Anda di halaman 1dari 27

Ekonomi Kedelai di Indonesia

Tahlim Sudaryanto dan Dewa K.S. Swastika


Pusat Analisis Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor

PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang telah mengubah pola


konsumsi penduduknya, dari pangan penghasil energi ke produk penghasil
protein. Karena itu, kebutuhan protein baik nabati maupun hewani akan
terus meningkat, seiring dengan pertambahan penduduk, urbanisasi, dan
peningkatan pendapatan (Silitonga et al. 1996, Hutabarat 2003). Salah satu
komoditas pangan penghasil protein nabati yang dikenal masyarakat adalah
kedelai. Sejalan dengan perkembangan tersebut, maka industri pangan
berbahan baku kedelai akan terus berkembang. Di sisi lain, kebutuhan akan
protein hewani telah mendorong berkembangnya industri peternakan,
sehingga memacu pertumbuhan industri pakan ternak. Komponen
terpenting kedua dari pakan konsentrat (setelah jagung) adalah bungkil
kedelai (Tangendjaja et al. 2003). Di Indonesia, perkembangan industri
pangan berbahan baku kedelai dan industri pakan telah menyebabkan
permintaan akan kedelai terus meningkat jauh melampaui produksi dalam
negeri.

Dalam kelompok tanaman pangan, kedelai merupakan komoditas


terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Selain itu, kedelai juga merupakan
komoditas palawija yang kaya akan protein. Kedelai segar sangat
dibutuhkan dalam industri pangan dan bungkil kedelai dibutuhkan untuk
industri pakan. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat
penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat, karena selain aman
bagi kesehatan juga relatif murah dibandingkan sumber protein hewani.
Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk dan kebutuhan bahan baku industri olahan pangan seperti tahu,
tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya (Damardjati et al.
2005). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan memperkirakan konsumsi
kedelai saat ini sekitar 1,8 juta ton, dan bungkil kedelai sekitar 1,1 juta ton
(Ditjentan 2004). Hal ini diperkuat oleh data statistik dari FAO dan BPS, bahwa
konsumsi kedelai pada tahun 2004 sebesar 1,84 juta ton, sedangkan
produksi dalam negeri baru mencapai 0,72 juta ton. Kekurangannya diimpor
sebesar 1,12 juta ton, atau sekitar 61% dari total kebutuhan. Konsumsi per
kapita berfluktuasi tergantung ketersediaan, yaitu dari 4,12 kg pada tahun
1970 menjadi 10,85 kg pada tahun 2000 dan 7,90 kg pada tahun 2005, atau
secara keseluruhan meningkat rata-rata 2,3% per tahun selama 35 tahun
terakhir (BPS 2006).

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 1


Lebih dari 90% kedelai di Indonesia digunakan sebagai bahan pangan,
terutama pangan olahan, yaitu sekitar 88% untuk tahu dan tempe dan 10%
untuk pangan olahan lainnya serta sekitar 2% untuk benih (Kasryno et al.
1985, Sudaryanto 1996, Damardjati et al. 2005, Swastika et al. 2005). Produk
kedelai sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan dalam
menumbuh-kembangkan industri kecil dan menengah. Berkembangnya
industri pangan berbahan baku kedelai juga membuka kesempatan kerja,
mulai dari budi daya, pengolahan, transportasi, pasar sampai pada industri
pengolahan.

Sifat multiguna dari kedelai menyebabkan kebutuhan kedelai terus


meningkat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan berkembangnya
industri pangan berbahan baku kedelai. Kandungan gizi kedelai cukup
tinggi, terutama proteinnya dapat mencapai 34%, sehingga sangat diminati
sebagai sumber protein nabati yang relatif murah dibandingkan dengan
sumber protein hewani (Ditjentan 2004).

Namun produksi kedelai dalam negeri selama tiga dasawarsa terakhir


belum mampu memenuhi kebutuhan. Padahal sebelum tahun 1975,
Indonesia mampu berswasembada kedelai dengan nisbah produksi-
konsumsi lebih besar dari 1,0 (Swastika et al. 2000). Ketidakmampuan
produksi memenuhi kebutuhan dalam negeri telah menyebabkan impor
kedelai terus meningkat.

Mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, dan


industri pangan berbahan baku kedelai berkembang pesat maka komoditas
kedelai perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan di dalam negeri.
Upaya tersebut dapat ditempuh melalui strategi peningakatan produktivitas,
perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan kualitas
produk, perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembang-
an infrastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha.

Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan tentang profil ekonomi


kedelai saat ini dan prospek ke depan produksi kedelai di Indonesia, sebagai
bahan pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pengembangan
komoditas ini. Tulisan ini sebagian besar memanfaatkan hasil-hasil penelitian
sebelumnya dengan melakukan pemutakhiran untuk data yang tersedia
sampai tahun 2005.

2 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI

Perkembangan Produksi
Selama periode 1970-2005, areal panen kedelai di Indonesia berfluktuasi,
yaitu meningkat dari sekitar 0,69 juta ha pada tahun 1970 menjadi sekitar
1,33 juta ha pada tahun 1990 dan mencapai puncaknya pada tahun 1992
yaitu 1,66 juta ha, kemudian terus menurun menjadi 0,82 juta ha pada tahun
2000, dan 0,62 juta ha tahun 2004.

Penurunan areal panen mulai tajam dalam dekade 1990-2000, dengan


laju pertumbuhan –4,69%, dan lebih tajam lagi dalam periode 2000-2004,
yaitu –9,02% per tahun. Pertumbuhan areal panen yang negatif ini
merupakan ancaman bagi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan
konsumsi kedelai dalam negeri.

Produktivitas kedelai perlahan meningkat, yaitu dari 0,72 t/ha pada tahun
1970 menjadi sekitar 1,11 t/ha pada tahun 1990 dan 1,23 t/ha pada tahun
2000, serta sekitar 1,28 t/ha pada tahun 2004. Dengan kata lain, produktivitas
kedelai meningkat rata-rata 1,70% per tahun selama periode 1970-2004.
Selama periode 1990-2004, pertumbuhan produktivitas kedelai sudah
menurun namun tetap positif, yaitu sekitar 1,01% per tahun. Peningkatan
produktivitas merupakan cerminan adanya kemajuan teknologi budidaya
kedelai. Namun demikian, pertumbuhan produktivitas masih jauh di bawah
laju penurunan areal panen, sehingga produksi kedelai masih menurun
tajam selama sekitar 15 tahun terakhir. Secara lebih rinci, perkembangan
areal dan produksi kedelai disajikan pada Tabel 1.

Selama periode 1970-1992, produksi kedelai nasional masih tumbuh


meyakinkan, yaitu dari sekitar 0,50 juta ton pada tahun 1970 menjadi sekitar
0,65 juta ton dan 1,49 juta ton berturut-turut pada tahun 1980 dan 1990,
serta mencapai puncaknya pada tahun 1992 dengan produksi 1,87 juta ton.
Tingginya pertumbuhan ini sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan
areal panen, dan sebagian lagi karena perkembangan teknologi.
Pertumbuhan areal panen yang cukup nyata merupakan hasil dari berbagai
program peningkatan produksi menuju swasembada kedelai selama Pelita
IV (1984-1988) dan Pelita V (1989-1993). Program-program tersebut antara
lain: Insus Kedelai, Inmum Kedelai, dan Opsus Kedelai, termasuk
pengembangan kedelai di lahan marginal (Sihombing 1995, Manwan dan
Sumarno 1996).

Selanjutnya sejak 1992, produksi kedelai menurun tajam seiring dengan


penurunan areal panen, yaitu menjadi 0,82 juta ton pada tahun 2000 dan
0,81 juta ton pada tahun 2005. Dengan demikian, pertumbuhan produksi
selama 15 tahun terakhir adalah masing-masing –3,72% per tahun selama

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 3


Tabel 1. Perkembangan areal panen dan produksi kedelai di Indonesia, 1970-2005.

