Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KUNJUNGAN

PROSES VOLUNTERY COUNSELING DAN TESTING (VCT) DI UPTD


PUSKESMAS PESANTREN II KOTA KEDIRI

Oleh :
1. Dony Kusuma (1811A0005)
2. Ika Nurwahyuni (1811A0011)
3. Juni Dwi Restiawan (1811A0035)
4. Luthfia Nur Haqiqi (1811A0017)
5. Maria Paulina Usboko (1811A0018)
6. Mei Wulandari (1811A0019)
7. Rizki Tri Ramadhani (1811A0024)
8. Titin Atik Sayyidah (1811A0027)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN
STRADA INDONESIA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan salah satu Infeksi
Saluran Reproduksi (ISR) yang ditularkan melalui hubungan kelamin.
Infeksi saluran reproduksi merupakan infeksi yang disebabkan oleh masuk
dan berkembangbiaknya kuman penyebab infeksi ke dalam saluran
reproduksi. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berupa jamur, virus,
dan parasit. Salah satu penyakit menular seksual yaitu Human
Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) (Ardhiyanti, 2015).
Angka kejadian HIV di Indonesia tahun 2018 mencapai 46.659
orang dan kasus AIDS mencapai 10.190 orang. Pada tahun 2018
berdasarkan kelompok usia angka kejadian HIV paling tetjadi pada usia
25-49 tahun mencapai 32.847 orang dengan prosentasi antara laki-laki dan
perempuan yaitu 2:1. Sejak tahun 1987 sampai 2019 jumlah AIDS yang
dilaporkan paling banyak terjadi di Papua dengan total 25.554 orang,
sedangkan pada tahun 2019 dari bulan Januari sampai Juni provinsi yang
paling banyak kasus HIV yaitu pertama Jawa Tengah (747 kasus), kedua
Jawa Timur (583 kasus), dan ketiga DKI Jakarta (310 kasus). Jumlah
kematian AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai 2019 mencapai
16.777 kasus (Dinkes Provinsi dan SIHA, 2019).
Salah satu program upaya pengendalian HIV dan AIDS pada
sektor kesehatan adalah dengan Voluntery Counseling and Testing (VCT).
Voluntery Counseling and Testing (VCT) terdapat dua pendekatan yaitu
tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling/TIPK atau
Provider initiated tes and counselling/PITC dan konseling dan tes HIV
secara sukarela (KTS) atau Voluntary Counselling and Testing/VCT.
Mulai tahun 2006, model utama layanan tes HIV adalah VCT. Pendekatan
tersebut semata mengandalkan keaktifan klien dalam mencari layanan tes
HIV di fasilitas kesehatan ataupun layanan tes HIV berbasis masyarakat.
Namun ternyata cakupan dari layanan VCT tersebut terbatas karena masih
adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi serta kebanyakan orang
tidak merasa dirinya berisiko tertular HIV meskipun di daerah atau di
kelompok prevalensi tinggi (Kemenkes, 2013). Program VCT merupakan
proses konseling dan pemeriksaan HIV yang bertujuan agar seseorang
mengetahui kondisi kesehatan klien sejak dini, serta dapat mengantisipasi
kemungkinan terburuk terhadap dirinya apabila hasil pemeriksaan positif.
VCT juga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi mengenai
HIV atau membantu seseorang mencari pelayanan dan bantuan yang
sesuai (Melaju MT dan Alene GD, 2012). VCT terdiri dari konseling pre-
test, konseling post-tes, dan konseling lanjutan, yang disediakan di tempat
pelayanan VCT.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan Volunterty Counseling and Testing
(VCT) di UPTD Puskesmas Pesantren II Kota Kediri
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui klien Volunterty Counseling and Testing (VCT)
di UPTD Puskesmas Pesantren II Kota Kediri
b. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Volunterty Counseling and
Testing (VCT) di UPTD Puskesmas Pesantren II Kota Kediri
c. Untuk mengetahui tahapan dari Volunterty Counseling and Testing
(VCT) di UPTD Puskesmas Pesantren II Kota Kediri
C. MANFAAT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FOLUNTERY COUNSELING AND TESTING (VCT)

