Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

Disusun oleh:

Yafi dan kawan kawan

Pembimbing:

dr. NUR AIDA, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA Dr. RADJIMAN WEDIODININGRAT
LAWANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2018

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS

Nama : Tn. MK

Umur : 27 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat tanggal lahir : 1992

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

Status marital : Belum Menikah

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaaan terakhir : Pegawai MLM

Alamat saat ini : Blitar

Waktu pemeriksaan : Tanggal 13/10/2019 Jam 02.00

Dokter pemeriksa : DM

Nomor RM :132244

1.2 ANAMNESA
A. Keluhan utama

Marah marah tanpa sebab


B. Auto- Anamnesa
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
dengan keluhan marah-marah tanpa sebab. Pasien seorang laki-laki berusia 27
tahun, penampilan tidak terlalu rapi, roman wajah sesuai dengan usia. Pasien
cukup kooperatif dan komunikatif. Pasien bisa menjawab identitas dengan baik.

2
Ketika ditanya oleh pemeriksa, pasien bisa menjawab bahwa saat ini sedang
berada di RSJ Lawang, saat ini waktu subuh, dan diantar oleh ibunya. Pasien
mengaku bahwa pasien datang untuk bermain bola. Ketika ditanya oleh
pemeriksan mengapa main bola disini, pasien mengatakan tidak tahu. Saat
pemeriksa menanyakan apakah pasien mendengar bisikan-bisikan di kepala,
pasien mengaku bahwa pasien mendengar suara yang mengatakan bahwa akan
membunuhnya. Ketika ditanya siapa yang akan membunuhnya, pasien
mengatakan bahwa masyarakat sekitar mau membunuhnya karena tidak suka
dengan pasien, dan suara bisikan tersebut merupakan suara masyarakat sekitar.
Pasien juga mengatakan ada yang ingin membunuhnya juga yang sedang
bersembunyi dibawah tempat tidur, sehingga pasien menjadi sulit tidur. Ketika
ditanyakan oleh pemeriksa darimana pasien mengetahui ada yang ingin
membunuhnya dibawah tempat tidur, pasien menjawab bahwa pasien hanya
measakan saja. Pasien juga mengaku merasakan orang-orang di IGD ingin
membunuhnya. Saat di IGD pasien mengalami serangan gaduh gelisah sehingga
dilakukan fiksasi, kemudian pasien berteriak meminta tolong kepada Tuhan dan
orang-orang disekitar.

C. Hetero Anamnesa (didapat dari ibu pasien (Ny. S) )


1. Rincian keluhan utama
Pasien marah-marah sudah 2 hari
2. Gejala lain yang menyertai keluhan utama
 Pasien sudah 3 hari telanjang di rumah dan memukul-mukul mobil
 Pasien mengaku ke keluarga pasien bahwa pasien mau membunuh ayah
angkatnya
 Pasien mengaku takut keluar rumah
 Pasien sudah jarang makan
3. Gejala prodromal
Pasien sering melamun dirumah dan jarang berbicara
4. Peristiwa terkait keluhan utama
Pasien tidak rutin minum obat dan satu minggu tidak mengkonsumsi obat
5. Riwayat penyakit dahulu

3
 Riwayat penyakit DM, hipertensi, asma, dan kejang disangkal
 Pasien pernah dirawat di RSJ Lawang bulan September 2019 selama 15
hari, kemudian pasien dipulangkan dengan kondisi membaik, namun
dirumah pasien tidak rutin minum obat
 Pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah merokok, mengkonsumsi
alkohol, ataupun mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
6. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan anak
Kehamilan cukup bulan, persalinan normal, perkembangan sesuai usia pasien
7. Riwayat sosial dan pekerjaan
ADL : menurun
Pekerjaan : pasien sebelumnya bekerja di bidang MLM lalu gagal
Sosial : pasien lebih senang dirumah
8. Faktor kepribadian premorbid
Kepribadian tertutup, pendiam
9. Faktor keturunan
Belum diketahui
10. Faktor organik
Belum diketahui
11. Faktor pencetus
Pasien belum mendapat pekerjaan (pasien tidak berhasil di pekerjaan MLM-
nya dan memutuskan mencari pekerjaan baru)

1.3 STATUS INTERNISTIK

TD : 110 / 70 mmHg
Nadi : 70 x / menit
RR : 20 x / menit
suhu : 36,5
Keadaan umum : Compos Mentis
Kepala/ leher : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax : Cor : S1S2 Tunggal

4
Abdomen : BU+ Normal
Ekstrimitas : AHKM +/+, Oedema -/-

1.4 STATUS NEUROLOGIS

GCS : 456

Meningeal Sign : Kaku Kuduk - , Brudizki I -, Kernig -, Brudizki II -

Refleks Fisiologik : BPR +2/+2


TPR +4/+2
KPR +2/+2
APR +2/+2

Refleks Patologik : Babinski -, Chaddock -, Hoffmen -, Tromner –

1.5 STATUS PSIKIATRIK

• Kesan Umum : Pasien laki-laki, berpakaian rapi lengkap, tidak berbau,


sesuai usia

• Kontak : verbal +, Mata +, verbal + relevan

• Kesadaran : Berubah Kualitatif

• Orientasi : W/T/O +/+/+

• Daya ingat : S/P/P +/+/+

Perepsi : halusinasi auditorik (+), ilusi (-), derealisasi (-),


depersonalisasi (-)

