Anda di halaman 1dari 19

7 THINGS THAT HOLDING

BACK MOST INDONESIAN


FROM SUCCESS
7 HAL YANG MEMBUAT ORANG INDONESIA
BANYAK YANG TIDAK SUKSES
• TRANSLATED BY ALVIN ALFIYANSYAH

Cilla Henriette
STRATEGIC REVIEW

THE INDONESIAN JOURNALS OF LEADERSHIP, POLICY, & WORLD AFFAIRS


1. FAKTOR EKSTERNAL (EXTERNAL FACTOR)
• Indonesians count heavily on external factors in dealing with life.
Orang Indonesia sangat bergantung pada faktor-faktor eksternal dalam berurusan dengan kehidupan.

• We thank God for our achievements and blame nature or circumstances when we are unable to keep our commitments, instead of gi ving
ourselves credit when good things happen or taking the responsibility for the bad.
Kami berterima kasih kepada Tuhan atas pencapaian kami dan menyalahkan sifat atau keadaan ketika kami
tidak dapat memenuhi komitmen kami, alih-alih memberi diri kami pujian ketika hal-hal baik terjadi atau
mengambil tanggung jawab atas kejadian yang buruk.

• Working in an international environment, where people tend to plan, find a strategy to deal with issues or develop a system t o make things
work, has made me realize that this inability to anticipate and plan may be seen as incompetence.
Bekerja di lingkungan internasional, di mana orang cenderung merencanakan, berupaya menemukan
strategi yang lebih baik untuk menangani masalah atau mengembangkan sistem untuk menyelesaikan
pekerjaan, telah membuat saya menyadari bahwa ketidakmampuan untuk mengantisipasi dan merencanakan
ini dapat dilihat sebagai ketidakmampuan.

• We Indonesians seem like an army of doers (those who need to be told what to do) rather than thinkers or leaders (those who t ake the
initiative and action). This may cause people from other cultures to underestimate our competence.
Kami orang Indonesia nampak seperti pasukan pekerja (mereka yang perlu diberi tahu apa yang harus
dilakukan) daripada pemikir atau pemimpin (mereka yang mengambil inisiatif dan membuat tindakan). Ini
dapat menyebabkan orang dari budaya lain meremehkan kompetensi kami.

Page 2
2. JATI DIRI SEBAGAI BANGSA MENENGAH (THE
RACE TO MEDIOCRITY)
• Indonesians do not want to fight to be the best or to be the first or to be the most.
Orang Indonesia tidak ingin berjuang untuk menjadi yang terbaik atau menjadi yang pertama atau
menjadi yang terbaik.

• We are a culture where everyone is comfortable to be the average Joe. On one hand, it makes us noncompetitive, and, even better,
we genuinely care about not taking credit from someone else’s work or achievement.
Kami adalah budaya di mana setiap orang merasa nyaman untuk menjadi orang yang biasa-biasa saja. Di
satu sisi, itu membuat kita tidak kompetitif, dan, bahkan, kita benar-benar tidak peduli untuk mengambil
pujian dari pekerjaan atau prestasi orang lain (walaupun kita terlibat di pekerjaan tersebut).

• We do not claim what is not ours, and whenever possible, we give way to other people to shine. Almost altruistic.
Kami tidak mengklaim apa yang bukan milik kami, dan bila memungkinkan, kami memberi jalan kepada
orang lain untuk bersinar. Prinsip setuju untuk menjadi orang biasa-biasa saja.

• The trap is, though, without realizing, we often hide.We hide from speaking our minds because we don’t want to stick our heads
up.
Namun, jebakan itu tanpa disadari, sering kita sembunyikan. Kami bersembunyi dari mengatakan
pikiran (ide) kami karena kami tidak ingin menunjukan jati diri kami.

Page 3
2. JATI DIRI SEBAGAI BANGSA MENENGAH (THE
RACE TO MEDIOCRITY)

• We hide from our own abilities to excel. We do not want to be the person in charge, as this can mean too
much responsibility or invite jealousy from others.
Kita bersembunyi dari kemampuan kita sendiri untuk unggul. Kami tidak ingin menjadi
penanggung jawab, karena ini bisa berarti terlalu banyak tanggung jawab atau mengundang
kecemburuan dari orang lain.