Tahun Areal panen Produktivitas Produksi


(ha) (t/ha) (ton)

1970 695.000 0,72 497.883


1972 698.000 0,74 518.229
1974 753.499 0,78 589.239
1976 646.336 0,81 521.777
1978 733.000 0,84 616.599
1980 732.000 0,89 652.762
1982 607.788 0,86 521.394
1984 859.000 0,90 769.384
1986 1.253.767 0,98 1.226.727
1988 1.177.400 1,08 1.270.418
1990 1.334.100 1,11 1.487.433
1992 1.665.000 1,12 1.869.713
1994 1.406.920 1,11 1.564.847
1996 1.273.290 1,19 1.517.180
1998 1.095.070 1,19 1.305.640
2000 825.000 1,23 1.018.000
2002 544.522 1,24 673.056
2004 * 565.155 1,28 723.483
2005 * 621.541 1,30 808.353

Pertumbuhan
1970-1980 0,52 2,21 2,75
1980-1990 6,19 2,26 8,58
1990-2000 -4,69 1,02 -3,72
2000-2005 -5,51 1,00 -4,51

Sumber: FAO 2006; * = BPS 2006 (diolah).

periode 1990-2000, dan –4,51% per tahun selama periode 2000-2005.


Penurunan produksi yang sangat tajam ini telah menyebabkan Indonesia
sangat tergantung pada impor kedelai.

Kendala yang diduga menyebabkan terus menurunnya areal panen


kedelai antara lain adalah (Ditjentan 2004):

(1) Produktivitas yang masih rendah, sehingga kurang menguntungkan


dibandingkan komoditas pesaing lainnya
(2) Belum berkembangnya industri perbenihan
(3) Keterampilan petani yang masih rendah
(4) Rentan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT)
(5) Belum berkembangnya pola kemitraan, karena sektor swasta belum
tertarik untuk melakukan agribisnis kedelai

4 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


(6) Kebijakan perdagangan bebas (bebas tarif impor), sehinga harga kedelai
impor lebih murah dari kedelai produksi dalam negeri. Sebagao contoh,
tahun 2002 harga riil kedelai impor Rp 298/kg lebih murah dari kedelai
dalam negeri yang mencapai Rp 344/kg.
Kendala tersebut menyebabkan banyak petani yang beralih dari kedelai
ke tanaman lain, seperti jagung hibrida atau palawija lain yang lebih
menguntungkan. Ke depan, diperlukan upaya keras dalam peningkatan
produksi kedelai guna mengurangi ketergantungan pada impor.

Perkembangan Konsumsi
Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk
produk olahan, yaitu: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai
bentuk makanan ringan (snack). Data statistik menunjukkan bahwa
konsumsi kedelai (secara global) selama 35 tahun terakhir berfluktuasi,
tergantung ketersediaan, yaitu meningkat dari sekitar 4,12 kg/kapita pada
tahun 1970 menjadi 11,14 kg/kapita pada tahun 1990, meningkat lagi
mencapai puncaknya (13,60 kg/kapita) pada tahun 1992. Sejak tahun 1992,
produksi kedelai terus menurun melampaui kenaikan volume impor,
sehingga kedelai yang tersedia untuk konsumsi dalam negeri menurun. Di
lain pihak, jumlah penduduk terus meningkat, sehingga rata-rata konsumsi
kedelai menurun menjadi sekitar 10,85 kg/kapita pada tahun 2000 dan 8,12
kg/kapita pada tahun 2005.

Seperti halnya konsumsi per kapita, total konsumsi juga meningkat


selama periode 1970-1992, yaitu dari 0,49 juta ton pada tahun 1970 menjadi
1,54 juta ton pada tahun 1990, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992
yaitu sebesar 2,56 juta ton. Sejak itu, total konsumsi kedelai dalam negeri
menurun menjadi sekitar 2,30 juta ton pada tahun 2000 dan 1,84 juta ton
pada tahun 2005. Selama periode 1990-an, total konsumsi terendah adalah
pada tahun 1998. Hal ini terutama disebabkan oleh mahalnya kedelai impor
akibat tingginya nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah, sehingga impor kedelai
turun drastis. Turunnya volume impor kedelai secara otomatis menurunkan
volume persediaan (penawaran) dalam negeri. Konsumsipun menyesuai-
kan dengan ketersediaan kedelai di dalam negeri. Selama periode 1990-
2000, total konsumsi kedelai masih meningkat rata-rata 1,24%/tahun,
terutama disebabkan oleh pertumbuhan penduduk (Tabel 2). Sementara
itu, produksi sudah menurun dengan rata-rata 3,72%/tahun. Pada periode
2000-2005, total konsumsi turun rata-rata 3,14%/tahun, sedangkan total
produksi sudah menurun rata-rata 4,51%/tahun. Tingginya penurunan
produksi, relatif terhadap konsumsi, mempunyai implikas bahwa Indonesia
akan menghadapi defisit yang makin besar. Hal ini konsisten dengan hasil
beberapa studi dari Swastika et al. (2000), Adnyana et al. (2001), dan

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 5


Tabel 2. Keseimbangan produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia, 1970-2005.

Tahun Produksi Konsumsi Neraca Penduduk Kons/kap


(ton) (ton) (ton) (juta) kg/kap/th

1970 497.883 493.930 3.953 120,00 4,12


1972 518.229 515.357 2.872 125,66 4,10
1974 589.239 585.241 3.998 131,46 4,45
1976 521.777 692.969 -171.192 137,50 5,04
1978 616.599 747.097 -130.498 143,75 5,20
1980 652.762 753.640 -100.878 150,13 5,02
1982 521.394 521.745 -351 156,56 3,33
1984 769.384 1.170.408 -401.024 163,02 7,18
1986 1.226.727 1.585.998 -359.271 169,45 9,36
1988 1.270.418 1.736.219 -465.801 175,84 9,87
1990 1.487.433 1.541.299 -53.866 182,12 8.46
1992 1.869.713 2.559.935 -690.222 188,26 13,60
1994 1.564.847 2.365.277 -800.430 194,27 12,18
1996 1.517.180 2.263.269 -746.089 200,15 11,31
1998 1.305.640 1.648.764 -343.124 205,90 8,01
2000 1.018.000 2.295.164 -1.277.164 211,56 10,85
2002 673.056 2.038.074 -1.365.018 217,13 9,39
2004 723.483 1.841.260 -1.117.777 222,78 8,26
2005 808.353 1.837.209 -1.028.856 226,34 8,12

Pertumbuhan
1970-80 2,75 4,32 2,27 2,00
1980-90 8,58 10,41 1,95 8,29
1990-00 -3,72 1,24 1,51 -0,26
2000-05 -4,51 -3,14 1,28 -4,36

Sumber: FAO (2006 a, b); BPS (2006) Diolah.

Simatupang et al. (2003), bahwa defisit kedelai akan berlanjut dan cenderung
terus meningkat minimal sampai tahun 2010, jika tidak ada upaya terobosan
yang berarti. Artinya, bahwa Indonesia akan makin tergantung pada impor
untuk menutupi defisit.

Indonesia selalu menghadapi defisit yang terus meningkat dari sekitar


0,17 juta ton pada tahun 1976 menjadi sekitar 1,03 juta ton pada tahun 2005.
Puncak defisit terjadi pada tahun 2002, yaitu sekitar 1,37 juta ton. Padahal
Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai sampai dengan tahun
1974, dengan indeks swasembada lebih besar dari satu (Swastika 1997).

Perkembangan manfaat kedelai disamping sebagai sumber protein,


makanan berbahan baku kedelai diyakini dapat dipakai sebagai penurun
kolesterol darah yang dapat mencegah penyakit jantung. Selain itu, kedelai
dapat berfungsi sebagai antioksidan dan dapat mencegah penyakit kanker.
Oleh karena itu, ke depan kebutuhan kedelai diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat tentang makanan sehat,

6 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


Tabel 3. Elastisitas harga terhadap areal dan produktivitas kedelai di Indonesia.

Elastisitas harga*)
Variabel harga Pertumbuhan harga
Areal Produktivitas 10 tahun terakhir**)

Harga riil kedelai 0,5104 0,1092 -2,57


Harga riil jagung -1,4243 - 0,05
Harga riil pupuk - -0.0242 -2.07

Sumber: *) Syafa’at et al. 2005; **) BPS 2006.

selain karena peningkatan pendapatan dan pertumbuhan penduduk


(Marwoto dan Hilman 2005).

