BAB II Tinjauan Pustaka PDF
BAB II Tinjauan Pustaka PDF
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu cara pengolahan melalui proses
memanfaatkan penguraian senyawa dari bahan-bahan protein kompleks. Protein
kompleks tersebut terdapat dalam tubuh ikan yang diubah menjadi senyawa-
senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim yang berasal dari tubuh ikan atau
mikroorganisme serta berlangsung dalam keadaan yang terkontrol
(Adawyah 2007). Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu
proses oksidasi anaerobik atau partial anaerobik karbohidrat yang menghasilkan
alkohol serta beberapa asam, namun banyak proses fermentasi yang menggunakan
substrat protein dan lemak (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).
Fermentasi terbagi menjadi dua, yaitu fermentasi spontan dan tidak
spontan (membutuhkan starter). Fermentasi spontan adalah fermentasi yang biasa
dilakukan menggunakan media penyeleksi, seperti garam, asam organik, asam
mineral, nasi atau pati. Media penyeleksi tersebut akan menyeleksi bakteri
patogen dan menjadi media yang baik bagi tumbuh kembang bakteri selektif yang
membantu jalannya fermentasi. Fermentasi tidak spontan adalah fermentasi yang
dilakukan dengan penambahan kultur organisme bersama media penyeleksi
sehingga proses fermentasi dapat berlangsung lebih cepat (Rahayu et al. 1992).
Hasil fermentasi diperoleh sebagai akibat metabolisme mikroba-mikroba
pada suatu bahan pangan dalam keadaan anaerob. Mikroba yang melakukan
fermentasi membutuhkan energi yang umumnya diperoleh dari glukosa. Dalam
keadaan aerob, mikroba mengubah glukosa menjadi air, CO 2 dan energi (ATP).
Beberapa mikroba hanya dapat melangsungkan metabolisme dalam keadaan
anaerob dan hasilnya adalah substrat yang setengah terurai. Hasil penguraiannya
adalah air, CO2, energi dan sejumlah asam organik lainnya, seperti asam laktat,
asam asetat, etanol serta bahan-bahan organik yang mudah menguap.
Perkembangan mikroba-mikroba dalam keadaan anaerob biasanya dicirikan
sebagai proses fermentasi (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).
Fermentasi glukosa pada prinsipnya terdiri dari dua tahap, yaitu
(1) pemecahan rantai karbon dari glukosa dan pelepasan paling sedikit dua pasang
4
2.2 Bekasam
Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara fermentasi yang
rasanya asam. Olahan tersebut banyak dikenal di daerah Jawa Tengah, Sumatera
Selatan dan Kalimantan Selatan. Ikan yang dapat digunakan sebagai bekasam
merupakan jenis ikan air tawar. Pengolahan bekasam di daerah Kalimantan
Selatan umumnya dikenal dengan nama samu. Bahan baku berupa ikan gabus,
betok, sepat siam dan sepat rawa dengan penambahan garam sekitar 15-20%, dan
ditambahkan samu atau beras ginseng sebanyak 15%, kemudian difermentasi
sekitar satu minggu sampai menghasilkan aroma dan rasa yang khas bekasam
(Adawyah 2007).
Produk-produk fermentasi ikan yang menggunakan garam dan bahan yang
berfungsi sebagai sumber karbohidrat banyak terdapat di negara-negara Asia
Tenggara. Burongisda adalah produk sejenis bekasam yang berasal dari Filipina.
Burongisda ini dibuat dari campuran ikan air tawar, nasi, garam dan angkak
(beras merah sebagai pewarna). Proses fermentasi pada pembuatan burongisda
berlangsung sampai daging ikan menjadi lembut serta rasa dan bau asam mulai
berkembang. Bakteri asam laktat yang dominan pada burongisda adalah
Leuconostoc mesenteroides, Pediococcus cereviceae dan Lactobacilus
plantarum (Rahayu et al. 1992).
Pla-ra merupakan produk sejenis bekasam yang berasal dari Thailand
dengan waktu fermentasi selama 6 bulan. Proses pembuatan pla-ra biasanya
menggunakan udang sebagai tambahan bahan baku yang berfungsi sebagai
pembentuk aroma. Produk pla-ra mengandung protein sebesar 11,61-23,32%, pH
sekitar 4,10-6,90 dan asam laktat sebesar 0,17-1,94%. Mikroba yang ditemukan
pada produk ini adalah Pediococcus halophilus, Staphylococcus epidermidis,
Micrococcus sp. dan Bacillus sp. (Rahayu et al. 1992).