A. Definisi VCT
Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah kegiatan sukarela
untuk melakukan tes darah HIV yang didahului konseling. Ada tiga unsur
pokok VCT, yaitu sukarela, konseling, dan tes darah. VCT bisa
dilaksanakan setelah klien mendapat penjelasan yang cukup tentang
HIV/AIDS dan bersedia menandatangani surat persetujuan (informed
consent)( Widoyono, 2011: 119).
B. Definisi Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang
menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan
AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku
yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan
berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS. Konseling dalam VCT
merupakan komunikasi bersifat rahasia antara klien dan konselor yang
bertujuan meningkatkan kemampuan menghadapi stress dan mengambil
keputusan berkaitan dengan HIV.
Proses konseling termasuk evaluasi resiko personal penularan HIV,
fasilitas pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien
menghadapi hasil tes positif. VCT merupakan tes HIV yang dilakukan atas
inisiasi dari klien di klinik VCT, yang didahului oleh konseling pra testing
atau pemberian informasi HIV sebelum tes. Selanjutnya pelaksanaan tes
HIV dengan persetujuan klien, dan konseling pasca testing berupa
penyampaian hasil dan pemberian nformasi HIV dan akses rujukan
selanjutnya apabila hasilnya positif. VCT dilakukan secara sukarela dan
konfidensial.
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait
yang dibutuhkan misalnya layanan IMS, layanan TB, layanan PDP,
program penjangkauan dan setting lainya. Layanan VCT dapat
diimplementasikan dalam berbagai setting dan sangat tergantung pada
kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil
klien, seperti individual atau pasangan, perempuan atau laki-laki, dewasa
atau anak muda (KPAN, 2014: 66-67).
C. Tujuan Konseling HIV
Tes HIV memberitahu kita apakah kita terinfeksi HIV, virus penyebab
AIDS. Kebayakan tes ini mencari antibody terhadap HIV. Antibodi adalah
protein yang dibuat oleh system kekebalan tubuh untuk menyerang kuman
tertentu. Antibodi terhadap semua kuman bebeda. Jadi bila ditemukan
antibody terhadap HIV dalam darah kita, artinya kita terinfeksi HIV.
Biasanya dibutuhkan waktu tiga minggu hingga tiga bulan untuk
membentuk antibody tersebut. Selama masa jendela ini tes kita tidak akan
menunjukan hasil positif walaupun kita terinfeksi.
Konseling HIV/AIDS merupakan proses dengan tiga tujuan umum
yaitu :
1. Menyediakan dukungan psikologik, misalnya dukungan yang
berkaitan dengan kesejahteraan emosi, psikologik, sosial dan
spiritual sesesorang yang mengidap virus HIV atau virus lainya.
2. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang
perilaku beresiko (seperti seks aman atau penggunaan jarum suntik
bersama) dan membantu orang dalam mengembangkan
keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku
dan negosiasi praktik lebih aman.
3. Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan
melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat (KPAN, 2014: 66).
D. Prinsip VCT
VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan
bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi
HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya,
mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan
mencegah penularan infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan
meningkatkan perilaku sehat. VCT merupakan kegiatan konseling bersifat
sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk
HIV di laboratoruim. VCT dilakukan setelah klien terlebih dahulu
memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan
setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar.
VCT merupakan hal penting karena :
1. Merupakan pintu masuk ke seluruh layanan HIV dan AIDS
2. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif maupun
negatif, dengan fokus pada pemberian dukungan atas kebutuhan klien
seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV,
pemahaman faktual dan terkini atas HIV dan AIDS
3. Mengurangi stigma masyarakat
4. Merupakan pendekatan menyeluruh: kesehatan fisik dan mental
5. Memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik
kesehatan maupun psikososial.
Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang sudah terinfeksi HIV atau AIDS, dan keluarganya, atau
semua orang yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan,
tindakan berisiko di masa lalu dan merencanakan perubahan di masa
depannya, dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko
tinggi.
Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni
VCT harus dilakukan dengan :
1. Sukarela, tanpa paksaan,
2. Kerahasiaan terjamin: proses dan hasil tes rahasia dalam arti hanya
diketahui dokter/konselor dan klien,
3. Harus dengan konseling,
4. VCT tidak boleh dilakukan tanpa adanya konseling atau dilakukan
secara diam-diam, dan
5. Harus ada persetujuan dari pasien dalam bentuk penandatanganan