• We like to swim among with the mediocrity of the group, so we do not expose ourselves.
Kami suka berenang di antara kelompok yang biasa-biasa saja, jadi kami tidak membuka diri.

• The manifestation of this is seen in the classroom. Indonesian classrooms are very quiet, with not many
students raising their hands when invited to answer questions. It is rare to see students who raise their hands
for every question, as we prefer to keep our thoughts to ourselves.
Manifestasi ini terlihat di ruang kelas. Ruang kelas Indonesia sangat sunyi, dengan tidak banyak siswa
yang mengangkat tangan ketika diundang untuk menjawab pertanyaan. Jarang melihat siswa yang
mengangkat tangan untuk setiap pertanyaan, karena kami lebih suka menyimpan pikiran (ide) kami
untuk diri sendiri.

Page 4
2. JATI DIRI SEBAGAI BANGSA MENENGAH (THE
RACE TO MEDIOCRITY)

• When it comes to the workplace, this attitude persists. Take Tina, a talented statistician in a research company.Although capable
of running challenging projects, and actually enjoying the work, she never expresses herself to her boss.
Ketika datang ke tempat kerja, sikap ini tetap ada. Contoh Tina, ahli statistik berbakat di perusahaan riset.
Meskipun mampu menjalankan proyek yang menantang, dan benar-benar menikmati pekerjaannya, dia tidak
pernah mengekspresikan dirinya kepada bosnya.

• After a few projects, her boss identifies that she is really good at her job and tabs her for promotion. Her boss proposes the
promotion idea to Tina and is expecting that she will be excited about the opportunity. On the contrary, when receiving the
news,Tina is shy and responds that there is no rush for her to go to the next level.
Setelah beberapa proyek, bosnya mengidentifikasi bahwa dia benar-benar bagus dalam pekerjaannya
dan berupaya mempromosikannya. Bosnya mengusulkan ide promosi ke Tina dan berharap dia akan
bersemangat tentang kesempatan itu. Sebaliknya, ketika menerima berita, Tina malu dan menjawab
bahwa dia tidak terburu-buru untuk naik pangkat (promosi).

Page 5
3. PERGI IKUTI ARUS (GO WITH THE FLOW)

• It is a tendency to take things as they come. Indonesian is not a culture of anticipation or planning.As the sun shines for 365
days, if not 366, we like to leave it to “God” or “nature,” and the line between what is under our control versus what is outside
of our control becomes blurry.
Ini adalah kecenderungan untuk mengantisipasi. Budaya antisipasi atau perencanaan tidak melekat
pada bangsa Indonesia. Saat matahari bersinar selama 365 hari, jika tidak 366, kami ingin
membiarkannya kepada takdir "Tuhan" atau "alam," dan garis yang ada di bawah kendali kami dengan
garis yang di luar kendali kami yang tidak terlihat (buram).

• If we look at the Indonesian education system, there is little training of structured thinking.
Jika kita melihat sistem pendidikan Indonesia, sangat sedikit pelatihan pemikiran terstruktur.

• There is very little focus on performing research and collecting data to compose arguments.As a consequence, we are often
unable to give structured answers to questions.
Sangat sedikit fokus dalam melakukan penelitian dan mengumpulkan data untuk menyusun argumen.
Sebagai akibatnya, kita seringkali tidak dapat memberikan jawaban terstruktur untuk pertanyaan-
pertanyaan.

Page 6
3. PERGI IKUTI ARUS (GO WITH THE FLOW)

• As far as I have observed, Indonesians stop at the first layer of an answer, and then when further pressed,“Have you thought about this?”
or “Have you done this?” the response is often silence. Because the truth is, the thoughts or solutions have not been exhaust ed.This also
impacts the way we think about our own actions.
Sejauh yang saya amati, orang Indonesia berhenti pada lapisan pertama dari sebuah jawaban, dan kemudian
ketika lebih jauh ditekan, "Sudahkah Anda memikirkan hal ini?" Atau "Sudahkah Anda melakukan ini?"
Jawabannya sering kali diam. Karena kebenarannya, pikiran atau solusi belum ditinjau lebih mendalam. Ini
juga berdampak pada cara kita berpikir tentang tindakan kita sendiri.