Proyeksi Produksi
Dalam bahasan ini, proyeksi dilakukan dengan pendekatan tidak langsung,
yaitu melalui proyeksi areal panen dan produktivitas. Untuk areal panen,
proyeksi dilakukan dengan menggunakan elastisitas harga kedelai dan harga
komoditas pesaing. Sedangkan proyeksi untuk produktivitas menggunakan
elastisitas harga kedelai dan elastisitas harga pupuk. Hasil studi Syafa’at et
al. (2005) menunjukkan bahwa areal panen kedelai dipengaruhi oleh harga
kedelai dan harga jagung, sedangkan produktivitas kedelai dipengaruhi oleh
harga kedelai dan harga pupuk. Elastisitas harga terhadap areal panen dan
produktivitas kedelai disajikan pada Tabel 3.

Dengan memanfaatkan elastisitas seperti pada Tabel 3 dan mengguna-


kan data tahun 2005 sebagai tahun dasar, maka proyeksi untuk areal dan
produktivitas dapat dirumuskan sebagai berikut (Swastika et al. 2005):

n
At = A0 x (1 + Σ εiρi) t
i=1

m
Yt = Y0 x (1 + ηiΦi + Σ ηjΦj) t
j=1

Selanjutnya proyeksi produksi pada t tahun setelah tahun dasar adalah:

Qt = At x Yt

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 7


di mana:
vAt = Proyeksi areal pada t tahun setelah tahun dasar
A0 = Areal tanam pada tahun dasar (2005)
εi = Elastisitas harga komoditas i (kedelai dan jagung), terhadap areal
ρi = Pertumbuhan harga komoditas i (kedelai dan jagung)
Yt = Proyeksi produktivitas pada t tahun setelah tahun dasar
Y0 = Produktivitas pada tahun dasar (2005)
Ki = Elastisitas harga sendiri (kedelai), terhadap produktivitas kedelai
Φ i = Pertumbuhan harga sendiri (kedelai)
ηj = Elastisitas harga input pupuk terhadap produktivitas kedelai
Φ i = Pertumbuhan harga input pupuk
Qt = Produksi kedelai pada t tahun setelah tahun dasar.

Tujuan dari proyeksi produksi adalah untuk melihat kemampuan


produksi di masa mendatang dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dengan menggunakan formula di atas, dan data tahun 2005 sebagai tahun
dasar, maka hasil proyeksi areal panen, produktivitas, dan produksi dari
kedelai adalah seperti disajikan pada Tabel 4. Dari hasil proyeksi terlihat
bahwa tanpa terobosan yang berarti, pertumbuhan yang negatif tidak hanya
diproyeksikan pada areal tanam, tetapi juga pada produktivitas. Akibatnya,

Tabel 4. Proyeksi areal panen, produktivitas, dan produksi kedelai di


Indonesia, 2005-2020.

Proyeksi areal dan produksi kedelai


Tahun
Areal Produktivitas Produksi
(‘000 ha) (t/ha) (‘000 t)

2005 621.541 1,30 808.353


2006 612.964 1,30 795.339
2007 604.505 1,29 782.534
2008 596.163 1,29 769.935
2009 587.936 1,29 757.539
2010 579.822 1,29 745.342
2011 571.821 1,28 733.342
2012 563.929 1,28 721.536
2013 556.147 1,28 709.919
2014 548.472 1,27 698.489
2015 540.903 1,27 687.244
2016 533.439 1,27 676.179
2017 526.078 1,26 665.292
2018 518.818 1,26 654.581
2019 511.658 1,26 644.042
2020 504.597 1,26 633.673

Pertumbuhan (%/th) -1,38 -0,23 -1,61

Sumber: perhitungan proyeksi penulis

8 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


produksi akan menurun lebih tajam lagi, yaitu 1,61%/tahun selama periode
2005-2020. Penurunan produktivitas mencerminkan adanya kejenuhan
bahkan penurunan kualitas penerapan teknologi. Produksi yang sempat
naik menjadi 0,81 juta ton pada tahun 2005, diproyeksikan turun lagi menjadi
0,63 juta ton pada tahon 2020. Hal ini harus segera diantisipasi melalui
perbaikan teknologi dan penciptaan iklim usahatani kedelai yang lebih
menarik, agar produksi tumbuh positif.

Proyeksi Konsumsi
Proyeksi konsumsi kedelai dalam bahasan ini dilakukan dengan cara
memproyeksikan konsumsi per kapita dan proyeksi jumlah penduduk.
Proyeksi konsumsi per kapita dilakukan dengan menggunakan elastisitas
pendapatan, elastisitas harga kedelai, dan elastisitas silang harga komoditas
lainnya, berdasarkan hasil penelitian Simatupang et al. (2003) (Tabel 5).
Pertumbuhan harga masing-masing komoditas dan pendapatan per kapita
menggunakan data BPS 1993-2003.

Dengan memanfaatkan elastisitas pada Tabel 5, maka proyeksi konsumsi


per kapita kedelai di masa mendatang dapat dirumuskan sebagai berikut:

m
Ct = C0 x (1 + ð¥ + Σ εjρj) t
j=1

di mana:
Ct = Konsumsi kedelai per kapita pada t tahun setelah tahun dasar
C0 = Konsumsi kedelai per kapita pada tahun dasar (2005)
ð = elastisitas pendapatan terhadap konsumsi per kapita
¥ = pertumbuhan pendapatan riil per kapita
εj = Elastisitas harga komoditas j (kedelai, jagung, dan beras) terhadap
konsumsi kedelai per kapita
ρj = Pertumbuhan harga komoditas j (kedelai, jagung, dan beras)

Tabel 5. Elastisitas harga dan pendapatan terhadap konsumsi per kapita kedelai.

Variabel Elastisitas*) Pertumbuhan harga


10 tahun terakhir**)

Pendapatan/kapita riil 0,347 2,09


Harga riil kedelai -0,125 -2,57
Harga riil jagung -0,042 0,05
Harga beras riil 0,029 -0,86

Sumber: * = Simatupang et al. 2003; ** = BPS 2006

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 9


Proyeksi jumlah penduduk dilakukan dengan menggunakan per-
tumbuhan penduduk dengan tingkat yang makin rendah. Selama periode
1990-2003, pertumbuhan penduduk adalah 1,67% per tahun. Selanjutnya,
pertumbuhan penduduk diasumsikan menurun 0,03% per tahun, sehingga
pertumbuhan penduduk tahun 2004 adalah 1,64% dan tahun 2005 1,61%.
Proyeksi pertumbuhan penduduk adalah sebagai berikut:

Pt = P0 x (1 + r ) t

di mana
Pt = Jumlah penduduk pada t tahun setelah tahun dasar
P0 = Jumlah penduduk pada tahun dasar (2005)
r = laju pertumbuhan penduduk

Selanjutnya total konsumsi kedelai pada tahun t adalah Ct x Pt .

Dengan menggunakan formula di atas, dan data tahun 2005 sebagai


tahun dasar, maka proyeksi konsumsi per kapita dan total konsumsi kedelai
sampai 2020 adalah seperti disajikan pada Tabel 6.

Konsumsi per kapita kedelai diproyeksikan terus meningkat dari 8,12


kg pada tahun 2005 menjadi 9,46 kg pada tahun 2020, atau meningkat rata-
rata 1,02% per tahun selama periode 2005-2020. Di samping itu, penduduk
juga diproyeksikan tumbuh rata-rata 1,40% per tahun selama periode yang

Tabel 6. Proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia, 2005-2020.

Konsumsi/ Proyeksi Pertumbuhan Total


Tahun kap Pddk pddk konsumsi
(kg/th) (‘000 jiwa) (%) (‘000 ton)

2005 8,12 226.434 1,61 1.837


2006 8,20 230.079 1,58 1.887
2007 8,29 233.714 1,55 1.937
2008 8,37 237.337 1,52 1.987
2009 8,46 240.945 1,49 2.038
2010 8,54 244.535 1,46 2.089
2011 8,63 248.105 1,43 2.141
2012 8,72 251.653 1,40 2.194
2013 8,81 255.176 1,37 2.247
2014 8,90 258.672 1,34 2.301
2015 8,99 262.138 1,31 2.356
2016 9,08 265.572 1,28 2.411
2017 9,17 268.971 1,25 2.467
2018 9,27 272.333 1,22 2.523
2019 9,36 275.656 1,19 2.580
2020 9,46 278.936 1,16 2.637

Sumber: perhitungan proyeksi penulis

10 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


sama. Oleh karena itu, total konsumsi kedelai diproyeksikan maningkat dari
1,84 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2,64 juta ton pada tahun 2020, atau
meningkat rata-rata 2,44% per tahun.