Lembar Persetujuan (informed consent) (KPAN, 2014: 68-70).
E. Model pelayanan VCT
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang
dibutuhkan, misalnya klinik IMS, klinik TB, ART, dan sebagainya. Lokasi
layanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang jelas hingga
mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Nama klinik cukup
mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana
pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi. Layanan
VCT dapat diimplementasikan dalam berbagai setting, dan sangat
bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan
masyarakat dan profil klien, seperti individual atau pasangan, perempuan
atau laki-laki, dewasa atau anak muda.
Model layanan VCT terdiri dari :
1. Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Layanan Konseling dan Testing HIV Sukarela model
penjangkauan dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh
LSM atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran
kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau
berisiko tertular HIV di wilayah tertentu. Layanan ini diawali
dengan survey atau penelitian atas kelompok masyarakat di
wilayah tersebut dan survey tentang layanan kesehatan dan layanan
dukungan lainnya di daerah setempat.
2. Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Pusat Konseling dan Testing HIV Sukarela terintegrasi dalam
sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat
dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana
kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan konseling dan
testing HIV, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan terkait dengan HIV dan AIDS. Contoh pengembangan
pelayanan VCT di sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya
seperti pelayanan VCT di sarana kesehatan seperti rumah sakit,
Pelayanan VCT di sarana kesehatan lainnya: Pusat Kesehatan
Masyarakat, Keluarga Berencana (KB), Klinik KIA untuk
Pencegahan Penularan Ibu-Anak (Prevention of mother to child
transmission = PMTCT), Infeksi Menular Seksual ( Sexually
transmitted infections = STI), Terapi Tuberkulosa, LSM adalah
Layanan ini dapat dikelola oleh Pemerintah dan masyarakat (FHI
Indonesia, 2007: 2)
F. Tahapan VCT
Tahapan VCT harus meliputi tiga tahapan berikut yakni:
a. Konseling Pre Test
Merupakan diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk
menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien
tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi
pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan
pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien
menghadapi hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau
tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling seks yang aman
b. Tes HIV
Secara konvensional tes HIV dilakukan dengan mendeteksi antibodi
HIV. Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam
darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV. Kini berbagai
varian tes antibodi HIV telah tersedia antara lain Enzyme-linked
Immunoabsorbent Assay (ELISA), Western Blot dan tes lainnya yang
prinsip penggunaannya lebih mudah dan harga lebih terjangkau. Hasil
test HIV dapat digolongkan ke dalam 3 hasil yakni:
1. Non Reaktif
Hasil tes non reaktif menunjukkan bahwa tidak terdeteksi
antibodi di dalam darah. Hasil ini dapat mempunyai beberapa
arti yakni individu tersebut tidak terinfeksi HIV atau individu
tersebut mungkin terinfeksi HIV tetapi tubuhnya belum dapat
memproduksi antibodi HIV dimana dalam kondisi ini individu
tersebut berada dalam status window period sehingga untuk
memastikannya dapat dilakukan kembali tes HIV 3 atau 6
berikutnya.
2. Reaktif
Hasil tes reaktif menunjukkan bahwa antibodi HIV terdeteksi
di dalam darah. Hasil ini menunjukkan bahwa individu dengan
hasil tes HIV reaktif berarti telah terinfeksi HIV, tetapi belum
tentu individu tersebut telah mengidap AIDS. Untuk hasil tes
reaktif konselor akan menjelaskan makna hasil tes reaktif dan
menanyakan kepada klien siapa saja yang boleh mengetahui
hasil tes. Sedangkan untuk hasil tes non reaktif dan
intermediate konselor menjelaskan makna hasil tes dimana
klien juga diberikan konseling mengenai perubahan perilaku.
3. Intermediate
Hasil tes intermediate menunjukkan hal sebagai berikut:
individu tersebut mungkin terinfeksi HIV dan sedang dalam
proses membentuk antibodi (serokonversi akut), atau individu
tersebut mempunyai antibodi dalam darah yang mirip dengan
antibodi HIV
c. Konseling Post Test
Konseling post-test merupakan diskusi antara konselor dengan klien
yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien
beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai
pemahaman mental emosional klien, membuat rencana dengan
menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien,
menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani
dengan menurunkan perilaku berisiko dan membuat perencanaan
dukungan (UNAIDS, 2000)
BAB III
PEMBAHASAN