• Proses Berpikir : B : Non Realistik, A : Asosiasi longgar, I : Waham kejar


& curiga

• Afek/Emosi : Adekuat

• Kemauan : ADL + menurun

• Psikomotor : Meningkat (gaduh gelisan)

5
• Insight : derajat 1

1.6 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Axis I : F20.03 Skizofrenia Paranoid episode berulang

Axis II : Ciri kepribadian tertutup

Axis III : tidak ditemukan

Axis IV : Masalah pekerjaan, gagal di MLM dan belum dapat pekerjaan

Axis V : GAF Scale saat ini 30-21

GAF scale 1 tahun tertinggi: 80-71

1.7 RENCANA TINDAK LANJUT

Cek lab : DL,SGOT, SGPT, GDA, BUN, KREATININ,

- Inj. Haloperidol 3mg IM


- Inj. Diazepam 10mg IM
- Haloperidol 5 mg 1-0-1
- Psikoedukasi keluarga

1.8 PROGNOSIS

Dubia ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang diakibatkan oleh abnormalitas
pada salah satu atau lebih dari lima domain, yaitu delusi, halusinasi, disorganisasi
dalam pikiran dan percakapan, disorganisasi atau abnormalitas perilaku (termasuk
katatonik) dan adalnya gejala-gejala negatif.1

2.2 Epidemiologi
Prevalensi skizofrenia berkisar antara 0,6% dan 1,9% pada populasi Negara
Amerika Serikat.7 Selain itu diperkirakan bahwa prevalensi tahunan skizofrenia di
AS adalah 5,1 per 1.000 jiwa. Prevalensi tersebut serupa pada pria dan wanita,
meskipun timbulnya gejala pada pria terjadi pada usia lebih dini dibandingkan
pada wanita. Pria cenderung mengalami episode skizofrenia pertama mereka di
awal usia 20-an, sedangkan wanita biasanya mengalami episode pertama mereka
di usia 20-an akhir atau awal 30.15
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 di Indonesia, ditemukan bahwa
prevalensi psikosis tertinggi berada di Daerah Istimewa Jogjakarta dan Aceh,
yaitu sebesar 2,7% pada masing-masing daerah, sedangkan prevalensi psikosis
terendah di Kalimantan Barat, yaitu sebesar 0,7%. Adapun prevalensi gangguan
jiwa berat nasional adalah sebesar 1,7 per mil.2

2.3 Etiologi
Terdapat suatu penjelasan mengenai pengembangan skizofrenia yaitu bahwa
gangguan tersebut dimulai sejak in utero. Komplikasi obstetrik, seperti perdarahan
selama kehamilan, diabetes gestasional, seksio sesarea emergensi, asfiksia, dan
berat badan lahir rendah, telah dikaitkan dengan skizofrenia di kemudian hari.
Gangguan janin. selama trimester kedua — fase penting dalam perkembangan
saraf janin — telah menjadi perhatian khusus bagi para peneliti.3 Infeksi dan

7
tingkat stres berlebih selama periode ini telah dikaitkan dengan peningkatan
skizofrenia sebesar dua kali lipat. 8
Terdapat bukti bahwa faktor genetik memainkan peran penting dalam
penyebab skizofrenia; penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya penyakit
adalah sekitar 10% untuk keluaga tingkat pertama dan 3% untuk keluarga tingkat
kedua. Dalam kasus kembar monozigot, risiko satu kembar memiliki skizofrenia
adalah 48% jika yang lain memiliki skizofrenia, sedangkan pada kembar dizigotik
risikonya adalah 12% sampai 14%. Jika kedua orang tua menderita skizofrenia,
risiko bahwa mereka akan menghasilkan anak dengan skizofrenia adalah sekitar
40%.8
Suatu penelitian pada anak adopsi telah dilakukan untuk menentukan
apakah risiko skizofrenia berasal dari orang tua biologis atau dari lingkungan di
mana anak dibesarkan. Penelitian tersebut cenderung menunjukkan bahwa
perubahan dalam lingkungan tidak mempengaruhi risiko pengembangan
skizofrenia pada anak-anak yang lahir dari orang tua biologis yang menderita
penyakit tersebut. Dasar genetik untuk skizofrenia semakin didukung oleh temuan
bahwa saudara kandung dengan skizofrenia sering mengalami onset skizofrenia
pada usia yang sama. 8
Faktor lingkungan dan sosial juga dapat berperan dalam pengembangan
skizofrenia, terutama pada individu yang rentan terhadap gangguan tersebut.1
Stresor lingkungan yang terkait dengan skizofrenia termasuk trauma masa kecil,
etnis minoritas, tempat tinggal di daerah perkotaan, dan isolasi sosial. Selain itu,
tekanan sosial, seperti diskriminasi atau kesulitan ekonomi, dapat mempengaruhi
individu terhadap pemikiran delusi atau paranoid. 8

