturan Kementrian Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, yang
melaran penggunaan kapal cantrang memberi dampak di sejumlah aspek usaha laut.
Di daerah Jawa Tengah, penggunaan cantrang sebanyak 3.209 unit di 2004,
meningkat menjadi 5.100 unit di tahun 2007, dan sekarang diperkirakan lebih dari
10.000 unit. Permen KP No. 2/2011 disebutkan penggunaan alat cantrang
diperbolehkan, asalkan digunakan pada kapal nelayan berbobot di bawah 30 Gross
Ton (GT). Lalu wilayah penggunaan cantrang adalah di bawah 12 mil laut dan di
wilayah tangkap masing-masing daerah. Kenyataan yang ada di lapangan wilayah
penggunaan cantrang lebih dari 12 mil laut dan kapal nelayan berbobot di atas 30
Gross Ton (GT) bahkan 100GT ke atas.Penggunaan alat tangkap cantrang sebenarnya
telah dilarang di tahun 1980-an. Meski begitu cantrang tetap digunakan karena tidak
ada aturan turunan Undang-undang.
Bagi nelayan yang menggunakan cantrang, tidak boleh melewati daerah nelayan
lain. Jumlah kapal ikan dengan alat tangkap yang dilarang sesuai peraturan tersebut
sebanyak 10.758 unit. Jumlah itu mencakup (41,25%) dari jumlah kapal perikanan di
Jawa Tengah). Produksi tangkapan tercatat dari jumlah kapal tersebut adalah
sebanyak 60.396,1 ton (27,26%) dari produksi perikanan tangkap tahun 2014 dan
jumlah Anak Buah Kapal (ABK) 120.966 orang nelayan (79,52%). Pengolah dan
11
pemasar hasil perikanan yang terkait dengan produksi kapal dengan alat tangkap yang
dilarang sesuai dengan peraturan tersebut, meliputi 6.808 Unit Pengolah Ikan (UPI)
skala UMKM dengan jumlah tenaga kerja 107.918 orang. UPI skala ekspor sebanyak
30 UPI dengan tenaga kerja 5.203 orang, dan 18.401 unit pemasar hasil perikanan.
Ketiga, total tenaga kerja yang terdampak sebanyak 252.488 orang. Menurut Ganjar
Pranowo (2017), volume ekspor hasil perikanan yang terdampak akibat pelarangan itu
akan mencapai sebear 29.808 ton dengan nilai mencapai US$333.140.262. Karena
itulah, Gubernur Ganjar meminta Menteri KKP, untuk melakukan beberapa tindakan
agar kesejahteraan nelayan di wilayah Jateng tidak terdampak hebat akibat
pemberlakukan Permen KP tersebut. Dalam melakukan usaha penangkap ikan dari
tiga kelompok nelayan tersebut digunakan sekitar 15 s/d 25 jenis alat penangkap yang
dapat dibagi dalam empat kelompok sebagai berikut.
a. Pukat Payang termasuk lampara, Pukat pantai, Pukat cincin
b. Jaring Jaring insang hanyut, Jaring insang lingkar, Jaring klitik, Jaring
Trammel
c. Jaring Angkat Bagan Perahu, Bagan Tancap, Bagan Rakit, Serok,
Bondong dan banrong
d. Pancing Rawi tuna, Rawai hanyut selain, Rawai tetap, Huhate, Pancing
tonda, Pancing tangan-hand.

Dampak kerusakan ekosistem juga berdampak pada terumbu karang. Terumbu


karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan tinggi keanekaragaman
hayatinya. Produktivitas primer yang tinggi dan kompleksnya habitat yang terdapat di
ekosistem terumbu karang memungkinkan daerah ini berperan sebagai tempat
pemijahan, tempat pengasuhan dan tempat mencari makan berbagai spesies ikan dan
biota laut lainya terutama bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, secara otomatis produksi sekunder (ikan dan biota laut lain) di daerah
terumbu karang juga sangat tinggi. Dengan kata lain terumbu karang sebagai
Spawning Ground dan Nursery Ground.

3.3.2 Dampak Terhadap sosial economi nelayan.


Dampak Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 sebagaimana diganti
dengan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 berpotensi memengaruhi kesejahteraan
masyarakat nelayan. Ikhtisar Laporan Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017,
menjelaskan bahwa penangkapan ikan yang menggunakan alat penangkap ikan (API)

12
pukat hela dan pukat tarik, khususnya cantrang mempunyai mata rantai ekonomi yang
panjang. Dalam dokumen IHPS II 2017 diungkap bahwa adanya Permen KP Nomor 2
Tahun 2015 telah memberikan ancaman kredit macet dan terganggunya ekonomi
sektor perikanan di daerah dominan cantrang. Dampak pelarangan API cantrang di
Provinsi Jawa Tengah antara lain meliputi dampak ekonomi dan dampak sosial, yaitu
hilangnya pendapatan dari usaha secara keseluruhan dan hilangnya mata pencaharian
yang menyokong kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, adanya potensi penolakan
kembali terhadap pelarangan API cantrang melalui kegiatan demonstrasi baik di daerah
maupun di pusat maupun potensi menurunnya pendapatan nelayan akibat hasil
tangkapan dengan alat pengganti tidak seproduktif cantrang.
Dampak sosial pelarangan alat tangkap cantrang memang akan berdampak besar
terhadap banyak nelayan. Distribusi spasial alat tangkap cantrang telah menyebar di
hampir seluruh laut Jawa, yang terkonsentrasi di Selatan Belitung dan Selatan
Kalimantan sampai Selat Makasar (Atmaja dan Nugroho, 2012). Menurut data
Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan tangkap di laut menurut alat
tangkap Pukat Tarik pada tahun 2014 mencapai 690,629 ton. Berdasarkan hal
tersebut, jika alat tangkap cantrang dilarang maka akan berdampak tidak hanya secara
sosial, tapi juga ekonomi. Selain itu, juga adanya potensi kehilangan jaringan kerja dan
keuangan antara pemilik dan penyedia kebutuhan kapal. Hal ini terjadi karena Menteri
Kelautan dan Perikanan dalam mengeluarkan kebijakan Permen KP Nomor 2 Tahun
2015 sebagaimana diganti dengan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tidak didukung
perencanaan yang memadai. Dari aspek ekonomi hasil tangkapan berkualitas rendah
dan biaya operasi tinggi, aspek sosial berpotensi menimbulkan konflik antar nelayan
dan antar alat tangkap. Namun, BPK tidak sependapat, karena KKP tidak menilai
dampak pelarangan API terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan dan sektor
perikanan lainnya.

3.3.3 Dampak Terhadap Kelestarian Sumberdaya Ikan


Penangkapan memiliki pendekatan tersendiri dalam pengelolaannya agar
dimasa depan masih tersedia ikan di laut. Pendekatan yang dilakukan yaitu
pendekatan kedaulatan, keberlanjutan dan kemakmuran. Menteri Kelautan dan
Perikanan saat ini memilih untuk menggunakan pendekatan keberlanjutan.
Keberlanjutan disini diartikan sebagai dampakl pengelolaan dimasa kini akan
mempengaruhi masa depan. Sifat sumberdaya ikan yang ada di laut adalah renewable
(terbarukan), tetapi jika pemanfaatan ikan saat ini berlebihan maka generasi masa
depan tidak akan dapat menikmati sumberdaya alam. Kementerian Kelautan dan

13
Perikanan (KKP) memberlakukan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik
(seinen net). Cantrang sendiri masuk kedalam kategori tersebut, sehingga
penggunaannya kemudian dilarang oleh pemerintah. Sebelumnya penggunaan
cantrang masih diperbolehkan hingga 1 Januari 2017 dan setelah itu sudah dilarang.
Alasan pelarangan alat tangkap tersebut adalah potensi rusaknya ekosistem
akibat pemakaian cantrang. Cantrang termasuk kedalam alat tangkap yang non
selective yakni menangkap semua ikan tanpa adanya seleksi. Ikan-ikan kecil yang
seharusnya tumbuh menjadi dewasa kemudian bertelur kembali malah tertangkap
jaring cantrang sehingga populasi ikan semakin menurun karena tidak memiliki
kesempatan untuk beregenerasi.
Dampak cantrang dalam aspek biologi dan ekologi memang menimbulkan
degradasi sumber daya ikan (SDI), pengoperasian alat penangkapan ikan berbentuk
kantong dengan ukuran mata jaring kecil berpotensi ikan anakan (juvenile) dari spesies
bernilai ekonomis tinggi maupun ikan yang mempunyai nilai penting bagi lingkungan
dan berpotensi merusak lingkungan. Menurut Djumanto (Dosen Departemen Perikanan
UGM), dari sisi akademis, ikan yang ditangkap memiliki batasan sendiri yang bertujuan
untuk mempertahankan populasi mereka. Cantrang dapat dioperasikan misalnya
dengan syarat-syarat tertentu ataupun pembatasan jumlah penangkapan tiap kapal
atau tiap wilayah perikanan. Penerapan kebijakan pelarangan cantrang dianggap
sebagai solusi paling baik oleh pemerintah untuk menjaga kelestarian alam, namun
realita yang ada dimasyarakat khususnya nelayan tidak selaras dengan tujuan itu.
Nelayan yang notabene telah bertahun-tahun menggunakan cantrang sebagai senjata
pamungkas belum siap untuk sepenuhnya beralih menggunakan alat lain. Banyak
pekerjaan rumah yang harus dirampungkan pemerintah sehingga kebijakan yang
diambil tidak saling merugikan. Jika kebijakan itu tidak selaras dengan realita yang ada,
baiklah rakyat meninta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.

3.4 Analisa RIA terhadap Larangan Penggunaan Alat Pengkap Cantrang


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik
(Seine Nets) menegaskan pentingnya perhatian atas daya dukung dan kelestarian
sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia. Hal itu sejalan dengan dengan UU No 31 Tahun Tahun
2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dalam Pasal 9
Ayat (1) UU tersebut disebutkan: “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai,
membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di
kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia“.

14
Sanksi atas tindak pidana perikanan terkait penggunaan alat tangkap trawl ini diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 100B. Pasal tersebut menyatakan: “Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dilakukan oleh nelayan kecil
dan/atau pembudidaya ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)“.
Penggunaan cantrang dapat menyebabkan rusaknya dasar lautan dan
ekosistem lautan. Hasil tangkapan cantrang tidak selektif dengan komposisi hasil
tangkapan yang menangkap semua ukuran biota laut, sehingga akan mengganggu
proses recruitment dan mengancam keberlanjutan sumberdaya. Selain itu juga
penggunaan Cantrang akan terus menimbulkan konflik horizontal dengan nelayan yang
tidak menggunakan Cantrang. Kebijakan pelarangan cantrang sudah dilakukan selama
bertahun-tahun dan melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
teruji. Tahun 1980 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980
yang menginstruksikan untuk melarang penggunaan jaring Trawl. Tahun 1997
Cantrang diperbolehkan untuk nelayan kecil dengan ukuran kapal maksimal 5 GT dan
mesin maksimal 15 PK. Dalam perkembangan fakta lapangan banyak alat tangkap
yang dimodifikasi, sehingga alat penangkapan ikan (API) harus mengacu kepada salah
satu kelompok jenis API. Selain itu juga fakta dilapangan menunjukan bahwa kapal-
kapal Cantrang banyak yang melakukan Markdown, kapal cantrang dengan ukuran 85
GT. Akibatnya tahun 2015 negara mengalami kerugian yang mencapai 10,44 T.
Kerugia tersebut bersumber dari 3 komponen utama, yaitu kehilangan PNBP sebesar
328,41 M, penyalahgunaan BBM bersubsidi untuk kapal nelayan sebesar 280,09 M dan
deplesi sumberdaya ikan sebesar 9,83 Triliun. Tahun 2015 API cantrang dilarang
dioperasikan di seluruh WPP-NRI. Masa tenggang untuk pengalihan ke alat tangkap
lainnya diberikan sampai Juli 2017
Sosialisasi kebijakan pelarangan Cantrang sudah dilakukan sejak tahun 2009
kepada perwakilan Nelayan Kabupaten Rembang, Pati, Batang dan Kota Tegal.
Sosialisasi dilanjutkan pada tahun 2013, 2015, 2016 dan 2017. Berdasarkan usulan
penggantian Cantrang tahun 2017 terlihat bahwa Cantrang beroperasi di 8 provinsi,
yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, JAwa Timur, Kalimantan Utara, Lampung, Kalimantan
Barat, Jambi dan Sumatera Utara. Alat tangkap ramah lingkungan yang dapat dijadikan
sebagai pengganti cantrang adalah Gillnet, bubu lipat untuk ikan dan rajungan, trammel
net, rawai dasar dan Handline. Untuk kapal dibawah 10 GT, pemerintah mengganti
semuanya dengan alat tangkap ramah lingkungan. Untuk kapal 10-30 GT, pemerintah
membantu fasilitas permodalan dari bank. Sedangkan untuk kapal di atas 30 GT,
pemerintah menyediakan WPP (Wilayah Pengelolaan Penangkapan) di Timur dan
Barat yaitu Laut Arafura dan Natuna, yang dulunya dikuasai asing secara ilegal. Kini
kedua wilayah tersebut sudah bebas dari kapal-kapal illegal, karena sejak awal Kabinet
Kerja, Menteri Kelautan dan Perikanan secara tegas dan konsisten memberantas
15
praktek-praktek kejahatan perikanan (IUUF). Pasca tidak adanya kapal-kapal illegal
tersebut, Perairan Laut Arafura dan Natuna menjadi sangat potensial untuk
dimanfaatkan oleh para pemilik kapal eks Cantrang. Saat ini sudah banyak kapal-kapal
eks Cantrang yang telah beralih alat tangkap dan beroperasi di laut Arafura. Pada
2015, tercatat sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Idnonesia. Kemudian di awal
2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.367 unit. Pelarangan
penggunaan alat tangkap cantrang, sedianya mulai diberlakukan pada Juli 2017.
Namun, ditunda hingga akhir 2017, sebagai upaya pendampingan nelayan beralih alat
tangkap yang ramah lingkungan.
Dalam penerapan kebijakan RIA diperlukan panduan agar dapat menjadi
pedoman bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Dengan adanya buku panduan
tersebut, berbagai pihak dapat mengenal lebih jauh metode RIA. Meskipun demikian,
hingga saat ini secara kelembagaan metode RIA belum diterapkan di lingkungan
Kementerian PPN/Bappenas. Di kementerian/lembaga lain juga demikian, penggunaan
metode RIA baru sebatas uji coba yang tidak berkelanjutan. Regulatory Impact
Analysis (RIA) menurut Bappenas merupakan proses analisis dan pengkomunikasian
secara sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan baru maupun kebijakan yang
sudah ada. Butir penting dari definisi ini yaitu:
a. Metode RIA mencakup kegiatan analisis dan pengkomunikasian.
b. Obyek metode RIA adalah kebijakan, baik berbentuk peraturan ataupun
nonperaturan.
c. Metode RIA dapat diterapkan untuk kebijakan baru maupun untuk
kebijakan yang sudah ada, bersama dengan beberapa kementerian/lembaga
lain.

4. PENUTUP

4.1 Simpulan

Dari analisis kebijakan pelarangan penggunaan alan penangkap ikan trawl jenis
cantrang dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Penggunaan alat penangkap ikan trawl jenis cantrang memiiki dampak


terhadap kerusakan lungkungan dan ekosistem, termsuk terumbu karang.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan tinggi
keanekaragaman hayatinya. Produktivitas primer yang tinggi dan kompleksnya
habitat yang terdapat di ekosistem terumbu karang memungkinkan daerah ini
berperan sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tempat mencari
makan berbagai spesies ikan dan biota laut lainya terutama bagi sejumlah
spesies yang memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, secara otomatis
produksi sekunder (ikan dan biota laut lain) di daerah terumbu karang juga
16
sangat tinggi. Dengan kata lain terumbu karang sebagai Spawning Ground dan
Nursery Ground..
b. Dampak sosial pelarangan alat tangkap cantrang akan berdampak besar
terhadap banyak nelayan. Distribusi spasial alat tangkap cantrang telah
menyebar di hampir seluruh laut Jawa, yang terkonsentrasi di Selatan Belitung
dan Selatan Kalimantan sampai Selat Makasar. Menurut data Kementerian
Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan tangkap di laut menurut alat
tangkap Pukat Tarik pada tahun 2014 mencapai 690,629 ton. Berdasarkan hal
tersebut, jika alat tangkap cantrang dilarang, maka akan berdampak tidak hanya
secara sosial, tapi juga ekonomi.
c. Dalam aspek biologi dan ekologi penggunaan API jenis cantrang
menimbulkan degradasi sumber daya ikan (SDI), pengoperasian alat
penangkapan ikan berbentuk kantong dengan ukuran mata jaring kecil
berpotensi ikan anakan (juvenile) dari spesies bernilai ekonomis tinggi maupun
ikan yang mempunyai nilai penting bagi lingkungan dan berpotensi merusak
lingkungan. Dari sisi akademis, ikan yang ditangkap memiliki batasan sendiri
yang bertujuan untuk mempertahankan populasi mereka.
d. Penerapan kebijakan pelarangan cantrang dianggap sebagai solusi paling
baik oleh pemerintah untuk menjaga kelestarian alam, namun realita yang ada
dimasyarakat khususnya nelayan tidak selaras dengan tujuan itu. Nelayan yang
notabene telah bertahun-tahun menggunakan cantrang belum siap untuk
sepenuhnya beralih menggunakan alat lain. Dengan demikian diperlukan analisa
kebijakan yanbg tepat dalam penggunaan alat penangkap ikan.

4.1 Saran

Dengan adanya dampak negative terhadap kebijakan pelarangan penggunaan


alan penangkap ikan trawl jenis cantrang dapat dapat disaranan sebagai berikut:
a. Pemerintah harus menyosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan
penggunaan alat tangkap ramah lingkungan; juga menyiapkan skema
pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan
melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan; dan
menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi
proses penerbitan izin baru.
b. Pemerintah harus bekerja sama dengan organisasi nelayan dan institusi
penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis
masyarakat. Selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan
skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi
terdampak.
c. Pemerintah harus memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi
nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah

17
pengelolaan nelayan tradisional dalam rencana zonasi di setiap provinsi dan
kabupaten/kota pesisir; dan memastikan pada masa transisi agar semua pihak
dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan kriminalisasi.
d. Meninjau kembali Peraturan Menteri Nomor 2/PERMEN-KP/2015 dengan
tetap memberikan perizinan bagi kapal perikanan di bawah 30 GT sesuai
kewenangan provinsi.
e. Meminta kepada pemerintah pusat untuk melakukan beberapa hal seperti
menganggarkan penggantian alat penangkapan ikan yang dilarang dan
pelatihan penggunaan alat penangkapan pengganti.
f. Pemerintah pusat juga dituntut menyediakan lapangan pekerjaan
alternatif bagi yang terdampak, dan membuka kemudahan impor ikan sebagai
bahan baku industri pengolahan hasil perikanan.

Daftar Pustaka

Bambang, N. 2006. Petunjuk Pembuatan dan Pengoperasian Cantrang dan Rawai


Dasar Pantai Utara Jawa Tengah. Balai Besar Pengembangan Penangkapan
Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Semarang
Erwan dkk,2012, Implementasi Kebijakan Publik, Gava Media, Yogyakarta
Himawan Arif Sutanto, 2005, Perikanan Gillnet Dan Cantrang (Studi Di Kabupaten
Pemalang Jawa Tengah), Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys. Gava
Media: Yogyakarta
Inu Kencana Syafie, 2006, Ilmu Administrasi Publik, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
M. Faizal Reza Pahlefi, 2017, Implementasi Kebijakan Pelarangan Alat Tangkap
Cantrang Di Kabupaten Rembang, Departemen Administrasi Publik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro
Nur Khamidah, 2016, Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Cantrang Desa Asemdoyong
Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang Terhadap Pelarangan Cantrang
Sebagai Alat Penangkap Ikan, Jurusan Politik Dan Kewarganegaraan Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Siti Hajar Suryawati, 2016, Dampak Ekonomi Pemberlakuan Peraturan Menteri
Kelautan Dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 Terhadap Aktivitas Usaha Nelayan
Cantrang Di Kota Probolinggo, Jawa Timur, Buletin Ilmiah “MARINA” Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2 No. 2 Tahun 2016
Wing Wahyu Winarno, 2011, Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews,
Edisi Ketiga. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan (UPP STIM YKPN)
Peraturan menteri kelautan dan perikanan republik Indonesia nomor 2/permenkp/ 2015
tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan
pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.

18
Sumber Internet.

http://www.koransindo.com/read/970395/151/cantrang-takkan-lari-ikan-kutangkap-
1425182873.
http://www.radarpekalonganonline.com/60013/nelayan-batang-tolakpermen-kelautan-
dan-perikanan-no-2-tahun-2015/.
http://www.koransindo.com/read/973835/149/cantrangdilarang-nelayan-meradang-
1425868493.
http://www.jitunews.com/read/9696/gara-gara-cantrang-dilarang-kapalbanyak-yang-
curang#ixzz3XKpCPKnk #Jitu #InfoJitu #CaraJitu #TipsJitu

19

Anda mungkin juga menyukai