Anda di halaman 1dari 13

Nama : Tyas ayu putri k

Absen : 31

Kelas : IX-E

Cinta indonesia
Rafi berjalan memasuki wilayah gedung sekolahnya dengan langkah penuh percaya diri. Setelan
seragam pramuka dipadukan dengan jaket jeans menjadi gayanya hari ini. Ketika melewati
lobby, ia menyapa teman-temannya dengan ramah dan dengan gaya baratnya. “Hai guys!”

Sementara di sisi lain, Rois sedang menatap bendera merah-putih yang terletak di samping hutan
sekolah dengan sejuta pikiran di kepalanya. Tak lama setelah itu, Rafi berjalan melewati hutan
sekolah sambil mengutak-atik ponselnya dan sesekali ia menempelkan ponselnya itu ke
telinganya untuk mendengar sebuah suara yang keluar dari ponselnya itu.
Rafi yang melihat Rois berdiri sendirian di depan bendera merah-putih segera menghampirinya.
“Ngapain, bro?” tanya Rafi dengan heran.
“Aku sedang menatap bendera merah-putih kita.” jawab Rois santai.
Rafi yang masih sibuk dengan ponselnya berkata “Wah, kemarin Greenleaf abis ngerilis album
rocknya nih!”
“coba dengerin!” lanjut Rafi sambil mendekatkan ponselnya itu ke telinga Rois. Rafi pun
memutar lagu rock yang dimaksudnya tadi.
“Lagu apa ini?” Rois yang tidak tahu-menahu tentang lagu itu bertanya pada Rafi. Rafi pun
mematikan putaran lagu itu dan menjauhkan ponselnya dari telinga Rois.
“Ini lagu band terkenal, dari California.” jelas Rafi.
Rois yang mendengar itu merasa heran dengan Rafi yang begitu menyukai hal-hal yang berbau
luar negeri. “Apa yang kamu bisa banggakan dengan band-band luar negeri?” tanya Rois
setengah kesal pada Rafi.
“Lagunya keren, bro!” jawab Rafi bangga.
“Banyak band-band di Indonesia. Band indi, band nasional, mereka semua sudah tembus
internasional. Bukankah band-band itu juga mempunyai potensi untuk go internasional?” jelas
Rois tak kalah bangga dengan Rafi.
“Seharusnya kamu bangga dengan lagu-lagu nasional.” lanjut Rois.
“Ah lagu nasional cuma bisa nyontek doang.” elak Rafi.

Lia dan Vio tiba-tiba datang menghampiri Rafi dan Rois dari arah koridor kelas 11 dan
menghentikan pembicaraan mereka.
“Hey, Rois! Ngapain di sini?” tanya Lia pada Rois.
“Ini aku lagi berbincang-bincang dengan Rafi.” jawab Rois.
“Mending sekarang kita kerja kelompok aja.” usul Vio.
“Kerja kelompok apa?” tanya Rois.
“Sejarah peminatan, kan tugas kita belom selesai.” jelas Vio.
“Ohhh..” jawab Rois seadanya.
“Raf, kamu bisa ikut kelompok kami?” tanya Rois pada Rafi yang sedari tadi diam sejak
kedatangan Lia dan Vio.
“Kerja kelompok? Ah lebih baik gue nonton konser.” jawab Rafi angkuh lalu meninggalkan
Rois, Lia, dan Vio. Mereka bertiga yang melihat tingkah Rafi hanya bisa menggelengkan kepala

Setelah meninggalkan Rois, Lia, dan Vio, Rafi berjalan melewati koridor kelas 11 IPS yang
tampak sepi. Saat melewati salah satu kelas IPS, ia mendengar lagu nasional yang diputar cukup
keras dari dalam kelas tersebut. Rafi yang merasa penasaran pun memasuki kelas tersebut, dan
mendapati Fayaz yang duduk sendiri di kelas sambil mendengarkan lagu yang didengar Rafi dari
luar kelas tadi..

“Hai, guys!'” sapa Rafi dengan gaya khasnya.


“Ini lagu apa kok keren sekali?” tanya Rafi penasaran dengan lagu apa yang sedang diputar oleh
Fayaz.
Fayaz yang menyadari kehadiran Rafi pun menjawab sapaan Rafi.
“Lagu nasionalisme.” jawab Fayaz sambil menghadap ke Rafi.
“Judulnya apa?” tanya Rafi lagi.
“Garuda di Dadaku, dari band Netral.” “Coba kamu download, terus dengerin lagunya dari awal.
Keren deh.” lanjut Fayaz.
“Ohhh..” jawab Rafi lalu segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana seragamnya. Rafi pun
mendownload lagu yang dimaksud Fayaz tadi.
“Ok. Thanks ya, bro!” jawab Rafi lalu pergi meninggalkan kelas tersebut.

Rois, Lia, dan Vio sedang berdiskusi sambil duduk-duduk di koridor kelas.
“Rek, gimana ini? Tugas Sejarah Peminatan kita tentang bab Kebudayaan Indonesia yang belum
dikerjakan.” ujar Rois pada Vio dan Lia.
“Iya nih, gimana ya ngerjainnya?” tanya Lia.
“Kita ambil tema kebudayaan Indonesia yang di Jawa aja. Itu apa saja contohnya?” tanya Rois.
“Tari, upacara adat, apalagi ya?” Lia tampak sangat antusias.
“Kalo tari kan ada tari Remo. Upacara adat ada upacara Panggih Manten.” kata Vio.
“Tari Pendet juga tuh.” kata Lia.
“Tari Pendet itu dari Bali!” protes Vio dan Rois serentak. Lia yang mengetahui kelalaiannya
hanya menyengir.
“Gimana kalo kita bagi tugas aja. Kalian berdua yang cari artikel, aku yang cari foto-fotonya.”
ucap Rois pada Lia dan Vio.
“Ya udah gitu aja deh, biar cepat selesai.” kata Vio.

Di koridor kelas bagian ujung, Rafi sedang duduk sendirian sambil mengutak-atik ponselnya.
“Hai, Bro!” Arya teman Rafi yang sama-sama menyukai hal-hal berbau luar negeri menghampiri
Rafi.
“Hei!” jawab Rafi.
Arya pun duduk di samping Rafi. “Gimana soal liburan ke California? Jadi kan?” tanya Arya
sambil memegang pundak Rafi.
“Ya jadi lah, bro!”
“Ok. Gue bilang ke mama gue buat transfer uangnya sekarang.” ujar Arya lalu melepaskan
tangannya dari pundak Rafi.
“Ok. Kalo gitu ayo sekarang kita pulang!” Rafi dan Arya pun bangkir dari duduknya lalu
berjalan keluar dari koridor.
“Jadi, deadline tugasnya kapan nih?” tanya Lia pada Vio dan Rois.
“Nanti malam, kirim lewat email aku aja.” jawab Rois memtuskan.

