Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2/ hari pada
anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema dan hiperlipidemia (Alldredge
dkk.,2012; Behrman dkk., 2004). Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu
gangguan pada membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya
kebocoran protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta
hiperlipidemia. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa.
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical
practice guideline (2012), 1–3 anak dari 100,000 anak dibawah 16 tahun
menderita sindrom nefrotik. Lima dari 100.000 anak per tahun di Jepang
mengalami sindrom nefrotik idiopatik. Prevalensisindrom nefrotik di Indonesia
yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun.
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu: sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau primer (tanpa
diketahui pasti penyebabnya) dan sindrom nefrotik sekunder (sebagai akibat dari
suatu penyakit sistemik seperti Systemic Lupus Erythemathosus). Dari
keseluruhan pasien anak dengan sindrom nefrotik, kurang lebih 90% diantaranya
mengalami sindrom nefrotik idiopatik.
Secara morfologis sindrom nefrotik idiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis
segmental fokal. Sebanyak 95% pasien dengan penyakit kelainan minimal masih
merespon baik terhadap terapi kortikosteroid. Berbeda dengan kelainan minimal,
hanya 50% dari pasien dengan proliferasi mesangium yang merespon terhadap
kortikosteroid. Hanya 20% morfologi glomerulosklerosis segmental fokal yang
merespon terhadap terapi kortikosteroid. Respon pasien terhadap terapi
kortikosteroid berbeda .

1
Terapi sindrom nefrotik idiopatik tidak hanya dilakukan dalam hitungan
hari, tetapi merupakan terapi jangka panjang dan dapat mempengaruhi
pertumbuhan anak. Sindrom ini juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental
anak serta orang tua. Sebanyak 60-90% pasien anak dengan sindrom nefrotik
idiopatik mengalami kekambuhan/. Kekambuhan/ relaps dapat terjadi karena
berbagai faktor, misalnya karena sudah tidak merespon terhadap terapi
sebelumnya. Besarnya tingkat relaps bukan menjadi satu satunya masalah bagi
terapi sindrom nefrotik idiopatik akan tetapi adanya efek samping dari obat- obat
yang digunakan jangka panjang juga dapat menurunkan kualitas hidup pasien.
Mayoritas pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik kurang lebih 80-90%
merespon terhadap terapi kortikosteroid oral dan memiliki prognosis jangka
panjang yang baik. Tingginya efek samping penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dapat menurunkan kualitas hidup pasien anak. Beberapa contoh efek
samping penggunaan kortikosteroid yaitu hipertensi, instabilitas emosional,
kegagalan penyembuhan luka, intoleransi karbohidrat, Cushing syndrome,
diabetes mellitus, retensi air, terhambatnya pertumbuhan (pada anak), hipokalemia
alkalosis, hipotiroid, gangguan menstruasi, retensi natrium, pancreatitis, tukak
peptic, ulcerative esophagitis, peningkatan enzim hati, osteoporosis, fraktur,
miopati steroid, peningkatan tekanan intraokular, glaukoma, exophthalmos.
Sekitar 80-90% pasien anak merespon terhadap terapi inisial
kortikosteroid, tetapi 60-90% pasien menunjukkan. Kekambuhan mengakibatkan
perlunya terapi berulang dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih
2 bulan penggunaan prednison pada kasus kekambuhan. Menurut Kidney Disease
Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical practice guideline (2012),
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan terapi kortikosteroid yaitu
usia, jenis kelamin, ras dan faktor genetik. Melihat pertimbangan diatas maka
perlu dilakukan evaluasi efek terapi inisial kortikosteroid dan efek sampingnya
pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik serta pengaruh faktor usia, jenis
kelamin, penggunaan albumin, jenis kortikosteroid dan penggunaan obat lain
(captopril dan furosemid) terhadap efek terapi kortikosteroid.

