Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH BIOLOGI KEDOKTERAN

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI TERHADAP KASUS


CYSTIC FIBRORIS (FIBROSIS KISTIK)”

MUHAMAD ELFITRA SALAM

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


PROGRAM VOKASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Semakin majunya zaman, semakin banyak pula jenis gangguan atau penyakit yang
terjadi di masyarakat, baik itu penyakit yang timbul karena kecenderungan gaya
hidup maupun penyakit yang memang ada sejak lahir (konginetal), salah satu
penyakit yang memang menyerang sejak lahir adalah cystic fibrosis. Cystic fibrosis
(CF) merupakan penyakit genetik yang terjadi pada kromosom 7, penyakit ini
merupakan salah satu penyakit genetik resesif yang timbul sejak bayi lahir.
Penyakit ini menyebabkan protein cystic fibrosis transmembrane conductance
regulator/CFTR tidak bekerja sebagaimana mestinya yang mengakibatkan sekresi
secret di paru yang mengandung bakteri dan lama kelamaan akan mengakibatkan
penurunan beberapa fungsi organ, terutama pada paru/pulmo. Di Amerika Serikat,
jumlah pasien yang menderita cystic fibrosis mencapai >30.000 pada tahun 2013.
Sedangkan di Indonesia kasus ini kurang dari 150 ribu pertahunnya dan
diklasifikasikan penyakit yang langka (Mitra Keluarga). Median harapan hidup CF
>41 tahun sehingga CF tidak lagi merupakan penyakit pediatrik. Untuk
memaksimalkan fungsi paru-paru, banyak pengobatan yang dapat dilakukan oleh
tenaga medis untuk mentreatment dan menginterverensi pasien cystic fibrosis,
salah satunya adalah fisioterapis. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik
untuk mengetahui metode-metode apa saja yang dilakukan fisioterapis pada pasien
CF.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana treatment dan interverensi fisioterapi dalam kasus cystic fibrosis?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui metode treatment dan interverensi fisioterapi dalam kasus cystic
fibrosis
BAB II

TINJAUAN TEORISTIS

2.1. Definisi Cystic Fibrosis


Cystic fibrosis adalah kelainan genetik umum yang berdampak pada
kelainan pulmonary, sistem gastrointestinal dan kelenjar keringat. Umumnya
terjadi pada masa bayi dan pra-kelahiran, bagimanapun ada beberapa
mekanisme terapi yang dapat dimanfaatkan untuk menambah usia harapan
hidup. Dasar biokimia dan enzimatik dari penyakit ini belum jelas. Selain dari
mekanismenya, para ahli menyimpulkan Cystic fibrosis terjadi karena adanya
perubahan lender epitel pada beberapa organ yang menyebabkan gangguan dan
inflamasi pada ductal pernapasan. (Nancy Olmsted and Ivan Harwood). Cystic
fibrosis adalah suatu gangguan kronik multisistem yang ditandai dengan infeksi
endokronkial berulang, penyakit paru obstruktif progresif dan insufisiensi
pankreas dengan gangguan absorbs/malabsorbsi intestinal. Kelainan ini
merupakan kelainan genetik yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran
patobiologis yang mencerminkan mutasi pada gen-gen regulator transmembran
fibrosis kistik (cystic fibrosis transmembrane conductance regulator/CFTR).
(Wisdayanti, 2015). Cystic fibrosis (CF) adalah kelainan genetik fatal pada
bayi, anak-anak, dan remaja di mana terjadi disfungsi pada kelenjar eksokrin,
yang merujuk kepada penyakit kronik pulmonary, insufiensi pankreas di tubuh
dan kandungan kadar elektrolit yang tinggi pada keringat. Penyakit ini adalah
penyakit genetik terbanyak yang menyebabkan penderitanya letal pada
populasi Caucasian, terjadi sekitar sekali dari 3500 kelahiran di populasi
tersebut. Sekarang ini, ada lebih dari 30.000 pasien yang mengidap Cystic
fibrosis di Amerika Serikat. Obat, antibiotik dan nutrion management sudah
ada sejak Perang Dunia ke-II yang dimanfaatkan untuk bertahan hidup dari
kasus Cystic fibrosis ini. Rerata umur penderita sudah meningkat dari yang
hanya usia sekitar 2 tahun pada 1940 sampai lebih dari 29 tahun di 2013.
(Alfred, 2013).
2.2. Etiologi Cystic Fibrosis