Proyeksi Keseimbangan Produksi dan Konsumsi


Tingginya proyeksi pertumbuhan konsumsi merupakan tantangan yang
berat bagi Indonesia dalam memenuhi bebutuhan kedelai dalam negeri di
masa mendatang. Hal ini diperburuk lagi oleh proyeksi pertumbuhan areal
dan produksi yang negatif. Kondisi ini akan menyebabkan defisit kedelai
yang makin besar. Dengan kata lain, ketergantungan Indonesia pada kedelai
impor akan makin tinggi. Tabel 7 berikut ini memperlihatkan bahwa defisit
diproyeksikan terus meningkat dari 1,03 juta ton pada tahun 2005 menjadi
2,00 juta ton pada tahun 2020, atau meningkat rata-rata 4,55% per tahun
selama periode 2005-2020.

Jika Indonesia ingin mengurangi ketergantungan pada impor, maka


program pengembangan peningkatan produksi kedelai sudah harus segera
diberi prioritas, sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi dan jagung.
Jika tidak, maka ke depan ketergantungan pada kedelai impor akan terus
meningkat. Tantangannya adalah bagaimana mengembalikan areal tanam

Tabel 7. Proyeksi keseimbangan produksi dan konsumsi kedelai di


Indonesia, 2004-2020.

Tahun Produksi Konsumsi Neraca


(‘000 ton) (‘000 ton) (‘000 ton)

2005 808,35 1.837,00 -1.028,65


2006 795,34 1.887,30 -1.091,96
2007 782,53 1.936,67 -1.154,14
2008 769,93 1.986,75 -1.216,82
2009 757,54 2.037,53 -1.279,99
2010 745,34 2.088,98 -1.343,64
2011 733,34 2.141,09 -1.407,75
2012 721,54 2.193,86 -1.472,33
2013 709,92 2.247,27 -1.537,35
2014 698,49 2.301,29 -1.602,80
2015 687,24 2.355,92 -1.668,67
2016 676,18 2.411,12 -1.734,94
2017 665,29 2.466,89 -1.801,60
2018 654,58 2.523,20 -1.868,62
2019 644,04 2.580,04 -1.936,00
2020 633,67 2.637,37 -2.003,70

Pertumb (%) -1,61 2,44 4,55

Sumber: perhitungan proyeksi penulis

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 11


kedelai yang pernah dicapai pada dasawarsa 1990-an, sementara lahan
yang tersedia terbatas dan digunakan untuk berbagai tanaman palawija,
terutama yang lebih kompetitif. Oleh karena itu, perbaikan teknologi saja
tidaklah cukup. Kebijakan yang memberi insentif bagi petani kedelai harus
terus diupayakan, agar petani masih tertarik untuk berusahatani kedelai.

PERDAGANGAN KEDELAI

Impor dan ekspor


Perdagangan komoditas pertanian dari dan ke Indonesia (internasional)
terdiri dari ekspor dan impor. Aktivitas ekspor atau impor suatu komoditas
sangat ditentukan oleh keseimbangan produksi dan kebutuhan konsumsi
dalam negeri. Jika produksi dalam negeri melebihi konsumsi dan ada insentif
harga untuk mengekspor, maka negara akan mengekspor komoditas
tersebut. Sebaliknya, jika kebutuhan konsumsi dalam negeri melebihi
produksi, maka sebagian kebutuhan konsumsi akan dipenuhi melalui
impor. Namun ada kalanya suatu negara melakukan ekspor dan impor dalam
periode yang sama, terutama karena adanya perbedaan kualitas produk
yang diperdagangkan atau adanya komitment menjaga quota dalam
hubungan dagang antar negara (Syafa’at et al. 2005), Demikian juga halnya
di Indonesia dalam perdagangan luar negeri komoditas pertanian, termasuk
kedelai.

Selama periode 1970-1974, perdagangan kedelai Indonesia mengalami


surplus. Namun sejak tahun 1976, perdagangan kedelai Indonesia selalu
dalam posisi defisit. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ketidak-
mampuan Indonesia memenuhi kebutuhan kedelai dari produksi dalam
negeri. Volume ekspor selalu jauh di bawah volume impor, sehingga
Indonesia selalu menjadi negara net importir untuk kedelai. Dengan kata
lain, sejak 1976 Indonesia belum pernah mencapai swasembada kedelai.
Defisit kedelai terus meningkat dari 0,17 juta ton pada tahun 1976 menjadi
0,54 juta ton pada tahun 1990 dan 1,03 juta ton pada tahun 2005. Puncak
impor dan defisit terjadi pada tahun 2002, dimana volume impor mencapai
1,37 juta ton dan defisit perdagangan sebesar 1,36 juta ton lebih.

Volume impor kedelai selama tahun 2002-2004 rata-rata mencapai


sekitar 63,94% dari total kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, produksi
kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 36,06% dari total
kebutuhan. Kenyataan ini mencerminkan sangat tingginya ketergantungan
Indonesia pada kedelai impor. Mangingat perkembangan defisit per-
dagangan yang makin tinggi, maka di masa mendatang impor kedelai
diperkirakan akan makin meningkat. Hasil ini sesuai dengan hasil proyeksi
keseimbangan produksi dan konsumsi di atas.

12 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


Tabel 8. Perkembangan impor dan ekspor kedelai di Indonesia, 1970-2004.

Tahun Volume Impor Volume Ekspor Neraca


(ton) (ton) (ton)

1970 0 3.953 3.953


1972 183 3.055 2.872
1974 150 4.148 3.998
1976 171.746 554 -171.192
1978 130.498 0 -130.498
1980 100.878 0 -100.878
1982 361 10 -351
1984 401.024 0 -401.024
1986 359.271 0 -359.271
1988 465.839 38 -465.801
1990 541.060 240 -540.820
1992 694.133 3.911 -690.222
1994 800.461 31 -800.430
1996 746.329 240 -746.089
1998 343.124 0 -343.124
2000 1.277.685 521 -1.277.164
2002 1.365.253 235 -1.365.018
2004 1.117.790 13 -1.117.777

Sumber: FAO 2006b, diolah.

Selain kedelai dalam bentuk biji untuk pangan, Indonesia juga meng-
impor bungkil kedelai yang digunakan sebagai bahan baku pakan, namun
tidak dibahas dalam tulisan ini. Secara lebih rinci, keseimbangan impor dan
ekspor biji kedelai disajikan pada Tabel 8.

Perdagangan Dalam Negeri


Perkembangan Harga
Damardjati et al. (2005) mengungkapkan bahwa penurunan harga riil kedelai
diduga menjadi disinsentif yang menyebabkan terjadinya penurunan areal
panen kedelai. Selain itu, persaingan penggunaan lahan dengan palawija
lainnya juga merupakan salah satu penyebab turunnya areal panen kedelai.
Indikatornya ialah kenaikan harga riil jagung. Secara teoritis, kenaikan harga
jagung akan mendorong petani untuk menanam komoditas tersebut.
Konsekuensinya ialah bahwa kenaikan areal tanam jagung (sebagai
komoditas pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal untuk
kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama. Dengan
menggunakan data FAO tahun 1991-2002, Damardjati et al. (2005)
membandingkan perkembangan harga riil kedelai dengan jagung pada
tingkat produsen. Selain itu, juga digunakan data harga riil kedelai impor
dari Ditjentan (2004) sebagai indikator daya saing kedelai produksi dalam

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 13


Tabel 9. Perkembangan harga riil kedelai dan jagung di Indonesia, 1991-2002.

Tahun Harga riil kedelai1 Harga riil jagung1 Harga riil kedelai impor2
(Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg)

1991 493 143 -


1992 454 126 276
1993 484 133 278
1994 515 158 296
1995 472 164 286
1996 476 185 303
1997 337 123 239
1998 330 117 290
1999 321 132 234
2000 277 114 223
2001 324 150 230
2002 344 159 298

-3,21 0,98 0,75

Sumber: 1FAO (2004), dan 2Ditjentan (2004) dalam Damardjati et al. 2005.

negeri seperti disajikan pada Tabel 9. Dari kedua indikator ini terlihat betapa
kedelai dalam negeri mempunyai daya saing yang lemah.