2.4 Patofisiologi
Secara terminologi, skizofrenia berarti skizo adalah pecah dan frenia adalah
kepribadian. Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan
dasar pada kepribadian, distorsi perasaan pikir, waham yang aneh, gangguan
persepsi, afek yang abnormal. Meskipun demikian kesadaran yang jernih,
kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu, mengalami hendaya berat dalam
menilai realitas (pekerjaan, sosial dan waktu senggang).1

8
Patofisiologi skizofrenia dihubungkan dengan genetik dan lingkungan.
Faktor genetik dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya
skizofrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA,
5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin.10 Pada pasien skizofrenia terjadi
hiperreaktivitas sistem dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik
→ berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis
dan nigrostriatal → bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala
ekstrapiramidal) Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2
(D2) yang akan dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak
pasien skizofrenia. Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem
mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap gejala positif. Sedangkan
peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada
sistem mesokortikal yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif. 5

Gambar 1 Mekanisme terjadinya gejala positif dan negative pada gangguan


psikotik

Adapun jalur dopaminergik saraf yang terdiri dari beberapa jalur, yaitu :
a. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia → fungsi
gerakan, EPS
b. jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik →
memori, sikap, kesadaran, proses stimulus

9
c. Jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex →
kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress
d. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary →
pelepasan prolaktin. 5

Gambar 2. Jalur-jalur dopaminergik5

Dalam anatomi manusia, sistem ekstrapiramidal adalah jaringan saraf yang


terletak di otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang terlibat dalam
koordinasi gerakan. Sistem ini disebut "ekstrapiramidal" untuk membedakannya
dari saluran dari korteks motor yang mencapai target mereka dengan melakukan
perjalanan melalui "piramida" dari medula. Para piramidal jalur (kortikospinalis
dan beberapa saluran corticobulbar) langsung dapat innervasi motor neuron dari
sumsum tulang belakang atau batang otak (sel tanduk anterior atau inti saraf
kranial tertentu), sedangkan ekstrapiramidal sistem pusat sekitar modulasi dan
peraturan (tidak langsung kontrol) sel tanduk anterior. 5
Saluran ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi retikularis
pons dan medula, dan neuron sasaran di sumsum tulang belakang yang terlibat
dalam refleks, penggerak, gerakan kompleks, dan kontrol postural. Ini adalah
saluran pada gilirannya dimodulasi oleh berbagai bagian dari sistem saraf pusat,
termasuk nigrostriatal jalur, ganglia basal, otak kecil, inti vestibular, dan daerah
sensorik yang berbeda dari korteks serebral. Semua peraturan komponen dapat

10
dianggap sebagai bagian dari sistem ekstrapiramidal, karena mereka memodulasi
aktivitas motorik tanpa langsung innervating motor neuron. 5
Pemeriksaan CT scan dan MRI pada penderita skizofrenia menunjukkan
atropi lobus frontalis yang menimbulkan gejala negatif dan kelainan pada
hippocampus yang menyebabkan gangguan memori.10
Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak terjadi
proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan
meneruskan pesan sekitar otak. Pada penderita skizofrenia, produksi
neurotransmitter-dopamin berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut berperan
penting pada perasaan senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar
dopamin tidak seimbang; berlebihan atau kurang; penderita dapat mengalami
gejala positif dan negatif seperti yang disebutkan di atas. Penyebab
ketidakseimbangan dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti
sepenuhnya. Pada kenyataannya, awal terjadinya skizofrenia kemungkinan
disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang mungkin
dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain: sejarah keluarga, tumbuh
kembang ditengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres
yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan. 5

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala Skizofrenia secara umum dibagi menjadi tiga kategori, yaitu gejala
positif, gejala negatif dan gejala kognitif. 6

2.5.1 Gejala Positif


Gejala positif didefinisikan sebagai gejala yang timbul akibat adanya fungsi yang
berlebihan dari fungsi normal otak. Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada
penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut: 11
1. Delusi atau waham.
2. Halusinasi.
3. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
4. Gaduh gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.

11
5. Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
6. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan–akan ada ancaman
terhadap dirinya.
7. Menyimpan rasa permusuhan.

