Pelayanan Publik 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelayanan publik adalah merupakan hak dari setiap warga


negara. Maka hak ini menjadi kewajiban bagi
negara/pemerintah untuk memenuhinya. Semenjak awal
kemerdekaan, semangat dan komitmen para pendiri bangsa
untuk memperbaiki kesejahteraan umum masyarakat salah
satunya adalah perbaikan pelayanan publik.

Semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, pelayanan


publik yang ada masih jauh dari harapan, yaitu dapat diakses
oleh setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Bahkan
kini, pelayanan publik banyak dijadikan alat dan media
kepentingan politik dan ekonomi oleh para pejabat publik.

Dengan diterapkannya sistem Otonomi Daerah, maka


daerah dengan leluasa untuk mengembangkan daerahnya serta
berinovasi sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri, tanpa
adanya campur tangan dari pemerintahan pusat.

Perkembangan paradigma Administrasi publik juga


menjadi landasan untuk bahan perbandingan mencapai
pelayanan publik yang baik. Paradigma – paradigma inilah
yang menjadi acuan untuk menjadikan pelayanan publik di
Indonesia khususnya di daerah dapat berjalan dengan efektif
dan efisien. Tetapi perlu adanya pemahaman yang mendalam
untuk setiap birokrat yang menjalankan pemerintahan, bahwa
pelayanan itu adalah untuk setiap warga negara tanpa
terkecuali. Pemikiran seperti inilah yang harus dimengerti oleh
setiap birokrat yang menjalankan pemerintahan.

Berbagai masalah penyelenggaraan pemerintahan yang


muncul, salah satunya dalam hal penyelenggaraan pelayanan
publik, menjadi salah satu perhatian dan perlu untuk dianalisis,
serta dicari jalan keluarnya agar penyelenggaraan otonomi
daerah bisa berjalan dengan baik, efisien, dan efektif untuk
memberikan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Untuk itu
perlu adanya pembenahan – pembenahan dalam sistem
pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada
masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah


 Apa saja paradigma yang berkembang untuk meningkatkan
pelayan publik ?
 Bagaimana upaya untuk meningkatkan pelayanan publik ?

1.3. Gagasan yang ingin disampaikan


Dengan adanya pembenahan pelayanan publik di
Indonesia khususnya di daerah yang mempunyai otonomi
khusus, rasa optimis untuk menjadikan negara ini menjadi
negara yang tertib administrasi dirasa dapat terwujud. Hanya
saja para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan harus
mau mengubah pola pikirnya agar terciptanya pemerintahan
yang bersih dan bertanggung jawab untuk warga negaranya.

Pemerintah harus berani melakukan pembenahan


pelayanan yang ada. Sebab pemerintah harus sadar bahwa
adanya pemerintahan itu adalah untuk rakyat. Karena semua itu
untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

1.4. Tujuan dan manfaat penulisan


1) Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui sejauh mana pelayanan publik yang telah
berlangsung dalam daerah otonomi khusus.
- Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kekurangan dalam
pelayanan publik yang ada di daerah.
2) Manfaat penulisan
- Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan untuk memperdalam
ilmu pengetahuan dibidang birokrasi, dan manajemen
pelayanan.
- Sebagai bahan informasi bahwa pelayanan publik yang ada di
Indonesia khususnya di daerah masih sangat jauh dari maksud
dan arti pelayanan yang sebenarnya.

BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


1) Skripsi tentang Pengaruh Kemampuan Aparatur Pemerintahan
terhadap Pelayanan Masyarakat di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru. Oleh Ifan Turiadi pada Tahun 2009. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan Kemampuan Aparatur
Pemerintah serta pengaruhnya terhadap Pelayanan Masyarakat
di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru.

2) Skripsi tentang Analisis Fungsi Administrasi Pemerintah Desa


dalam Peningkatan Pelayanan Publik di Desa Perincit
Kecamatan Pusako Kabupaten Siak. Oleh Marzihan Amin pada
Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi-
fungsi administrasi sebagai landasan untuk meningkatkan
pelayanan di Desa Pericit Kecamatan Pusako Kabupaten Siak.