Saat itu juga, Rafi dan Arya berjalan melewati mereka.


“Kalian mau ke mana?” pertanyaan dari Vio menghentikan langkah Arya dan Rafi.
“Ini sama Arya, mau nyiapin perlengkapan liburan ke California buat weekend besok.” jelas
Rafi.
Lia yang merasa bingung dengan Rafi dan Arya yang tiba-tiba mempuyai rencana liburan ke luar
negeri minggu ini pun bertanya pada Rafi. “Ngapain liburan ke luar negeri?”
“Ya nonton konser rock, bro.” jawab Rafi dengan sombongnya.
“Emang apa yang bisa kamu banggakan dengan budaya luar negeri?” Rois buka suara.
“Kalo soal liburan, di Indonesia banyak tempat-tempat yang keren. Seperti contohnya, ada pulau
Raja Ampat yang lagi naik daun sekarang ini, ada pulau Bali yang sudah mendunia, dan juga
pulau Lombok yang terkenal dengan viewnya yang terkenal.” lanjut Rois menjelaskan betapa
banyaknya tempat wisata di Indonesia yang kebih keren dibandingkan dengan tempat wisata di
luar negri.
“Pulau Komodo juga keren tuh. Bisa ketemu Komodo secara langsung di habitatnya.” celetuk
Lia.
Rafi yang mendengar penjelasan dari Rois dan Lia pun segera mengambil ponselnya yang ada di
saku celana, lalu ia mulai mencari informasi nama-nama pulau yang tadi disebutkan oleh Lia dan
Rois.

“Wah.. Ternyata di negara kita banyak ya tempat wisata yang keren jika dibandingin dengan
tempat wisata di Luar negeri. Ke mana aja gue selama ini?” ujar Rafi takjub setelah melihat hasil
foto-foto dari ponselnya mengenai pulau-pulau tadi.
“Ya udah, Arya, kita ubah tempat liburannya aja.” lanjut Rafi bicara kepada Arya.

Keesokan harinya.
Rafi dan Arya berjalan di hutan sekolah menghampiri Rois, Lia, dan Vio yang sedang
berbincang-bincang di gazebo.
“Heh rek, ayo melok aku!” ujar Rafi dengan semangat. Sementara Lia dan Rois merasa heran
dengan gaya bicara Rafi yang sudah berubah total.
“Ke mana?” tanya Vio penasaran. Tanpa pikir panjang, Rois, Lia, dan Vio memutuskan untuk
mengikuti Rafi dan Arya yang sudah berjalan lebih dulu.

Ternyata, tujuannya adalah letak bendera merah-putih yang berada di samping hutan sekolah.
Mereka pun bebaris 1 shaf di depan bendera merah-putih. Rois, Lia, dan Vio bingung apa yang
dimaksud oleh Rafi dan Arya.
“Seluruhnya, hormat.. Gerak!” ujar Rafi lantang lalu ia pun hormat pada bendera merah-putih.
Arya, Rois, Lia, dan Vio pun mengikut Rafi. Mereka hormat dengan khidmat pada bendera
pusaka kita, bendera merah-putih. Rois. Lia, dan Vio menyadari apa maksud Rafi mengajaknya
menghadap bendera merah-putih.

Rafi dan Arya sekarang telah mencintai kembali negaranya, negara Indonesia, mereka berdua
tidak lagi menggunakan gaya bahasa barat dalam kehidupan sehari-hari sejak mereka sadar
bagaimana negara Indonesia yang jauh lebih seperti surga jika dibandingkan dengan negara lain.
Nama : Tyas ayu putri k

Absen : 31

Kelas : IX-E

Impian Hati menjadi Habibie


Suatu ruang gelap ramai. Siang hari menuju sore
Tampak 4 orang sedang menuju bioskop, keempat sahabat yang dibayangkan tokoh Pahlawan
Habibe (B.J. Habibie) dengan Ibu Ainun di suatu layar bioskop.
Diyah dan Retno tampak mengantri untuk membeli karcis di suatu ruang. Yang tampak lelah
menunggu karcis sambil berdiri. Dan akhirnya mereka mendapatkannya.
“Teman-teman, ini karcisnya sudah dapat!.”
“Mana-mana?” Sambil berlari menuju ke tempat Diyah dan Retno.
“Ayo, kita cepat masuk ke Bioskop!.”
“Iya, ntar malah ketinggalan ceritanya.”

Setelah semua selesai menonton bioskop, tampak keempat anak keluar dari bioskop dan berdiri
di depan bioskop sambil mencari tempat duduk untuk bersinggah dan membeli sebuah makanan
ringan.
“Wah, tadi cerita Habibie dan Ainun sangat bagus dan tepat untuk dijadikan teladan” Bicara
dengan teman-temannya.
“Iya, tadi sangat Istimewa dan mengharukan. Disamping ceritanya bisa dijadikan inspirasi kita
juga dapat dijadikan motivasi kita dalam belajar sehingga mampu dalam membangun negri
tercinta ini Indonesia.”
“Aku mau beli camilan dan minuman dulu ya.”
“Dasar kamu tu Vin, pikiranmu kok makan terus.”
“Ya gak apa-apa dong, sambil kita bicara tentang kisah habibie dan ainun lebih enak sambil
nyemil. Udah, sekarang ada yang titip apa gak?.”
“Ok! aku setuju-setuju aja, tapi aku makanannya jangan yang pedas-pedas. Ntar aku malah sakit
perut.”
“Udah dari pada bingung mending belinya sama aja. Tapi jangan banyak-banyak, jangan jadi
anak yang boros! Kita juga perlu nabung untuk masa depan kita.”

Semua pada menunggu Kevin membawakan sebuah makanan ringan (Camilan) dan minuman.
Setelah Kevin datang, mereka melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus.
“Mana si Kevin, kok gak datang-datang. Dia itu lama kalau melakukan sesuatu.”
“Udah lah Ret, kamu sabar dikit kenapa?.”
“Iya tuh, kamu gak sabaran!.”
“Huh…”
“Ini udah dapat semua pesanan kalian.”
“OK, Terima Kasih.”
“Ngomong-ngomong tadi, menurut kalian bagaimana ceritanya?.”
“Ya.. seperti yang aku bilang tadi.”
“Iya, ceritanya memang sangat menarik. Ada kisah tentang perjuangan, kesabaran, ketulusan,
keikhlasan, jiwa nasionalisme untuk membangun negeri tercinta ini dan cinta sejati antara Pak
Habibie dan Ibu Ainun yang sangat apik dikemas dalam sebuah cerita.”
“Alah… sok tau aja kamu, Ret. Emang kamu ngerti apa yang tadi disampaikan pengarangnya?.”
“Apaan sih kamu!.” Bicara sinis
“Sudah, sudah jangan bertengkar!.”
“Nanti malah jadi suka lho….”
“Gak mungkin!.”
“Masih kecil, gak boleh pacaran.”
“Bener, apa yang dibilang Kevin. Belum saatnya! Apalagi kita masih SMP, masih banyak impian
yang belum kita raih.”
“Iya tuh, Ringga!!!.”
“Iya deh maaf….”

