Anda di halaman 1dari 43

9

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Traktus Uvealis

Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini merupakan
lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh karena dan sclera. Struktur ini ikut
mendarahi retina.(3)

Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari
arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris
yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri
siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan
brevis.(7)

3.1.1 Iris

Iris adalah perpanjangan corpus cilliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih
dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak bersambungan
dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata
belakang, yang masing-masing berisi aqueous humor. Didalam stroma iris terdapat
sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan
posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina
kearah anterior.(3)

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai
lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak
membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara IV. Persarafan sensoris iris melalui
serabut-serabut dalam nervi cilliares.(3)

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil
pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas
10

parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang
ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.(3)

Gambar 1. Bagian penampang mata(4)

Sumber:https://nei.nih.gov/health/uveitis/uveitis

3.1.2 Corpus Ciliare

Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm).
corpus cilliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm),
dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Processus ciliares berasal dari pars
plicata. Processus ciliare ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara
ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga
membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. (3)
11

Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen disebelah dalam
yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan berpigmen
disebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Procesus
cilliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous
humor.(3)

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional, sirkular,


dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-
serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara procesus cilliares. Otot ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai
focus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan
pandang. Serat-serat longitudinal muscullus cilliaris menyisip ke dalam anyaman
trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.(3)

Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris berasal dari circulus


arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris.(3)

3.1.3 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sclera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid ; vesikuler besar, sedang dan kecil.
Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian
dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh
koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid
di sebelah dalam dibatasi oleh membran bruch dan disebelah luar oleh sclera. Ruang
suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid melekat erat ke posterior pada
tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior koroid bergabung dengan corpus
cilliares. Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina yang
menyokongnya.(3)
12

Gambar 2. Lapisan koroid(8)

Sumber: Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. General
Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007

3.2 Definisi Uveitis

Uveitis adalah bentuk peradangan mata yang mempengaruhi lapisan tengah jaringan
di dinding mata (uvea). Uveitis sebagai tanda bahaya karena seringkali datang secasecara
tiba-tiba dan progresif untuk menjadi lebih buruk dengan cepat. Kondisi uveitis ini dapat
mempengaruhi satu atau dua mata dan terutama mempengaruhi pada usai 20 tahun hingga 50
tahun tetapi dapat juga mempengaruhi anak-anak. Uveitis bisa menjadi serius karena
menyebabkan kehilangan penglihatan yang permanen.(5)

3.3 Epidemiologi
13

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka
kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis diakibatkan
oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya
oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa
anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan
toksoplasmosis.(9)

Sekitar 25% kebutaan di India dan negara-negara berkembang lainnya adalah


disebabkan oleh uveitis dan komplikasinya seperti katarak sekunder, glaucoma, edema
macula cystoids atau fotoreseptor retina atau kerusakan saraf optic. Di negara maju,
sebaliknya kebutaan dari uveitis bervariasi dari 3% menjadi 10%. Di Eropa kejadian tersebut
diperkirakan antara 3% dan 7% dan di Amerika Serikat, angka terbaru dari California
mengungkapkan bahwa 10% kebutaan karena uveitis. Perbedaan yang luar biasa dalam
kejadian kebutaan antara negara berkembang dan negara maju bisa disebabkan oleh
perbedaan kondisi sosial ekonomi atau akses keperawatan medis atau kesenjangan lain,
perbedaan etiologi yang mendasari, serta adanya infeksi terutama penyebab uveitis di India
dan negara-negara berkembang lainnya, sedangkan uveitis idiopatik diyakini sebagai proses
kekebalan inflamasi organ spesifik adalah penyebab utama di negara-negara maju.(1)

3.4 Etiologi
Berdasarkan spesifisitas penyebab:
 Penyebab spesifik infeksi
a. Uveitis tuberkulosis
Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi memerlukan
perhatian khusus bila terdapat keratic precipitate granulomatosa atau granuloma
koroid atau granuloma iris. Granuloma-granuloma atau tuberkel, tersebut
mengandung sel epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas ditemukan
pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu focus primer
di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang ditemukan pada pasien-
pasien tuberkulosis paru aktif. Temuan yang khas pada pasien ini adanya mutton fat
keratic precipitate, nodul busacca dan posterior sinekia.(11)

b. Iridosiklitis heterokromik fuchs (Sindrom Uveitis Fuchs)


14

Iridosiklitis heterokromik fuchs adalah suatu kelainan yang jarang, tidak


sampai 5% dari semua kasus uveitis. Basanya mengenai dewasa muda, khususnya
perempuan. Penyakit ini awalnya samar dan muncul pada decade ketiga atau
keempat. Kemerahan, nyeri, dan fotofobia hanya minimal. Pasien biasanya
mengeluhkan penglihatan kabur, yang disebabkan oleh katarak. Iris heterokromia,
tampak jelas pada cahaya alami, dapat tersembunyi dan sering kali paling jelas
terlihat di atas muskulus spinhcter pupil. Keratic precipitate pada penyakit ini
bentuknya stelata, kecil, dan tersebar di seluruh endotel. Pada pemeriksaan akan
idapatkan 1+ - 2+ sel flare. Pembuluh darah teleangiektatik terlihat di sudut bilik
mata pada gonioskopi. Sinekia posterior jarang terjadi, tetapi bisa timbul pada
beberapa pasien pascaoperasi katarak. Suatu reaksi vitreus bisa ditemukan pada 10-
20% pasien. Hilangnya pigmen stroma cenderung menjadikan mata yang
berpigmentasi padat tampak hipokromik; sebaliknya, atrofi stroma pada iris
berpigmen-sedikit dapat menampakkan epitel berpigmen di baliknya, di permukaan
posterior iris, dan menyebabkan hiperkromia paradoksikal. Secara patologis, iris dan
korps silairis menunjukkan atrofi sedang dengan depigmentasi berbentuk bercak dan
infiltrasi difus sel-sel plasma dan limfosit.
Akhirnya, katarak akan timbul pada sebagian besar pasien; glaukoma lebih
jarang, tetapi bisa terjadi pada 10-15% kasus. Prognosisnya baik.(11)

c. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum diketahui
penyebabnya; biasanya terjadi pada decade keempat atau kelima kehidupan.
Kelainan paru ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Nyatanya, hamper seluruh
system organ tubuh dapat terlibat, termasuk kulit, tulang, hati, limpa, system saraf
pusat, dan mata. Reaksi jaringan yang terjadi jauh lebih ringan daripada uveitis
tuberkulosis dan jarang disertai perkijaun. Rekasi alergi pada uji kulit menukung
diagnosis sarkoidosis. Bila kelenjar parotis terkena, penyakit ini disebut demam
uveoparotis (Heerfordt), bila kelenjar lakrimal terkena disebut sindrom Mikulicz.
Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis sistemik. Sama halnya
dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa ditemukan, tetapi sarkoid memerlukan
perhatian khusus bila uveitisnya granulomatosa atau terdapat flebitis retina, terutama
pada pasien-pasien ras kulit hitam.(11)
15