2.2. Kerangka Teori


Secara teoritis, tujuan pelayana publik pada dasarnya
adalah memuaskan masyarakat, untuk mencapai kepuasan itu
dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari (Lijan
Sinambella; 2006)
1. Transparansi
Yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat
diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan
secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas
Yaitu pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional
Yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang teguh
pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

4. Partisipasi
Yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan Hak
Yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari
aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status
sosial dan lain-lain.

6. Keseimbangan Hak
Yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan
antara pemberi dan penerima pelayanan publik.

Menurut Siagian (1990:119), kemampuan aparatur


pemerintah dalam melaksanakan tugas memberikan pelayanan
yang berkualitas kepada masyarakat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:
1. Pendidikan
Faktor pendidikan ini sangat menentukan kemampuan aparatur
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

2. Latihan Kerja
Disamping pendidikan, latihan kerja juga perlu diadakan untuk
meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah sebab dengan
adanya pelatihan kerja yang diikuti diharapkan aparatur
pemerintah dapat menerapkan apa – apa yang telah diikuti
dalam latihan tersebut pada prakteknya dilapangan. Dengan
demikian latihan kerja ini sangat berperan dalam meningkatkan
kemampuan aparatur pemerintah guna meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat.

3. Pengalaman Kerja
Pengalaman akan lebih menunjang keberhasilan seorang aparat
dalam mengemban tugas disamping kedua faktor tersebut
diatas. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah
mereka yang telah pernah bekerja dibidang tugas yang
diembannya tersebut.

Menurut Moenir (1992:82) terdapat faktor pendukung


pelayanan yang penting yaitu:
1. Faktor kesadaran petugas yang berkecimpung dalam
pelayanan, kesadaran. Disini berfungsi sebagai acuan dasar
yang melandasi pada perbuatan atau tindakan yang berikutnya.
Kesadaran kerja itu bukan saja kesadaran dalam pelaksanaan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya yang menyangkut
penyelesaian dan pemberian hasil laporan kerja yang tepat
dalam usaha meningkatkan hasil kerja juga untuk turut serta
usaha pemeliharaan sarana dan prasarana.

2. Faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan yaitu


merupakan perangkat penting dalam segala tindakan dan
perbuatan orang. Faktor ini menyangkut segala ketentuan baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berlaku didalam
organisasi yang meliputi mengenai waktu kerja, cara kerja,
kedisiplinan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemberian sanksi
terhadap pelanggaran kerja serta ketentuan – ketentuan lain
telah ditetapkan.

3. Faktor organisasi yang meliputi pengaturan struktur


organisasi yang menggambarkan hierarki pertanggung
jawaban, pembagian kerja yang berdasarkan keahlian dan
berfungsinya. Masing – masing bagian sesuai dengan tugas
yang telah ditetapkan serta usaha pengembangan organisasi.

4. Faktor pendapatan yang meliputi gaji yang dapat


menggairahkan semangat kerja yang tinggi.

5. Faktor kemampuan atau keterampilan kerja dapat


ditingkatkan dengan pemberian bimbingan dan petunjuk –
petunjuk kerja, mengadakan pendidikan dan latihan khusus
pegawai.

6. Faktor sarana pelayanan yang meliputi peralatan,


perlengkapan dan juga tersedianya fasilitas pelayanan yang
meliputi gedung dengan segala kegiatan – kegiatannya, fasilitas
komunikasi dan fasilitas lainnya.

