(Fungsionaris PB HMI)
Dalam pandangan Singh gerakan sosial berbeda dengan beberapa bentuk masa
aksi seperti kerumunan (crowd), kerusuhan, pemberontakan, dan revolusi.
Kerumunan (Crowd) merupakan masa aksi yang tidak memiliki sebentuk organisasi
sangat cair dan meletup dan hilang secara tiba-tiba. Kerusuhan adalah kekacauan
massal yang meletub secara tiba-tiba, dalam periode tertentu, dan melakukan
peggerusakan atau menyerang kelompok tertentu. Pemberontakan adalah masa aksi
yang terorganisasi untuk menentang dan memisahkan diri dari sistem dan otoritas
yang dianggap mapan. Revolusi adalah mengandaikan seluruh partisipasi masyarakat
dan keseluruhan wilayah suatu Negara untuk menggulingkan dan menggantikan
tatanan politik dengan sesuatu yang baru. Gerakan sosial atau social movement
menurut singh biasanya merupakan mobilisasi untuk menentang Negara dan sistem
pemerintahannya yang tidak selalu menggunakan kekerasan dan pemberontakan
bersenjata, sebagaimana yang terjadi dalam kerusuhan, pemberontakan dan revolusi.
Pandangannya, umumnya gerakan sosial menyatakan dirinya di dalam kerangka
demokratik.
Aksi 22 mei juga menunjukkan suatu gerakan sosial yang menuntut keadilan
demokrasi atas hasil pemilu 2019, namun gerakan sosial tersebut dianggap oleh
pemerintah adalah aksi yng mencoba melawan hukum atas keputusan hasil pemilu.
Gerakan 22 mei dikenal dengan gerakan poople power yang coba dicanangkan oleh
pihak “ketegangan structural” dan “memobilisasi sumber daya”.
Aksi papua tidak kalah ekstrim dari gerakan sosial sebelumnya, bahkan
gerakan sosial yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat papua dapat dinilai
tindakan melawan hukum, karena melakukan pengibaran bendera OPM dan meminta
referendum. Ambros Koordinator aksi (Tempo.co) mengatakan merdeka dari
Indonesia adalah cara untuk menghentikan diskriminasi dan perlakuan rasis bagi
masyarakat papua.
Kini kembali gerakan sosial terdengar suara lantang independen dari
mahasiswa yang turut mengkritisi kebijakan pemerintah terkait kebijakan RKUHP,
Revisi UU KPK, RRU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU PKS dan
Kriminalisasi Aktivis. Dalam gerakan sosial tersebut tidak hanya dari kalangan
mahasiswa saja bahkan dari kalangan pemuda dan pelajar SMK atau STM yang
sempat menunjukkan aksi heroiknya terhadap kebijakan pmerintah yang dianggap
nyeleneh dan ngawur. Tetapi dalam gerakan gerakan sosial tersebut pemerintah
kurang responsif terhadap tuntutan mahasiswa yang lahir dari keresahan masyarakat,
malah pemerintah menunjukkan aksi arogansinya dan tipe pemerintahan yang
otoritarian sehingga menimbulkan korban jiwa.
Dari beberapa gerakan sosial yang terjadi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial baru atau new social
movement dengan bersandar dari pendekatan pemikiran singh, tarrow, ted gurr dan
dalam buku joni rusmanto Gerakan Sosial.
Sederetan gerakan sosial yang terjadi pra dan pasca pemilu 2019 ada beberapa pihak
yang mengatakan gerakan sosial yang terajadi cenderung kurang masuk di dalam
kerangka gerakan sosial baru, jika melihat dari sudut pandang singh, tarrow dan ted
gurr misalnya, gerakan sosial Papua akibat aksi pengepungan asrama papua
disurabaya dan aksi perilaku kolektif (collective behavior) dan 22 mei ditandai
dengan menuntut keadalian demokrasi hasil pemilu. Dari peristiwa gerakan sosial
tersebut terkesan ditunggangi oleh kelompok tertentu dan melakukan tindakan
kerusuhan dan pemberontakan bahkan revolusi. Misalnya gerakan sosial papua
meminta referendum terjadi sebuah kerusuhan dan dapat diindikasikan tindakan
makar dan melawan hukum begitupun juga gerakan sosial 212 dan di 22 mei. Namun
dilain pihak ada beberapa “oknum” yang sering mengatakan bahwa selalunya gerakan
sosial yang murni bangkit dari keresahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap
pemerintah selalu dikatakan ditunggangi oleh pihak “lawan politik” dalam padangan
ted gurr dikatakan ketegangan struktur dan mobilisasi sumber daya. Sehingga muncul
dan lahir lah anggapan-anggapan hoax, play victim, makar ataupun tindakan yang
melawan kebijakan pemerintah yang menimbulkan tindakan kerusuhan,
pemberontakan dan revolusi. Sehingga kadang kala terjadinya gerakan sosial yang
terbangun oleh masyarakat sering mengalami polarisasi gerakan sosial.
Kebijakan publik terhadap social movement
Menurut Thomas R. Dye kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak
dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pandangan Thomas R. Dye
ini diklasifikasikan sebagai keputusan (Decision Making) pemerintah punya
wewenang untuk kenggunakan keputusan otoritatif termasuk keputusan untuk
membiarkan sesuatu terjadi demi teratasinya sautu persualan publik. Dari sederat
beberapa kejadian gerakan sosial pemerintah berhasil mengeluarkan kebijakan yang
dianggap adil dari gerakan sosial tersebut, semisal gerakan 212 terjadi akibat
peninstaan agama yang dilakukan ahok, kemudian ahok menjalani hukuman pidana
terkait atas ucapannya yang dianggap melakukan penistaan agama. Tetapi gerakan
sosial lain yang masih hangat terjadi pemerintah belum berhasil mengeluarkan
kebijakan untuk menanangkan gerakan sosial tersebut. Misalnya gerakan sosial di
Papua dan gerakan sosial RKUHP, Revisi UU KPK, RRU Ketenagakerjaan, RUU
Pertanahan, RUU PKS. Dan atas kejadian dari gerakan-gerakan sosial tersebut
banyak menelan korban, seyogyanya pemerintah responsif dalam melakukan
pengamanan dan meredam gerakan sosial yang berujung konflik pertikaian.
Semestinya pemerintah melakukan pendekatan humanisme government terhadap
masyarakat dan aktor-aktor gerakan sosial. Seharusnya Pemerintah melakukan
Pendekatan humanism (Approach Humanisme) seperti kepemimpinan Rasulullah
terhadap berbagai perubahan dunia yang telah dihasilkan dan menjadi ikon penting
bagi rakyatnya (umatnya) dalam keteladanannya, antara lain; (1) mampu menegakkan
rasa keadilan; (2) memiliki rasa cinta, empati, dan simpati yang ditujukan kepada
sesama umat manusia; (3) memegang teguh prinsip kejujuran; (4) menjunjung tinggi
prinsip amanah; (5) memiliki kecerdasan dalam dimensi intelektual, emosional, dan
spiritual; dan (6) bersikap transparan dalam setiap pelaksanaan tugas dan
tanggungjawabnya. Bukan sebaliknya menanggapi gerakan sosial dengan tindakan
arogansi, represif dan sistem otoritarian.