d. Toksoplasmosis okular
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa intrasel
obligat. Lesi ocular mungkin didapat in utero atau muncul sesudah infeksi sistemik.
Gejala-gejala konstitusional mungkin ringan dan mudah terlewatkan. Kucing
peliharaan dan spesies kucing lainnya berperan sebagai hospes definitive parasite ini.
Wanita-rentan yang terkena selama kehamilan dapat menularkan penyakit ke
janinnya, yang bisa berakibat fatal. Sumber infeksi pada manusia adalah ookista di
tanah atau debu di udara, daging kurang matang yang mengadnugn bradiozit
(parasite bentuk kista), dan takizoit (bentuk proliferative) yang ditularkan melalui
plasenta. Pasien retinokoroiditis mengelihkan floaters dan penglihatan kabur. Pada
kasus-kasus yang berat, dapat pula disertai nyeri dan fotofobia. Lesi okularnya
terdiri atas sejumlah daerah putih halus retinokoroiditis nekrotik fokal yang bisa
kecil atau besar, tungga atau multiple. Lesi edema yang aktif sering didapatkan
bersebelahan dengan parut retina yang telah sembuh. Pada retina dapat terjadi
vaskulitis dan perdarahan. Edema macula kistoid bisa menyertai lesi pada macula
atau didekatnya. Iridosiklitis sering terlihat pada pasien-pasien dengan infeksi berat
dan tekanan intraokularnya bisa meningkat.(11)

e. Sifilis
Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jrang, tetapi dapat disembuhkan.
Peradangan intraocular hamper seluruhnya terjadi pada infeksi stadium kedua dan
ketiga, dan semua jenis uveits bisa terjadi. Retinitis atau neuritis optic sering
menyertai. Atrofi luas dan hyperplasia epiel pigmen retina dapat terjadi pada stadium
lanjut jika peradangan dibiarkan tanpa diobati.(11)
f. Herpes virus
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya penyebabnya ada dua
yaitu virus herpes simpleks dan virus varicella zoster. Biasanya untuk mengetahui
penyebab pasti di antara kedua virus tersebut agak sulit. Namun biasanya virus
herpes simpleks mengenai anak-anak dan dewasa muda, sedangkan virus varicella
zoster mengenai orang lanjut usia atau orang yang immunocompromised. Selain itu,
virus herpes simpleks menimbulkan vesikel-vesikel bergerombol di kulit penderita
dan terdapat edema, sedangkan vesikel yang ditimbulkan oleh virus varicella zoster
16

terpisah-pisah. Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya pada satu mata
(unilateral), penglihatan kabur, mata sakit dan merah, fotofobia. Pada pemeriksaan
akan didapatkan hipopion, hifema, tekanan intraocular meningkat, iris atrofi
sektoral, edema kornea.(3,11)

g. Reiter Syndrome
Biasanya mengenai dewasa muda laki-laki, di antara umur 15-25 tahun. Trias
dari penyakit ini adalah artritis, urethritis, dan konjungtivitis. Pada pemeriksaan mata
akan didapatkan mukopurulen konjungtivitis, subepitelial keratitis.(3,11)

Gambar 3. Ulkus oral pada penyakit Sindrom Reiters(11)


Sumber : Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19
h. HLA-B27 Associated Uveitis
HLA-B27 mengacu pada spesifik genotype atau kromosom. Mekanisme
pencetus untuk uveitis anterior pada pasien dengan genotype seperti ini tidak
diketahui. Ada hubungan yang kuat dengan ankylosing spondylitis, sindrom Reiter,
Inflammatory bowel disease, psoriasis, arthritis, dan uveitis anterior yang
berulang.Sebanyak 50% pasien spondylitis ankilosa akan mengalami uveitis anterior.
Pasien pria jumlahnya jauh lebih banyak. Uveitisnya bervariasi mulai dari yang
ringan hingga berat dan sering meninmbulkan nyeri, fotofobia serta penglihatan
kabur. Injeksi limbus umum ditemukan. Keratic precipitate biasanya ada, etapi
bukan granulomatosa, noduli iris tidak ada. Sinekia posterior, sinekia anterior
17

perifer, katarak dan glaukoma adalah komplikasi-komplikasi yang sering dijumpai


pada peradangan berat yang rekuren atau yang tidak terkontrol. Edema macula
jarang ada, tetapi bisa terjadi pada peradangan berat dan dapat mengenai vitreus.
Kekambuhan sering ditemukan dan dapat timbul pada mata manapun; namun, kedua
mata jarang terkena pada waktu bersamaan. Di antara pasien-pasien uveitis anterior
dengan hla-b27 positif tersebut, sekitar setengahnya akan mengalami komplikasi
nonokular-yang tersering adalah spondylitis ankilosa, tetapi bisa juga psoriatic
arthritis, penyakit Reiter, dan Inflammatory Bowel Disease.(3,11)

i. AIDS
Uveitis sering ditemukan pada pasien terinfeksi human immunodeficiency
virus (HIV) khususnya pada stadium penyakit lanjut saat AIDS timbul. Jumlah
limfosit T CD4 merupakan predictor yang baik untuk risiko infeksi oprtunistik yang
kebanyakan terjadi pada jumlah kurang dari 100 sel/L. Uveitis paling sering terjadi
pada infeksi di segmen posterior mata. Retinitis sitomegalovirus-retinitis geografik
yang sering disertai perdarahan, mengenai 30-40% pasien HIV-positif pada suatu
waktu selama perjalanan penyakitnya sebelum dimulainya terapi antiretroviral
kombinasi. Virus herpes lain, seperti aricella-zoster dan herpes simpleks juga bisa
menimbulkan retinitis yang tampilannya sangat mirip, tetapi biasanya dapat
dibedakan karena progresifitasnya yang sangat cepat. Organisme lain, misalnya t
gondii, Treponema pallidum, Cryptococcus neoformans, mycobacterium
tuberculosis, dan Mycobacterium avium-intracellulare menginfeksi kurang dari 5%
pasien HIV-positif; namun, tetap harus dipertimbangkan, terutama bila terdapat
riwayat terinfeksi atau terpajan, ada koroiditis, atau bila retinitisnya tidak khas ata
tidak berespons terhadap terapi antiviral. Limfoma intraocular terjadi pada kurang
dari 1% pasien hiv-positif, tetapi harus dipikirkan pada retinitis yang tidak khas atau
tidak responsive dengan terapi antiviral, khususnya bila ditemukan gejala-gejala
neurologis.(3,11)
j. Histoplasmosis
Di beberapa derah di Amerika serikat yang endemis histoplasmosis (derah
ohio dan lembah sungai Mississipi) sering didapatkan diagnosis koroiditis yang
18

diduga disebabkan oleh histoplasmosis. Lesi di macula bisa menimbulkan


neovaskularisasi subretina, suatu komplikasi yang harus diwaspadai pada setiap
pasien dengan dugaan histoplasmosis ocular yang mengalami penurunan penglihatan
atau disertai tanda-tanda adanya cairan atau perdarahan subretina.(3,11)

