Anda di halaman 1dari 16

PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSIP

TOPIK
Typhoid Fever

Penyusun
dr. Wisnu Syahputra Suryanullah

Pendamping
dr. Ifit Bagus A.
dr. Ekowati Supartinah K.P.
Portofolio
Nama Peserta : dr. Wisnu Syahputra Suryanullah
Nama Wahana : RS. Prima Husada
Topik : Appendisitis Perforasi Tanggal Kasus : 23-07-2019
Nama Pasien : An. MD Nomor RM : 128468
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :

Tempat Presentasi :
Objek Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Masalah Manajemen Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan :
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama Pasien : An. MD Nomor RM :128468
Nama Klinik : Terdaftar Sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi
Keluhan utama :
Panas badan

Riwayat penyakit sekarang :


Panas badan sejak 6 hari yang lalu, dirasakan naik turun meningkat terutama malam hari,
sudah diberi obat panas tetapi panas hanya turun sebentar. Batuk dan pilek sejak satu minggu,
muntah 1x berisi makanan. BAB dan BAK dbn.

Riwayat penyakit dahulu : -


Riwayat faktor risiko dan keluarga : -

Riwayat sosial :

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS E4V5M6 = 15

Tanda – tanda vital


Frekuensi nadi : 80x/menit
Suhu : 38 C
Frekuensi nafas : 20x/menit
Saturasi : 99%

Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik -/-; Edema palpebra -/-
Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II regular; murmur (-); gallop (-)
Paru : Suara nafas vesikuler +/+; ronkhi -/- basal; wheezing -/-
Abdomen : Datar; soepel; nyeri tekan (+); defans muskular (-); hepar-lien tidak teraba
membesar; Bising usus (+) meningkat; Shifting dullness (-)
Ekstremitas : akral hangat (+); Edema ekstremitas (-); capillary refilling time < 2 detik
.
Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium :

Lab Value

Hemoglobine 12,0 11,0-16,5 g/dl


Leukocyte 12.100 3.500-10.300/µL

Trombocyte 329.000 100.000-390.000/µL


LED 14 L= <15 P= <20
MCV 81 80-97fL
MCH 28,7 26,5 – 33,5pg

MCHC 34,0 32 – 36 g/dL

Hematokrit 41 L= 40 – 54 P= 35 – 47

Imuno Serologi
Widal
Typhi – O (+) 1/320
Typhi – H (+) 1/320
Paratyphi – A (+) 1/160
Paratyphi – B (+) 1/80
Diagnosis: Typhoid Fever
Tatalaksana :
IGD :
- IVFD D5 1/2 NS
- Inj. Santagesik 1x500mg
- Inj. Ranitidin 1 x 50mg
- Inj. Ondansentron 1 x 4mg

RUANGAN :

- IVFD D5 1/2 NS
- Inj. Santagesik 3 x 1gr
- Inj. Ranitidin 2 x 50mg
- Inj. Ondansentron 3 x 4mg
- Inj. Cefotaxime 3 x 1gr
P.O:
- Sanmol Tab 3 x 1
- Zamel 2 x CI
- Isprinol 2 x C1
Pembahasan
Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus)
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata
di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan
di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus
per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium penelitian.

Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan
organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Masuknya kuman Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH
< 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak
dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan
lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat-
obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel-
sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan
port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum
distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik)
dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ-
organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel
mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar,
lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-
zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti
nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada
penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan :

 Demam satu minggu atau lebih.


 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran
hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai
berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang
tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih
pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada
hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU
Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam
tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas
(100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%)
serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10
Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit
(15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),
gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9Sedangkan tanda klinis
yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku
kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada
uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali
pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian
oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta
masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.

Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3)
gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi
demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri
dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-
dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan
sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah,
anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat
dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih
sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran
1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita
dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan
tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.
Penatalaksanaan

1. Non Medika Mentosa


a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien


harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet
cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan
kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh
Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di
hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.

2. Medika Mentosa
a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang
masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara
syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia,
dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan


dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan
obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak
100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam
biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan


ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang


diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :


1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan
dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi
adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak
dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya
jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain
: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal
ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas
yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien
dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.
2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketah
ui.html. 22 Januari 2012.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu
Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-
43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik
Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Surabaya
: FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien
Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012.
Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01_08
_2012.pdf. 22 Januari 2012.

Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Ifit Bagus A. dr. Ekowati Supartinah K.P.

Anda mungkin juga menyukai