• As an illustration, when a boss asks, “What happened with the task I asked you to do yesterday?” Rather than explain what hap pened, such
as, “I’m sorry I haven’t been able to complete it, and I have some questions I need to ask you, and right after that I can complete it,” many
Indonesian just start to speak without thinking. For example, “Oh, yes” –a hanging answer with a thousand meanings and one hope, that no
further questions will be asked.
Sebagai ilustrasi, ketika seorang bos bertanya, "Apa yang terjadi dengan tugas yang saya minta Anda lakukan
kemarin?" Alih alih menjelaskan apa yang terjadi, seperti, "Maaf saya belum bisa menyelesaikannya, dan saya
punya beberapa pertanyaan yang perlu saya tanyakan kepada Anda, dan segera setelah itu saya bisa
menyelesaikannya”, banyak orang Indonesia malah memilih berbicara tanpa berpikir. Misalnya, jawaban "Oh,
ya" - jawaban yang menggantung dengan seribu makna dan satu harapan, bahwa tidak ada pertanyaan lebih
lanjut yang akan diajukan oleh sang Bos.

Page 7
3. PERGI IKUTI ARUS (GO WITH THE FLOW)
• The inability to think in a simple structure –what happened, what have I done, what needs to be done now, and how do I communicate this –has
led Indonesians to an unstructured way of operating.
Ketidakmampuan untuk berpikir dalam struktur sederhana - apa yang terjadi, apa yang telah saya lakukan, apa
yang perlu dilakukan sekarang, dan bagaimana saya menjelaskan hal ini - telah membawa orang Indonesia ke cara
bertindak yang tidak terstruktur.

• We often do things as we feel, we forget to prioritize, and that may lead to further issues.As much as this strategy of goin g with the flow, say what
may come, works within the Indonesian context, it is not acceptable in many other cultures.
Kita sering melakukan hal sesuai apa yang kita rasakan, kita lupa memprioritaskan, dan itu dapat menyebabkan
masalah lebih lanjut. Meskipun strategi mengikuti arus ini, katakanlah apa yang akan terjadi sudah diketahui,
bekerja dalam konteks budaya Indonesia, terkadang tidak dapat diterima di banyak budaya lain.

• Answering without facts, structured thinking or arguments leads to the perception of Indonesians being incompetent or unprofe ssional. People
from other cultures need a coherent answer to a question because it gives them a sense of control.
Menjawab tanpa fakta, tanpa pemikiran terstruktur atau argumen terarah membawa persepsi bahwa orang
Indonesia tidak kompeten atau tidak profesional. Orang-orang dari budaya lain membutuhkan jawaban yang
masuk akal untuk sebuah pertanyaan karena itu memberi mereka rasa terkendali.

• By giving an incomplete answer, we mess up their sense of understanding and control, and this is often frustrating.
Dengan memberikan jawaban yang tidak lengkap, kita mengacaukan pengertian dan rasa terkendali dalam diri
mereka, dan ini sering membuat mereka frustrasi.

Page 8
4. KELEMBAMAN (INERTIA)

• Inertia –the tendency to stay in a comfort zone; comfort zone –the known areas that make us feel comfortable; and (mager)–a
colloquial Indonesian term that means too lazy to move.
Inersia - kecenderungan untuk tinggal di zona nyaman; zona nyaman - area yang diketahui membuat
kita merasa nyaman; and (mager) – istilah bahasa Indonesia sehari-hari yang berarti terlalu malas
untuk bergerak.

• This cultural phenomenon of “being too lazy to move” manifests in our attitude, behavior and way of thinking. We are OK staying
in one position if it’s comfortable.
Fenomena budaya "terlalu malas untuk bergerak" ini bermanifestasi dalam sikap, perilaku, dan cara
berpikir kita. Kami OK! tetap di satu posisi jika itu memberi rasa nyaman.

• As a result, we often do not push ourselves to go beyond our comfort zone, despite being capable of it. We embrace inertia f or
the wrong reasons, and after a few years, we ask ourselves: why haven’t things changed?
Akibatnya, kita sering tidak mendorong diri kita untuk melampaui zona nyaman kita, meskipun mampu
melakukannya. Kami menerima inersia untuk alasan yang salah, dan setelah beberapa tahun, kami
bertanya pada diri sendiri: mengapa hal-hal tidak berubah?

Page 9
4. KELEMBAMAN (INERTIA)
• In the context of the professional environment, the overindulgence in comfort (zone) is not always beneficial. Although it may
seem that one is satisfied or grateful with their position, the trap of inertia (mager) is actually bigger than we think, because it is
blocking us from new initiatives.
Dalam konteks lingkungan profesional, kenyamanan berlebihan (zona) tidak selalu menguntungkan.
Meskipun mungkin terlihat bahwa seseorang puas atau bersyukur dengan posisi mereka, jebakan
inersia (mager) sebenarnya lebih besar dari yang kita pikirkan, karena menghalangi kita dari inisiatif
baru.

• As we are too comfortable with what is happening around us, we do not try different ways to approach tasks or solve issues,
which too bad because Indonesians are actually very creative people.
Karena kami terlalu nyaman dengan apa yang terjadi di sekitar kita, kami tidak berani mencoba
pendekatan lain dalam tugas atau menyelesaikan masalah, menjadi hal buruk karena orang Indonesia
sebenarnya adalah orang yang sangat kreatif.

• Where taking the initiative keeps us on our toes, and keeps growing our capabilities, a lack of initiative stops us from grow ing.
Jika kita mengambil inisiatif, ini membuat kita terus berusaha, dan terus mengembangkan
kemampuan kita, kurangnya inisiatif menghentikan kita untuk tumbuh.

Page 10
4. KELEMBAMAN (INERTIA)
• Imagine a situation where we do our work the same way over and over again. Pretty soon we are on autopilot, doing it for the
sake of doing it, with minimal passion and desire to grow.
Bayangkan sebuah situasi di mana kita melakukan pekerjaan kita dengan cara yang sama berulang
kali. Zona nyaman menyegerakan diri kita menjadi autopilot, melakukannya demi menyelesaikannya,
tanpa semangat dan keinginan minimal untuk tumbuh.

• In the long run, this leads to dissatisfaction with our job, and we will probably start to blame a lot of things other than ourselves.
Growth is a fundamental part of human nature, and growing makes us happy.When we give ourselves too much inertia, we deny
ourselves from growing, and therefore deny ourselves from being happy with ourselves.
Dalam jangka panjang, ini menyebabkan ketidakpuasan dengan pekerjaan kita, dan kita mungkin akan
mulai menyalahkan banyak hal selain diri kita sendiri. Pertumbuhan adalah bagian mendasar dari sifat
manusia, dan pertumbuhan membuat kita bahagia. Ketika kita memberi diri kita terlalu banyak
kelembaman, kita menyangkal diri kita untuk tumbuh, dan hal itu menyangkal diri kita dari rasa
bahagia dengan diri kita sendiri.

• In Western culture, it is common to speak about outgrowing yourself. Mageris the opposite, as it is “de-growing” ourselves.
Being comfortable in inertia may make us accept things in the wrong sense.
Dalam budaya Barat, adalah hal yang umum untuk berbicara tentang tumbuh lebih besar dari diri
Anda sendiri. Kebiasaan “mager” adalah kebalikannya, karena ia “menolak menumbuhkan” diri kita
sendiri. Menjadi nyaman dalam kelembaman dapat membuat kita menerima hal-hal yang salah.

Page 11
4. KELEMBAMAN (INERTIA)

• And when we break free from inertia, we are growing into new thinking, new ways of doing things and new skills. This will
make us grow in our jobs, our relationships and, eventually, in life.
Dan ketika kita membebaskan diri dari kelembaman, kita tumbuh menjadi pemikir baru, berupaya
menemukan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu, dan mendapat keterampilan baru. Ini akan
membuat kita tumbuh dalam pekerjaan kita, hubungan kita, dan, pada akhirnya, dalam hidup kita.

Page 12
5. KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP)
• Leadership has many definitions, but in this case is loosely translated as the ability to anticipate, take control and give g uidance and direction to the
people around us.
Kepemimpinan memiliki banyak definisi, tetapi dalam hal ini diterjemahkan secara longgar
sebagai kemampuan untuk mengantisipasi, mengambil kendali dan memberikan panduan dan
arahan kepada orang-orang di sekitar kita.

• Lack of leadership is often the consequence of a lack of initiative. In a culture where people indulge in inertia, there are not many who are willing
to break through and find new ways of thinking, doing or being. Leadership is often associated with taking risks, and Indones ians are not big on this.
Kurangnya kepemimpinan sering kali merupakan konsekuensi dari kurangnya inisiatif. Dalam budaya
di mana orang-orang menikmati inersia, tidak banyak yang mau menerobos dan menemukan cara
berpikir baru, melakukan atau menjadi hal yang baru. Kepemimpinan sering dikaitkan dengan
pengambilan risiko, dan orang Indonesia tidak besar dalam hal ini.
• As we are a culture that is easily satisfied with where we are, we do not often push ourselves to think of what’s next and wh at else can be done,
what we can learn from an event to help us grow.
Karena budaya kita yang mudah puas dengan keberadaan kita, kita tidak sering memaksakan diri
untuk memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan apa lagi yang bisa dilakukan, apa yang bisa
kita pelajari dari suatu peristiwa untuk membantu kita tumbuh lebih besar.

• The ability to analyze a situation or problem will help us anticipate problems before they happen.This is how the ability to take the initiative is
honed. This ability to take the initiative, anticipate a problem and take control is the foundation of leadership.
Kemampuan untuk menganalisis suatu situasi atau masalah akan membantu kita mengantisipasi masalah
sebelum terjadi. Inilah cara mengasah kemampuan untuk mengambil inisiatif. Kemampuan untuk mengambil
inisiatif, mengantisipasi masalah, dan mengambil kendali adalah fondasi kepemimpinan.

Page 13
5. KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP)
• Take Ratih, a young manager at a hospitality business who regularly deals with guest issues. Complaints from guests are a normal part of
life, and that means there is an opportunity to identify recurring complaints and create a systematic way of anticipating or solving the
issues.
Contoh Ratih, seorang manajer muda di bisnis perhotelan yang secara teratur menangani masalah
tamu. Keluhan dari tamu adalah bagian normal dari kehidupan, dan itu berarti ada peluang untuk
mengidentifikasi keluhan yang berulang dan menciptakan cara sistematis untuk mengantisipasi atau
menyelesaikan masalah.

• After being in the business for a couple of years, Ratih is still diligently reporting the issues to her superior. Given all the experience Ratih
has gained, her superior is surely interested in what Ratih has done to solve or anticipate the problems.
Setelah berkecimpung dalam bisnis ini selama beberapa tahun, Ratih masih rajin melaporkan masalah
tersebut kepada atasannya. Mengingat semua pengalaman yang didapat Ratih, atasannya pasti tertarik
dengan apa yang telah dilakukan Ratih untuk memecahkan atau mengantisipasi masalah.

• But as Ratih has not reflected on the problems and the causes, she hasn’t been able to identify solutions. Ratih has not taken the initiative
to pause, review and take constructive action, and therefore she hasn’t been able to demonstrate leadership in her duties.
Tetapi karena Ratih belum dapat mengenali masalah dan apa penyebabnya, ia belum dapat
mengidentifikasi solusi. Ratih belum mengambil inisiatif berhenti untuk berpikir, meninjau, dan
mengambil tindakan konstruktif, dan karena itu ia tidak dapat menunjukkan kepemimpinan dalam
tugasnya.