k. Toksokariasis okular
Toksokariasis terjadi akibat infeksi Toxocara cati (parasite di usus kucing)
atau toxocara canis (parasite di usus anjing). Larva migrane visceral adalah infeksi
sistemik diseminata pada anak kecil. Larva migrans visceral jarang mengenai mata.
Toksokariasis ocular dapat terjadi tanpa manifestasi sistemik. Anak-anak bisa
terkena penyakit ini karena berhubungan erat dengan binatang peliharaan dank arena
memakan tanah (pica) yang terkontaminasi dengan ovum Toxocara. Telur yang
termakan akan membentuk larva yang menembus mukosa usus dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik dan akhirnya sampai di mata. Parasit ini tidak menginfeksi saluran
cerna manusia
Penyakit ini biasanya unilateral. Larva Toxocara tinggal di retina dan mati,
menimbulkan reaksi radang hebat dan pembentukan antibody toxocara setempat.
Umumnya anak-anak dibawa ke dokter mata karena mata merah, penglihatan kabur,
pupil keputihan (leukokoria).
Terdapat tiga gambaran klinis (1) granuloma posterior setempat, biasanya di
dekat caput nervi optici atau fovea; (2) granuloma perifer yang mengenai pars plana,
sering kali menimbulkan massa yang menonjol yang menyerupai gundukan salju
uveitis intermediet, (3) endoftlmitis kronik.(3,11)

l. Behcet’s diseases/syndrome
Sebagian besar menyerang laki-laki dewasa muda dari bangsa mediterania
atau jepang. Penyakit behcet yang menyebabkan uveitis anterior akut adalah sangat
langka. Penyebab diduga suatu proses imunologik tetapi virus sebagai penyebab
tidak dapat disngkirkan. Walaupun memiliki banyak gamabaran penyakit
hipersensitivitas tipe lambat, adanya perubahan mecolok kadar komplemen serum
pada permulaan serangan mengisyaratkan suatu gangguan kompleks imun. Baru-
baru ini pada pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun berkadar tinggi
dalam darah. Sebagian besar pasien dengan gejala mata positif untuk HLA-B51,
suatu subtype HLA-B5.
19

Ditandai 4 kelainan yaitu:



Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoriditis). Pada
dasarnya didapatkan peri arteritis dan end arteritis yang
menyebabkan vaskulitis obliteratif sehingga dpaat terjadi
iskemi retina, perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapa
hipopion maka hal ini merupakan gejala yang lebih lanjut.

Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang
dapat mengenai bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum,
serta palatum molle.

Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta
hipersensitivitas kulit. Kelainan genital berupa ulserasi
pada alat genital pria atau wanita. Pengobatan sering
berupa pemberian imunosupresan multiple (missal: steroid,
siklosporin, dan azatioprin), walaupun demikian hasil akhir
penglihatan tetap buruk pada 25% kasus.(3,11)

m. Leptospirosis
Uveitis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi spirochaeta leptospira.
Manusia adalah pejamu aksidental, yan paling sering terinfeksi akibat berkontak
dengan atau menelan air yang terinfeksi. Binatang liar dan peliharaan-pengerat,
anjing, babi, dan sapi adalah pejamu alam dan mengeluarkan sejumlah besar
organisme infeksius melalui urinenya. Petani, dokter hewan, dan orang-orang yang
bekerja atau berenang di air yang berasal dari daerah pertanian memiliki risiko yang
tinggi untuk terkena penyakit ini. Gejala-gejala konstitusional yang sering timbul
adalah demam, malaise, dan sakit kepala. Pda pasien-pasien yang tidak diobati,
insiden gagal ginjal dan kematian dapat mencapai 30%. Uveitis bisa timbul dalam
bentuk apapun tetapi khasnya difus dan sering disertai hipopion serta vaskulitis
retina.
Organisme hidup hanya dapat dibiakkan pada awal infeksi.(3,11)

n. Onkosersiasis
Onkosersiasis disebabkan oleh Onchocerca volvuls. Penyakit ini diderita
sekitar 15 juta orang di Afrika dan amerika Tengah dan merupakan penyebab
utama kebutaan. Onkosersiasis ditularkan oleh Simulim damnosum, lalat hitam
20

yang berkembang biak di daerah-daerah berarus deras sehingga terdapat istilah


“buta sungai”. Mikrofilaria yang dibawa lalat dari kulit, berkembang menjadi
larva dan menjadi cacing dewasa dalam 1 tahun. Parasit dwasa membentuk nodul-
nodul kulit dengan diameter 5-25 mm di badan, paha, lengan, kepala an bahu.
Mikrofilaria menyebabkan rasa gatal, dan penyembuhan lesi kulit dapat
menimbulkan hilangnya elastisitas kulit serta depigmentasi kulit.
Kornea menampakkan keratitis numularis dan keratitis sclerosis. Mikrofilaria
yang berenang aktif di bilik mata depan tmpak seperti benang-benang perak.
Mikrofilaria yag mati menimbulkan reaksi radang hebat seperti uveitis, vitritis,
dan retinitis yang berat. Mungkin terlihat retinokoroiditis folk. Atrofi optic dapat
terjadi sekunder akibat glaukoma.(3,11)

o. Sistiserkosis
Sistiserkosis adalah penyebab umum morbiditas ocular berat. Penyakit ini
endemic di Meksiko dan Negara-negara Amerika Tengah dan Selatan lainnya; mata
ikut tekena pada sepertiga pasien. Penyakit ini ditimbulkan akibat termakannya telur
Taenia solium atau oleh peristalsis terbalik pada asus obstruksi usus karena cacing
pita dewasa. Telur menjadi matang dan embrio menembus mukosa usus, masuk ke
dalam sirkulasi. Larvanya merupakan cacing pita ersering yang memasuki mata
manusia.
Larva bisa mencapai ruang subretina, menimbulkan retinitis akut dengan
edema retina dan eksudat subretina ata ke rongga vitreus, tempat solex yang
tertanam membentuk sebuah kista translusen dengan bintik putih padat. Larvanya
dapat hidup dalam mata sampai 2 tahun. Larva yang mati di dalam mata akan
menimbulkan reaksi peradangan hebat. Pergerakan larva dalam jaringan ocular
dapat merangsang erjadinya reaksi radang kronik dan fibrosis. Sejumlah kecil
kasus, mungkin terlihat latva di bilik mata depan.(3,11)