Diselingi dengan bercanda gurau. Keempat anak tadi melanjutkan membahas kisah Habibie dan
Ainun.
“Sudah, sekarang mending ngomong yang tadi aja! Kisah Habibie dan Ainun.”
“Aku paling ingat saat Pak Habibie ke Jerman untuk belajar dan bekerja, tapi disaat sudah sukses
beliau tidak lupa untuk Indonesia, untuk pulang dan membangun Indonesia menjadi negara yang
hebat! Walau di Jerman beliau mendapatkan tawaran pekerjaan yang menjamin.”
“Aku kagum kepada beliau. Walau beliau tidak membawa sebongkah harta untuk pergi ke
Jerman, beliau hanya membawa tekad yang kuat tapi kenyataannya Pak Habibie bisa untuk
sukses!.”
“Iya, iya, iya! Tentu tak lupa ada Ibu Ainun yang selalu memberi semangat dan motivasi untuk
Pak Habibie.”
“Tadi aku gak memperhatikan penuh ceritanya. Karena aku sebelum menonton bioskop, aku
sudah baca Novelnya. Walau belum selesai bacanya sih.”
“Ntar aku pinjem ya, yah?.”
“Ok, Siap!.”
Ibu Ainun termasuk istri yang baik, sabar, gak pernah ngeluh, selalu memberi motivasi, cerdas,
pokoknya istri yang sempurna.”
“Iya, tentu juga Ibu yang Istimewa. Yang mengurusi anaknya dengan kasih sayang dan ketulusan
tanpa seorang pengasuh anak.”
“Semua itu karena adanya rasa saling percaya dan kekuatan cinta atau bisa disebut The Power of
Love.”
Ya kuncinya kesabaran, kepercayaan, kekuatan cinta, dan ketulusan!.”
“Bisa disebut 4K ya?.”
“4K? Kesabaran, Kepercayaan, Kekuatan cinta dan Ketulusan. Benar juga!.”
“Dan itu bisa kita contoh! Sebagai teman/sahabat kita harus Saling Percaya gak boleh berantem,
Sabar jika ada salah seorang teman yang marah atau mengejek kita iri ke kita atau bahkan benci
kepada kita, Irikan tanda tak mampu? terus Ketulusan dalam menjalankan pertemanan ataupun
persahabatan tanpa memandang dia Pintar atau Bodoh, Kaya atau Miskin, Cantik atau Jelek,
Populer atau Biasa, ataupun lainnya! Semua teman sama aja sebagai makhluk TYE yang
kedudukannya sama di mata Tuhan.”
“Selain itu semua, tentu tak lupa untuk meraih kesuksesan haruslah belajar!.”
“Dan berusaha!.”
“Tak lupa, Berdoa.Jadi kunci dari sebuah kesuksesan adalah Belajar, Berusaha, Berdoa 3B!.”
“Kita harus bisa seperti Pak Habibie, bisa mendapatkan beasiswa keluar negeri. Walau anak dari
orangtua yang kurang mampu!.”
“Ya, kita harus bisa seperti Ir. Bacharuddin Jusuf Habibie.”
“Kita harus bisa membangun negeri Indonesia ini!.”
“Agar menjadi yang lebih baik, bahkan yang terbaik dari negara lain.”
“Iya, gak hanya terkenal dengan para koruptor yang mengkorupsi ber milyar-milyaran uang
negara, saja!.”
“Betul tuh, sebagai siswa tentu kita haruslah belajar dan berdoa serta tak lupa berbuat yang
positiv yang berguna bagi orang lain, masyarakat, bangsa, dan negara.”
“Iya, kita harus bisa membawa nama harum kedua orangtua, sekolah tercinta ini SMP Negeri 1
Pati, dan negara yang begitu sempurna Indonesia. Jangan hanya menjadi siswa yang nakal,
brutal, yang bisanya berlindung dari punggung kedua orangtua dan bepangku tangan. Mari
songsonglah negeri ini dengan cara menjadi anak yang unggul dalam prestasi, mantab dalam
imtaq dan berwawasan global.

EPILOG :
Dari dialog diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa perjuangan dari semua tokoh pahlawan
contohnya B.J Habibie semua itu demi negeri tercinta ini, tapi terkadang orang menyalah
gunakan akan kedudukan pekerjaannya. Semua itu beda dengan B.J Habibie tetapi sebagian
orang memandang beliau dengan sebelah mata seperti halnya dulu beliau pernah dikeluarkan dari
negara ini.
Awal dari kesederhanaan untuk menuju kesuksesan diperlukan adanya Ketekunan, Kesabaran,
Ketelitian, Kepercayaan dan Tekad yang kuat. Seperti halnya mengerjakan mata pelajaran
Matematika, dibutuhkan ketelitian, dibutuhkan ketekunan, dibutuhkan tekad yang kuat,
dibutuhkan kepercayaan bahwa pasti bisa, dan kesabaran untuk menghadapinya karena kita perlu
adanya Proses untuk mendapat hasilnya kan? Dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya kita
harus yakini itu.
Dari beliau kita harus bisa berkaca menuju kesuksesan tidaklah mudah untuk meraih cita-cita
haruslah dengan perjuangan dan pengorbanan. Demi semua orang yang menyayangi kita tak lupa
dan pertama adalah orangtua.
Intinya, kita harus bisa lebih baik di hari ini dari hari yang kemarin. Harus bisa menjadi terbaik
di antara beribu anak yang baik, Harus bisa menjadi anak yang jenius dari berjuta-juta anak yang
cerdas, Harus bisa membuat bahagia orang di sekeliling kita baik dengan cara
Prestasi/Bakat/Tindakan. JADILAH ANAK YANG LUAR BIASA, TAPI INGAT HATI
TETAP SEDERHANA!!! Cerminkan sikap budi pekerti yang luhur, sebagai ciri khas bangsa
Indonesia.
Nama : Tyas ayu putri k

Absen : 31

Kelas : IX-E

Sikapku Untuk Bangsaku


Malam begitu gelap. Tak ada pancaran sinar matahari yang menyinari bumi lagi, tapi jangan khawatir
itu hanya terjadi malam hari saja. Bintang-bintang di langit sudah cukup membantu menerangi bumi
di tambah cahaya lampu di tiap perempatan jalan ibukota.

