Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal
(Ruiz JW, 2009).
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
1. Lateral – muskulus konstriktor faring superior
2. Anterior – muskulus palatoglosus
3. Posterior – muskulus palatofaringeus
4. Superior – palatum mole
5. Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007)
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat
retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal (Anggraini D, 2001).
b. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008).
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring
terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
2. Definisi
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun
bilateral. Tonsilektomi adalah mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan. (Kamus
Kedokteran, 2014).
Tonsilektomi adalah pengangkatan tonsil dan struktur adenoid, bagian jaringan
limfoid yang mengelilingi faring melalui pembedahan (Nettina, 2016)
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (Latief, 2017).
3. Etiologi
Menurut Firman S (2016), penyebabnya adalah infeksi bakteri streptococcus
atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme
lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri
maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis. Menurut
Mansjoer (2011) etiologi tonslitis adalah :
4. Manisfestasi klinis
Tanda dan gejala tonsilofaringitis akut adalah :
a. Nyeri tenggorok dan nyei telan
b. Sulit menelan
c. Demam
d. Mual
e. Kelenjar limfa leher membengkak
f. Faring hiperemis
g. Edema faring
h. Pembesaran tonsil
i. Tonsil hyperemia
j. Otalgia ( sakit di telinga )
k. Malaise
5. Patofisiologi
Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas
akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem
limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya
proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar
masuknya udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring
serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan
timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau mulut serta otalgia.
Penyebaran limfogen
Proses inflamasi
a) Laringospasme
b) Gelisah pasca operasi
c) Mual muntah
d) Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
e) Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung
c. Hipersensitif terhadap obat anestesi
d. Komplikasi bedah
1) Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah.
Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100
pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama
dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage”
dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama
operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan
refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas sehingga
terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan
syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding
atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah.
Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum
dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan
yang keras.
2) Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok muncul pada
hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter menimbulkan
nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri
pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami
nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang
meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di
rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
3) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
8. Penatalaksanaan
Metode Tonsilektomi yaitu :
a. Guillotine Tonsilektomi/Sluder.
Biasanya dilakukan pada jaringan tonsil yang diduga hubungannya dengan
jaringan sekitarnya masih longgar, misal pada anak. Dengan metode ini operasi lebih
cepat dan jaringan tonsil dapat diangkat seluruhnya dengan menimbulkan manipulasi
yang tidak begitu banyak. Perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibanding dengan
metode Diseksi.
b. Diseksi Tonsilektomi
Pada Diseksi jaringan tonsil dipisahkan dari daerah sekitarnya satu per satu.
Tonsilektomi secara Diseksi ini umumnya dilakukan pada penderita dengan dugaan
jaringan tonsil sudah mengadakan perlengketan dengan jaringan sekitarnya sehingga
kalau dilaksanakan metode Guillotine, maka jaringan tonsil tidak akan dapat
diangkat sebersih mungkin.
c. Pengobatan yang diberikan setelah tonsilektomy.
1) Diberikan cairan IV selama 24 jam untuk menghindari dehidrasi.
2) Diberikan 1,5 mg Kodein Fosfat/Kg BB setiap 3 jam untuk mengatasi nyeri.
d. Perawatan pasca tonsilektomi
a. Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal.
b. Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur.
c. Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah yang
terkumpul di faring dan.
d. Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok. Bila
diduga ada perdarahan, periksa fosa tonsil. Bekuan darah di fosa tonsil diangkat,
karena tindakan ini dapat menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan
berhenti spontan. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan penekanan
dengan tampon yang mengandung adrenalin 1:1000. Selanjutnya bila masih
gagal dapat dicoba dengan pemberian hemostatik topikal di fosa tonsil dan
hemostatik parenteral dapat diberikan. Bila dengan cara di atas perdarahan
belum berhasil dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi dan dilakukan
perawatan perdarahan seperti saat operasi.Mengenai hubungan perdarahan
primer dengan cara operasi, laporan di berbagai kepustakaan menunjukkan hasil
yang berbeda-beda, tetapi umumnya perdarahan primer lebih sering dijumpai
pada cara guillotine. Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan anestesi
segera pasca bedah umumnya dikaitkan dengan perawatan terhadap jalan napas.
Lendir, bekuan darah atau kadang-kadang tampon yang tertinggal dapat
menyebabkan asfiksi.
2. Konsep Keperawatan
A. Pengkajian
Pengakajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
utnuk mengumpulkan data atau informasi tentang klien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenai masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan (Nasrul Effendi, 2015).
1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal MRS,
diagnosa medis dan nomor register.
2. Riwayat Keperawatan
a. Alasan dirawat
b. Keluhan Utama
sakit tenggorokan, nyeri telan, demam dll
c. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan klien, hal yang dilakukan untuk mengurangi keluhan.
Daerah yang terserang baik atas atau bawah sehingga klien pergi kerumah
sakit serta hal atau tindakan yang dilakukan saat klien dirumah sakit.
Serangan, karakteristik, insiden, perkembangan, efek terapi dll
DAFTAR PUSTAKA
Boies, Lawrence R., et al. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2011
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2014.
LAPORAN PENDAHULUAN
TONSILECTOMY DENGAN GENERAL ANASTESI
Oleh :
113063J118006
BANJARMASIN
2019