Cystic fibrosis merupakan penyakit yang diwariskan secara resesive


autosomal. Gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya CF telah
diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai cystic fibrosis transmembrane-
conductance regulator glycoprotein (CFTR gen) yang terletak pada lengan
panjang kromosom no 7. Protein CFTR merupakan rantai polipeptida tunggal,
mengandung 1480 asam amino, yang sepertinya berfungsi untuk cyclic AMP–
regulated Cl– channel dan dari namanya, mengatur channel ion lainnya. Bentuk
CFTR yang terproses lengkap ditemukan pada membran plasma di epithelial
normal. Gen CFTR ini membuat protein yang mengontrol perpindahan garam
dan air di dalam dan di luar sel di dalam tubuh. Ketika fungsi protein CFTR
cacat pada penderita Crystic fibrosis, menyebabkan tak beraturannya ion
klorida (Cl) yang lalu lintas membrane sel. Oleh sebab itu, potensial aksi di
jaringan transepithel akan berbeda. Jaringan-jaringan yang biasanya terjadi
kecacatan adalah jaringan nasal, pernapasan, dan kelenjar epitel keringat.
Orang dengan cystic fibrosis, gen tersebut tidak bekerja dengan efektif. Hal ini
menyebabkan kental dan lengketnya mucus serta sangat asinnya keringat yang
dapat menjadi ciri utama dari cystic fibrosis.
Di dalam jaringan epitel respirasi, ion klorida (Cl) yang terperangkap
di dalam sel akan menyebabkan mukus (lendir) pada sistem respirasi kental dan
kering. Mukus yang kental akan mendorong bakteri untuk terperangkap yang
nantinya timbul infeksi kronik. Hasil akhir dari dari mekanisme tersebut adalah
terjadinya infeksi kronik dan inflamasi pada saluran pernapasan yang bersifat
gangguan irreversible pada dinding bronchial.

2.3. Penurunan Cystic Fibrosis Menurut Mendelian


Cystic fibrosis menunjukkan Mendelian sel automosal resesif pada
setiap keturunan. Filial akan mempunyai genetik Cystic fibrosis yang
diturunkan dari salah satu kedua orangnya. Individu yang hanya diturunkan satu
genetik akan bersifat Carries (pembawa) untuk keturunan berikutnya.

(Cystic Fibrosis Care: A Practical Guidline. p. 26)

Jika digambarkan dalam pedigree, hubungan Cystic fibrosis dengan


Mendelian akan tampak seperti berikut:

Pada kasus B, seorang laki-laki carrier Cystic fibrosis menikah dengan


wanita carrier Cystic fibrosis, maka sifat keturunan yang akan dihasilkan jika
kedua pasangan mempunyai tiga anak adalah satu wanita carrier Cystic fibrosis,
satu wanita penderita, dan satu laki-laki penderita.

2.4. Diagnosis Cystic Fibrosis


` Diagnosis Cystic fibrosis umumnya dilakukan dengan mudah dan
berdasarkan screening test pada tes keringat, atau mengidentifikasi gen CF
yang mengalami mutasi. Ada beberapa metoda yang biasanya dilakukan pada
pasien untuk mengetahui apakah benar mengidap Cystic fibrosis, di antaranya:
1. Tes Keringat
Pada kondisi bayi normal, kadar elektrolit pada keringat tinggi
hanya dalam 48 jam pasca kelahiran dan akan menurun dalam kurun waktu
7 hari. Setelah itu, kadar natrium dan klorida dalam keringat akan sangat
rendah. Tetapi di penderita Cystic fibrosis, natrium dan klorida pada
keringat akan melebihi batas normal. Natrium akan meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur tetapi hanya pada kadar yang sedikit.
Begitupula dengan kadar klorida yang tidak berubah secara signifikan,
namun secara bertahap. Kadar klorida pada penderita Cystic fibrosis akan
lebih tinggi dibanding kadar natrium dalam keringat. Pilocarpine
iontophoresis adalah satu-satunya metode yang dapat diterima dalam
pengecekan keringat.

(Pict from Johns Hopkins Cystic Fibrosis Centre. Diagnosis: Testing:


Sweat Test. https://www.hopkinscf.org/what-is-cf/diagnosis/testing/sweat-
test/)
tes kadar klorin (Cl) pada keringat:
Kadar klorin (mmol/L) Keterangan
< 60 Interpretasi CF unlikely
60 – 90 Equivocal futher investigasion needed
> 90 Consist of CF
> 170 Probably non-physiological, or error

2. Radiografi pada Area Dada (Thorax)


Pada penderita Cystic fibrosis, hasil radiografi akan menujukkan
hyperinflation dengan peningkatan bayangan udara retrosternal. Ketika
dilihat dari cross section, penebalan dan pelebaran dinding bronchial
terlihat seperti bayangan cincin, dilihat secara longitudinal, terlihat seperti
garis parallel, “tram lines”.