2
B. Rumusan masalah
Masalah yang kami angkat pada makalah ini mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan sindroma nefrotik.
C. Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatn dengan sindrom
nefrotik serta factor-faktor yang berhubungan dengan masalh tersebut.
b. Tujuan khusus
Tujuan dari penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu:
1. Mengetahui pengertian sindrom nefrotik
2. Mengetahui etiologi sindrom nefrotik
3. Mengetahui patofisologi sindrom nefrotik
4. Mengetahui manifestasi klinis sindrom nefrotik
5. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada anak yang sindrom
nefrotik
D. Manfaat
1. Memahami pengertian dari sindrom nefrotik
2. Memahami etiologi dari penyakit sindrom nefrotik
3. Memahami patofisologi sindrom nefrotik
4. Memahami manifestasi klinis sindrom nefrotik
5. Dapat memberikan yang tepat pada anak yang sindrom nefrotik

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh
peningkatan protein dalam urin secara bermakna , penurunan albumin
dalam darah (hipoalbuminemia), edema, dan serum kolestrol yang tinggi
dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut
dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus1.
Kadang-kadang terdapat hematuria, dan penurunan fungsi ginjal. Insiden
tertinggi pada anak usia 3-4 tahun, rasio laki-laki dibanding dengan
perempuan adalah 2:12.
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu
sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit
yang menyerang ginjal dan menyebabkan: – proteinuria (protein di dalam
air kemih) – menurunnya kadar albumin dalam darah – penimbunan garam
dan air yang berlebihan – meningkatnya kadar lemak dalam darah.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak
retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri
kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal
kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.
Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan
batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III. Pada
fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi
makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.

4
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas
piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah.
Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini
ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol
ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks
mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini
bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.

Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada


medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan
membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus
proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan
pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta
nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus
ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma pada angka
285 mosmol.

Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di absorbsi meskipun


konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak
ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat
bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama
makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas
lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi
semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah
pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui
duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir
duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya
sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,2001 : 785).

5
2. Fisiologi

Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi
yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus.
Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang
mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.

a. Faal glomerulus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan
hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan
hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume
ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120
cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-
12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
b. Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan
sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73
m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100 ml/menit,
sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit dalam bentuk urin
atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa).
Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan
sesuai dengan umur :
a) 1-2 hari : 30-60 ml
b) 3-10 hari : 100-300 ml
c) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml
d) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
e) 1-3 tahun : 500-600 ml
f) 3-5 tahun : 600-700 ml
g) 5-8 tahun : 650-800 ml

6
h) 8-14 tahun : 800-1400 ml

c. Faal Tubulus Proksimal


Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling
banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat
yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah
protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna.
Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat),
endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan
urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
d. Faal loop ofhenle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb
dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan
intratubuler lebih hipotonik.

e. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes


Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan
elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na,
K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).

C. Etiologi
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap
sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-
antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :

a. Sindroma nefrotik bawaan


Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal
b. Sindroma’nefrotik’sekunder
Disebabkan oleh parasit malaria, penyakit kolagen,
glomerulonefritis akut, glomerulonefrits kronik, trombosis vena
renalis, bahan kimia (trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, raksa), amiloidosis, dan lain-lain.
c. Sindroma nefrotik idiopati(tidak diketahui penyebabnya)

7
d. Glumerulosklerosis fokal segmental
D. Insiden
a. Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan pria ; wanita =2:1.
b. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak,
kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan
c. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun
d. Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90
% dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak
e. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5
% dengan majunya terapi dan pemberian steroid.
f. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk
nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002)
E. Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan
berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi
proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia.
Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga
cairan intravaskular berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan
tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga
menurunkan jumlah aliran darah ke renal karenahipovolemia.

Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan


kompensasi dengan merangsang produksi renin angiotensin dan
peningkatan sekresi hormon ADH dan sekresi aldosteron yang kemudian
terjaddi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan air, akan
menyebabkan edema. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum
akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan
plasma albumin atau penurunan onkotik plasma.Adanya hiperlipidemia
juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul
oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam

8
urin atau lipiduria. Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan,
kemungkinan disebnabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia
atau defisiensi seng.

9
F. MANIFESTASI KLINIS/ TANDA DAN GEJALA
a. Gejala awalnya bisa berupa Manifestasi utama sindrom nefrotik
adalah edema. pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam
dan air Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat
(anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan
(pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan
berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
b. Sakit kepala, malaise(tidak enak badan), nyeri abdomen, berat
badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
c. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).Gejala lainnya
adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria).
Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi
hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setalah berjalan cairan
akan tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi
oleh pembengkakan.
d. Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat
penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa
menyebabkan syok). Tekanan darah pada penderita dewasa bisa
rendah, normal ataupun tinggi.
e. Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal
karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke
ginjal. Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air
kemih terjadi secara tiba-tiba.
f. Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya
glukosa) ke dalam air kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa
terhambat. Kalsium akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku
menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari
tangan akan terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya
tidak diketahui.
g. Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering
terjadi infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam
keadaan normal tidak berbahaya). Tingginya angka kejadian

10
infeksi diduga terjadi akibat hilangnya antibodi ke dalam air kemih
atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.
h. Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko
terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis),
terutama di dalam vena ginjal yang utama. Di lain fihak, darah bisa
tidak membeku dan menyebabkan perdarahan hebat.
i. Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak
paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan
penyakit jaringan ikat.