2.5.2 Gejala Negatif


Secara umum gejala negatif digambarkan sebagai gejala yang timbul akibat
berkurangnya aktifitas yang dilakukan oleh penderita dibandingkan sebelum sakit.
Aspek sindrom negatif seperti apatis, anergia, avolition, afek datar, dan anhedonia
tidak spesifik untuk Skizofrenia. National Institutes of Mental Health (NIMH)
mengusulkan 5 kategori umum dari gejala negatif yang meliputi :
1. Avolition adalah ketidakmampuan untuk mengawali dan
mempertahankan aktifitas yang bertujuan. Avolition secara khusus
dihubungkan dengan defisit dalam perawatan diri dan higienis, secara
serius mengganggu proses pendidikan dan pekerjaan.
2. Anhedonia adalah hilangnya kemampuan untuk menemukan kesenangan
dari suatu aktifitas atau hubungan.
3. Afek tumpul adalah ketidakmampuan untuk mengerti atau mengenali
ekspresi emosi orang lain dan ketidakmampuan untuk mengekspresikan
emosi.
4. Penarikan diri secara sosial (social withdrawal) adalah ketidakpedulian
untuk menjalin hubungan sosial dan keinginan yang menurun untuk
bersosialisasi.
5. Alogia adalah berkurangnya komunikasi verbal dan ditemukan pada
lebih dari 25% pada penderita skizofrenia.
Gejala negatif yang terjadi pada penderita skizofrenia harus dievaluasi,
apakah merupakan suatu proses primer dan idiopatik atau merupakan faktor
sekunder dari proses gangguan, misanya karena efek samping pengobatan, depresi
dan kecemasan yang ada13

2.6 Tahapan Gangguan Skizofrenia

12
Tahapan dari gangguan skizofrenia dapat dibagi menjadi 5 fase, yang
meliputi fase premorbid, fase prodromal, fase akut, fase stabil dan fase stabilisasi.
a. Fase Premorbid
Fase premorbid adalah periode sebelum timbulnya gejala. Kebanyakan
individu dengan kecenderungan mengalami skizofrenia akan memiliki
fungsi kognitif yang lebih rendah. Fungsi kognitif yang lebih rendah ini
meliputi IQ, perhatian, memori verbal, fungsi eksekutif, dan ketrampilan
motorik yang berefek negatif terhadap fungsi sosial dan pendidikan. Pada
fase premorbid kebanyakan dari individu yang akan menderita
skizofrenia tidak dapat dibedakan dengan jelas dari individu lain pada
kelompoknya 6
b. Fase Prodromal
Sekitar 75%-80% penderita skizofrenia akan mengalami timbulnya gejala
secara bertahap sebelum onset dari psikotik. Fase ini disebut dengan fase
prodromal. Penurunan dalam fungsi kognitif, fungsi sosial, dan fungsi
pekerjaan dapat menjadi gejala awal perubahan dari fase premorbid
menjadi fase prodromal. Gejala dari fase prodromal meliputi cukup
seringnya persepsi yang salah, misalnya melihat sesuatu yang orang lain
tidak bisa melihat, mendengar suara ketukan ataupun suara siulan. Fase
prodromal juga meliputi perubahan dalam isi pikiran, misalnya menjadi
sangat curiga dengan seseorang ataupun adanya pikiran hubungan.
Penderita juga sering mengalami penurunan perhatian dan konsentrasi.
Gejala-gejala ini akan menyebabkan hendaya dalam sekolah, pekerjaan
atau sosial
Periode prodromal adalah salah satu dari masalah yang menyebabkan
kebingungan bagi individu, keluarga dan klinisi. Dalam pertengahan dari
gejala prodromal, sulit untuk menentukan penarikan diri secara sosial
adalah bagian dari prodromal skizofrenia, salah satu tanda dari depresi,
atau hanya merupakan gangguan penyesuaian sementara dari remaja atau
dewasa muda.
c. Fase Psikotik

13
Fase psikotik akut ditandai dengan episode psikotik yang nyata dengan
gejala positif maupun gejala negatif. Bila fase psikotik akut berlangsung
lebih dari 1 bulan maka diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan.
Spektrum dari skizofrenia yang meliputi skizofrenia, skizoafektif dan
skizofreniform dimulai pada masa remaja atau dewasa muda. Onset rata-
rata pada wanita adalah 29 tahun, sedangkan pada pria 25 tahun. Usia
dari onset pertama bervariasi, yang dipengaruhi oleh faktor genetik.
Progresifitas dari skizofrenia akan diikuti oleh fase stabilitas klinis atau
perbaikan gejala klinis. 12
d. Fase Stabilisasi
Fase stabilisasi dimulai ketika penderita menunjukkan perbaikan dalam
gejala positif, negatif maupun gejala umum. Tidak ada pembatasan
secara khusus antara fase akut dengan fase stabilisasi atau fase stabilisasi
dengan fase stabil. Selama fase stabilisasi yang berlangsung hingga 6
bulan setelah onset dari fase akut, penderita rentan untuk relaps, sehingga
tujuan utama selama fase ini adalah untuk menyediakan bantuan kepada
penderita dan keluarga untuk mengusahakan sekecil mungkin kondisi
stres pada penderita, mempercepat adaptasi penderita ke komunitas, dan
melanjutkan pemberian antipsikotik untuk menurunkan dan
menghilangkan gejala psikotik12
e. Fase Stabil
Penderita memasuki fase stabil ketika status klinis relatif datar setelah
kondisi stabilisasi. Derajat dari resolusi gejala setelah episode akut sangat
bervariasi. Beberapa dapat mencapai remisi sempurna dari gejala positif
dan gejala negatif, dan beberapa hanya dapat mencapai remisi tidak
sempurna. Derajat penurunan kognitif bervariasi dan relatif tidak
berhubungan dengan gejala psikotik. Pada beberapa penderita akan
sering mengalami gejala-gejala disforik nonpsikotik, misalnya tekanan,
kecemasan, depresi dan insomnia. Gradasi tingkat dari fungsi
kemandirian penderita skizofrenia berkisar dari mampu secara penuh
untuk hidup tanpa bergantung hingga membutuhkan banyak sekali
bantuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. 12