3. Tes Fungsional Pulmonary

2.5. Treatment pada Pasien Cystic Fibrosis


 Antibiotik, Patogen yang paling sering menyerang pasien Cystic
fibrosis adalah bakteri Pseudomonas aeruginosa, antibiotic yang
umumnya dipilih adalah kombinasi dari semisintetik penicillin atau
third-generation cephalosporin, contohnya: ceftazidime dan
tobramycin, yang telah dibuktikan mempunyai efek sinergistik untuk
membunuh Pseudomonas in vitro. Penggunaan antibiotik akan tidak
berpengaruh ketika koloni Pseudomonas sudah memahami mekanisme
yang bekerja pada antibiotik tersebut.
 Branchodilator, Aerosolized β-agonists dan atropine digunakan untuk
menambah fungsional paru di beberapa pasien CF dengan indikasi
hiperaktivitas airway. Kedua brachodilator tersebut juga biasanya
digunakan pada periode eksaserbasi PD + PERC. Pemakaian
bronchodilator pada setiap pasien harus sesuai resep.
 Kortikosteroid, Obat anti-infalamasi juga berperan pada pasien CF.
Cystic Fibrosis Foundation pernah menganjurkan untuk terapi
menggunakan prednisone. Tetapi studi terbaru melaporkan bahwa
penggunakan kortikosteroid sangat dibatasi karena beberapa kasus
pasien CF yang menjadi allergic bronchopulmonary aspergillosis
(ABPA).
 Transplantasi Cardiopulmonary, Di Amerika Serikat, transplantasi
paru-paru digunakan sebagai prosedur pilihan untuk pasien CF.
Kesuksesan transplantasi bergantung pada kemajuan fungsi paru,
exercise yang dilakukan dan kualitas hidup; banyak pasien yang hidup
normal setelah melakukan transplantasi ini. Rerata 3 tahun hidup pasca-
transplantasi sekitar 60 persen; data terbaru tidak mencapai angka
tersebut untuk memprediksi rerata lama hidup pasca-transplantasi.
 Terapi Amiloride dan UTP/ATP, Dua terapi terbaru, amiloride dan
UTP/ATP adalah solusi yang baru-baru ini ditemukan untuk mengatasi
Cystic fibrosis dengan prosedur yang berfokus untuk memperbaiki
protein CFTR. Deuretik amiloride berperan sebagai inhibitor
penyerapan Natrium di jaringan epitel respirator. Sedangkan, ATP dan
UTP terbukti untuk menstimulasi penyerapan Klorida pada sel epitel
respirator penderita CF.

2.6. Intervensi Fisioterapi pada Cystic Fibrosis


Setiap penderita Cystic fibrosis harus memiliki fisioterapis program
dalam memanajemen fungsi organ-organ. Teknik-teknik yang biasanya
dilakukan oleh fisioterapis dalam treatment adalah:
 Airway clearance techniques, Airway clearance techniques ini
dilakukan dengan tujuan mengurangi obstruksi jalan napas (airway),
memperbaiki ventilasi pernapasan, dan menunda progress dari penyakit
itu sendiri
 Latihan (Exercise), Exercise dilakukan untuk meningkatkan
kebugaran sistem kardiovaskular dan pernapasan, meningkatan
kekuatan massa otot bagian lower tubuh, menambah daya tahan tubuh,
dan menambah fungsional paru
 Stretching dan strengthening, digunakan untuk memelihara dan
memulihkan postur tubuh yang benar. Dapat juga digunakan untuk
mencegah kekakuan sendi thoracic spine dan costovertebral
 Oxygen therapy

Pada metode Airway clearance techniques meliputi beberapa macam


teknik yang dilakukan, yaitu:
 Postural drainage and percussion (PD + PERC)
 The active cycle of breathing techniques (ACBT)
 Positive expiratory pressure (PEP)
 Oscillatory positive expiratory pressure – Flutter Cornet