Jumlah ODHA yang ditemukan dipuskesmas pesantren II pada tahun 2019 sampai
bulan agustus mencapai 9 orang.
Program HIV merupakan salah satu program pokok puskesmas dan HIV sendiri
masuk pada program penyakit menular. Cara mengetahui penderita yaitu setiap
program itu mempunyai target dan target itu sendiri yang menentukan adalah dari
dinas kesehatan-dinas kesehatan provinsi-kemenkes. Dari target HIV dibagi
menjadi beberapa faktor resiko :
a. WPS (Wanita Pekerja Seks)
b. WPSTL (Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung), seperti purel dan pemandu
karaoke
c. Mahasiswa
d. Pelajar
e. Ibu rumah tangga
f. LGBT
g. Transgender & waria
h. Ibu hamil
Dari komunitas diatas ada target, target ini dapat dipenuhi melalui pemeriksaan
yang VCT atau KTS (Konseling Testing Sukarela) klien datang secara sukarela
dan menyampaikan sendiri keinginannya untuk melakukan tes. Setelah itu klien
dilakukan konseling awal (pra konseling) (tau dari mana, pengen sendiri atau atas
rujukan), yang kedua dilakukan tes dan yang terakhir dilakukan post konseling.
Cara yang kedua yaitu PATC / KTIP (Konseling Testing Inisiatif Petugas),
pertama klien datang langsung dianamnese ditanya keluhannya apa dan apakah
keluhannya menunjukkan tanda-tanda infeksi HIV dan apabila dari anamnese
tersebut didapatkan poin-poin yang menujukkan tanda-tanda infeksi HIV. Klien
yang datang dalam keadaan sakit sebagai petugas kesehatan kita mempunyai hak
untuk memeriksakan klien. Kita periksakan darahnya atau virusnya (jangan
menyebutkan bahwa kita periksakan HIV-nya karena klien datang dalam keadaan
sakit) tapi apabila klien sudah mau diperiksakan darahnya (kita bilang kita
periksakan darahnya ya.. untuk melihat apa yang menyebabkan sakitnya.. kalau
sudah ok.. langsung tanda tangan dan tidak usah basa basi) dan setelah itu kita
periksakan dan buka hasil.
Dari kedua cara tersebut (VCT & PACT) kalau target tidak terpenuhi ada cara
yang ketiga yaitu visit mobile. Visit Mobile diperlukan untuk populasi kunci.
Mobile bisa dilakukan dari permintaan masyarakat. Prosesnya, yaitu misalnya
kelurahan tosaren mengajukan jadwal mobile ke KPAD, dari KPAD mengajukan
ke dinas kesehatan, dari dinas kesehatan akan menurunkan surat ke puskesmas
yang dituju sesuai dengan wilayah kerja dan semua diselenggarakan secara gratis.
Visit mobile dilakukan tergantung dari permintaan masyarakat, setiap puskesmas
bisa mobile visit minimal 5-6 kali.
PACT, setelah kita mendapatkan hasil saat itu juga kita membuka hasil didepan
pasien dan yang harus pertama kali mengetahui adalah klien kecuali klien dalam
keadaan koma tidak bisa berkomunikasi, kesehatan mentalnya terganggu itu kita
bisa membuka hasil didepan keuarga atau pendamping (bisa dari bukan keluarga,
LSM).
(post konseling) Cara konseling yang pertama yaitu memperkenalkan diri,
membuat klien nyaman dengan konselor, dan kita tawarkan apakah keluarga
boleh mengetahui dan salah satu keluarga harus tau. Untuk pasien dengan ODHA
terkadang dia tidak mau mengakui latar belakang nya, jadi sebagai konselor kita
harus bisa untuk membuat pasien percaya sama kita, kalau pasien sudah percaya
sama kita dia akan tetap cerita semua sama konselor terkait latar belakang nya.
Kalau pasien nya terjadi blocking artinya pasien tidak mau di dampingi siapa-
siapa, jadi konselor yang harus mendampingi pada saat itu dan ia harus bisa
mengkonsumsi ARV, jika pasien nya sudah mengkonsumsi ARV dan tidak terjadi
blocking lagi baru kita kembali kan lagi ke LSM untuk mendampingi ODHA
tersebut. Konselor juga ada informed consent terkait hal ini, jika pasien tidak
melaksanakan kewajiban nya maka konselor wajib membuka status nya kepada
LSM. Jika tiba-tiba pasien ODHA ini lari atau keberadaan nya tidak diketahui kita
akan masuk ke LSM atau ke Dinas Kesehatan terkait. Untuk membuka status
pasien dengan ODHA ke LSM terkait itu tidak apa-apa. Karena pasien saat
mentanda tangani informed consent disitu tertera bahwa pasien tersebut harus
mematuhi peraturan ini, salah satunya peraturan nya yaitu jika seseorang dengan
HIV / ODHA dan tiba-tiba ia lari konselor berhak membuka status pasien tersebut
kepada LSM.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Voluntary Counselling and Testing atau yang lebih dikenal dengan VCT HIV
& AIDS merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam upaya
mencegah penyebaran penyakit HIV & AIDS. Voluntary Counselling and
Testing (VCT) merupakan entry point untuk memberikan perawatan,
dukungan dan pengobatan bagi ODHA. VCT juga merupakan salah satu
model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk
merubah perilaku berisiko serta mencegah penularan HIV/AIDS. (Haruddin,
dkk., 2007). Sedangkan, Provider-initiated HIV testing and counseling
(PITC) adalah suatu tes HIV dan konseling yang diinisiasii oleh petugas
kesehatan kepada pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai bagian dari
standar pelayanan medis. (Kemenkes RI, 2011). Kegiatan VCT dan PITC
hampir sama yaitu meliputi konseling pra tes, informed concent, tes HIV, dan
konseling pasca tes. Tetapi VCT dan PITC memliki perbedaan diantaranya
klien VCT datang ke UPK khusus untuk test HIV, sudah siap untuk tes HIV,
biasanya asimptomatik, sedangkan klien PITC Datang ke klinik karena TB
atau symptom TB, tidak selalu siap untuk tes HIV.