Penyebab non spesifik atau reaksi hipersensitivitas



Juvenille Rheumatoid Arthritis
Anterior uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai beberapa
persendian. Sekitar 20% anak penderita arthritis idiopatik juvenillis (JIA) disertai
dengan iridosiklitis non-granulomatosa bilateral kronik. JRA lebih banyak
mengenai anak perempuan 4-5 kali lebih sering dibanding anak lelaki. Uveitis
21

pada JIA biasanya terdeteksi pada usia 5-6 tahun setelah timbulnya katarak
(leukokoria), perbedaan warna kedua mata (heterokromia), perbedaan ukuran atau
bentuk pupil (anisokor), atau gangguan penjajaran mata (strabismus). Kelainan-
kelainan ini sering kali baru ditemukan pada uji penyaringan penglihatan di
sekolah. Tidak ada korelasi antara onset arthritis dan uveitis; uveitis dapat muncul
lebih dulu hingga 10 tahun sebelum arthritis. Lutut adalah sendi yang paling
sering terkena. Tanda utama penyakit ini adalah sel dan flare dalam bilik mata
depan, keratic precipitate putih berukuran kecil sampai sedang dengan atau tanpa
bintik-bintik fibrin pada endotel, sinekia posterior-yang sering menimbulkan
seclusion pupil, dan katarak. Keratopati pita, glaukoma sekunder, edema macula
kistoid juga bisa ditemukan dan menimbulkan penurunan penglihatan. Merupakan
suatu anjuran pada semua anak yang menderita JRA untuk diperiksa kemungkinan
terdapatnya uveitis anterior.(3,11)

Gambar 4 : Deformitas sendi pada RA(11)

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19


Uveitis Terinduksi Lensa
22

Uveitis terinduksi lensa (uveitis fakogenik) adalah suatu penyakit


autoimun terhadap antigen lensa. Hingga kini belum ada data yang mendukung
bahwa materi lensa iu sendirilah yang toksik. Jadi, istilah uveitis fakotoksik
sebaiknya dihindari. Kasus klasik terjadi bila lensa mengalami katarak
hipermatur; kapsul lensa bocor dan materi lensa masuk ke bilik mata depan dan
belakang. Materi ini menimbulkan reaksi radang yang ditandai dengan
pengumpulan sel plasma, fagosit mononukear dan sedikit sel polimorfonuklear.
Gejala khas uveitis anterior, seperti nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur sering
ditemukan. Uveitis teinduksi lensa dapat pula terjadi paska trauma pada lensa atau
paskaoperasi katarak dengan sisa materi lensa yang tertinggal. Glaukma fakolitik
adalah kompliksi umum pada uveitis terinduksi lensa.(3,11)

Oftalmia simpatika
Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang jarang,
tetapi menghancurkan, timbul 10 hari sampai beberapa tahu setelah trauma
tembus mata. Sembilan puluh persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah trauma.
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi penyakit ini agaknya berkaitan dengan
hipersensitivitas terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen di uvea. Kondisi
ini sangat jarang terjadi setelah bedah intraocular yang tanpa komplikasi dan
bahkan lebih jarang lagi pascaendoftalmitis.
Mata yang cedera mula-mula meradang dan mata sebelahnya (mata
simpatik) meradang kemudian. Pasien biasanya mengeluhkan fotofobia,
kemerahan dan penglihatan kabur; namun, adanya floaters bisa juga menjadi
keluhan di awal. Uveitis umumnya difus. Eksudat halus putih-kekuningan di
lapisan dalam retina (nodul dalen-Fuchs) kadang-kadang tampak di segmen
posterior. Juga ditemukan adanya ablasio retina serosa.(3,11)

Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kdua mata yang ditandai oleh
iridosiklitis akut, koroiditis bercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini
biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan
kadang-kadang vertigo.
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi kerusakan
rambut atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan
23

cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka
anjang berupa pelepasan serosa retina dan gangguan penglihatan. Pada sindrom
Vogt-Koyanagi-Harada diperkiraka terjadi hipersensitivitas tipe lambat terhadap
struktur-struktu yang mengandung melanin. Tetapi virus sebagai penyebab belum
dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan atau cedera, infeksi atau
yang lain, menubah struktur berpigmen di mata, kulit, dan rambut sedemikian
rupa sehingga tercetus hipersensitivtas tipe lamabat terhadap struktur-struktur
tersebut. Barubaru ini diperlihatkan adanya bahan larut dari segmen luar lapisan
fotoreseptor retina (antigen-s retina) yang mungkin menjadi autoantigennya.
Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah orang-orang oriental yang
mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik.(3,11)
-
Berdasarkan asalnya

Eksogen
o
Traumatik uveitis
Trauma merupakan salah satu penyebab uveitis anterior, biasanya terdapat
riwayat trauma tumpul mata atau adneksa mata. Luka lain seperti luka bakar pada
mata, benda asing, atau abrasi kornea dapat menyebabkan terjadinya uveitis
anterior. Visual aquity dan tekanan intraocular mungkin terpengaruh dan mungkin
juga terdapat darah pada anterior chamber.(3,11)
o
Uveitis terinduksi IOL
Hal ini mungkin disebabkan karena adanya iritasi pada iris karena
terdapatnya manipulasi berlebihan saat operasi katarak. Tetapi hal ini juga bisa
disebabkan karena adanya reaksi hipersensitivitas terhadap IOL sehingga sel-sel
radang menyerang IOL dan akhirnya berkumpullah sel radang dan menyebabkan
uveitis.(3,11)
o
Endogen
 Idiopathic Anterior Uveitis
Istilah idiopatik dipergunakan pada uveitis anterior dengan etiologi yang
tidak diketahui apakah merupakan kelainan sistemik atau traumatic. Diagnosis ini
ditegakkan sesudah menyingkirkan penyebab lain dengan anamnesis dan
pemeriksaan. (3,11)

 Masquerade Syndrome
24

Merupakan keadaan yang mengancam seperti limfoma, leukemia,


retinoblastoma dan melanoma malignant dari koroid, dapat menimbulkan uveitis
anterior.(3,11)
 Berdasarkan perjalanan penyakitnya

Akut: Apabila serangan timbulnya mendadak, sembuh dalam waktu kurang
dari 3 bulan dan penderita sembuh sempurna di luar serangan itu(1,2)

Residif: Apabila terjadi serangan berulang disertai dengan penyembuhan yang
sempurna di antara serangan-serangan tersebut. Biasanya penyembuhan sudah
berlangsung tiga bulan atau lebih(3,11)

Kronis: Apabila terjadi serangan berulang tanpa pernah sembuh di antara
serangan tersebut dan biasanya menetap. (3,11)

 Berdasarkan reaksi radang yang terjadi



Non granulomatosa: Diduga akibat alergi, karena tak pernah ditemukan
kumannya dan sembuh dengan pemberian kortikosteroid. Timbulnya sangat
akut. Reaksi vaskuler lebih hebat dari reaksi seluler sehingga injeksinya hebat.
Di iris tak tampak nodul. Sinekia posterior halus-halus oleh karena hanya
sedikit megandung sel. Cairan COA mengandung lebih banyak fibrin daripada
sel. Badan kaca tak bayak kekeruhan. Rasa sakit lebih hebat, fotofobia dan
bisus juga banyak terganggu. Pada stadium akut karena banyak mengandung
fibrin dapat terbentuk hipopion. Lebih banyak mengenai uvea anterior.
Patologi anatomis: di iris dan badan siliar didapatkan sel plasma dan sel-sel
mononuclear(3,11)