Tanda dan gejala sindrom nefrotik adalah sebagai berikut


j. Kenaikan berat badan
k. Wajah tampak sembab (edema fascialis) terutama di sekitar mata,
tampak pada saat bangun di pagi hari dan berkurang di siang hari
l. Pembengkakan abdomen (asites)
m. Efusi pleura
n. Pembengkakan labia atau skrotum
o. Edema pada mukosa intestinal yang dapat menyebabkan diare,
anoreksia, dan absorpsi intestinal buruk
p. Pembengkakan pergelangan kaki / tungkai
q. Iritabilitas (peka terhadap rangsang)
r. Mudah letih
s. Letargi(Penurunan kesadaran)
t. Tekanan darah normal atau sedikit menurun
u. Rentan terhadap infeksi
v. Perubahan urin seperti penurunan volume dan urin berbuih

G. Komplikasi
a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang
rendah akibat hipoalbuminemia.

11
b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1
gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga
menyebabkan shock.
c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi
sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan
ginjal.

a) Hipovolemi
b) Infeksi pneumokokus
c) Emboli pulmoner
d) Peritonitis
e) Gagal ginjal akut
f) Dehidrasi
g) Venous trombosis
h) Aterosklerosis

H. Penatalaksanaan Medis
A. Terapi nonfarmakologis
a. Diet untuk pasien Sindrom Nefrotik adalah 35 kal/kgBB/hari,
sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein
normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein
0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai
jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin
darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.
b. Istirahat sampai oedema tinggal sedikit
c. Terapi farmakologis
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan
dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder),
mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki
hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati
lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang

12
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain
menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental
sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid
dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak menemukan bahwa
pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan
terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu
lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak
mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada
nefropati jenis ini. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN
bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari
sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan
dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-
1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat
badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50%
pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak
ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg
per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2
gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak
ada manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2
luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4
minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari
selama 4 minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat
dibagi menjadi :
1. Remisi lengkap
a) proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
b) albumin serum >3 g/dl
c) kolesterol serum < 300 mg/dl
d) diuresis lancar dan edema hilang
2. Remisi parsial

13
a) proteinuri <3,5 g/harI
b) albumin serum >2,5 g/dl
c) kolesterol serum <350 mg/dl
d) diuresis kurang lancar dan masih edema

14
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A. KASUS
Hari senin tanggal 1 Januari 2018, An. Z bersama kedua orang tuanya
datang dengan keluhan bengkak pada kedua kaki. Ibu pasien mengatakan
bengkak dikedua kaki sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu. Sebelum
masuk RS bengkak juga dikeluhkan pada kedua kelopak mata. Pasien
mengatakan tidak sesak saat tidak beraktivitas maupun beraktivitas seperti
berjalan 10 meter. Pasien mengeluh batuk sejak 3 hari ini tidak berdahak,
tidak disertai demam, tidak BAB sejak kemarin, BAK biasanya 2x sehari
dengan frekuensi sedikit dan berbuih , warna urin seperti teh, nafsu makan
berkurang. Pasien minum air putih 1 gelas sehari (300cc) . Minum
minuman kemasan serbuk,setiap hari >2x sejak pasien berumur 8 tahun.
Ibu pasien mengatakan bahwa sejak 2 minggu terakhir pasien terlihat
gemuk dari sebelumnya. Muncul bercak merah pada kulit. Setelah
dilakukan pemeriksaan muitistick urin hasil yang didapatkan yaitu protein
urin (++), albumin (-). TTV : RR: 22X/menit, T:37,4 C, N:85x/mnt.