Harga riil kedelai selama periode 1991-2002 berfluktuasi dari tahun ke


tahun, namun secara umum mengalami penurunan dari Rp 493/kg pada
tahun 1991 menjadi Rp 344/kg pada tahun 2002, atau turun rata-rata 3,21%
per tahun. Di lain pihak, harga riil jagung ternyata meningkat rata-rata 0,98%
per tahun selama periode yang sama. Perkembangan harga yang ber-
lawanan dari kedua komoditas ini mempunyai implikasi dalam persaingan
penggunaan lahan. Kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk
menanam jagung, sehingga akan menurunkan areal tanam kedelai.

Dari segi persaingan harga pasar, ternyata harga riil kedelai impor jauh
lebih murah dari pada kedelai produksi dalam negeri. Hal ini juga merupakan
disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai. Selama harga kedelai impor
lebih rendah, maka arus impor akan makin deras, sehingga harga kedelai
produksi dalam negeri akan makin turun. Hal ini menyebabkan petani
enggan menanam kedelai. Kedua faktor di atas diduga merupakan
penyebab turunnya areal kedelai secara drastis selama periode 1990-2005.
Jika kondisi ini terus berlangsung tanpa ada terobosan kebijakan dalam
pemasaran kedelai, maka prospek pengembangan kedelai di Indonesia
akan makin buruk.

14 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


Pemasaran
Seperti telah diungkapkan di atas, bahwa kedelai pada umumnya
dikonsumsi dalam bentuk produk olahan. Oleh karena itu, pemasarannya
mulai dari daerah sentra produksi ke industri pengolahan melalui pedagang
pengumpul tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi, serta
bermuara ke konsumen akhir. Selain dari petani, kedelai di pasar domestik
juga sebagian berasal dari impor. Kedelai impor umumnya dibeli oleh
koperasi pengrajin tahu dan tempe (KOPTI), untuk selanjutnya dipasarkan
ke pengerajin tahu dan tempe. Adapun secara umum rantai pemasaran
kedelai adalah seperti disajikan pada Gambar 1 (Damardjati et al. 2005).

Kedelai di tingkat petani dibeli oleh pedagang pengumpul (desa,


kecamatan, kabupaten) yang kemudian dijual ke pedagang grosir
(kabupaten atau provinsi), selanjutnya ke pengecer dan pengolah. Dalam
pemasaran kedelai, petani umumnya berada dalam posisi tawar yang lemah,
sehingga harga kedelai di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh
pedagang. Oleh karena itu, harga riil di tingkat produsen (petani) cenderung
terus menurun.

Daya Saing Usahatani


Secara finansial usahatani kedelai di Indonesia masih menguntungkan
(Ditjentan 2004). Namun jika dibandingkan dengan komoditas palawija yang
lain secara komparatif, daya saing kedelai paling lemah. Tabel 10 menyajikan
analisis usahatani berbagai komoditas palawija di Indonesia.

Importir
Petani

KOPTI
Pedagang
Pengumpul Desa

Grosir Pengecer Pengolah

Konsumen akhir

Gambar 1. Rantai pemasaran kedelai di Indonesia.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 15


Tabel 10. Perbandingan keuntungan usahatani beberapa komoditas palawija

No. Komoditas Analisis usahatani (Rp)

1. Kedelai
- Biaya Produksi 2.325.000
- Penerimaan (1.278 kg x Rp 2.500) 3.195.000
- Pendapatan 870.000
- R/C 1,37
2. Kacang Tanah
- Biaya Produksi 3.169.400
- Penerimaan (1.133 kg x Rp 5.000) 5.665.000
- Pendapatan 2.495.000
- R/C 1,79
3. Kacang Hijau
- Biaya Produksi 1.571.500
- Penerimaan (943 kg x Rp 3.500) 3.300.000
- Pendapatan 1.728.500
- R/C 2,10
4. Jagung (Hibrida)
- Biaya Produksi 3.831.500
- Penerimaan (6.000 kg x Rp 1.000) 6.000.000
- Pendapatan 2.168.500
- R/C 1,57

Sumber: Ditjentan 2004, menggunakan harga nominal tahun 2003

Keuntungan absolut maupun rasio penerimaan dengan biaya (R/C)


untuk kedelai lebih rendah dari pada jagung hibrida, kacang tanah, dan
kacang hijau. Hasil analisis ini mencerminkan betapa kedelai kurang
kompetitif jika dibandingkan dengan komoditas palawija lainnya.

Selain itu, keuntungan finansial kedelai belum dapat menggambarkan


tingkat efisiensi ekonomi usahatani, karena masih banyak terdapat
komponen subsidi atau proteksi. Oleh karena itu, masih diperlukan evaluasi
daya saing kedelai secara ekonomi. Studi daya saing yang pernah dilakukan
oleh Gonzales et al. (1993) menunjukkan bahwa secara ekonomi usahatani
kedelai di Indonesia belum mempunyai keunggulan komparatif dan
kompetitif, baik yang dilakukan secara tradisional maupun secara komersial,
untuk ketiga tujuan pemasaran, yaitu perdagangan antar wilayah (IRT),
substitusi impor (IS), dan promosi ekspor (EP). Hal ini diperlihatkan oleh
nilai domestic resource cost ratio (DRCR) yang lebih besar dari 1,00. Artinya
ialah bahwa untuk memperoleh penerimaan atau penghematan devisa
sebesar US$ 1,00 memerlukan korbanan sumber daya domestik melebihi
US$ 1,00.

Studi yang dilakukan Rusastra (1996) juga memperlihatkan hasil yang


konsisten dengan Gonzales et al. (1993), bahwa pengembangan kedelai di
beberapa sentra produksi (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat) secara

16 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


ekonomi tidak efisien, baik untuk perdagangan antarwilayah, substitusi
impor, maupun promosi ekspor. Angka DRCR berkisar antara 1,72-1,85
untuk IRT; 1,53-1,71 untuk IS; dan 1,73-1,97 untuk EP. Artinya bahwa untuk
menghemat devisa US$ 1,00, dari pengurangan impor, diperlukan sumber
daya domestik minimal US$ 1,53. Di antara ketiga tujuan pasar, promosi
ekspor kedelai adalah yang paling tidak efisien. Sebab untuk memperoleh
devisa US$ 1,00, dibutuhkan sumber daya domestik senilai minimal US$ 1,73.

Agar memiliki daya saing yang tinggi, maka arah pengembangan


komoditas kedelai adalah dengan meningkatkan produktivitas, memperbaiki
kualitas dan dayaguna kedelai sebagai produk olahan yang mampu bersaing
dengan produk olahan dari bahan baku non kedelai. Di samping itu,
diperlukan kebijakan yang dapat melindungi harga kedelai domestik dengan
pemberlakuan tarif impor serta pembatasan jumlah impor.

Kebijakan Harga
Harga komoditas kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah.
Harga kedelai sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar, yang
tergantung pada permintaan dan penawaran (demand and supply). Harga
nominal kedelai di tingkat petani berfluktuasi, disaat panen raya harga jatuh
hingga Rp 2.750/kg, meskipun pada awal tahun 2005 mencapai sekitar
Rp3.800/kg (Damardjati et al. 2005). Pemerintah Indonesia sudah menentu-
kan tarif impor untuk kedelai sebesar 10%, namun masih belum direalisasi
(Ditjen Bea Cukai 2005). Belum berlakunya tarif impor pada saat ini
menyebabkan jumlah kedelai impor semakin besar, sehingga harga kedelai
di dalam negeri jatuh dan petani enggan menanam kedelai. Oleh karena itu,
pengendalian impor dan pengamanan pasar dalam negeri perlu
ditingkatkan.

PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

Prospek Pengembangan

Sentra Produksi
Tanaman kedelai yang merupakan tanaman cash crop dibudidayakan di
lahan sawah, terutama sawah irigasi setengah teknis dan tadah hujan, serta
di lahan kering. Sekitar 60% areal pertanaman kedelai terdapat di lahan
sawah dan 40% lainnya di lahan kering. Areal pertanaman kedelai tersebar
di seluruh Indonesia dengan luas masing-masing seperti disajikan pada
Tabel 11.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 17


Penurunan luas areal tanam yang cukup tajam terjadi di pulau Jawa
dan Sumatera yang sejak semula merupakan sentra produksi kedelai.
Namun demikian, pulau Jawa masih tetap merupakan sentra produksi
utama, sedangkan posisi Sumatera pada tahun 2003 diambil alih oleh Bali
dan NTB. Penurunan areal tanam kedelai, terutama di Jawa dan Sumatera,
diduga berkaitan dengan banjirnya kedelai impor sehingga nilai kompetitif
dan komparatif tanaman kedelai di Indonesia menurun. Oleh karena itu,
tampaknya sangat sulit untuk mengembalikan luas areal panen kedelai
seperti yang pernah dicapai pada dekade 1990-an, terutama tahun 1992.
Namun demikian, areal yang pernah dicapai pada tahun 1992 merupakan
potensi yang bisa diupayakan untuk dicapai kembali dengan berbagai
terobosan.

Potensi Lahan
Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan kedelai dapat diarahakan
ke propinsi-propinsi yang pernah berhasil menanam kedelai. Pengalaman
keberhasilan suatu daerah dalam memproduksi kedelai dalam skala luas
mencerminkan kesesuaian daerah tersebut untuk pengembangan tanaman
kedelai. Dari Tabel 11, terlihat sebaran areal panen kedelai di beberapa
daerah yang pernah dicapai pada tahun 1992. Sebaran ini mencerminkan
potensi daerah tersebut dalam pengembangan tanaman kedelai.
Berdasarkan agroekosistem, pengembangan areal tanam kedelai di daerah
potensial dapat dilakukan pada lahan sawah, lahan kering (tegalan), lahan
bukaan baru dan lahan pasang surut yang telah direklamasi.

Tabel 11. Penyebaran areal kedelai menurut wilayah tahun 1992 dan 2003.

1992 2003
Wilayah
Luas areal (ha) (%) Luas areal (ha) (%)

Sumatera 480.714 28,86 40.896 7,76


Jawa 879.650 52,81 374.346 71,06
Kalimantan 23.148 1,39 9.591 1,82
Bali & NTB 152.388 9,15 73.944 14,04
Sulawesi 124.551 7,48 22.987 4,36
Maluku & Papua 5.255 0,32 5.031 0,96

Jumlah 1.665.706 100,00 526.796 100,00

Sumber: Ditjentan 2004

18 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


Strategi Pengembangan
Peningkatan Produksi
Dalam Rencana Pembangunan Pertanian Jangka Menengah (RPPJM: 2005-
2010), Departemen Pertanian menyatakan bahwa sasaran pengembangan
kedelai adalah meningkatkan produksi nasional dengan pertumbuhan
sebesar 7% per tahun. Dengan volume produksi tahun 2005 sebesar 808,35
ribu ton, maka produksi kedelai tahun 2006 diharapkan 864,94 ribu ton biji
kering. Sasaran produksi adalah disajikan pada Tabel 12. Sasaran produksi
tersebut berada diatas proyeksi produksi berdasarkan elastisitas harga untuk
areal dan produktivitas (Tabel 4), di mana tanpa terobosan yang berarti per-
tumbuhan produksi diproyeksikan –1,61%/tahun. Untuk mencapai sasaran
pertumbuhan produksi 7% per tahun, diperlukan upaya keras dan konsisten
melalui berbagai strategi, terutama peningkatan areal panen, produktivitas
dan mutu, kebijakan pengadaan sarana produksi, serta pemasaran. Tabel
12 menyajikan sasaran produksi dengan tingkat pertumbuhan 7% per tahun,
dengan proyeksi konsumsi seperti pada Tabel 6 di atas.

Alternatif strategi yang ditempuh adalah peningkatan areal panen 4%


per tahun dan peningkatan produktivitas 3% per tahun. Apabila sasaran
peningkatan produksi tersebut berhasil dicapai, maka defisit diperkirakan
dapat ditekan dari 1,03 juta ton pada tahun 2005 menjadi 0,95 juta ton pada
tahun 2010 dan hanya 0,14 juta ton pada tahun 2020. Selain itu, sasaran

Tabel 12. Sasaran produksi dan proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia, 2005-2020

Tahun Areal Produktivitas Produksi Konsumsi Defisit %


(‘000 ha) (t/ha) (‘000 t) (‘000 t) (‘000 t) defisit

2005 621,54 1,30 808,35 1.837,00 1.028,65 56,00


2006 646,40 1,34 865,91 1.887,30 1.021,39 54,12
2007 672,26 1,38 927,56 1.936,67 1.009,11 52,11
2008 699,15 1,42 993,60 1.986,75 993,15 49,99
2009 727,12 1,46 1.064,35 2.037,53 973,18 47,76
2010 756,20 1,51 1.140,13 2.088,98 948,85 45,42
2011 786,45 1,55 1.221,31 2.141,09 919,79 42,96
2012 817,91 1,60 1.308,26 2.193,86 885,60 40,37
2013 850,62 1,65 1.401,41 2.247,27 845,86 37,64
2014 884,65 1,70 1.501,19 2.301,29 800,10 34,77
2015 920,03 1,75 1.608,08 2.355,92 747,84 31,74
2016 956,83 1,80 1.722,57 2.411,12 688,55 28,56
2017 995,11 1,85 1.845,22 2.466,89 621,67 25,20
2018 1.034,91 1,91 1.976,60 2.523,20 546,60 21,66
2019 1.076,31 1,97 2.117,33 2.580,04 462,71 17,93
2020 1.119,36 2,03 2.268,09 2.637,37 369,28 14,00

Pertumb. (%) 4,00 3,00 7,00 2,44 -6,60

Sumber: Proyeksi penulis.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 19


penurunan impor dari sekitar 61% pada tahun 2004 menjadi sekitar 40%
dapat dicapai pada tahun 2012.

Perluasan Areal Panen


Perluasan areal panen dapat ditempuh melalui berbagai strategi, antara
lain: perluasan areal tanam, peningkatan indeks pertanaman dengan
memasukkan kedelai pada MK II untuk sawah irigasi dan MK I pada sawah
tadah hujan, atau tumpang sari dengan tanaman perkebunan yang belum
menghasilkan di propinsi-propinsi yang potensial dan sudah pernah berhasil
menanam kedelai. Selain itu, perluasan areal tanam juga dapat dilakukan
pada lahan bukaan baru atau lahan pasang surut yang sudah direklamasi.
Untuk lahan bukaan baru diperlukan rhizobium (legin, dan sebafgainya),
sedangkan pada lahan pasang surut diperlukan kapur pertanian sebagai
amelioran. Berdasarkan wilayah, Jawa, Sumatera, dan Sulawesi merupakan
daerah yang potensial untuk memperluas areal tanam kedelai. Namun untuk
itu, diperlukan insentif usahatani agar petani lebih tertarik menanam kedelai.

Peningkatan Produktivitas
Produtivitas dapat ditingkatkan melalui introduksi inovasi teknologi. Salah
satu komponen teknologi yang paling mudah dan cepat menyebar adalah
varietas unggul baru (VUB) yang berdaya hasil tinggi, karena kontribusi
varietas unggul dalam meningkatkan produktivitas paling mudah dilihat
dan dipahami oleh petani. Oleh karena itu, perakitan varietas unggul baru
yang mempunyai karakter produktivitas tinggi serta toleran terhadap
cekaman lingkungan biotik dan abiotik sangat diperlukan dalam rangka
peningkatan produksi kedelai. Saat ini ada beberapa varietas unggul kedelai
yang telah dilepas ke masyarakat, seperti disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Varietas unggul baru kedelai yang dilepas tahun 2001-2004.

Nama varietas Potensi hasil Umur Ukuran Adaptasi


(t/ha) (hari) biji

Sinabung 2,5 88 Sedang Lahan sawah


Kaba 2,6 85 Sedang Lahan sawah
Anjasmoro 2,5 85 Besar Lahan sawah
Mahameru 2,5 87 Besar Lahan sawah
Panderman 2,5 85 Besar Lahan sawah
Ijen 2,5 85 Sedang Lahan sawah
Tanggamus 2,7 88 Sedang Lahan kering
Sibayak 2,5 89 Sedang Lahan kering
Nanti 2,5 91 Sedang Lahan kering
Ratai 2,6 90 Sedang Lahan kering
Seulawah 2,7 90 Sedang Lahan kering

Sumber: Marwoto dan Hilman (2005).