Jalanan cukup sepi, mungkin karena sudah larut malam. Tak terlalu banyak hiruk pikuk suara
kendaraan yang mengganggu. Hanya ada beberapa pejalan kaki saja. Langkah Ryan begitu pelan,
entah apa yang ada di benaknya sekarang. Terus berjalan kaki tanpa ada arah tujuan sedari tadi.
Hanya di temani alunan musik favoritnya saja.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara dari belakang tampak memanggil.
Ryan tak menoleh sedikitpun. Mungkin pengaruh terlalu asyik mendengar alunan musik itu.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara itu kembali terulang namun lebih keras lagi.
Kali ini Ryan akhirnya menoleh. Melihat dari kejauhan sosok yang memanggilnya. Kulit sawo matang,
tinggi dan terlihat manis mengenakan kaos oblong itu ternyata teman sewaktu di SMA, namanya Arif.
“Hey rif, kenapa?”
“Mau kemana? Dari tadi siang ibumu menelfon, dikiranya kamu main ke rumah” kata Arif dengan gaya
cemas.
“Oh, itu. Iya aku yang bilang tadi mau ke rumah kamu, tapi itu cuman akal-akalan saja biar ibu tidak
cemas” Ryan menjawab dengan santai.
“Kenapa? Ada masalah apalagi?” tanya Arif penasaran.
Tak ada respon dari Ryan, dia hanya terus berjalan melangkahkan kakinya entah kemana, tak ada
tujuan sama sekali. Arif hanya terus mengikuti meski kadang terlihat geram melihat tingkah
sahabatnya itu.

“Rif, kamu mau lanjut dimana?” pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut Ryan. “Minggu depan,
aku mau ikut tes. Mau lanjut di luar saja. Maunya di Inggris, Oxford. Selasa nanti sudah tes mau
ambil Hukum, minggu depannya ada tes lagi dengan jurusan yang sama sih, cuman di salah satu
universitas di Singapore. Sebenarnya niat ambil jurusan Hubungan Internasional juga tapi masih
ragu” Arif nampak semangat menjelaskan rencana perkuliahannya. “Kamu dimana? Tidak niat lanjut
di luar juga?” tanya Arif balik.
Lagi, Ryan tak bergumam dan tak mengeluarkan sepatah kata atas pertanyaan sahabatnya itu.
Entahlah, apa yang di benaknya sekarang. Seperti tak bisa ditebak.

Kini mereka sudah berjalan terlalu jauh, sangat jauh. Sedari tadi tak ada percakapan yang begitu
berarti. Hanya selingan saja yang benar-benar tak punya nilai.
“Kenapa pilih kuliah di luar, Rif? Di Indonesia juga banyak universitas yang bagus kan. Lagian
keluaran disini juga banyak yang hidup mereka terjamin dan akhirnya bisa dipekerjakan di
perusahaan besar juga” sahut Ryan yang baru merespon. Aneh memang.
“Mereka memang menuntut ilmu disini, tapi pada akhirnya mereka juga bekerja dan banyak memilih
untuk di luar negeri kan? Apa kau tidak akan bangga, kalau bisa menuntut ilmu dan bekerja di
perusahaan besar di luar?” Arif menatap tajam Ryan.
Tak ada respon lagi. Tiba-tiba suara nada dering yang cukup lantang terdengar begitu dahsyat.
Rupanya bunyi itu berasal dari telepon genggam milik Ryan. Kali ini Ryan harus mengakhiri
percakapannya dengan Arif. Karena sang ibu sudah terlalu cemas dan menyuruhnya segera balik ke
rumah.

Setiba di rumah, Ryan langsung mepercepat langkahnya menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah
yang ada, dia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang setiap malam menjadi teman
terbaiknya. Etalase foto-foto kamar menjadi sasaran penglihatan dirinya. Tampak ada satu foto disana
yang tak henti ditatap. Mungkin foto itu menyimpan berjuta kenangan. Ya, foto itu adalah foto
bersama sang adik sewaktu di London, Inggris dulu. Tampak senyuman begitu lebar, terlihat wajah
mereka berdua begitu menikmati liburan sekolah dulu. Wajar lah, itu kali pertama mereka
menginjakkan kaki ke luar negeri. Apalagi di Inggris, sungguh menyenangkan. Dentuman jam dinding
kamar yang kini mengarah pada angka satu itu tak membuat Ryan untuk segera mangakhiri
khayalannya. Mungkin pikirannya masih kacau, raut wajahnya sungguh datar, tapi tatapannya masih
mengarah ke foto yang tadi.

“Ryan, ayo tidur cepat. Jangan begadang lagi. Besok pagi kita ke rumah Om Indra. Dia sudah datang
dari Jepang. Mungkin saja nanti ada buah tangan dari om mu itu” tiba-tiba suara Ibu terdengar begitu
lantang.

Ryan mengabaikan, tapi beberapa menit menjelang seruan sang Ibu tadi tiba-tiba lampu di kamar
sudah mati. Ya, kali ini Ryan mendengar perintah perempuan parubaya itu. Dan entah ada angin apa,
paginya Ryan bangun terlalu pagi. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu sulit untuk
dibangunkan oleh sang Ibu. Kali ini Ryan segera menoleh dan mengambil jam yang sehari-hari
menjadi musuh terbesarnya. Sebelum dia terusik oleh bunyi yang begitu keras dari jam itu buru-buru
dia lah yang mematikan cepat bunyi alarmnya.

Pagi itu sungguh sejuk, matahari kini mulai menampakkan sinarnya. Dia bertugas lagi memberi
sentuhan nafas kepada masyarakat bumi ini. Tampaknya hari itu cuaca sangat bersahabat. Pedagang
kaki lima, angkutan umum serta pejalan kaki berlalu lalang sudah mulai nampak terlihat. Mereka kini
tampak sudah sibuk mencari kumpulan rupiah untuk bisa tetap berpijak di atas bumi ibu pertiwi ini.
“Kak Ryan ayo cepat siap-siap, kita berangkat ke rumah Om Indra sekarang” tampak suara sang adik
yang begitu bersemangat tiba-tiba menyahut dari depan pintu kamar.
“Ahhh? Ngapain sepagi ini berangkat? Lagian Om Indra juga pasti masih melek disana.” sahut Ryan
dengan wajah yang sungguh datar.
“Aku sudah nggak sabar mau dapat oleh-oleh dari Om Indra, ayo buruan. Kalau telat bisa-bisa nanti
kita tidak kebagian. Ayo kak buruan” nampak suara itu cukup memaksa.
Mau nggak mau, suka nggak suka kali ini Ryan harus betul-betul menuruti kata sang adik. Wajar,
sang adik yang sering disapa Risan kini duduk di tingkat menengah pertama itu begitu bersemangat
jika ada sanak keluarga mereka yang sudah menampakkan batang hidungnya ke Indonesia, seperti
kebiasaan sebelumnya tak lain tak bukan hanya mengincar buah tangan saja. Ya sesederhana itu
kebahagiaan dia sepertinya. Bahkan tak sering Risan sudah memesan terlebih dahulu. Baju, tas
bahkan sepatu buatan asli dari sana sudah menjadi incaran Risan.