B. DATA FOKUS
a. Data Subjektif
1. Ibu pasien mengatakan bengkak dikedua kaki sejak kurang lebih 2
minggu yang lalu.
2. Ibu pasien mengatakan sebelum masuk RS bengkak juga
dikeluhkan pada kedua kelopak mata
3. Pasien mengatakan tidak sesak saat tidak beraktivitas maupun
beraktivitas seperti berjalan 10 meter
4. Pasien mengeluh batuk sejak 3 hari ini tidak berdahak
5. Pasien mengatakan tidak disertai demam
6. Pasien mengeluh tidak BAB sejak kemarin

15
7. Pasien mengeluh BAK biasanya 2x sehari dengan frekuensi sedikit
dan berbuih , warna urin seperti teh
8. Pasien mengatakan nafsu makan berkurang
9. Pasien mengatakan hanya minum air putih 1 gelas sehari (300cc)
10. Pasien mengatakan pasien Minum minuman kemasan serbuk,setiap
hari >2x sejak pasien berumur 8 tahun
11. Ibu pasien mengatakan bahwa sejak 2 minggu terakhir pasien
terlihat gemuk dari sebelumnya
b. Data Objektif
1. Muncul bercak merah pada kulit
2. protein urin (++)
3. albumin (-)
4. RR: 22X/menit
5. T:37,4 C
6. N:85x/mn

C. Analisa data

No Data Etiologi Masalah


1 DS: Gangguan Kelebihan volume
1. Ibu pasien mekanisme cairan
mengatakan bengkak regulasi
dikedua kaki sejak
kurang lebih 2
minggu yang lalu.
2. Ibu pasien
mengatakan sebelum
masuk RS bengkak
juga dikeluhkan pada
kedua kelopak mata
3. Pasien mengeluh

16
BAK biasanya 2x
sehari dengan
frekuensi sedikit dan
berbuih , warna urin
seperti teh
4. Ibu pasien
mengatakan bahwa
sejak 2 minggu
terakhir pasien
terlihat gemuk dari
sebelumnya
DO:
1. protein urin (++)
2. albumin (-)
3. TTV: RR:
22X/menit, T:37,4 C,
N:85x/mnt

2 DS: Perubahan Kerusakan


1. Ibu pasien Status Cairan Integritas Kulit
mengatakan bengkak
dikedua kaki sejak
kurang lebih 2
minggu yang lalu.
2. Ibu pasien
mengatakan sebelum
masuk RS bengkak
juga dikeluhkan pada
kedua kelopak mata
3. Ibu pasien
mengatakan bahwa

17
sejak 2 minggu
terakhir pasien
terlihat gemuk dari
sebelumnya
DO:
1. Muncul bercak
merah pada kulit
2. protein urin (++)
3. albumin (-)
4. TTV: RR:
22X/menit, T:37,4 C,
N:85x/mnt
3 DS: Perubahan pola Konstipasi
1. Pasien mengeluh makan
tidak BAB sejak
kemarin
2. Pasien mengatakan
nafsu makan
berkurang
3. Pasien mengatakan
hanya minum air
putih 1 gelas sehari
(300cc)
DO:
1. protein urin (++)
2. albumin (-)
3. TTV: RR:
22X/menit,
T:37,4 C,
N:85x/mnt

18
4 DS: Faktor Ketidakseimbangan
1. Pasien mengatakan Biologis Nutrisi Kurang dari
nafsu makan Kebutuhan Tubuh
berkurang
2. Pasien mengatakan
hanya minum air
putih 1 gelas sehari
(300cc)
3. Pasien mengatakan
pasien Minum
minuman kemasan
serbuk,setiap hari
>2x sejak pasien
berumur 8 tahun

DO:
1. protein urin (++)
2. albumin (-)
3. TTV: RR:
22X/menit, T:37,4 C,
N:85x/mnt

D. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan Volume Cairan b.d Gangguan mekanisme regulasi
2. Kerusakan Integritas Kulit b.d Perubahan Status cairan
3. Konstipasi b.d Perubahan pola makan
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor
biologis

19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Sindrom Nifrotik adalah kumpulan gejala-gejala penyakt yang
sering menyerang anak-anak usia dini. Sindrom nefrotik merupakan
gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein dalam urin secara
bermakna , penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema,
dan serum kolestrol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah
(hiperlipidemia).
B. Saran
Hendaknya mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujud
nyatakan peran perawat yang professional, serta dapat melaksanakan
tugas-tugas dengan penuh tanggung jawab, dan selalu mengembangkan
ilmu keperawatan karena penyakit sindrom nifrotik ini sangat sering di
jumpai pada anak-anak.

20
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made
Kariasa: EGC, Jakarta
Mansjoer, Arif, dkk, (1999), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1,
Media Aesculapius: Jakarta
Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto:Jakarta
Ngastiyah. (1997), Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta
Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica: Jakarta
Suryadi dan Yuliani, Rita, (2001), Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada
Anak. Sagung Seto: Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai