Keadaan ekonomi Indonesia pada akhir kekuasaan Jepang dan pada awal berdirinya Republik
Indonesia sangat kacau dan sulit. Latar belakang keadaan yang kacau tersebut disebabkan karena :
• Indonesia yang baru saja merdeka belum memiliki pemerintahan yang baik, dimana belum ada
pejabat khusus yang bertugas untuk menangani perekonomian Indonesia.
• Sebagai negara baru Indonesia belum mempunyai pola dan cara untuk mengatur ekonomi
keuangan yang mantap.
• Tingalan pemerintah pendudukan Jepang dimana ekonomi saat pendudukan Jepang memang
sudah buruk akibat pengeluaran pembiayaan perang Jepang. Membuat pemerintah baru Indonesia
agak sulit untuk bangkit dari keterpurukan.
• Kondisi keamanan dalam negeri sendiri tidak stabil akibat sering terjadinya pergantian kabinet,
dimana hal tersebut mendukung ketidakstabilan ekonomi.
• Politik keuangan yang berlaku di Indonesia dibuat di negara Belanda guna menekan pertumbuhan
ekonomi Indonesia bahkan untuk menghancurkan ekonomi nasional.
• Belanda masih tetap tidak mau mengakui kemerdeaan Indonesia dan masih terus melakukan
pergolakan politik yang menghambat langkah kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi.
Faktor- faktor penyebab kacaunya perekonomian Indonesia 1945-1950 adalah sebagai berikut .
1. Terjadi Inflasi yang sangat tinggi
Inflasi tersebut dapat terjadi disebabakan karena :
• Beredarnya mata uang Jepang di masyarakat dalam jumlah yang tak terkendali (pada bulan
Agustus 1945 mencapai 1,6 Milyar yang beredar di Jawa sedangkan secara umum uang yang beredar
di masyarakat mencapai 4 milyar).
• Beredarnya mata uang cadangan yang dikeluarkan oleh pasukan Sekutu dari bank-bank yang
berhasil dikuasainya untuk biaya operasi dan gaji pegawai yanh jumlahnya mencapai 2,3 milyar.
• Repubik Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri sehingga pemerintah tidak dapat
menyatakan bahwa mata uang pendudukan Jepang tidak berlaku.
Inflasi terjadi karena di satu sisi tidak terkendalinya peredaran uang yang dikeluarkan pemerintah
Jepang di sisi lain ketersediaan barang menipis bahkan langka di beberapa daerah. Kelangkaan ini
terjadi akibat adanya blokade ekonomi oleh Belanda. Uang Jepang yang beredarsangat tinggi
sedangkan kemampuan ekonomi untuk menyerap uang tersebut masih sanat rendah.
Karena inflasi ini kelompok yang paling menderita adalah para petani sebab pada masa pendudukan
Jepang petani merupakan produsen yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang. Hasil
pertanian mereka tidak dapat dijual, sementara nilai tukar mata uang yang mereka miliki sangat
rendah.
Pemerintah Indonesia yang baru saja berdiri tidak mampu mengendalikan dan menghentikan
peredaran mata uang Jepang tersebut sebab Indonesia belum memiliki mata uang baru sebagai
penggantinya. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk sementara waktu menyatakan ada 3 mata
uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu:
o Mata uang De Javasche Bank
o Mata uang pemerintah Hindia Belanda
o Mata uang pendudukan Jepang
Keadaan tersebut diperparah dengan diberlakukannya uang NICA di daerah yang diduduki sekutu
pada tanggal 6 Maret 1946 oleh Panglima AFNEI yang baru (Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford).
Uang NICA ini dimaksudkan untuk menggantikan uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun saat
itu. Upaya sekutu tersebut merupakan salah satu bentuk pelangaran kesepakatan yaitu bahwa
selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, maka tidak ada mata uang baru.
Karena tindakan sekutu tersebut maka pemerintah Indonesiapun mengeluarkan uang kertas baru
yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI)sebagai pengganti uang Jepang.
Blokade oleh Belanda ini dilakukan dengan menutup (memblokir) pintu keluar-masuk perdagangan
RI terutama melalui jalur laut dan pelabuhan-pelabuhan penting. Blokade ini dilakukan mulai bulan
November 1945. Adapun alasan dari pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah :
Mencegah masuknya senjata dan peralatan militer ke Indonesia.
Mencegah kelurnya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya.
Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bangsa lain.
Dengan adanya blokade tersebut menyebabakan:
• Barang-barang ekspor RI terlambat terkirim.
• Barang-barang dagangan milik Indonesia tidak dapat di ekspor bahkan banyak barang-barang
ekspor Indonesia yang dibumi hanguskan.
• Indonesia kekurangan barang-barang import yang sangat dibutuhkan.
• Inflasi semakin tak terkendali sehingga rakyat menjadi gelisah.