Pengolahan bekasam dilakukan dengan menambahkan sumber karbohidrat
dalam kondisi anaerobik. Karbohidrat didekomposisi melalui proses fermentasi
menjadi gula-gula sederhana kemudian dikonversi menjadi alkohol dan asam yang
berperan sebagai pengawet dan memberikan rasa dan bau spesifik pada bekasam
(Irianto 2008). Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi
asam-asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih
6
permukaan membran dirusak oleh asam laktat sehingga substrat antimikroba yang
lain, yaitu diasetil, bakteriosin, hidrogen peroksida dan laktoperidase sistem dapat
berpenetrasi ke dalam membran sitoplasma (Alokomi et al. 2000). Pertumbuhan
bakteri Gram-positif dan negatif berkurang, diindikasikan oleh meningkatnya aksi
bakteriosin. Asam laktat memiliki efek bakterisidal pada pH dibawah 5,
khususnya pada bakteri Gram-negatif (Ray 2004).
Asam asetat digunakan pada jenis makanan berbeda-beda untuk
menghambat pertumbuhan dan mengurangi kelangsungan hidup bakteri Gram-
positif dan negatif, ragi dan kapang. Asam asetat umumnya bakteriostatik pada
0,2% tapi bakterisidal diatas 0,3% dan lebih efektif menghambat bakteri Gram-
negatif (Ray 2004).
2.5.2 Hidrogen peroksida (H2O2)
Beberapa bakteri asam laktat memproduksi H2O2 dibawah kondisi
pertumbuhan aerobik dan, karena kurangnya katalase selular, pseudokatalase, atau
peroksidase, mereka melepas H2O2 ke lingkungan untuk melindungi diri mereka
sendiri dari aksi antibakteri (Ray 2004). Hidrogen peroksida diproduksi oleh
bakteri asam laktat sebagai hasil dari aksi flavoprotein oksidase atau nikotinamida
adenine dinukleotida (NADH) peroksidase. Efek antimikroba dari H2O2 adalah
hasil dari oksidasi grup sulfihidril yang menyebabkan denaturasi sejumlah enzim,
dan dari peroksidase membran lipid meningkatkan permeabilitas membran (Kong
dan Davison 1980 diacu dalam Ammor et al. 2006). Beberapa strain dapat
memproduksi, pada kondisi pertumbuhan yang cocok, H2O2 yang cukup
menyebabkan bakteriostatik (6-8 µg/ml) tapi jarang bersifat bakterisidal (30-40
µg/ml) (Ray 2004). Hidrogen peroksida dapat juga sebagai prekursor untuk
produksi bakterisidal radikal bebas seperti superoksida (O 2-) dan radikal hidroksil
(OH-) yang dapat merusak DNA (Byczkowski dan Gessner 1988 diacu dalam
Ammor et al. 2006).
Hidrogen peroksida merupakan agen pengoksidasi kuat dan dapat menjadi
antimikroba terhadap bakteri, jamur dan virus (juga bakteriofage). Pada kondisi
anaerob, sangat sedikit H2O2 yang dapat dihasilkan dari strain ini. Aksi antibakteri
ini dihasilkan dari sifat pengoksidasi kuat dan kemampuannya untuk merusak
komponen selular, khususnya membran. Karena sifat oksidasinya, maka dapat
12
menyebabkan efek yang tidak diinginkan dalam mutu pangan, seperti diskolorasi
pada daging yang diproses, sehingga penggunaannya terbatas dalam pengawetan
pangan (Ray 2004).
2.5.3 Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida diproduksi terutama oleh BAL heterofermentatif. Karbon
dioksida memainkan peranan penting dalam membuat lingkungan anaerobik
yang menghambat enzimatik dekarboksilase, dan akumulasi CO 2 membran lipid
bilayer dapat menyebabkan disfungsi permeabilitas (Eklund 1984 diacu dalam
Ammor et al. 2006). Karbon dioksida secara efektif dapat menghambat banyak
mikroorganisme perusak makanan, terutama bakteri psikrotropik Gram-negatif
(Farber 1991 diacu dalam Ammor et al. 2006).