Granulomatosa: Terjadi karena invasi mikrobakteri yang patogen ke jaringan
uvea, meskipun kumannya sering tidak ditemukan sehingga diagnose
ditegakkan berdasarkan keadaan klinis saja. Timbulnya tidak akut. Reaksi
seluler lebih hebat daripada reaksi vaskuler. Karenanya injeksi siliar tidak
hebat. Iris bengkak, menebal, gambaran bergarisnya kabur. Di permukaannya
terdapat nodul busacca. Di pinggir pupil juga didapat nodul Koepe. Keratic
presipitat besar-besar, kelabu dan disebut mutton fat deposit. Coa keruh
seperti awan, lebih banyak sel daripada fibrin. Badan kaca keruh. Rasa sakit
sedang, fotofobia sedikit. Visus terganggu hebat oleh karena media yang
25

dialui cahaya banyak terganggu. Keadaan ini terutama mengenai uvea


posterior. Patologis anatomis nodul, terdiri dari sel raksasa, sel epiteloid dan
limfosit.(11)

Non granulomatosa Granulomatosa


Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau
ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan kabur Sedang Nyata
Merah Nyata Ringan
sirkumkorneal
Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar
(mutton fat)
Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur
(bervariasi)
Sinekia Posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Uvea anterior,
posterior atau difus
Perjalanan penyakit Akut Kronik
Kekambuhan Sering Kadang-kadang

 Klasifikasi berdasarkan anatomis


o
Uveitis anterior
a. Iritis: peradangan terbatas pada iris
b. Iridosklitis: peradangan pada iris an badan siliar
o
Uveitis intermediet: Uveitis intermediet disebut juga siklitis, uveitis
perifer atau pars planitis, adalah jenis peradanan intraocular terbanyak
kedua. Tanda uveitis intermediet yang terpenting adanya peradangan
korpus siliaris pars plana, retina perifer dan vitreus.
o
Uveitis posterior: Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis,
koroiditis, vaskulitis retina, dan papilitis, yang bisa terjadi sendiri-sendiri
atau bersamaan
o
Panuveitis: inflamasi pada seluruh uvea(11)
26

3.5 Faktor Risiko


 Toksoplasmosis pada hewan peliharaan
 Riwayat penyakit autoimun
 Perokok

Berdasarkan penelitian dari University California San Francisco menyatakan bahwa


di dalam rokok ditemukan senyawa-senyawa tertentu yang ditemukan dalam bagian air yang
larut dalam asap rokok meliputi oksigen radikal bebas, yang dapat menyebabkan
peradangan pembuluh darah. Mengingat bahwa uveitis adalah hasil dari kekebalan
dysregulation, maka masuk akal bahwa rokok dapat berkontribusi pada pathogenesis uveitis.

 Radang sendi
 Sarkoidosis
 HIV
 Ankylosing spondylitis
 Penyakit radang usus.

Uveitis dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Orang-orang, yang
mengembangkan uveitis dan ankylosing spondylitis sering memiliki gen tertentu yaitu
HLA-B27.

3.6 Patofisiologi

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis
anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit,
fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler. Penyakit
peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan
usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan
patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan
granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini,
yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel
(3)
limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Uveitis
27

yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap


antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. (10) Radang iris dan badan siliar menyebabkan
rusaknya blood aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel
radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak
sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall). Dengan
adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh
darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma
sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel
darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan
bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma.

Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris,
dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak
mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang,
sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung
pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan
akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel
kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan
endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui
trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila
keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas
normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli
anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga
bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit.(10)

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang
didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam
BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil
yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules.(3)
28

Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan
kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan
endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk
bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan
pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,
ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos
humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di
bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe dan
menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder.
Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur.

Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan
terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan
kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka
metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang
sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang
tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari
retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat
mengakibatkan ablasi retina.
29

3.7 Temuan Klinis

Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi menurut Standardization of
Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group. Dalam klasifikasi ini uveitis dibagi menurut lokasi
proses peradangan jaringan uvea, yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan
panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada proses inflamasi yang terjadi pada segmen anterior,
vitreus, retina dan koroid.

 Uveitis anterior

Uveitis anterior dapat berupa gejala yang akut, kronis atau rekuren. Uveitis
anterior umumnya inflamasi intraokuler dan umumnya adalah unilateral dengan nyeri
30

atau photophobia, kemerahan pada circumlimbal dan adanya sel dan flare pada bagian
anterior serta dengan onset akut.(11)

Gambar 5 . Gambaran cells dan flare pada slit lamp 3x1 mm

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengeluh sakit, mata merah, penglihatan
kabur, dan fotofobia, mata berair. Sebagian besar pasien akan terjadi serangan yang
berulang dan akan pergi berobat berulang ke beberapa dokter mata akan digunakan obat
topikal/sistemik. Penglihatan yang kabur dimana menjadi gejala yang umum,
penyebabnya adalah kekeruhan dari aliran aqueous. Photophobia umumnya dikarenakan
spasme otot siliar tetapi infiltrasi di ruang anterior seluler, edema epitel kornea dan
keterlibatan otot pupil dapat juga berkontribusi. Derajat nyerinya bervariasi terlihat pada
uveitis anterior dapat dikaitkan pada spasme otot siliar. Hal ini biasanya sakitnya seperti
berdenyut atau dirasakan nyeri. Nyeri yang sangat parah dikaitkan dengan peningkatan
tekanan intraokuler. Umumnya tanda-tanda klinis pasien dengan uveitis anterior adalah
derajat dari edema korneanya. Kongesti sirkumkorneal dapat dilihat karena pelebaran
dari pembuluh darah di episklera pada daerah badan siliar. Keratic prespitat (KPs) adalah
deposit seluler pada endothelium kornea.(11)
31

Gambar 6. Gambaran keratic presipitat

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

KPs yang halus dianggap menjadi jenis peradangan non-granulomatosa sedangkan


yang besar dan mutton fat. KPs adalah termasuk jenis inflamasi granulomatous. Keratic
presipitat yang berpigmen atau berwarna merujuk pada terjadinya uveitis anterior yang
sebelumnya. Secara mikroskopis, KPs adalah akumulasi sel-sel lymphoplasmacytic,
dengan sel-sel epiteloid yang terlihat sebagai tambahan pada KPs granulomatous. .
Keratic precipitate granulomatosa atau non-granulomatosa biasanya terdapat disebelah
inferior, di daerah berbentuk baji yang dikenal sebagai segitiga Arlt. Sebaliknya keratic
precipitate stelata biasanya tersebar rata di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada
uveitis akibat virus herpes simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis, iridosiklitis
heterokromk Fuch, dan sarkoidosis. Keratic precipitate mungkin juga ditemukan
terlokalisasi pada daerah-daerah keratitis aktif atau pra-keratitis, terutama akibat infeksi
herpes virus. Nodul-nodul iris dapat terlihat pada tepi iris (noduli Koeppe), di dalam
stroma iris (noduli Busacca), atau pada sudut bilik mata depan (noduli Berlin). (11)
32