Di rumah yang berlantai dua milik om Indra akhirnya mereka tiba. Rumah yang cukup strategis
terletak di tengah-tengah kota itu selalu dipenuhi hiruk pikuk keramaian. Kendaraan tak henti-
hentinya berlalu-lalang di depan rumah Om Indra. Ternyata, dari luar Om Indra langsung menyambut
kedatangan mereka semua. Tampak senyum begitu lebar terpancar dari wajah Om Indra. Wajar, tiga
bulan lebih Om Indra baru mengijakkan kakinya di tanah air Indonesia dan sudah lama tak bertatatap
muka dengan sanak keluarga di Indonesia. Om Indra selalu bolak-balik Jepang-Indonesia lantaran Om
Indra punya usaha di bidang Desain Interior yang kini namanya makin dikenal di Jepang. Usaha ini
sudah dilakukan sejak tiga tahun yang lalu. Om Indra kini juga mempunyai begitu banyak karyawan
yang tiap bulan harus digajinya.

“Om, oleh-olehnya mana? Pesanan aku ada kan?” tiba-tiba suara itu terdengar di sela-sela jumpa
kangen itu berlangsung. Ya, sahut Risan rupanya tak sabar menerima buah tangan dari Paman
tercintanya itu.
“Tenang, om pasti ada oleh-oleh buat kalian semua. Ayo naik, pesanan kamu ada di atas”
Di sela-sela melihat buah tangan dari Om Indra dan percakapan berlangsung begitu indah, tiba-tiba
Om Indra menanyakan pendidikan Ryan selanjutnya. Wajar, Ryan memang sudah lulus tingkat SMA
tahun ini.
“Ryan, kamu mau lanjut kuliah dimana?”
“Hem, (Ryan tampak diam sejenak). Masih bingung Om, tapi rencana mau kuliah di Universitas yang
ada di Jakarta saja. Mau coba simak UI dulu ambil jurusan Hukum om” jawab Ryan tampak
tersenyum.
“Oh gitu. Kenapa nggak mau ngikutin jejak langkah om? Kamu coba sekolah di luar saja, kalau kamu
tekun dan ulet nantinya bisa langsung di rekrut perusahaan besar disana. Wah, pasti orangtuamu
akan sangat bangga. Atau paling tidak kamu buka usaha sendiri, lumayanlah bisa membantu
penghidupan orang orang disana untuk menjadi karyawanmu” Om Indra memberi saran.
“Om bukan orang yang pertama nyaranin kayak gitu. Tapi ngomong-ngomong om sendiri kenapa
nggak buka usahanya di Indonesia saja? Om juga pasti nggak bakal capek terus bolak-balik Jepang-
Indonesia.” Ryan menjawab dengan nada yang cukup serius.
“Jepang itu negara maju, mungkin kamu sendiri tahu kalau penduduk Jepang terkenal dengan pekerja
keras. Om bisa bedain rasanya waktu SD hingga SMP om menuntut ilmu di negara ini. Tapi saat SMA
hingga om berkuliah dan akhirnya bekerja bisa membuka usaha di Jepang itu rasanya sangat beda
sekali”
“Beda? Emang apa bedanya om?” Ryan seperti penasaran
“Sangat beda. Kamu tau nggak? Hal yang bisa membuat penduduk-penduduk Jepang banyak
berhasil? karena penduduk Jepang terkenal dengan tipe pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di
Jepang 2450 jam/tahun. Itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia yang bisa dikatakan
jam kerja pegawainya hanya berkisar 1500an jam/tahun. Sangat jauh kan? Bukan cuman itu saja,
siswa-siswi di sana jika mereka mengalami suatu kegagalan, itu adalah hal yang paling memalukan
dan terburuk buat mereka, bahkan mereka bisa membunuh dirinya sendiri. Maka dari itu kenapa om
nyuruh kamu untuk bisa melanjutkan pendidikan di luar utamanya di Jepang. Biar nantinya kamu bisa
belajar dan sukses kelak” kata om Indra yang nampaknya tau semua tentang negara Jepang itu.

Ryan terdiam. Percakapan mereka tampaknya terhenti sejenak. Ryan mungkin lagi mencerna
pernyataan Om Indra tadi. Ya, tidak ada yang salah memang dari ungkapan Om Indra itu yang
membuat Indra tiba-tiba tak mengeluarkan respon apapun.
“Hei, jangan bengong” om Indra menepuk pundak keponakannya itu tiba-tiba.
“(Ryan terkaget)! Emang yang bengong siapa? Om ada-ada aja”

Percakapan yang tak begitu lama namun tampak serius tadi rupanya berakhir disini. Lantaran sudah
terdengar kicauan sang Ibu yang sedari tadi memanggil untuk segera pulang. Ya, perjumpaan dan
kangen-kangenan dengan Om Indra nampaknya berakhir di saat matahari sudah mulai tak
menampakkan wajahnya. Hari yang sudah gelap itu memanggil mereka untuk kembali ke rumah.
Semuanya naik ke mobil dan bergegas untuk pulang. Di tengah perjalanan yang cukup melelahkan,
tiba-tiba saja terlihat sekumpulan anak muda dari sudut kaca mobil yang nampak terlihat melakukan
tawuran. Ibu tiba-tiba menelan ludah. Tawuran itu bukan saja mengagetkan tapi juga menyadari
sesuatu. Bagaimana mungkin disaat malam yang mengharuskan mereka sudah berada di rumah,
masih ada saja terlihat melakukan tawuran lengkap dengan seragam sekolah yang masih menempel
di badan mereka.
“Sungguh miris memang menyaksikan potret anak muda sekarang, masih ada saja tawuran malam-
malam begini. Huuu” Ibu menghela napas.

Agar dapat cepat tiba di rumah. Ayah memutar balik mobil dan memilih jalan lain untuk menghindari
hal-hal yang tidak di inginkan. Ya, nampaknya mereka juga begitu takut melihat tawuran yang
nampak ekstrem itu. Perjalanan ke rumah pun berlanjut. Di bawah naungan langit yang dipenuhi
bintang-bintang indah, diiringi kicauan burung dan melintasi terowongan gelap, perjalanan setengah
jam tidak terasa. Mereka kini tiba di rumah.