20 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


Varietas kedelai unggul tersebut merupakan komponen teknologi yang
penting diterapkan untuk meningkatkan produktivitas. Varietas unggul baru
yang dilepas mempunyai potensi hasil rata-rata 2,5 t/ha. Namun di tingkat
petani, yang dicerminkan oleh rataan produktivitas nasional, baru mencapai
1,28 t/ha. Ini berarti bahwa masih terdapat potensi dan peluang yang sangat
besar untuk meningkatkan produksi kedelai melalui peningkatan
produktivitas. Yang menjadi masalah hingga kini adalah baru 10% petani
yang menggunakan varietas unggul yang berlabel (Ditjentan 2004). Upaya
sosialisasi penggunaan varietas unggul sangat diperlukan untuk
meningkatkan produksi kedelai melalui peningkatan produktivitas.

Selain varietas unggul, komponen teknologi lainnya yang disinergikan


dengan varietas unggul adalah pengelolaan LATO (lahan, air, tanaman, dan
organisme pengganggu). Inovasi teknologi dengan penggunaan benih
bermutu, pembuatan saluran drainase, pemberian air yang cukup,
pengendalian hama dan penyakit dengan sistem pengendalian hama terpadu
(PHT), panen dan pascapanen dengan alsintan diharapkan mampu
meningkatkan produksi kedelai mendekati potensi genetiknya. Teknologi
produksi yang dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada
tanaman kedelai diharapkan mampu meningkatkan produksi hingga 2 t/ha.

Penyediaan Sarana Produksi


Penyediaan sarana produksi kedelai berupa benih, pupuk, pestisida, dan
alsintan mempunyai peran penting dalam proses peningkatan produksi
kedelai. Penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998
menyebabkan harga pupuk dan pestisida meningkat dengan tajam.
Rendahnya harga jual kedelai di tingkat petani dan tingginya harga pupuk
dan pestisida menyebabkan usahatani kedelai tidak menguntungkan.
Penyediaan sarana produksi dalam jenis, jumlah, waktu, mutu, tempat yang
tepat, dan harga yang terjangkau perlu diprioritaskan. Distribusi sarana
produksi sering menjadi hambatan, terutama bagi daerah sentra produksi
dengan aksesibilitas yang kurang baik. Penyediaan sarana produksi melalui
pembangunan kios-kios pertanian perlu ditingkatkan.

Penggunaan benih bermutu di tingkat petani masih di bawah 10%


(Ditjentan 2004). Peningkatan penggunaan benih unggul dilaksanakan
melalui upaya menciptakan iklim yang sesuai untuk perkembangan bisnis
benih kedelai. Pembinaan penangkar yang memproduksi benih bersertifikat
merupakan upaya untuk mendekatkan sarana produksi berupa benih
unggul di sentra produksi kedelai. Dengan dukungan ketersediaan sarana
produksi, diharapkan petani mampu menerapkan teknologi yang tepat
guna, sehingga produktivitas kedelai dapat ditingkatkan.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 21


Kebijakan dan program pendukung yang diperlukan untuk perbenihan
adalah: (1) Penataan kembali sistem perbenihan kedelai dengan peng-
gunaan model terintegrasi yang telah disusun sebagai kebijakan pemerintah,
(2) Penyederhanaan perangkat aturan perbenihan agar dapat menekan
biaya per unit dalam proses produksi benih, dan (3) Promosi varietas unggul
baru perlu dilakukan secara intensif kepada petani dengan koordinasi
Direktorat Perbenihan.

Peningkatan Nilai Tambah


Upaya untuk meningkatan nilai tambah dan daya saing kedelai di dalam
negeri dapat dilakukan melalui perbaikan bentuk makanan olahan berbahan
baku kedelai, makanan segar dengan kualitas polong maupun biji yang
seragam, menarik, dan kuantitas serta kualitas biji untuk bahan baku industri
cukup memadai. Bentuk makanan olahan yang menarik, rasa sesuai dengan
selera konsumen dan kemasan yang menarik akan mempunyai daya tarik
bagi konsumen. Damardjati et al. (2005) mencontohkan bahwa PT Garuda
Food telah berhasil memproduksi snack kedelai oven dengan rasa enak
dan dikemas dalam kemasan yang menarik dan terkesan elit. Produk ini
telah tersebar di banyak pasar swalayan.

Program penguatan industri pedesaan skala kecil maupun industri besar


yang bermitra dengan produsen kedelai perlu ditindaklanjuti. Upaya
peningkatan daya saing selain bentuk produk diperlukan juga penyuluhan,
promosi secara intensif, sehingga bisa mengendalikan konsumen untuk
mengonsumsi produk olahan kedelai. Promosi makanan berbahan baku
kedelai seperti susu, tempe, tauco, kecap, snack kaya akan protein, gizi
tinggi dan menyehatkan perlu diinformasikan kepada masyarakat melalui
media cetak maupun elektronik.

Pemasaran
Seperti halnya produk pertanian lainnya, pemasaran kedelai di tingkat petani
relatif lemah. Posisi tawar petani masih lemah yang disebabkan antara lain
oleh akses petani yang lemah terhadap informasi harga, relatif rendahnya
kualitas produk, sifat pasar yang cenderung oligopsoni, dan keterpaksaan
petani menjual segera produknya karena desakan kebutuhan rumahtangga
dan bayar hutang. Oleh karena itu, upaya peningkatkan nilai tambah serta
terciptanya harga kedelai yang wajar dalam rangka meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani perlu mendapat perhatian.

Guna melaksanakan kebijakan tersebut, maka strategi pengolahan dan


pemasaran kedelai yang perlu dilakukan adalah: (1) meningkatkan efisiensi
biaya pemasaran dan rantai pemasaran serta meningkatkan posisi tawar

22 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


petani sehingga memperoleh harga yang wajar, (2) meningkatkan harga
jual kedelai di tingkat petani, (3) meningkatkan efisiensi biaya pemasaran
dan memperpendek rantai pemasaran serta meningkatkan posisi tawar
petani sehingga memperoleh harga yang wajar.

Untuk maksud tersebut maka program pengembangan pengolahan


dan pemasaran kedelai mencakup: (1) pengembangan kemitraan pe-
masaran antara petani dengan pengusaha industri kedelai, (2) pengendalian
impor melalui penerapan kebijakan proteksi terutama tarif, (3) peningkatan
perdagangan antar pulau dalam rangka memperlancar aliran/distribusi
kedelai antarwilayah/pulau, (4) pengembangan/penguatan kelembagaan
pemasaran di tingkat petani, (5) pengembangan teknologi pengolahan
kedelai yang berbasis pada kedelai domestik agar sesuai dengan kebutuhan
industri dan pasar. Program terobosan ke depan yang perlu dikembangkan
antara lain adalah pembelian kedelai petani oleh pemerintah (proteksi
produk) untuk meningkatkan gairah petani dalam berusahatani kedelai,
sehingga dapat meningkatkan produksi kedelai nasional.

Dukungan Kebijakan
Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, diperlukan dukungan
kebijakan mulai dari subsistem hulu hingga subsistem hilir. Kebijakan yang
dibutuhkan antara lain adalah:

1. Kemudahan prosedur untuk mengakses modal kerja (kredit usaha)


bagi petani dan swasta yang berusaha dalam bidang agribisnis kedelai.
2. Percepatan diseminasi teknologi hasil penelitian dan percepatan
penerapan teknologi di tingkat petani melalui revitalisasi tenaga penyuluh
pertanian.
3. Pembinaan/pelatihan produsen/penangkar benih dalam aspek teknis
(produksi benih), manajemen usaha perbenihan serta pengembangan
pemasaran benih, penyediaan kredit usaha perbenihan bagi produsen
atau calon produsen benih.
4. Mempermudah penyediaan pupuk bagi petani, dengan menyederhana-
kan sistem distribusi pupuk.
5. Mendorong/membina pengembangan usaha kecil/rumah tangga dalam
subsistem hilir (pengolahan produk tahu, tempe, kecap, tauco, susu)
untuk menghasilkan produk olahan yang bermutu tinggi sesuai dengan
tuntutan konsumen.
6. Kebijakan makro untuk mendorong pengembangan kedelai di dalam
negeri dengan memberlakukan tarif impor sekitar 27%, seperti usulan
Departemen Pertanian.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 23


7. Pengembangan infrastruktur pertanian secara umum (pembukaan
lahan pertanian, pembuatan fasilitas irigasi dan jalan), juga akan
mendorong pengembangan kedelai di dalam negeri.
8. Kebijakan alokasi sumber daya (SDM, anggaran) yang memadai dalam
kegiatan penelitian dan pengembangan (R & D) dalam rangka
menghasilkan teknologi tepat guna, terutama varietas unggul baru.