2.5.4 Diasetil
Diasetil diproduksi oleh strain dalam semua genera dari BAL oleh
fermentasi sitrat (Ray 2004). Diasetil menghambat pertumbuhan bakteri Gram-
negatif yang bereaksi dengan pemanfaatan arginin (Jay 1986 diacu dalam Ammor
et al. 2006). Antibakteri ini efektif terhadap bakteri Gram-positif dan negatif.
Bakteri Gram-negatif sebagian sensitif pada pH ≤5. Diasetil efektif pada
konsentrasi 0,1-0,25%. Studi terkini menunjukkan bahwa diasetil lebih
bakterisidal bila dikombinasi dengan panas. Aksi antibakteri kemungkinan
diproduksi dengan deaktivasi beberapa enzim penting. Grup karbonil (-CO-CO-)
bereaksi dengan arginin pada enzim dan memodifikasi situs katalitiknya
(Ray 2004).
2.5.5 Bakteriosin
Kata bakteriosin biasanya digunakan pada peptida bioaktif yang
diproduksi oleh banyak strain bakteri dari grup Gram-negatif dan positif.
Bakteriosin yang diproduksi oleh banyak strain bakteri asam laktat dan beberapa
bakteri asam propionat merupakan bagian khusus dalam mikrobiologi pangan
karena efek bakterisidalnya biasanya untuk membedakan kerusakan akibat bakteri
Gram-positif dan patogen, dan pada kondisi stress bakteri Gram-negatif yang
penting dalam pangan (Ray 2004).
Kondisi optimum produksi bakteriosin dipengaruhi oleh fase
pertumbuhan, pH media, suhu inkubasi, jenis sumber karbon, jenis sumber
13
nitrogen, dan konsentrasi NaCl (Kim dan Ahn 2000 diacu dalam Usmiati dan
Marwati 2007). Peptida bakteriosin disintesis di ribosom, kationik, amfipatik,
mempunyai struktur α-helical atau β-sheet, atau keduanya, dan dapat memiliki
thioether, jembatan disulfida atau grup thiol bebas. Keberadaan struktur α-helical
amfipatik dengan sisi polar dan nonpolar yang berlawanan sepanjang poros yang
panjang memungkinkan bakteriosin untuk berinteraksi, baik dengan fase air dan
lemak, ketika mengikat permukaan membran sel bakteri yang sensitif, penting
untuk destabilisasi fungsional dan kematian sel (Ray 2004).
Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin adalah sebagai berikut: (1)
molekul bakteriosin kontak langsung dengan membran sel, (2) proses kontak ini
mampu mengganggu potensial membran berupa destabilitas membran sitoplasma
sehingga sel menjadi tidak kuat, dan (3) ketidakstabilan membran mampu
memberikan dampak pembentukan lubang atau pori pada membran sel melalui
proses gangguan terhadap PMF (Proton Motive Force) (Gonzalez et al. 1996
diacu dalam Usmiati 2007).
Bakteriosin dapat diproduksi oleh Lactococcus, Lactobacillus dan
Pediococcus yang berasal dari berbagai bahan makanan. Beberapa kelebihan
bakteriosin sehingga potensial digunakan sebagai biopreservatif, yaitu (i) bukan
bahan toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena
merupakan senyawa protein; (ii) tidak membahayakan mikroflora usus karena
mudah dicerna oleh enzim saluran pencernaan; (iii) dapat mengurangi penggunaan
bahan kimia sebagai pengawet pangan; (iv) penggunaannya fleksibel; dan (v)
stabil terhadap pH dan suhu yang cukup luas sehingga tahan terhadap proses
pengolahan yang melibatkan asam dan basa, serta kondisi panas dan dingin
(Cleveland et al. 2001 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007).
Beberapa studi menunjukkan bahwa strain yang berbeda dalam spesies
atau bahkan spesies yang berbeda dapat memproduksi bakteriosin yang sama.
Bakteriosin yang diproduksi oleh spesies/strain BAL yang berbeda memiliki
karakteristik fisika dan kimia yang sangat berbeda. Bakteriosin dikelompokkan
berdasarkan keberadaan asam amino yang tidak biasa, lanthionin dan β-lanthionin
(Roller 2003).
14