Esok hari, di siang bolong. Ibu tampak tercengang melihat berita di TV. Rupanya, tawuran kemarin
malam yang dilihat dengan mata kepala sendiri itu menjadi pusat perhatian dan diliput oleh banyak
media. Wajah Ibu tampak kusut, sangat terkejut. Rupanya, tawuran itu memakan dua korban hingga
meninggal, lantaran terkena tusukan benda tajam.
“Aduhhh, kasian anak-anak itu. Tapi, itu resikonya! Sudah malam juga masih punya kesempatan
melakukan tawuran. Anak jaman sekarang!” Ibu tampak iba, tapi sekaligus jengkel.
“Kenapa bu?” tiba-tiba terdengar suara Ryan menghampiri di ruang TV.
“Ini, tawuran kemarin yang kita lihat itu diberitakan. Ternyata ada korban yang meninggal dua orang”
“Oh ya? Siapa bu?”
“Nggak tau juga. Oh ya ingat, kamu jangan sampai melakukan hal seperti itu. Ibu nggak mau
mendegar kamu terlibat hal-hal demikian. Pokoknya jangan sampai! Kamu harus ingat itu yah. Kamu
nggak mau kan jadi korban seperti mereka?” Ibu tiba-tiba tampak prihatin.
“Ibu apaan sih. Nggak usah khawatir sama Ryan. Ryan tau apa yang harus Ryan lakukan!”
“Baguslah. Semoga itu bukan hanya omongan belaka kamu saja. Ibu cuman mau lihat kamu bisa
menjadi orang yang berguna kelak. Mau jadi apa anak muda itu kalau kerjaannya cuman melakukan
tawuran dan perkelahian terus” Ibu menyeka dahi.
“Iya bu”
“Oh ya, terus bagaimana dengan kuliahmu? Mau lanjut dimana? Apa tidak ada rencana melanjutkan di
luar saja? Ibu cuman takut kalau nantinya kamu akan terpengaruh dengan hal-hal seperti itu.
Melakukan demo, perkelahian, sampai tawuran lah. Kamu sendiri juga sudah sering lihat kan berita-
berita di tv yang setiap harinya hanya memberitakan perkelahian anak sekolah jaman sekarang”
wajah Ibu tampak begitu cemas.
“(Ryan menghela napas). Aku mau lanjut disini saja bu. Teman-teman Ryan juga kebanyakan lanjut
disini juga. Lagian tadi kan Ryan sudah bilang. Ibu nggak usah khawatir dengan hal seperti itu. Ryan
pasti bisa kontrol diri untuk tidak melakukan hal demikian” Ryan tampak meyakinkan.
“Gimana kalau kamu coba di Jepang saja dulu nak. Disana juga ada Om Indra yang bisa kontrol kamu
setiap hari. Lagipula Ibu juga ngga mau biarin kamu keluar kalau ngga ada sanak keluarga disana.
Ibu begitu miris saja melihat anak muda jaman sekarang! Kerjanya hanya tawuran mulu”
“Nggak bu disini saja. Ibu hanya keliru saja. Lagian kualitas anak muda Indonesia sekarang justru lagi
hebat-hebatnya. Dan Ryan bisa jelaskan kenapa. Beberapa teman Ryan di SMA dulu bisa meraih juara
olimpiade robotik, olimpiade kimia, dan olimpiade fisika. Bukan hanya di sekolah Ryan, pemuda
Indonesia lainnya di undang tur hiphop keliling Amerika, NewYork. Ada yang juara dunia juga dalam
paduan suara bahkan terakhir ini kita melihat bendera Indonesia dikibarkan saat atlet bulu tangkis
kita berhasil menjadi juara tingkat dunia di China. Mungkin, mereka semua tak pernah didengar dan
dilihat oleh rakyat Indonesia. Karena hampir semua media hanya memberitakan keburukan pemuda
Indonesianya saja. Dan para penonton pun lebih tertarik menyaksikan info-info negatif anak muda
sekarang tanpa sadar begitu banyak sisi positif yang bisa dibanggakan bu” Ryan tampak serius
menjelaskan.
Ibu tampak terdiam sejenak. Mungkin kaget dengan jawaban putra pertamanya itu. Ibu hanya
menghela nafas panjang dan tersenyum kepada Ryan. Tak tau harus berkata apa lagi.
“Kayak seperti yang Ibu lihat sekarang kan? Media semua gempar-gempornya memberitakan tawuran
kemarin. Kenapa bukan pemuda yang berprestasi saja yang terus diberitakan? Karena pelajar yang
sedang belajar tidak menarik dibandingkan pelajar yang hobby membacok. Ada begitu banyak pelajar
Indonesia di luar sana yang lagi belajar, menggali potensi mereka, berkarya dan terus berfikir. Hanya
saja media tak pernah bertemu mereka karena mereka dalam lingkungan sekolah terus. Ryan juga
mau bu suatu saat nanti menjadi satu di antara ribuan pemuda Indonesia yang bisa mengharumkan
nama negara kita diluar sana nanti” tambah Ryan meyakinkan sang Ibu tercinta.
Lagi-lagi, Ibu hanya bisa tersenyum kagum mendengar sang putra berkata demikian. Nampaknya
Ryan kini memang sudah tumbuh dewasa. Dia sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Sang
Ibu tiba-tiba memeluk Ryan, matanya berkaca-kaca, tangannya begitu erat mengenggam bahu Ryan.
“Sayang, kamu harus berjanji sama diri kamu sendiri. Kamu bisa jadi orang sukses, kamu bisa
membangun negara tempat kita tumbuh menjadi negara yang lebih mandiri. Sekarang, dimana pun
kamu memilih tempat kuliah ibu akan sangat mendukung” suara sang Ibu tampak bergetar.
Entah ada angin apa, Ryan yang terkenal paling susah menangis di depan banyak orang. Kali ini tak
bisa ditahannya. Kali ini pipi manisnya becucuran air mata. Merasa sangat terharu karena sang Ibu
begitu peduli dengannya. Padahal Ryan tahu, sebenarnya sang Ibu tak pernah ikhlas membiarkannya
untuk melanjutkan pendidikan diluar. Hanya saja sang Ibu harus menghapus rasa egonya biar kelak
sang anak tidak terjerumus dengan hal-hal yang tak diinginkan.

Kini setelah mendapat pesetujuan dari keluarga. Ryan sekarang tercatat sebagai salah satu
mahasiswa di universitas negeri terbaik di Jakarta Fakultas Hukum. Sejak dulu Ryan memang sudah
memimpikan untuk bisa menyandang gelar sarjana hukum, sama seperti sahabatnya Arif yang
sekarang juga mengambil jurusan hukum. Bedanya adalah Arif berada di bawah naungan salah satu
Universitas terbaik di Inggris. Meskipun sekarang mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh, namun
intensitas komunikasi mereka tetap berjalan terus. Maklumlah, kedua orang ini memang sudah begitu
dekat sejak kecil. Namun kali ini mereka harus terpisah sejenak untuk mimpi mereka masing-masing.

