Anda di halaman 1dari 3

Membentengi diri dengan UU MD3, DPR

mencederai demokrasi
Rancangan Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) disahkan
menjadi undang-undang. Ratusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hadir dalam
rapat paripurna pada Senin (12/2/2018) lalu menyatakan setuju ketika Wakil Ketua DPR Fadli
Zon -yang menjadi pemimpin rapat- menanyakan persetujuan untuk mengesahkannya.

Ada 14 poin perubahan, seperti disampaikan Ketua Badan Legislasi DPR Andi Agtas, dalam
UU MD3 yang disahkan tersebut.

1. Penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
2. Perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan
DPR, maupun RUU yang diajukan DPD.
3. Penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap
pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian.
4. Penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak
menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada
pejabat negara.
5. Menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
6. Penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta
pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum.
7. Perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD.
8. Penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam
rapat pimpinan sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat I.
9. Penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa
dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket.
10. Penguatan hal imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas.
11. Penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengevaluasi
rancangan Perda dan Perda.
12. Penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran, terkait
pelaksanaan tugas Badan Keahlian Dewan.
13. Penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan
Alat Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014.
14. Ketentuan mengenai mekanisme pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan
(AKD) setelah pemilu tahun 2019.

Beberapa saat sebelum disahkan oleh paripurna, fraksi Partai Nasdem dan fraksi PPP meminta
pengesahan ditunda. Karena permintaannya ditolak, kedua fraksi itu walkout.

Fraksi Partai Nasdem, seperti disampaikan Johnny G Plate, memandang revisi UU MD3
tersebut sarat dengan muatan pragmatisme dan kepentingan kelompok dalam mengisi
portofolio jabatan di draf yang ada. Padahal seharusnya revisi itu dilangsungkan dalam
kerangka road map parlemen Indonesia.

Sedangkan fraksi PPP memandang UU MD3 tersebut mengandung pasal yang melanggar
konstitusi. Terutama terkait pengisian tambahan pimpinan MPR, yang dirumuskan sebagai
"diberikan" -bukan "dipilih".

Bukan hanya mendapat penolakan dari dalam DPR sendiri, UU MD3 yang baru itu juga
mengundang reaksi negatif dari publik. Selain menganggap penambahan pimpinan di MPR,
DPR, dan DPD sebagai ketentuan yang menyandarkan diri kepada pertimbangan kepentingan
partai politik jangka pendek, publik juga menyoroti 3 pasal lain.

Pertama, Pasal 73. Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada para anggota DPR untuk
memanggil orang untuk hadir dalam rapat tertentu. Jika panggilan itu diabaikan, DPR berhak
meminta bantuan kepolisian untuk memanggil paksa. Bahkan, kepolisian diberikan
kewenangan untuk melakukan penyanderaan selama 30 hari.

Kedua, Pasal 122. Salah satu bagian dari pasal tersebut, pada huruf k, mempertegas salah satu
tugas MKD adalah "mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan
anggota DPR".

Ketiga, Pasal 245. Pasal tersebut mensyaratkan pertimbangan MKD dan persetujuan Presiden
jika penegak hukum akan memanggil dan meminta keterangan anggota DPR dalam kaitannya
dengan suatu tindak pidana.
Bagi publik, ketiga pasal tersebut sangat terlihat sebagai upaya politisi dalam membentengi
dirinya sendiri ketika berada DPR dari jangkauan penegak hukum maupun kritik dari publik.
Tidak berlebihan jika banyak orang menganggap hal ini sebagai sebuah kemunduran.

Pemberi tugas kepada MKD untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang dianggap
merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya itu jelas-jelas merupakan ancaman bagi
siapapun yang akan mengkritiknya. Bagaimanapun pengertian "merendahkan" bisa dipahami
sangat elastis; dan oleh karenanya berpotensi juga menjadi pasal karet untuk membungkam
pihak yang mengkritisinya.

Penugasan itu pun sangat tampak sebagai upaya memaksakan kehendak. Sebagai lembaga
penjaga kode etik yang seharusnya menjaga kehormatan DPR dan anggotanya dari sisi internal,
MKD telah dipaksa untuk bertugas menjadi lembaga yang mengawasi pihak-pihak eksternal
yang dianggap merendahkan DPR. Itu adalah tugas yang sangat ajaib bagi sebuah lembaga
penjaga kode etik.

Benar bahwa pasal-pasal bermasalah dalam UU MD3 yang baru disahkan itu bisa
diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Namun hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk
menyusun perundangan-undangan berdasarkan kepentingan jangka pendek politisi dan partai
politik.

Apalagi jika hal berlangsung sambil mengabaikan aspirasi rakyat yang menghendaki
terjaganya ruh demokrasi dalam seluruh sistem kenegaraan.

Hal lain yang patut disoroti, proses revisi UU MD3 ini juga melindas UU No.12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 UU ini menggariskan, keterbukaan
menjadi salah satu asas dalam pembuatan UU.

Yang terjadi di gedung DPR, pembahasan revisi UU MD3 dilakukan secara tertutup. Lengkap
sudah langkah para wakil rakyat itu menciderai demokrasi dalam revisi UU MD3 kali ini.

Anda mungkin juga menyukai