14
Tujuan dari pengobatan dari fase stabil adalah menurunkan sebisa
mungkin gejala positif dan gejala negatif; mengurangi efek samping
pengobatan; meningkatkan fungsi kognitif, sosial dan pekerjaan;
menurunkan kerentanan penderita terhadap kondisi stres dengan
meningkatkan mekanisme coping dan kemampuan untuk mengontrol
afek disforik; mengedukasi penderita untuk mengenali gejala prodromal
dari relaps; menurunkan angka relaps dan rawat inap berulang;
melakukan edukasi kepada penderita dan keluarga tentang karakteristik
skizofrenia, prognosis dan perjalanan penyakitnya. 6
Tatalaksana pada fase stabil harus melibatkan kesatuan dari
psikofarmakologi, psikososial, dan pendekatan rehabilitasi. Pendekatan
pengobatan yang dilakukan sangat individual. 6

2.7 Kriteria Diagnosis


Diagnosa dari skizofrenia dibuat berdasarkan anamnesa (autoanamnesa dan
heteroanamnesa) dan pemeriksaan status mental. Belum ditemukan adanya tes
laboratorium yang spesifik untuk skizofrenia.11 Terdapat 2 rujukan kriteria
diagnosis yang dipakai di Indonesia, yaitu Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder fifth edition (DSM-5).

2.7.1 Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di


Indonesia III4
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas) :
a. Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya
sama tapi kualitasnya berbeda.
Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk
ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

15
Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar, atau
Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ³dirinya´ secara jelas merujuk
ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau
penginderaan khusus);
Delusion of perception = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangatkhas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
c. Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap
perilkau pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara) atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
pasien
d. Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua dari gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

16
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
h. Gejala-gejala negatif, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).

2.7.2 Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder fifth


edition (DSM-5) 1
Berdasarkan DSM-5 (2013), diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan apabila
memenuhi kriteria berikut:
A. Dua atau lebih dari gejala-gejala berikut yang signifikan dan berlangsung
selama 1 bulan (atau kurang jika sudah berhasil diobati). Paling sedikit
harus ada salah satu (1), (2), atau (3):
1. Waham
2. Halusinasi
3. Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya asosiasi longgar atau
inkoherensi)
4. Perilaku yang sangat tidak teratur atau perilaku katatonik
5. Gejala-gejala negatif (misalnya berkurangnya ekspresi emosional atau
penurunan kemauan yang dapat berupa penarikan diri secara social
B. Sejak dimulainya onset gangguan, fungsi satu atau lebih dari bidang
utama, yaitu pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri, yang
secara bermakna mengalami kemunduran (atau jika onset pada masa

17
kanak-kanak atau remaja, terdapat kegagalan mencapai fungsi optimal di
bidang hubungan interpersonal, pendidikan dan pekerjaan).
C. Gejala berlangsung paling sedikit selama 6 bulan. Periode 6 bulan ini
harus mencakup 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati) dari gejala
yang memenuhi kriteria A (gejala-gejala pada fase aktif) dan dapat
mencakup gejala-gejala pada periode prodromal atau residual. Selama
periode prodromal atau residual mungkin ditandai oleh gejala-gejala
negatif atau oleh dua atau lebih gejala pada kriteria A dalam bentuk yang
lebih ringan (misalnya keyakinan yang aneh, pengalaman yang tidak
lazim).
D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau bipolar dengan
gambaran psikotik harus dapat disingkirkan karena
1) Tidak ada episode depresi berat atau manik yang terjadi selama fase
aktif
2) Jika episode gangguan mood terjadi selama fase aktif, gejalagejala
tersebut berlangsung ringan selama fase aktif, prodromal dan residual
E. Gejala-gejala yang terjadi bukan akibat yang ditimbulkan oleh suatu zat
(misalnya oleh karena pengobatan atau penyalahgunaan zat) atau kondisi
medis umum lainnya
F. Jika terdapat riwayat gangguan autisme atau gangguan komunikasi
dengan onset masa kanak-kanak, tambahan diagnosis skizofrenia hanya
dibuat jika terdapat waham dan halusinasi yang dominan disamping
gejala-gejala skizofrenia lainnya, dan berlangsung paling sedikit 1 bulan
(atau kurang jika berhasil diobati).