PENUTUP

Produksi kedelai nasional sejak tahun 1992 menunjukkan tren penurunan.


Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya areal panen, yang
mencerminkan kurangnya insentif bagi petani untuk bertanam kedelai.
Harga kedelai impor yang lebih murah, karena perdagangan bebas
merupakan salah satu penyebab kondisi yang tidak kondusif bagi
pengembangan usahatani kedelai di dalam negeri.

Pertumbuhan permintaan kedelai selama 34 tahun terakhir cukup tinggi,


seiring dengan pertumbuhan penduduk dan berkembangnya industri
pangan berbahan baku kedelai. Pertumbuhan permintaan makin tidak dapat
diimbangi oleh pertumbuhan produksi, sehingga sejak tahun 1976
Indonesia selalu menjadi negara net importir kedelai. Dari hasil proyeksi
produksi dan konsumsi, Indonesia akan makin tergantung pada impor.
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, maka harus ada terobosan
baru dalam meningkatkan areal tanam dan produktivitas, untuk mencapai
pertumbuhan produksi 7% per tahun, seperti yang ditargetkan oleh
Departemen Pertanian.

Prospek pengembangan kedelai di dalam negeri untuk menekan impor


sampai sekitar 40% masih cukup baik, mengingat ketersediaan sumber daya
lahan masih memadai, iklim yang cocok, teknologi yang telah tersedia, serta
sumber daya manusia (petani) yang telah berpengalaman. Di samping itu,
pasar komoditas kedelai masih terbuka cukup luas. Jika pertumbuhan
produksi sebesar 7% per tahun dapat dicapai, maka impor kedelai Indonesia
akan turun dari sekitar 61% pada tahun 2004 menjadi sekitar 40% pada
tahun 2012. Penurunan impor ini sangat berarti dalam penghematan devisa
negara. Selain itu, jika pertumbuhan ini dapat dipertahankan secara
konsisten, maka pada tahun 2022 Indonesia diperkirakan bisa mencapai
swasembada kedelai.

Pengembangan kedelai di dalam negeri diarahkan melalui strategi


peningkatan areal tanam dan produktivitas. Perluasan areal tanam dilakukan
melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) di lahan sawah irigasi dan
tadah hujan, lahan kering yang diberakan (terlantar), serta areal tanaman
perkebunan yang belum menghasilkan. Peningkatan produktivitas dicapai

24 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


dengan penerapan teknologi yang sesuai (VUB dan LATO) untuk masing-
masing agroekosistem.

Agar sasaran pengembangan kedelai yang dimaksud tercapai,


diperlukan dukungan berbagai kebijakan, antara lain: (1) kebijakan
pemerintah yang kondusif, mulai dari penyediaan sumber modal dan sarana
produksi, hingga pemasaran hasil; (2) revitalisasi peran dan fungsi
penyuluhan, terutama di tingkat pemerintah daerah; (3) peningkatan
keterampilan petani dalam pengembangan budi daya tanaman kedelai; (4)
kebijakan pembatasan impor melalui pemberlakuan tarif impor; dan (5)
komitmen yang tinggi dari pemerintah dalam alokasi anggaran (termasuk
investasi sarana/prasarana) guna mendukung gerakan peningkatan
produksi kedelai dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., D.K.S. Swastika, and R. Kustiari, 2001. Dinamika dan antisipasi
pengembangan tanam pangan. Prosiding Seminar Nasional
“Perspectif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 Ke
Depan” Buku I. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
BPS. 2006. Angka Tetap Tahun 2005 dan Angka Ramalan II Tahun 2006
Produksi Tanaman Pangan. BPS, Jakarta.
Damardjati, D.S., Marwoto, D.K.S. Swastika, D.M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005.
Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Ditjen Bea Cukai. 2005. Sumber pola khusus program harmonisasi tarif bea
masuk Indonesia. www.tarif.depkeu.go.id/ Article/Program_
Hamonisasi 2005-2010. downloaded 11 April 2006.
Ditjentan. 2004. Profil kedelai (Glycine max). Buku 1. Direktorat Kacang-
Kacangan dan Umbi-Umbian. Departemen Pertanian. Jakarta.
FAO. 2006a. Harvested area and production of soybean. http://faostat.fao.org/
faostat/ form?Collection.Production.crops.Primar y&Domain.
downloaded April 2006.
FAO. 2006b. Soybeans import and export http://faostat.fao.org/faostat/
servlet/ XteServlet3?=Trade.CropsLivestockProducts&language=EN,
downloaded June 2006.
Gonzales, L.A., F. Kasryno, N.D. Perez, and M.W. Rosegrant, 1993. Economic
incentives and comparative advantage in Indonesian. Food Crop
Production Reseacrh Report 93. Intl. Food Polycy Resch Inst.,
Washinton DC.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 25


Hutabarat, B. 2003. Prospect of feed crops to support the livestock revolution
in South Asia: Framework of The study Project. CGPRT Centre
Monograph No. 42. UN-ESCAP, Bogor.
Kasryno, F. D.H. Darmawan, I W. Rusastra, dan C.A. Rasahan. 1985.
Pemasaran kedelai di Indonesia. In: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai.
Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Manwan, I. dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan penyebaran produksi
kedelai. In: Amang et al. (Eds.). Ekonomi Kedelai Di Indonesia. IPB
Press, Bogor.
Marwoto dan Y. Hilman. 2005. Teknologi kacang-kacangan dan umbi-umbian
mendukung ketahanan pangan. Kinerja Balitkabi 2003-2004. Balitkabi,
Malang.
Rusastra. 1996. Keunggulan komparatif, struktur proteksi, dan perdagangan
internasional kedelai Indonesia. In: Amang et al. (Eds.). Ekonomi
Kedelai di Indonesia. IPB Press, Bogor.
Sihombing, D.A. 1995. Prospek dan kendala pengembangan kedelai di
Indonesia. In: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Puslitbang Tanaman
Pangan. Bogor.
Silitonga, C., B. Santoso, dan N. Indiarto. 1996. Peranan kedelai dalam
perekonomian nasional. In: Amang, et al. (Eds.). Ekonomi Kedelai di
Indonesia. IPB Press. Bogor.
Simatupang, P., B. Sayaka, Saktyannu, S. Marianto, M. Ariani, dan N. Syafa‘at,
2003. Analisis kebijakan ketahanan pangan dalam era globalisasi dan
otonomi daerah. Makalah pada Prawidyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VIII, 14-15 Oktober 2003. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Sudaryanto, T. 1996. Konsumsi Kedelai. In: Amang et al. (Eds.). Ekonomi
Kedelai di Indonesia. IPB Press, Bogor.
Swastika, D.K.S. 1997. Swasembada kedelai antara harapan dan kenyataan.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, 15(1). Puslit Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
Swastika, D.K.S., M.O. Adnyana, Nyak Ilham, R. Kustiari, B. Winarso, dan
Soeprapto. 2000. Analisis penawaran dan permintaan komoditas
pertanian utama di Indonesia. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Swastika, D.K.S., M.O.A. Manikmas, B. Sayaka, and K. Kariyasa, 2005. The
status and prospect of feed crops in Indonesia. CAPSA Working Paper
No. 81. UN-ESCAP. Bogor.

26 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan


Syafa’at, N., P.U. Hadi, D.K. Sadra, E.M. Lakollo, A. Purwoto, J. Situmorang,
dan F.B.M. Debukke. 2005. Analisis permintaan dan penawaran
komoditas pertanian utama. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Tangendjaja, B., Y. Yusdja, dan Nyak Ilham. 2003. Analisis ekonomi
permintaan jagung untuk pakan. Dalam: Kasryno et al. (Eds.).
Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Sudaryanto dan Swastika: Ekonomi Kedelai di Indonesia 27

Anda mungkin juga menyukai