Setiap hari, Ryan menjalani rutinitas perkuliahan yang begitu padat. Panas Ibukota yang selalu sama
dan tak bisa diajak kompromi itu, serta macetnya jalan tak membuat Ryan untuk mengeluh
mengendarai sepeda motornya menuju kampus. Kali ini dia berangkat berboncengan dengan salah
satu kerabat kelasnya Adit. Anak muda seperti Ryan dan Adit memang sedang asyik-asyiknya kuliah.
Apalagi Ryan terbilang aktif mengikuti kegiatan dan banyak mengikuti organisasi di kampus. Namun
Ryan begitu senang, karena memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya. Kita masih muda
kawan.

Lampu merah, dan sebagai pengendara yang baik, Ryan mematuhi aturan yang ada. Dia tak mau
hanya karena memburu waktu untuk segera tiba ke kampus harus melanggar aturan yang ada,
mungkin saja dia tidak akan rugi karena bisa segera tiba dengan cepat. Tapi resikonya adalah dia bisa
merugikan pengendara yang lain akibat ulahnya itu. Hal yang besar pada dasarnya bermula dari
pelanggaran kecil.
“Mas, minta uangnya mas” seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri Ryan dengan tatapan
dan suara memelas. Hal itu membuatnya miris. Namun tak ada balasan dari sapaan anak kecil itu.
Ryan hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa
dan menyuruhnya segera pergi.
“Ryan, beri uang seribuan aja, kasihan” suara Adit tampak menyuruh dari belakang.
“Aku bukannya anti beramal dit, tapi ini masalah ideologi dan karakter bangsa kita kelak. Untuk
memberikan uang pada pengamen terkhusus kepada anak-anak kecil di jalanan seperti itu adalah
sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang, mereka akan mengira mencari uang itu
adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan
muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka dewasa, bukankah negeri ini akan semakin
terpuruk?” jawab Ryan dengan lantang sambil meneruskan perjalanan mereka.
“Iya benar sih. Makin miris juga setiap hari melihat makin banyak anak-anak yang mengemis di
jalanan”
“Itulah. Jika memiliki uang lebih, sepertinya lebih aman jika kita sumbangkan pada dinas sosial saja.
Untuk selanjutnya, uang itu digunakan mengurusi anak-anak jalanan agar lebih memiliki masa depan.
Sepertinya itu lebih baik dit.” Ryan sedikit menyarankan. Ya, seperti itulah prinsip Ryan selalu yang
tidak akan berubah, selalu analisa dengan matang sebelum bertindak.
Bertatap muka dengan pengamen-pengamen yang mendominasi anak kecil itu bukan hal yang baru
lagi buat Ryan setiap menuju ke kampus. Itu bukan menjadi pandangan yang baru lagi. Namun hal itu
tak pernah membuatnya patah semangat untuk terus menuntut ilmu di Universitas terbaik se-
Indonesia itu.

Menyimak, memperhatikan, bahkan menanyakan ulang apa yang belum dipahami sudah menjadi hal
yang mutlak dalam proses pembelajaran. Sepertinya anak yang sekarang berusia 18 tahun ini tak
mau hanya menjadi mahasiswa yang sekedar datang, duduk, dan diam semata. Dia mau berkembang
dan bersosialisasi agar kelak dia bisa juga menjadi kebanggaan buat tanah air Indonesia. Ryan sadar
anak muda seperti dirinya, harus memupukkan semangat yang besar untuk melakukan hal-hal positif
guna di masa tua nanti tak ada penyesalan yang hadir.

Perjalanan perkuliahan Ryan memang nampak begitu menyenangkan namun kadang terbilang sulit. Di
awal-awal dia harus bersosialisasi dengan wajah-wajah baru. Namun ada pula beberapa wajah yang
sudah tidak asing lagi, karena beberapa teman semasa bangku SMA dulu. Tapi satu hal yang
membuat Ryan merasa bangga melanjutkan studinya di negara sendiri adalah tak lain dan tak bukan
banyak dari warga negara tetangga yang rupanya juga menjatuhkan pilihan mereka di Indonesia.
Sungguh suatu kebanggaan! Itu bisa membuktikan bahwa pendidikan Indonesia juga layak
dibanggakan. Meskipun Ryan sadar belum bisa menjadi terbaik di mata dunia. Bertahun-tahun dia
harus memupuk semangat dan menambah pengetahuan serta bersosialisasi dengan banyak macam
karakter. Bahkan tak sering Ryan selalu bertukar informasi kepada mereka yang baru memulai
pendidikan di Indonesia. Ryan tak segan memberi pengetahuan tentang budaya, serta makanan khas
yang ada di negeri ini. Begitu sederhana, tapi buatnya itu bisa menjadi nilai tersendiri agar
kebudayaan yang ada di negara Ibu Pertiwi ini bisa di kenal oleh masyarakat luar.

Kini, saat sudah menginjak semester empat. Ryan diutus dari Fakultas sebagai salah satu calon untuk
ikut berpartisipasi dalam debat Hukum Internasional. Memang masih sekedar calon, karena akan
diseleksi lima orang terbaik lagi untuk nantinya di ikut sertakan dalam ajang bertaraf Internasional
yang dilaksanakan di Inggris. Mendapat kepercayaan dari universitas tempatnya bernaung serasa
mimpi di siang bolong. Tapi ini nyata. Ini adalah mimpinya sedari dulu. Membawa nama Indonesia ke
mata dunia atas kemampuan yang dimilikinya. Tapi, rasa takut dan pesimis selalu menghantui. Bukan
hanya itu, dia harus menyingkirkan 15 orang lain dari berbagai universitas di Indonesia. Untuk pada
akhirnya bisa betul-betul mewakili nama Negara tempatnya berpijak.