2.8. Jenis Skizofrenia


Dalam DSM-5, subtipe skizofrenia yang meliputi paranoid, hebefrenik,
katatonik, tak terinci, dan residual dihilangkan. Adapun alasan penghilangannya
adalah bahwa kondisi ini tidaklah stabil dan tidak memberikan manfaat yang
signifikan secara klinis serta tidak valid dan reliabel secara ilmiah. 1
Berdasarkan gejala klinis yang dominan, skizofrenia dapat dibedakan
menjadi 5 subtipe, yaitu subtipe paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terinci dan

18
residual. Pembagian subtipe skizofrenia ini masih digunakan dalam praktik klinis
pada berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. 12

2.9 Penatalaksanaan Skizorenia


Penatalaksanaan skizofrenia secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian
besar, yaitu terapi biologik dan intervensi psikososial.

2.9.1 Terapi Biologik


Terapi biologik pada skizofrenia meliputi tiga fase, yaitu fase akut,
stabilisasi dan stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang
berlangsung selama 4-8 minggu dan membutuhkan penatalaksanaan segera. Fokus
terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. 9
Setelah fase akut terkontrol, orang dengan skizofrenia (ODS) akan
memasuki fase stabilisasi yang berlangsung paling sedikit 6 bulan setelah
pulihnya gejala akut. Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila
obat dihentikan atau ODS terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus
terapi biologik adalah konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase
stabilisasi sama dengan pada fase akut. 9
Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini
dalam keadaan remisi. Target terapi biologik pada fase ini adalah untuk mencegah
kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi. 9

2.9.1.1 Antipsikotik tipikal


Obat antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik konvensional atau
antipsikotik generasi 1 (APG-1). Obat antipsikotik tipikal ini memiliki mekanisme
kerja sebagai dopamin reseptor antagonis (DRA). Sejak ditemukannya
klorpromazine (CPZ) pada tahun 1950, pengobatan skizofrenia mengalami
kemajuan. CPZ dan antipsikotik lainnya yang mirip mengurangi gejala positif dari
skizofren sampai 70 %, Namun untuk gejala negatifnya, antipsikotik tipikal
memiliki efek yang kurang, begitu juga efek terhadap gangguan mood dan
gangguan kognisinya.

19
APG-1 memiliki cara kerja mengurangi aktifitas dopaminergik dengan cara
memblok reseptor D2. dengan pemanjangan inaktifasi mesolimbik dan dopamine
mesokortikal dan dopamine pada badan nigra pada otak, akan memberikan efek
antipsikotik dan ekstrapiramidal. Pada penggunaan benzamide (sebagai contoh
sulpiride dan amisulpride) sebagai terapi substitusi, dimana benzamide merupakan
antagonis D2 yang kuat dan juga selektif, obat ini juga memiliki kemampuan
untuk mengikat reseptor neurotransmitter lainnya. Dengan kesamaan cara kerja
ini, obat tersebut menunjukan sedikit perbedaan kemanjuran pada pengobatan.
Pemilihan obat antipsikotik tipikal didasarkan oleh banyak pertimbangan,
termasuk adanya preparat obat long-acting. Obat potensi ringan (dosis maksimal
300 mg/ hari seperti CPZ, thioridazine, mesoridazine) lebih memiliki efek
sedative dan hipotensi dibanding dengan obat dengan potensi tinggi seperti
haloperidol dan fluphenazine. Obat potensi tinggi dapat mengakibatkan gejala
ekstrapiramidal lebih sering disbanding dengan potensi rendah. Namun kedua
obat ini memberikan efek yang sama dalam mengurangi agitasi.
Jika pasien memiliki riwayat pengobatan dan tidak terdapat gejala
ekstrapiramidal, obat potensi tinggi seperti haloperidol dan fluphenazine menjadi
pilihan utama. Jika terdapat gejala ekstrapiramidal, obat antikolinergik seperti
benztropine, biperiden atau trihexyphenidyl dapat digunakan atau dapat diganti
obat menjadi obat potensi sedang (seperti trifluoperazine) atau potensi ringan.
Antipsikotik atipikal juga menjadi pilihan jika terdapat gejala ekstrapiramidal.
Gejala ekstrapiramidal yang tidak teratasi dapat menyebabkan gejala negative dan
kurangnya kepatuhan minum obat.

2.9.1.2 Antipsikotik atipikal


A. Clozapine
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang memperlihatkan
efek yang dapat mengurangi gejala positif dan negatif pada pasien yang
gagal dengan terapi antipsikotik tipikal. Obat ini juga hampir tidak
memberikan efek ekstrapiramidal, termasuk akathisia. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena clozapine memiliki daya ikat yang kuat terhadap