• A lack of leadership happens to many of us, and instead of taking the initiative, Indonesians often wait to be told what to d o.
Kurangnya kepemimpinan terjadi pada banyak dari kita, dan alih-alih mengambil inisiatif, orang
Indonesia sering menunggu untuk diberitahu apa yang harus dilakukan.

Page 14
6. MALU MEMBUAT MASUKAN (FEEDBACK SHY )
• While in some parts of Indonesia, such as North Sumatra or North Sulawesi, where a certain degree of confrontation is seen as positive,
fear of confrontation seems to be rooted in the Javanese, the dominant culture in Indonesia.
Walau di beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera Utara atau Sulawesi Utara, di mana tingkat
perdebatan tertentu dipandang positif, ketakutan akan konfrontasi tampaknya berakar pada orang Jawa,
budaya dominan di Indonesia.

• In Javanese culture, many decisions are dictated by “pakewuh”: the feeling of discomfort or hesitation to say or act in a way that will
offend or make others feel uncomfortable.When someone feels “pakewuh” about saying something or taking action, that person will
usually choose just to remain silent.
Dalam budaya Jawa, banyak keputusan ditentukan oleh “pakewuh”: perasaan tidak nyaman atau ragu untuk
mengatakan atau bertindak dengan cara berpotensi menyinggung atau membuat orang lain merasa tidak
nyaman. Ketika seseorang merasa ragu ketika hendak mengatakan sesuatu atau mengambil tindakan, orang
itu biasanya akan memilih hanya untuk tetap diam.

• Indonesians tend not to want to unnecessarily disrespect or hurt others. But if we look deeper, the discomfort is very much r ooted in
ourselves.
Orang Indonesia cenderung tidak ingin tidak menghormati atau menyakiti orang lain secara tidak perlu.
Tetapi jika kita melihat lebih dalam, rasa malu membuat masukan itu sangat berakar pada diri kita sendiri.

Page 15
6. MALU MEMBUAT MASUKAN (FEEDBACK SHY )

• We do not confront others because we are not comfortable confronting ourselves.We are not trained to look at confrontation as a way
to improve.
Kita tidak menghadapi orang lain karena kita tidak nyaman berhadapan dengan diri kita sendiri. Kami tidak
dilatih untuk melihat konfrontasi sebagai cara untuk meningkatkan.

• In the workplace, the culture of confrontation avoidance has resulted in us being feedback shy.The ability to give or take f eedback is one
of the keys to success.
Di tempat kerja, budaya menghindari konfrontasi telah mengakibatkan kita menjadi umpan balik yang
pemalu. Kemampuan untuk memberi atau menerima umpan balik adalah salah satu kunci keberhasilan .

• Unfortunately, in Indonesia, we shy away from giving or receiving feedback because we take it personally or emotionally.
Sayangnya, di Indonesia, kami enggan memberikan atau menerima umpan balik, karena kami seringkali
menganggap ini masalah pribadi atau menerima secara emosional.

Page 16
6. MALU MEMBUAT MASUKAN (FEEDBACK SHY )

• Once we understand that the point of feedback is to achieve common goals, to recognize our strengths and weaknesses so we can
construct a better way of working, then we can take feedback rationally instead of personally.
Setelah kita memahami bahwa inti dari umpan balik adalah untuk mencapai tujuan bersama, untuk
mengenali kekuatan dan kelemahan kita sehingga kita dapat membangun cara kerja yang lebih baik, maka
kita dapat mengambil umpan balik secara rasional alih-alih secara pribadi.

• Try listing your strengths and weaknesses, and what areas need improvement.When we are able to systemize feedback, we can then
focus on and minimize unnecessary points.This way, we can learn to not be feedback shy and embrace feedback as a constructive way of
working and growing.
Coba buat daftar kekuatan dan kelemahan Anda, dan bidang apa yang perlu diperbaiki. Ketika kami dapat
menyusun umpan balik, kami dapat fokus dan meminimalkan poin yang tidak perlu. Dengan cara ini, kita
dapat belajar terbuka menerima umpan balik, tidak menjadi pemalu, dan dapat menerima umpan balik
sebagai cara yang konstruktif untuk bekerja dan berkembang.