“Bukannya itu dulu mimpi kamu? Sekarang kenapa jadi ragu begitu?” tanya sang Ibu saat Ryan
menceritakan semuanya.
“Ada 20 orang bu, dan yang terpilih hanya lima orang saja. Mereka semua hebat-hebat”
“Dulu kamu sendiri yang bilang, kelak suatu hari nanti ingin membanggakan negara kamu ini.
Sekarang di saat kamu punya kesempatan untuk mewujudkannya malah langsung nyerah gitu”
“…”
“Oh iya bukannya dengan kamu pergi ke Inggris nanti, kamu malah bisa ketemu sama Arif juga kan?
Kalian sudah tidak ketemu selama dua tahun belakangan ini lho” ibu menambahkan.
“Oh iya (sambil menepuk jidatnya). Baru ingat kalau ada Arif di Inggris. Sahabat macam apa aku,
sampai lupa sahabat sendiri”
“Maka dari itu, selain nanti kamu bisa membawa nama Indonesia. Kamu juga bisa sekaligus jumpa
kangen lah sama Arif disana” Ibu menyarankan.
Kali ini sepertinya, rasa pesimis Ryan sedikit mereda. Dia yakin dengan semangat dan
kemampuannya kelak bisa tercapai untuk mengharumkan nama Indonesia.
“Anak muda seperti kamu itu adalah penerus untuk masa depan. Makanya di tangan kaum mudalah
nasib suatu bangsa ini dipertaruhkan. Kalau kamu sendiri tidak punya keyakinan dan semangat yang
tinggi, kamu harus siap melihat bangsa ini sedikit demi sedikit akan mulai hancur.” Ibu menambahkan
lagi.

Ryan terdiam sejenak. Dia mulai sedikit meresapi. Dia sadar begitu banyak para generasi pendahulu
telah menghasilkan karya besar buat negeri ini. Kemerdekaan yang sekarang diraih, bukan dihasilkan
melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat
dan aktivitas, serta retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu. Itulah yang mulai
tertanam di benaknya. Mulai saat itulah, Ryan giat belajar, berlatih berbicara di depan cermin, dan
sering-sering bertanya guna menambah wawasannya untuk debat nanti. Setiap hari dilakukan tanpa
adanya keluhan, lelah dan letih sudah makanan setiap hari. Tapi itu tak merubah antusiasnya untuk
bisa menjadi salah satu calon dari Indonesia bertanding di Inggris kelak.

Hal yang dinanti kini tiba. Kurang lebih sebulan Ryan mempersiapkan segalanya. Waktu itu masih
terlalu pagi. Tapi dia sudah buru-buru segera menuju ke kampus.
“Kak Ryan, tunggu aku” suara sang adik tampak kedengaran dari dalam rumah.
“Pagi ini kamu naik angkot atau taksi saja yah. Aku harus segera tiba ke kampus” teriak Ryan yang
langsung menjalankan sepeda motornya.
“…”
Masih terbilang pagi memang, belum ada sinar matahari yang begitu dahsyat. Hari itu Ryan akan
mengikuti seleksi untuk ajang debat Hukum Internasional nanti. Gugup, takut, dan gelisah sudah
nampak menghampiri. Tapi di sisi lain Ryan percaya akan kemampuan yang dimilikinya. Dia yakin dia
bisa menjadi satu dari lima orang yang nantinya akan terpilih.

“Kepada semua 20 peserta debat diharapkan segera memasuki ruang auditorium sekarang juga”
tampak suara salah satu panitia menyuruh.
“Nanti kalian akan dibagi empat kelompok, jadi satu grup beranggotakan lima orang. Jadi saya harap
kalian bisa memberikan kemampuan kalian yang terbaik. Keluarkan semua apa ingin kalian katakan,
dan satu hal jangan pernah merasa takut. Karena disini kita butuh orang-orang yang bersikap kritis.
Mengerti?” lanjut panitia mengarahkan.
“Mengerti…” tampak serempak mereka menjawab.

Setelah pembagian kelompok selesai, Ryan ternyata mendapat grup pertama dimana dua orang
temannya berasal dari universitas yang berbeda dan dua lainnya berasal dari universitas yang sama
dengan Ryan. Disini mereka di tuntut habis-habisan untuk mengeluarkan segala pendapat mereka.
Disini lah nampaknya dilihat sifat pemimpin dan tegas dari para mahasiswa/i yang mengambil jurusan
Hukum itu. Selama acara debat berlangsung, Ryan nampak begitu tegas menyampaikan setiap
gagasannya. Badan yang tegap dengan suara yang lantang menambah keyakinannya untuk mampu
memberikan yang terbaik. Kemampuannya dalam mengolah kata-kata membuat acara debat itu
semakin berkesan, aura wajahnya tak bisa dibohongi, dia begitu yakin dan percaya akan setiap
gagasannya.

“Oke, terimakasih kepada semua peserta atas partisipasinya. Kalian adalah generasi muda yang luar
biasa. Kalian berani menunjukkan sikap kritis. Dan tim juri juga sudah menilai penampilan kalian
semua, dan minggu depan akan segera diberitahu hasilnya.” penyampaian itu mengisyaratkan
berakhirnya penyeleksian debat itu.

Satu minggu, membuatnya harus senam jantung setiap hari. Ini betul-betul mimpi terbesar dalam
hidupnya. Membawa nama merah putih tercinta. Bukan hanya sekedar pembuktian, dia juga bertekad
dengan cara ini dia akan kembali memupuk semangat teman-teman lain. Bahwa dengan suatu karya
dan prestasi kita bisa membuat negara ini menjadi negara yang tidak harus selalu bergantung dari
negara luar. Ya, kepercayaan, kerja keras, dan sikap kritis itu membuahkan hasil. Di papan
pengumuman dekat fakultas, namanya tercantum di urutan ke-3 sebagai satu dari lima yang mewakili
Indonesia ke Inggris nanti. Dua nama teratas dan dibawahnya berasal dari universitas yang berbeda-
beda. Bulu kuduknya merinding, wajahnya memamparkan kebahagiaan yang sejati, dan tatapan mata
yang terlihat berkaca-kaca. Seakan mengisyaratkan kalau apa yang dicapai sekarang bukanlah mimpi.

Rasa haru begitu terasa, ucapan selamat dari sahabat, dosen pembimbing, serta keluarga tercinta
menjadi pembangkit semangat untuk harus lebih baik di ajang yang bertaraf Internasional itu. Kali ini
apa yang di impikan bukan hanya sekedar angan-angan semata. Mimpinya tercapai, dia percaya
dengan semangat dan kemampuan yang terus diasah apa yang dianggap tidak mungkin itu menjadi
mungkin. Kini, dia mempersiapkan diri dan mengajak generasi muda lainnya untuk kreatif, mandiri
serta mempunyai konsep diri bangsa yang positif agar dapat menjadi pondasi yang kuat dalam
pengembangan pribadi bangsa negeri. Hal yang paling membanggakan lainnya adalah lewat debat
hukum internasional ini Ryan beserta teman lain mampu memperkenalkan bahasa Indonesia di mata
dunia, karena setiap peserta bisa menggunakan bahasa tempat asal mereka. Rasa bangga dan
terharu tak bisa ditutupi lagi, dengan cara ini dia bisa mengajak teman-teman lain untuk membangun
negeri ini sebagai negeri yang mandiri, tak selalu bergantung dengan era globalisasi.

Anda mungkin juga menyukai