20
reseptor serotonin (5-HT), adrenergik (α1,2), muskarinik, dan
histaminergik.
Dosis clozapine untuk kebanyakan pasien antara 100 – 900 mg/hari.
Peningkatan dosis harus dilakukan perlahan-lahan mengingat adanya
efek samping takikardi dan hipotensi. Dosis biasanya dimulai pada 25
mg/hari, kemudian sampai pada dosis 500 mg/hari dan biasanya
diberikan sehari 2x.
B. Risperidon
Risperidon merupakan golongan benzisoxazole. Risperidon memiliki
efek mengurangi gejala positif dan negatif yang lebih baik daripada
haloperidol. Namun tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa
risperidon efektif terhadap pasien yang gagal terapi dengan antipsikotik
tipikal. Risperidon juga dapat meningkatkan fungsi kognitif. Risperidon
mempunyai kecenderungan untuk dapat menyebabkan tardive diskinesia,
sehingga pemakaian risperidon biasanya dalam dosis rendah (4 – 8
mg/hari) namun lebih efektif dibanding dengan obat antipsikotik tipikal
dengan dosis yang sama. Beberapa pasien memberi efek pada dosis 2
mg/hari, namun ada juga yang memberi respon pada 10 – 16 mg/hari.
Pada dosis 2 -4 mg/hari, gejala ekstrapiramidal biasanya ringan.
Risperidon memiliki ikatan pada reseptor D2 yang lebih kuat daripada
clozapine.
C. Olanzapine
Olanzapine memiliki struktur yang mirip dengan clozapin, dan memiliki
risiko yang rendah untuk terjadinya gejala ekstrapiramidal, efektif
terutama dalam mengatasi gejala negatif, dan memiliki efek minimal
terhadap prolaktin. Olanzapine terbukti lebih efektif daripada haloperidol
dalam mengatasi gejala positif. Dosis anjuran olanzapin dimulai pada 10
mg/hari, sehari sekali. Kebanyakan pasien memerlukan 10 – 25 mg/hari,
namun dosis sebaiknya dinaikan secara perlahan. Sama seperti clozapine,
respon perngobatan dapat baru terlihat setelah beberapa bulan.
D. Quetiapine, Sertindole dan Ziprasidone

21
Ketiga obat tersebut merupakan obat antipsikotik terbaru yang dapat
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal lebih sedikit. Seperti
clozapine, risperidon dan olanzapin, ketiga obat ini lebih poten terhadap
reseptor 5HT antagonis dibanding dengan D2 antagonis.
Quentiapine merupakan dibenzothiazepine dengan potensi yang kuat
tehadap reseptor 5-HT2, α1, dan H1. Quentiapine juga memiliki
kemampuan memblok yang sedang terhadap reseptor D2 dan
kemampuan yang kecil pada reseptor M. Dengan dosis 150 – 180
mg/hari dalam 2 – 3 sehari, quetiapine memberi hasil dalam mengatasi
gejala positif dan negatif. Efek samping utama dari obat ini adalah rasa
mengantuk, mulut kering, peningkatan berat badan, agitasi, konstipasi,
dan hipotensi ortostatik.
Sertindole merupakan golongan imidazolidonone yang memiliki potensi
kuat terhadap reseptor 5-HT2, D2, dan α1. untuk mengurangi gejala
positif, digunakan dosis 12 – 24 mg/hari, setara dengan haloperidol
dengan dosis 4 – 16 mg/hari. Sertindole pada dosis 20 – 24 mg/hari
memiliki efek lebih besar pada gejala negatif dibanding dengan
haloperidol. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, takikardi,
pemanjangan interval Q-T, penurunan pompa jantung, peningkatan berat
badan, kongesti nasal, mual, dan insomnia. Sertindole memiliki masa
kerja yang panjang, yaitu 1 – 4 hari, sehingga dapat diberikan sehari 1x.
Ziprasidone memiliki potensi 10x lebih kuat terhadap reseptor 5-HT2
dibanding dengan reseptor D2. Ziprasidone hampir tidak memberikan
gejala ekstrapiramidal namun sama efektifnya dengan penggunaan
haloperidol. Ziprasidone efektif untuk menangani gejala positif dan
negatif pada pasien dengan gejala skizofren akut. Efek samping
ziprasidone adalah terutama sedasi.

2.9.2 Intervensi Psikososial


Berbagai penelitian membuktikan bahwa intervensi psikososial bermanfaat
dalam menurunkan frekuensi kekambuhan, mengurangi kebutuhan rawat inap
kembali di rumah sakit, mengurangi penderitaan akibat gejala-gejala penyakitnya,

22
meningkatkan kapasitas fungsional, memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan
berkeluarga. Intervensi psikososial bisa dimulai sedini mungkin. Namun,
hendaknya disesuaikan dengan fase perjalanan penyakitnya, dengan melibatkan
ODS dan keluarganya sejak awal. Melalui intervensi psikososial, ODS dan
keluarga diajak untuk memahami perjalanan penyakit, perkembangan gejala, dan
menyusun harapan yang lebih realistik untuk kehidupan dan masa depannya. 9
Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk
individu meraih tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas. Saat ini
intervensi psikososial dikembangkan dengan mengadaptasi konsep dan
pendekatan rekoveri, yaitu sebuah pendekatan yang melihat proses pemulihan
sebagai sebuah perjalanan penyembuhan dan transformasi yang memampukan
orang dengan masalah kesehatan jiwa untuk hidup secara bermakna di masyarakat
berdasarkan pilihannya dan mencapai potensi yang dimilikinya. 14
Pendekatan psikososial ditetapkan secara individual sesuai dengan
kebutuhan spesifik dari masing-masing orang. Intervensi psikososial juga harus
berbasis bukti dan dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial
berbasis bukti yang dianggap efektif untuk skizofrenia adalah psikoedukasi,
intervensi keluarga, terapi kognitif perilaku, pelatihan keterampilan sosial, terapi
vokasional, remediasi kognitif dan dukungan kelompok sebaya. 9
Intervensi psikososial pada fase akut bertujuan untuk mengurangi stimulus
yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan.
Memberikan ketenangan kepada ODS atau mengurangi keterjagaan melalui
komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan
lingkungan yang nyaman, tidak menuntut, toleran, hubungan yang bersifat
suportif dengan klinikus dan tim yang memberi layanan perawatan perlu
dilakukan. Pada fase ini sebaiknya pendekatan psikososial melalui komunikasi
yang sederhana, jelas dan efektif, dan model komunikasi lebih bersifat langsung. 9

23
BABIII
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan pada


pasien, terdapat gejala atau perilaku yang secara klinis ditemukan bermakna
sehingga menimbulkan penderitaan (distress) dan yang berkaitan dengan
terganggunya fungsi (disfungsi). Berdasarkan hasil tersebut, maka pasien
dikatakan menderita gangguan jiwa.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan tidak
terdapat penyakit yang menyebabkan disfungsi otak. Hal ini dapat dinilai dari
tingkat kesadaran, daya ingat atau daya konsentrasi, orientasi yang masih baik,
sehingga pasien ini bukan penderita Gangguan Mental Organik (F.0)
Dari anamnesis tidak didapatkan riwayat penggunaan NAPZA. Maka dari
itu dapat disimpulkan bahwa pasien ini bukan penderita Gangguan Mental dan
Perilaku Akibat Zat Psikoaktif atau Alkohol (F.1)
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan dalam menilai realita maka
pasien ini menderita gangguan Psikotik (F.2) dan pasien pernah dirawat di RSJ
Lawang dengan keluhan yang sama 2 bulan yang lalu, sehingga sudah termasuk
kedalam Skizofrenia (F.20).
Pada pasien ini terdapat halusinasi auditori, dan terdapat ide rujukan dan
kejar sehingga pasien termasuk kedalam Skizofrenia Paranoid (F.20.0). Gejala
yang dialami pasien sudah dialami sebelumnya dan pernah mengalami remisi
namun karena pasien tidak rutin meminum obat maka keluhan timbul kembali
sehingga pasien dikatakan menderita Skizofrenia Paranoid Episode Berulang
(F.20.03).
Pada pasien ini diberikan haloperidol intramuskular dan dosis rumatan tablet
yaitu antipsikotik tipikal yang memiliki efek ekstrapiramidal. Jika pasien memiliki
riwayat pengobatan dan tidak terdapat gejala ekstrapiramidal, obat potensi tinggi
seperti haloperidol dan fluphenazine menjadi pilihan utama. Jika terdapat gejala
ekstrapiramidal, obat antikolinergik seperti benztropine, biperiden atau
trihexyphenidyl dapat digunakan atau dapat diganti obat menjadi obat potensi
sedang (seperti trifluoperazine) atau potensi ringan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association (2013) Diagnostic and Statistical Manual


of Mental Disorders, 5th Edition,. Washington DC: American Psychiatry
Association.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik
Indonesia (2013) Riset Kesehatan Dasar, Rikesdas.
3. Beck, A.T. (2011), Schizophrenia: Cognitive Theory, Research, and
Therapy, Guilford Press, New York.
4. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (1993)
Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III.
Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
5. Ikawati, Zullies. 2009. Zullies Ikawati’s Lecture Notes : Skizophrenia.
Yogyakarta: UGM
6. Lieberman JA, Strop TS, Perkins DO (2006) Textbook of Schizophrenia.
Washington, DC: The American Psychiatric Publishing.
7. Os, J.V. and Kapur, S. (2009), “Schizophrenia”, The Lancet, Vol. 374 No.
9690, pp. 635–645.
8. Patel, K. R., Cherian, J., Gohil, K., & Atkinson, D. (2014). Schizophrenia:
overview and treatment options. P & T : a peer-reviewed journal for
formulary management, 39(9), 638–645.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (2011)
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta : PDSKJI.
10. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
11. Sadock BJ, Sadock VA, Kaplan HI (2007) Synopsis of psychiatry:
Behavioral sciences and clinical psychiatry. 10th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins
12. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (2015) Synopsis of psychiatry: Behavioral
sciences and clinical psychiatry 10th ed. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins.

25
13. Strauss GP, Harrow M, Grossman LS, et al. (2010) Periods of recovery in
deficit syndrome schizophrenia: a 20-year multi-follow up longitudinal
study. Schizophrenia Bulletin. 36:788-799.
14. Substance Abuse and Mental Health Administration (SAMHSA), (2004)
U.S. Department of Health and Human Services. Mental Health Recovery.
Center for Mental Health Services
15. Tandon, R. (2014), “Schizophrenia and other psychotic disorders in
diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM)-5: Clinical
implications of revisions from DSM-IV”, Indian Journal of Psychological
Medicine, Vol. 36 No. 3, p. 223.

26

Anda mungkin juga menyukai