Metode PD + PERC umumnya diberikan hanya pada pasien CF bayi


dan anak-anak. Treatment membutuhkan asisten terapi dan beberapa alat
tambahan untuk pasien dewasa. Pada PD, setiap orang mempunyai posisi
sendiri untuk memaksimalkan treatment, umumnya dilakukan dengan posisi
tidur karena untuk membantu pengeringan sekresi di bronchial tree anatomy.
Untuk PERC, dilakukan saat pasien melakukan PD, metode ini dilakukan
dengan memangkukkan kedua tangan di area yang akan ditreatment. Untuk
bayi menggunakan 2-3 jari. Dapat dilakukan hanya dengan satu tangan pada
pasien dewasa. Rerata ritme ketukan bergantung pada kenyamanan pasien,
tidak ada bukti yang mengatakan jika berbeda ketukan akan menghasilkan efek
yang berbeda juga, meskipun ketukan dengan ritme yang pelan menjadi ritme
terbaik untuk pasien CF.
(Pict from Peebles, Allison, et al. Cystic Fibrosis Care: A Practical
Guide)
Metode ACBT dilakukan dengan mekansime seperti ini:

(Pict Pict from Peebles, Allison, et al. Cystic Fibrosis Care: A Practical
Guide)

Metode PEP diaplikasikan melalui face-mask atau mouth-piece.


Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam assement menggunakan PEP
adalahh:
1. Posisi duduk tegak lurus dengan elbow mensupport di meja
2. Biarkan pasien bernapas melalui ujung alat (mouthpiece)
3. Instruksikan untuk bernapas, terapis memerhatikan dari low resistence
hingga large resistence. Jika pada low resistence, pasien mudah untuk
bernapas kemudian naikkan resistence ke tingkat yang lebih tinggi.
Lakukan sekitar 30 setiap resistance untuk mendapatkan breathing
patterns.
Mekanisme PEP sebagai berikut:

(Pict from Peebles, Allison, et al. Cystic Fibrosis Care: A Practical


Guide)

Tampak alat yang digunakan untuk treatment PEP:

(Pict from Intersurgical Complete Respiratory System. Positive


Expiratory Pressure (PEP) device.
https://se.intersurgical.com/products/oxygen-och-
aerosolprodukter/positive-expiratory-pressure-pep-device.)
Metode Flutter Cornet, merupakan metode yang dapat dilakukan secara
independent, umumnya pada posisi duduk. Selama ekspirasi pernapasan, the
steel ball akan terangkat ke udara disebabkan oleh dorongan udara dari
ekspirasi sebelumnya. Oleh sebab itu menyebabkan getaran internal melalui
sistem pernapasan yang akan berdampak pada tekanna oscillating positive
expiratory. Tekanan ini bervariasi mulai dari 6 – 26 siklus perdetik. Jika
digambarkan dalam siklus akan terlihat seperti ini:

(Pict from Peebles, Allison, et al. Cystic Fibrosis Care: A Practical


Guide)

(Pict from Bronchiectasis Toolbox. Oscillating Positive Expiratory


Pressure Therapy)
Exercise (Latihan) merupakan salah satu metode yang dapat
dilakukan fisioterapis untuk mengembalikan fungsi tubuh penderita CF
terutama di bagian paru. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Thomas Radtke, et al. terhadap 15 studi (2 studi orang dewasa, 7 studi
anak-anak dan remaja, dan 6 studi penderita semua umur) dengan total
objek 487 orang penderita CF, disimpulkan bahwa exercise, yaitu
aerobic training dengan intensitas yang rendah hingga menengah dapat
berdampak pada VO2 pada paru, fungsi paru, HRQoL, dsb walau hanya
dalam batas yang sangat rendah – rendah. Fisioterapis juga dapat
melakukan interverensi berupa latihan sepeda stasis dengan 60rpm
dengan pilihan waktu disesuaikan pada berat tubuh, jenis kelamin, dan
kemampuan dalam berolahraga. Selain itu, Fisioterapis juga dapat
melakukan latihan shuttle test (Bleep test) sepanjang 20 m. Pasien juga
dapat melakukan latihan sendiri, dikutip dari Cystic Fibrosis
Foundation ada beberapa olahraga fisik yang dapat dilakukan oleh
pasien, yaitu:

(Pict from Cystic Fibrosis Foundation. Day-to-Day Exercise And Cystic


Fibrosis. https://www.cff.org/Life-With-CF/Daily-Life/Fitness-and-
Nutrition/Fitness/Day-to-Day-Exercise-and-CF.pdf.)
Abnormalitas postur dan mengurangnya mobilitas thoraks adalah hal
yang sangat sering terjadi pada penderia CF. Salah satunya adalah kekakuan
pada thoracic spine dan sendi costovertebral yang menyebabkan masalah pada
tekanan transpleural untuk pembesaran paru. Selain itu, chest pain adalah
penyakit yang paling banyak menderita pasien CF. Fisioterapis mempunyai
peran untuk penilaian postur penderita dan perbaikannya, serta exercise seperti
stretching dan strengthening pada otot di bagian thorax penderita CF untuk
mencegah komplikasi penyakit lebih lanjut.