B. Saran
Program VCT dan PITC sudah cukup baik namun masih belum optimal
dalam pelaksanaannya, mulai dari aspek input, proses maupun output.
Diperlukan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak untuk dapat
mewujudkan optimalisasi program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS yang lebih komprehensif. Diperlukan peran petugas kesehatan
yang terlatih dalam penerapan VCT dan PITC secara komprehensif dalam
upaya menurunkan angka kesakitan, kematian dan yang lebih penting
menurunkan terjadinya penularan HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Bock, et al. 2008. Provider initiated HIV testing and counseling in TB clinical
settings; tools for program implementation. Int J Tuberc Lung Dis. 12
(3): 69-72

Direkorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,


Kementerian Kesehatan RI, 2010 Modul Bagi Peserta Konseling Dan Tes
Hiv Atas Inisiasi.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral.Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Jakarta: Kementerian kesehatan RI,
2012

Departemen Kesehatan RI. (2006) Pedoman Pelayanan Konseling dan


Testing HIV/AIDS Secara Suka Rela (Voluntary Counseling and
Testing).Jakarta: Depkes RI Dirjen P2PL.

Haruddin,dkk. 2007. Studi Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling And Testing


(VCT) Di RSUP DR. SarjitoYogyakarta. http//irc.kmpk.ugm.ac.id

Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.


Jakarta ;Salemba Medika.

UNAIDS, WHO (2006) AIDS Epidemic Update. 2008. Diakses Tanggal 3 Mei
2018 . URL : Http://Www.Who.Int.

Anda mungkin juga menyukai