Gambar 7 . Gambaran Nodul Koeppe dan Nodul Busacca

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19
33

Gambar 8 . Gambaran membrane fibrous dan membrane pupil dengan hipopion

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

Gambaran penyakit granulomatosa, seperti mutton fat keratic precipitates atau


noduli iris pada uveitis, dapat mengindikasikan adanya penyebab infeksius atau salah satu
dari sejumlah kecil penyebab non infeksius, seperti sarkoidosis, penyakit Vogt-Koyanagi-
Harada, oftalmia simpatika, atau uveitis terinduksi lensa. Sel-sel aqueous dan β
disebabkan oleh infiltrasi seluler dan eksudasi protein ke dalam segmen anterior. Adanya
sel aqueous secara dini dinyatakan inflamasinya lagi aktif. Penembusan dari aqueous
dikarenakan tingkat albumin yang tinggi yang disebut aqueous flare. Pupil kemungkinan
kecil (miosis) atau ireguler karena terdapat sinekia posterior. Peradangan yang terbatas
pada bilik mata depan disebut iritis, peradangan pada bilik mata depan dan vitreus
anterior sering disebut sebagai iridosiklitis. Sensasi kornea dan tekanan intraokuler harus
diperiksa pada setiap pasien uveitis. Penurunan terjadi pada infeksi herpes simpleks atau
herpes zoster atau lepra., sedangkan peningkatan tekanan intraokuler bisa terjadi pada
iridosiklitis, herpes simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis, sifilis, sarkoidosis atau
bentuk iridosiklitis lain yang jarang, yang disebut krisis glaukomatosiklitik – juga dikenal
sebagai sindrom Posner-Schlossman Peradangan bilik mata depan yang sangat berat
dapat menyebabkan timbulnya tumpukan sel-sel radang di sudut inferior (hipopion).
Penyebab ueitis hipopion yang tersering di Amerika Utara dan Eropa adalah uveitis yang
34

berkaitan dengan HLA-B27; di Asia, penyakit Behcet; pada komunitas agrikulural- di


daerah-daerah yang lebih lembab di Negara-negara berkemban, leptospirosis. Iris harus
diperiksa secara teliti untuk mencari tanda-tanda atrofi atau transiluminasi, yang bsa
mengenai sebagian daerah (sektoral) atau membentuk pola bercak (patchy) pada infeksi
virus herpes simpleks atau herpes zoster, atau membentuk pola difus pada iridosiklitis
heterokromik Fuch. Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus diperhatikan karena
keduanya menimbulkan predisposisi terhadap glaukoma.(11)

Inflamasi tersebut dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan tekanan


intraokuler. Serangan akut dari uveitis anterior dengan inflamasi pada segmen anterior
dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler yang umumnya dapat dilihat pada
keratouveitis virus atau sindrom posner schlosman. Meskipun uveitis idiopatik anterior
dapat meninggikan tekanan intraokuler. Inflamasi yang hebat pada badan siliar dapat
menurunkan produksi aqueous humour dan tekanan intraokuler menjadi turun
dikarenakan inflamasi sendiri, sequelae atau inflamasi atau karena pengobatan dengan
steroid. Pada inflamasi yang aktif, peningkatan tekanan intraokuler dapat dihubungkan
karena trabekulitis atau karena penutupan sudut tertutup. Pemeriksaan dengan
menggunakan fundus akan terlihat adanya edema CD dan hiperemis, vaskularisasi,
eksudat perivaskular, edema macula cystoids, retinitis, infiltrate koroid, ablatio retina,
eksudat pars plana. Gonioskopi akan memperlihatkan gonio-sinekia atau neovaskularisasi
pada segitiga dan segitiga akan membuka atau menutup segitiga tersebut tergantung dari
derajat uveitisnya.(11)

Gambar 9. Gambaran deposit fibrin pada gonioskopi


35

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

-
Sistematis pada pasien dengan uveitis anterior (11)
-
Anamnesis
Pasien akan banyak berobat ke beberapa dokter mata, riwayat yang lengkap penting
sekali untuk diagnosis dan tatalaksana. Riwayat penyakit pasien dari onset dan progresi
dari gejala, dan terapi yang diterima dengan terapi kortikosteroid. Riwayat dahulu dapat
menimbulkan serangan rekuren dari uveitis atau sebelumnya respons dari terapi.

-
Pemeriksaan fisik

Tabel 1. Tingkat derajat cells dan flare

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

 Uveitis Intermediet
Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis
adalah jenis peradangan intraokuler terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang
terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet khasnya bilateral dan
cenderung mengenai pasien pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih
36

banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala-gejala khas meliputi floaters dan
penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia, dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya
sedikit. Temuan pemeriksaan yang paling menyolok adalah vitritis- sering kali
disertai dengan kondensat vitreus, yang melayang bebas seperti “bola salju”
(snowballs) atau menyelimuti pars plana dan corpus cilliar seperti gundukan salju
(snow banking).” Peradangan bilik mata depan mungkin hanya minimal, tetapi jika
sangat jelas, peradangan ini lebih tepat disebut sebagai uveitis difus atau panuveitis.
Penyebab uveitis intermediet tidak diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi
sarkoidosis dan sklerosis multipel berperan pada 10-20% kasus; sifilis dan
tuberculosis (walaupun jarang) harus disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap
pasien. komplikasi uveitis intermdiet yang tersering meliputi edema macula kistoid,
vaskulitis retina, dan neovaskularisasi pada diskus optikus.(3)

 Uveitis Posterior
Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis, koroiditis, vaskulitis
retina, dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Gejala yang
timbul umumnya berupa floaters, kehilangan lapangan pandang atau scotoma, atau
penurunan tajam penglihatan, yang mungkin parah. Ablatio retina walaupun jarang,
paling sering terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bisa traksional, regmatogenosa
atau eksudatif. (3)

Retina, koroid dan nervus optikus dipengaruhi oleh sejumlah penyakit infeksi
dan non-infeksi. Kebanyakan kasus uveitis posterior berhubungan dengan beberapa
sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan
morfologi lesi, onset dan perjalanan penyakitnya, atau tanda dan gejala sistemik yang
menyertai. Pertimbangan lainnya adalah umur pasien dan apakah timbulnya unilateral
atau bilateral. Tes laboratorium dan penunjang lain seringkali membantu. (3)

Lesi di segmen posterior mata bentuknya bisa fokal, multifocal, geografik,


atau difus. Lesi yang cenderung menimbulkan kekeruhan pada vitreus diatasnya harus
dibedakan dari lesi yang kurang atau tidak memicu sel-sel vitreus . Jenis dan
distribusi kekeruhan vitreusnya harus dijelaskan. Lesi peradangan pada segmen
37

posterior umumnya tidak kentara di awal, tetapi sebagian dapat disertai kehilangan
penglihatan mendadak yang berat. (3)

Di seluruh bagian dunia, penyebab retinitis yang umum pada pasien-pasien


imunokompeten adalah toksoplasmosis, sifilis, dan penyakit Behcet; penyebab
koroiditis tersering adalah sarkoidosis, tuberculosis dan sindrom Vogt-Koyanagi-
Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik) dapat disebabkan oleh salah satu dari
penyakit-penyakit tersebut, tetapi sklerosis multipel perlu dicurigai, khususnya pada
kasus nyeri mata yang diperparah dengan pergerakan. Penyebab uveitis posterior
yang lebih jarang, antara lain : limfoma intraokuler, sindrom nekrosis retina akut,
oftalmia simpatika, dan sindrom “titik putih” seperti multiple evanescent white dot
syndrome (MEWDS) atau epiteliopati plakoid posterior multifocal akut (AMPPE). (3)


Diagnosis dan Ciri Klinis (3)
 Usia Pasien

Uveitis posterior pada pasien dibawah usia 3 tahun dapat disebabkan


oleh “sindrom masquerade” seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab
infeksi uveitis posterior pada kelompok ini mencakup toksoplasmosis
congenital, toksokariasis, dan infeksi perinatal oleh sifilis, cytomegalovirus,
virus herpes simpleks, virus herpes zoster atau rubella.