Kas Negara mengalami kekosongan karena pajak dan bea masuk lainnya belum ada sementara
pengeluaran negara semakin bertambah. Penghasilan pemerintah hanya bergantung kepada
produksi pertanian. Karena dukungan dari bidang pertanian inilah pemerintah Indonesia masih
bertahan, sekalipun keadaan ekonomi sangat buruk.
Upaya pemerintah untuk keluar dari masalah blokade tersebut adalah sebagai berikut.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi ekonominya mulai dilakukan sejak
Februari 1946, adalah sebagai berikut.
1) Konferensi Ekonomi Februari 1946
Konferensi ini dihadiri oleh para cendekiawan, gubernur, dan pejabat lainnya yang
bertanggungjawab langsung mengenai masalah ekonomi di Jawa, yang dipimpin oleh Menteri
Kemakmuran (Darmawan Mangunkusumo). Tujuan Konferensi ini adalah untuk memperoleh
kesepakatan dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, seperti :
a. Masalah produksi dan distribusi makanan
Tercapai kesepakatan bahwa sistem autarki lokal sebagai kelanjutan dari sistem ekonomi perang
Jepang, secara berangsur-angsur akan dihapukan dan diganti dengan sistem desentralisasi.
b. Masalah sandang
Disepakati bahwa Badan Pengawasan Makanan Rakyat diganti dengan Badan Persediaan dan
Pembagian Makanan (BPPM) yang bertujuan untuk mengatasi kesengsaraan rakyat Indonesia. Badan
ini dipimpin oleh Sudarsono dibawah pengawasan Kementrian Kemakmuran. BPPM dapat dianggap
sebagai awal dari terbentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog). Sementara itu tujuan dibentuk Bulog
(Februari 1946) untuk melarang pengiriman bahan makanan antar karisidenan
c. Status dan Administrasi perkebunan-perkebunan
Keputusannya adalah semua perkebunan dikuasai oleh negara dengan sistem sentralisasi di bawah
kementrian Kemakmuran. Sehingga diharapkan pendapatan negara dapat bertambah secara
signifikan dengan nasionalisasi pabrik gula dan perkebunan tebu.
Konferensi kedua di Solo, 6 Mei 1946 membahas mengenai masalah program ekonomi pemerintah,
masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi, dan alokasi tenaga manusia. Wapres Moh.
Hatta mengusulkan mengenai rehabilitasi pabrik gula, dimana gula merupakan bahan ekspor penting
sehingga harus dikuasai oleh negara. Untuk merealisasikan keinginan tersebut maka pada 6 Juni
1946 dibentuk Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).
2) Pinjaman Nasional
Program ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan (Surachman) dengan persetujuan BP-KNIP. Untuk
mendukung program tersebut maka dibuat Bank Tabungan Pos, bank ini berguna untuk penyaluran
pinjaman nasional untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pemerintahan.
Selain itu, pemerintah juga menunjuk rumah gadai untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat
dengan jangka waktu pengembalian selama 40 tahun. Tujuannya untuk mengumpulkan dana
masyarakat bagi kepentingan perjuangan, sekaligus untuk menanamkan kepercayaan rakyat pada
pemerintah RI.
Rakyat dapat meminjam jika rakyat mau menyetor uang ke Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah
pegadaian. Usaha ini mendapat respon yang besar dari rakyat terbukti dengan besar pinjaman yang
ditawarkan pada bulan Juli 1946 sebesar Rp. 1.000.000.000,00 , pada tahun pertama berhasil
dikumpulkan uang sejumlah Rp. 500.000.000,00. Kesuksesan yang dicapai menunjukkan besarnya
dukungan dan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah RI.
C. PARTAI POLITIK
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi
yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide,
pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan
adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
o Sarana komunikasi politik;
o Sosialisasi politik;
o Sarana rekruitmen politik;
o Pengatur konflik. [12]
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya
mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan
diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana
komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis
yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara.
Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai
kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat
kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan
secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai
politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan
digunakan dalam suatu pemerintahan.[13] Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar
adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih
dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai
dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan
penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan
imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
Pemerintahan Negara yang demokratis;
Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-
norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama
yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional
yang ada, yaitu:
Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan
fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan
nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut
ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta
demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses
pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain:
pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua,
kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk
melaksanakan hak-hak asasi warga negara. [14]
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang
yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling
bergantungan dan mengisi.
1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan
hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16
Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum
1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga
terdapat peserta perorangan.[15]
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan
penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur
tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.[16] Kemudian pada tanggal 14 April
1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti
bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12
Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor." [17]
1. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi, yaitu pertanian
dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
2. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan
dalam KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun Rupiah dan
utang dalam negeri sejumlah 2,8 rriliun Rupiah.
3. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 miliar
rupiah.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan
dirancang oleh Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem
ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki
tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Dari masalah-masalah tersebut masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah
antara lain adalah mengurangi jumlah uang yang beradar di masyarakat dan mengatasi
kenaikan biaya hidup. Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah
pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.