Metode terakhir yang biasanya digunakan fisioterapis adalah terapi


oksigen. Oksigen terapi biasanya diberikan pada pasien CF dengan indikasi
hypoxemia untuk meminimalisir kerja dari pernapasan. Selain itu, ada studi
yang membuktikan bahwa hipertensi pulmonary berhubungan dengan CF dan
dapat diturunkan dan dicegah dengan terapi oksigen. Oksigen transtracheal
adalah teknik terapi yang paling diterima oleh pasien.

(Pict from Diagnostic and Interventional Cardiology. Oxygen Therapy


Does Not Improve Survival in Heart Attacks Patients.
https://www.dicardiology.com/article/oxygen-therapy-does-not-
improve-survival-heart-attack-patients.)
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Cystic fibrosis (CF) adalah kelainan genetik fatal pada bayi, anak-anak, dan
remaja di mana terjadi disfungsi pada kelenjar eksokrin, yang merujuk kepada
penyakit kronik pulmonary, insufiensi pankreas di tubuh dan kandungan kadar
elektrolit yang tinggi pada keringat (Alfred, 2013). Penyakit ini dapat
didiagnosis dengan tiga metode utama yaitu: tes keringat, radiografi pada area
thorax, dan tes fungsional paru. Untuk memaksimalkan fungsi paru pada
penderita CF dilakukan beberapa mekanisme di antaranya, konsumsi antibiotik,
bronchodilator, kortikosteroid, dan terapi amiloride atau UTP/ATP. Selain itu,
fisioterapi sebagai salah satu tenaga medis juga mempunyai interverensi dalam
penanganan pasien cystic fibrosis. Metode yang umumnya dilakukan adalah
airway clearance techniques, exercise (latihan), stretching, strengthening, serta
terapi oksigen pada organ paru.
DAFTAR PUSTAKA

Bordow, Richard A., Edward W. Stool, Kenneth M. Moser. (2014). Manual of Clinical

Problems in Pulmonary Medicine with Annotated Key References. Edisi 7.

Cohen-Cymberknoh, Malena, David Shoseyov, dan Eitan Kerem. (2011). Managing

Cystic Fibrosis: Strategies that Increases Life Expectancy and Improve Quality
Life. Jurnal Kesehatan. doi: https://doi.org/10.1164/rccm.201009-1478CI. (Diakses
tanggal 14 Maret 2019)

Farrell, Philip M. et al. (2017). Diagnosis of Cystic Fibrosis: Consensus Guidelines

from the Cystic Fibrosis Foundation. Jurnal Kesehatan. doi:

https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2016.09.064. (Diakses tanggal 12 Maret 2019)

Fishman, Alfred P. (2013). Pulmonary Diseases and Disorders Second Edition. United

States of America: Companion Handbook

Foundation, Cystic Fibrosis. (2009). Day-to-Day Exercise And Cystic Fibrosis (CF).

https://www.cff.org/Life-With-CF/Daily-Life/Fitness-and-Nutrition/Fitness/Day-
to-Day-Exercise-and-CF.pdf. (Diakses 14 Maret 2019)

Imran, Wisdayanti Nur Fatma. et al. (2015). Tugas Makalah Farmakoterapi II: Cystic

Fibrosis. Jurnal Kesehatan.

http://www.academia.edu/23746673/MAKALAH_CYSTIC_FIBROSIS. (Diakses

tanggal 12 Maret 2019)

Lidayya, Oktrya, Farida Fakhrunnisa, dan Deantari Karliana. (2017). Penyakit

Kelainan Genetik: Cystic Fibrosis. Jurnal Kesehatan.


https://www.academia.edu/37618767/Penyakit_Kelainan_Genetik_CYSTIC_FIB
ROSIS?auto=download. (Diakses tanggal 12 Maret 2019)
Peebles, Allison, Garry Connett, Judi Maddison, dan Joan Gavin. (2013). Cystic

Fibrosis Care: A Practical Guide. London: Elsevier

Pratiwingsih, Novie. (2014). Makalah Keperawatan Kistik Fibrosis. Jurnal Kesehatan.

https://www.scribd.com/doc/222004585/Makalah-Keperawatan-Kistik-Fibrosis.
(Diakses tanggal 14 Maret 2019)

Radtke, Thomas, et al. (2017). Physical Exercise Training for Cystic Fibrosis. Jurnal

Kesehatan.
https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD002768.pub4/ful
l#CD002768-sec1-0007 (Diakses 14 Maret 2019)

Anda mungkin juga menyukai