Pada kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab tersering uveitis


posterior adalah toksoplasmosis dan toksokariasis. Penyebab yang jarang,
yaitu sifilis, tuberculosis, sarkoidosis, sindrom Behcet, dan sindrom Vogt-
Koyanagi Harada.

Pada kelompok umur 16 sampai 50 tahun, diagnosis banding untuk uveitis


posterior adalah sifilis, tuberculosis, sarkoidosis, sindrom Behcet, sindrom
Vogt-Koyanagi Harada, dan sindrom nekrosis retina akut.

Pasien diatas 50 tahun dengan tampilan uveitis posterior mungkin


menderita sifilis, tuberculosis, sarkoidosis, limfoma intraokuler,
retinokoroiditis “birdshot”, sindrom nekrosis retina akut, toksplasmosis, atau
endoftalmitis endogen.
38

 Lateralitas

Uveitis posterior unilateral lebih cenderung terjadi akibat


toksoplasmosis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi
bakteri atau jamur endogen.

 Gejala
 Penurunan penglihatan- Penurunan ketajaman penglihatan dapat
terjadi pada semua jenis uveitis posterior, tetapi erutama dijumpai
pada kondisi-kondisi dengan lesi macula atau ablasio retina.
Pemeriksaan pupil aferen harus dikerjakan pada setiap pasien, bila
ada, menandakan disfungsi nervus optikus atau kerusakan retina
luas.
 Injeksi ocular- Kemerahan mata jarang terjadi pada uveitis yang
tebatas di segmen posterior, tetapi dapat terlihat pada uveitis difus
 Nyeri- Rasa nyeri kurang khas pada uveitis posterior, tetapi dapat
terjadi pada endoftalmitis, skleritis posterior, atau neuritis optic,
terutama bila disebabkan oleh sclerosis multiple

 Tanda
Tanda-tanda yang penting untuk mendiagnosis uveitis posterior antara
lain: pembentukan hipopion, pembentukan granuloma, vitritis, morfologi lesi,
vaskulitis, perdarahan retina, dan pembentukan parut.
1. Hipopion- Kelainan segmen posterior yang mungkin
disertai dengan hipopion dan peradangan anterior yang
nyata, yaitu sifilis, tuberkulosis, sarkoidosis, endoftalmitis
39

endogen, penyakit Behcet, dan leptospirosis. Bila dijumpai


kondisi ini, uveitisnya disebut uveitis difus atau panuveitis
2. Jenis uveitis- Uveitis granulomatosa anterior bisa disertai
dengan kondisi-kondisi yang mempengaruhi retina
posterior dan koroid, seperti sifilis, tuberkulosis,
sarkoidosis, toksoplasmosis, sindrom Vogt-Kayanagi-
Harada, dan oftalmia simpatika. Di sisi lain, uveitis
anterior non-granulomatosa mungkin berkaitan dengan
penyakit Behcet, sindrom nekrosis retina akut, limfoma
intraocular, atau sindrom “titik putih”.
3. Glaukoma- Hipertensi ocular akut yang berkaitan dengan
uveitis posterior dapat disebabkan oleh toksoplasmasosi,
sindrom nekrosis retina akut oleh virus herpes simpleks
atau varicella zoster, sarkoidosis atau siilis.
4. Vitritis- Uveitis posterior sering disertai dengan vitrits,
dari pembuluh-pembuluh retina, atau dari caput nervus
oprici. Vitreus berat cenderung terjadi pada infeksi yang
melibatkan kutub posterior, seperti retinokoroiditis atau
endoftalmitis bacterial, sedangkan peradangan ringan
hingga sedang biasanya menimbulkan kelainan
peradangan primer di koroid dan retina bagian luar.
Koroiditis serpiginosa dan dugaan histoplasmosis ocular
umumnya disertai vitritis ringan.

o Morfologi dan Lokasi Lesi


 Retina- Retina merupakan saran utama banyak jenis agen infeksi.
Toksoplasmosis adalah penyebab tersering retinitis pada pasien
imunokompeten. Lesi aktif toksoplasmosis umumnya terlihat bersama
parut lama yang telah sembuh dan mungkin dengan pigmentasi pdat.
Lesinya mungkin tampak pada daerah jukstapapilar dan sering
40

menimbulkan vaskulitis retina. Vitreus umumnya kabur bila lesilesinya


besat. Sebaliknya, infeksi retina oleh virus-virus herpes-seperti
sitomegalovirus dan virus varicella-zoster-lebih banyak pada pasien
dengan gangguan system imun. Infeksi retina oleh virus rubella dan
rubeola terutama terjadi pada bayi; disinikeduanya cenderung
menimbulkan perubahan pigmentasi difus yang mengenai retina bagian
luar, yang disebut retinopai “salt and pepper”
 Koroid- koroid merupakan saran utama proses-proses granulomatosa,
seperti tuberkulosis dan sarkoidosis. Pasien tuberkulosis atau sarkoidosis
mungkin menunjukkan suatu koroiditis yang fkal, multifocal, atau
geografik. Pada penyakit Vogt-Kayanagi-harada dan oftalmia simpatika,
bisa ditemukan infiltrasi koroid yang multifocal maupun difus.
Sebaliknya, pasien retinokoroidopati “bird shot” dan tersangkan sindrom
histoplasmosis ocular hamper selalu disertai koroiditis yang multifocal.
 Nervus optikus- Nervus optikus onflamatorik primer dapat terjadi pada
infeksi sifilis, tuberkulosis, sarkoidosis, toksoplasmosis, sclerosis multiple,
penyakit Lyme, limfoma intraocular, atau infeksi Bartonella henselae
sistemik (penyakit cat-scratch). Sering juga didapatkan abalasio retina
serosa peripapilar dan macular star.

TRAUMA
Riwayat trauma pada pasien uveitis meningkatkan kemungkinan adanya
benda asing intraocular atau oftalmia simpatika. Trauma bedah, termasuk oprasi-
operasi rutin untuk katarak dan glaukoma, dapat memasukkan mikroorganisme ke
dalam mata dan kelak menimbulkan endoftalmitis akut atau subakut

MODUS ONSET
Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala.
Penyakit pada segmen posterior mata yang cenderung menimbulkan kebutaan
mendadak yaitu retinokoriditis toksoplasmik, sindrom nekrosis retina akut, dan
41

endoftalmitis bacterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior lainnya


mempunyai onset yang lebih samar.