Page 17
7. TERLALU BANYAK “NERIMO” MENJADI PASRAH
(TOO MUCH ACCEPTANCE WILL KILL YOU )
• Acceptance is certainly a dominant culture in Indonesia. We accept mistakes and say “ya, udahlah” (loosely translated as, “It’s OK, let it go”) more
often than not.
Penerimaan jelas merupakan budaya yang dominan di Indonesia. Kami menerima kesalahan dan
mengatakan "ya, udahlah" (diterjemahkan dengan longgar, "Tidak apa-apa, relakanlah") lebih sering
mengatakan hal tersebut daripada tidak menerima.

• We let go of things in the blink of an eye, and we have a lot of understanding when someone does something they are not supposed to.
Kami melepaskan hal-hal dalam sekejap mata, dan kami terbiasa memaklumi ketika seseorang melakukan
sesuatu yang tidak seharus dilakukannya.

• We are a culture of acceptance, and therefore it is important not to linger on someone’s weaknesses or mistakes, because it feels wrong to be
unaccepting.
Budaya kami “nerimo” , dan oleh karena itu penting untuk tidak berlama-lama pada kelemahan atau
kesalahan seseorang, karena terbiasa menerima (dan merasa salah untuk tidak menerima).

• On the one hand, this super-accepting and forgiving culture is positive and saves us from constant conflicts; on the other hand,it leads us to
being inconsistent, indecisive and defensive.
Di satu sisi, budaya yang sangat-menerima dan memaafkan ini positif dan menyelamatkan kita dari konflik
yang terus-menerus; di sisi lain, itu menuntun kita untuk menjadi tidak konsisten, ragu-ragu, dan defensif.

Page 18
7. TERLALU BANYAK “NERIMO” MENJADI PASRAH
(TOO MUCH ACCEPTANCE WILL KILL YOU )
• Inconsistency is the quality of being unreliable in what we say or do. And this happens a lot in our daily lives in Indonesi a. Many people
say one thing and then something else in the next sentence. We do this because we know the other person will understand, so w e don’t
have to explain what we really mean.
Inkonsistensi adalah kualitas tidak dapat diandalkan dalam apa yang kita katakan atau lakukan. Dan ini
banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari di Indonesia. Banyak orang mengatakan satu hal dan
kemudian sesuatu yang lain di kalimat berikutnya. Kami melakukan ini karena kami tahu orang lain akan
memahami, jadi kami tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya kami maksudkan.

• Indecisiveness is the inability to make decisions or lingering in a situation without any direction or decision. As it is acceptable for us to
delay making a decision, on the assumption that other people will understand or they can wait, we do not train ourselves to b e sharp in
making decisions.We linger in indecisiveness, hoping that things will sort themselves out on their own.
Keragu-raguan adalah ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau bertahan dalam situasi tanpa arah
atau keputusan. Karena jika kita memilih menunda membuat keputusan itu dapat diterima, dengan asumsi
bahwa orang lain akan mengerti atau mereka bisa menunggu, kita tidak melatih diri kita untuk menjadi
tajam dalam membuat keputusan. Kami berlama-lama dalam keraguan, berharap bahwa segala sesuatunya
akan beres dengan sendirinya.

• Defensiveness is the quality of not wanting to admit our weaknesses or mistakes. It is rooted in our perception that in the e nd, other
people will understand our mistakes, so there is no need to admit them or to discuss them.
Pertahanan (defensif) diri adalah kualitas diri dari tidak mau mengakui kelemahan atau kesalahan kita. Bila
akhirnya berakar dalam persepsi kita, bahwa orang lain akan memahami kesalahan kita, jadi tidak perlu
mengakuinya atau mendiskusikannya.

Page 19

Anda mungkin juga menyukai