UVEITIS DIFUS

Istilah “uveitis difus” menunjukkan suatu kondisi terdapatnya infiltrasi selular


yang kurang lebih merata di segmen anterior maupun posterior. Gambaran yang khas,
berupa retinitis, vaskulitis, atau koroiditis, bisa ditemukan dan sering kali memerlukan
tes diagnostic lanjutan. Infeksi tuberkulosis, sarkoidosis, dan sifilis harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien uveitis difus. Penyebab yang lebih jarang antara
lain oftalmia simpatika, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sindrom Behcet,
retinokoroiditis bird-shot dan limfoma intraocular. (3)

Gejala yang timbul umumnya berupa floaters, kehilangan lapang pandang atau
scotoma, atau penurunan tajam penglihatan, yang mungkin parah. Ablasio retina,
walaupun jarang paling sering terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bisa traksional,
regmatogenesa atau eksudatif. (3)

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk


uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan
histoplasmosis dapat berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan
tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya (3)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam penegakan
diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody
absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan diagnosa
dan etiologi uveitis anterior menurut George (2007) dan AOA (2004):
 Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB
 Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui
keganasan seperti limfoma dan leukimia.
 FTA-ABS test untuk Sifilis
 VRDL untuk sifilis
 Purified protein derivative (PPD) test untuk TB
42

 Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis


 Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis.
 HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter, inflammantory bowel
disease,psoriasis artritis, sindrom Behcet.
 Gallium scan untuk Sarkoidosis
 Anergy evaluation untuk Sarkoidosis
 Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
 MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of intraocular (CNS)
lymphoma.
 Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi
thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.

Tabel 2. Pemeriksaan penunjang mengarah ke penyebab uveitis anterior

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior
uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

3.9 Diagnosis Differensial


43

Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain: (3)
 Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada sekret mata dan
umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
 Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan
fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat
menyertai uveitis anterior sebenarnya.
 Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap.
 Setelah serangan berulang kali, uveitis non-granulomatosa dapat menunjukkan ciri uveitis
granulomatosa

3.10 Komplikasi dan Sekuele

 Glaukoma (peninggian tekanan bola mata)

Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan


hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penupukan cairan ini
bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos
humor sehigga terjadi glaukoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan midriatika.

 Katarak

Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan penggunaan
terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lensa
sehingga menimbulkan katarak. Operasi katarak pada mata yang uveitis lebih kompleks
lebih sering menimbulkan komplikasi post operasi jika tidak dikelola dengan baik.
Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap pre dan post operasi. Operasi
dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas inflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa
fakoemulsifikasi dengan penanaman IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki
visualisasi dan memiliki toleransi yang baik pada banyak mata dengan uveitis.

Prognosis penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini tergantung pada


penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic iridocyclitis operasi berjalan baik
dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan pada tipe lain (idiopatik, pars planitis, uveitis
44

associated with sarcoidosis, HSV, HZF, syphilis, toksoplasmosis, spondylo arthopathies)


menimbulkan masalah, walaupun pembedahan dapat juga memberikan hasil yang baik.

 Neovaskularisasi
 Ablasio retina

Akibat dari tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus.

 Kerusakan Neovaskular optikus


 Atropi bola mata
 Edem Kisoid Makulae

Terjadi pada uveitis anterior yang berkepanjangan.

3.11 Penatalaksanaan

Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain: (12)
o Mengembalikan tajam penglihatan
o Mengurangi rasa nyeri di mata
o Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan
o Mencegah terjadinya sinekia iris
o Mengendalikan tekanan intraokular

Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (1993) antara lain:


o Menekan peradangan
o Mengeliminir agen penyebab
o Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata.
 Terapi Non Spesifik
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu
midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
 Midriatik-sikloplegik

Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan


menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada
pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
 Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
 Mencegah adhesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.
 Menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
45

Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA
(2004) antara lain:
 Atropine 0,5%, 1%, 2%
 Homatropin 2%, 5%
 Scopolamine 0,25%
 Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
 Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang
bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui,
akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti
inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan
uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun
50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis:
 Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
 Sistemik

 Lokal
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah
paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang
minimal. Dan apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.
 Tetes mata

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea
sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat
topikal akan tergantung pada:
 Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka
makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
 Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat
dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan
preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada
palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
46

 Jenis pelarut yang dipakai


Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata
yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel.
Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam
lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air.
Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam
lemak maupun air(biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan
asetat bersifat biphasic.
 Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan
bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena
bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih
dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti:
Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan
lain-lain.
 Injeksi peri-okular

Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short
acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti
peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi peri-okular adalah :
-
Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular
dapat dianjurkan.
-
Uveitis unilateral.
-
Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
-
Anak-anak.
-
Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi
(toxoplasmosis) dan skleritis.
Lokasi injeksi peri-okular :
 Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
47

Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone


acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan
kronis segmen anterior bola mata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon
adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular
selama 2–4 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali
seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat
dipakai dexametason 2–4 mg.
b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
1. Perforasi bola mata.
2. Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-
kapsular posterior.
3. Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana
dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata.
4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
 Sistemik

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan


perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal
antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang
sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis
diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak
bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan
badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik :
1. Uveitis posterior
2. Uveitis bilateral
3. Edema makula
4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
48

Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak
diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung,
infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.
 Imunosupresan
 Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid.
Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini
dipertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–8 mg selama 3 bulan dan
dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat
Kolkhisindosis 0,5 mg–1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari.Selama terapi
sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita
hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari
100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan
kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah,
alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik,
keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)
Kontra indikasi sitostatika :
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
– Internist/hematologist
– Fasilitas monitoring sumsum tulang
– Fasilitas penanganan efek samping akut
 Siklosporin A

Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang
tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T
49

tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi
penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel
monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak
mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:
 Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi
limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat
fungsi sel B.
 Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
 Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan
produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan
sitolitik sel NK.
 Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak
mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.

1. Terapi Spesifik
 Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

 Sulfadiazin atau trisulfa :


Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.
 Pirimetamin :
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 3–6
minggu.
 Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) :
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi
asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat
terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk
metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka
kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah
depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
50

 Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa.
Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan
retina.
Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan
memberi hasil baik.
 Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini
kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
 Minosiklin :
Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.
 Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa.
 Infeksi virus
 Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan
sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama
antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian
diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir
intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
 Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14 hari. Kortikosteroid
sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis
anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
 Sitomegalovirus :
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20
mg/kgBB/perinfus.
Menurut Wiyana (1993), selama pemberian obat harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:
51

 Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan air, karena
adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai
pemberian KCl.
 Tensi darah harus diperiksa setiap hari
 Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah
 Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam setiap minggu
 Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.
Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi
dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil
apabila tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki
daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca, dilarang
minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang mudah dicerna, dan
memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain
seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan
bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab
tersebut (Wijana, 1993).

3.12 Prognosis

Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung


beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa berlangsung
berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat
menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis
bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan
penglihatan yang berarti.(3)

Anda mungkin juga menyukai