BAB III
METODE PENULISAN
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang
penulis gunakan adalah dengan cara studi literatur. Studi
literatur adalah cara untuk menyelesaikan persoalan dengan
menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat
sebelumnya. Dengan kata lain, disebut studi pustaka.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pengertian Pelayanan Publik


Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan,
bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak
dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masyarakat
setiap waktu akan selalu menuntut pelayanan publik yang
berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan itu seringkali tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan, karena secara empiris
pelayanan publik yang terjadi selama ini masih menampilkan
ciri – ciri yakni berbelit – belit, lambat, mahal, dan melelahkan.
Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih
diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukan “dilayani”.
Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum
kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap
negara[1], meskipun negara berdiri sendiri sesungguhnya
adalah untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannya.
Artinya, birokrat sesungguhnya haruslah memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Menurut Kotler dalam Sampara Lukman[2] pelayanan
adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu
kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun
hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah suatu
kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi
langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara
fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.[3] Sementara
dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai
hal, cara, atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani
adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau minuman;
menyediakan keperluan orang; mengiyakan; menerima;
menggunakan[4].

Sementara itu kata publik berasal dari Bahasa


Inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata
publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia
baku, pengertiannya adalah orang banyak[5].

Jadi pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan


oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara terhadap
masyarakatnya guna memenuhi kebutuhan dari masyarakat itu
sendiri dan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah


(birokrasi) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan ini harus dipahami bukanlah kebutuhan secara
individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya
diharapkan oleh masyarakat. Secara teoritis, tujuan dari
pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan
masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas
pelayanan prima yang tercermin dari:
1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah,
dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta
disediakan secara memadai serta mudah dimengerti
2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi
dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas
4. Partisipasi, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memerhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat
5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras,
agama, golongan, status sosial, dan lain-lain
6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang
mempertimbangan aspek keadilan antara pemberi dan
penerima pelayanan publik

4.2. Landasan Teoritik Pelayanan Publik


Pelayanan publik tidak lepas dari administrasi publik yang
diterapkan banyak negara. Seperti yang disampaikan Janet
Denhardt & Robert Denhardt (2003), pelayanan publik
merupakan salah satu isu atau tujuan penting dari administrasi
publik yang meliputi penyelenggaraan pemberian jasa – jasa
publik, urusan – urusan publik (kepentingan dan kebutuhan
publik) serta pemberian pelayanan publik yang adil dan tidak
diskriminatif. Dalam perjalanannya tentang konsep pelayanan
publik yang banyak berkebang selama ini, setidaknya ada 3
perspektif atau paradigma administrasi publik yang bisa kita
gunakan untuk mengkaji pelayanan publik. Ketiga paradigma
tersebut adalah: Pertama, Paradigma Old Public
Administration (OPA). Kedua, Paradigma New Public
Management (NPM). Ketiga, Paradigma New Public Service
(NPS).

4.2.1. Paradigma Old Public Administration (OPA)


Fenomena praktik pelayanan publik dalam OPA
menggambarkan bahwa hubungan pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan publik dengan publiknya semata –
mata sebagai klien, konstituen dan atau sebagai pelanggan yang
harus dipuaskan. Pemerintah sendiri secara politis berusaha
mendefinisikan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan
publik tanpa melibatkan publik. Setelah itu pemerintah
menganggap dirinya sebagai satu – satunya institusi yang
mengetahui, memiliki sumberdaya dan mempunyai
kemampuan memecahkan masalah publik. Oleh karena itu,
pemerintahlah yang paling legitimate untuk memberikan
pelayanan kepada publik dan untuk mendukung pelaksanaan
peran pemerintah cenderung menggunakan organ – organ
pemerintah yang sudah ada.
Perilaku pelayanan tersebut di atas diatas diiringi juga
dengan pendekatan birokrasi yang mengandalkan hubungan
hirarkial (superior vs subordinat) serta ketaat – asaan yang
bersifat top – down. Implikasinya adalah bahwa model
pertanggungjawaban akan terbatas pada atasannya, kliennya
ataupun pelanggan. Karena tingginya tuntutan kepatuhan
terhadap atasannya maupun prosedur yang sudah ditetapkan,
maka pada umumnya diskresi pejabat publik untuk
mengembangkan cara – cara terbaik dalam pelayanan publik
terbatas.

Administrasi publik klasik sangat dipengaruhi oleh


pemikiran Woodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat
dan Guru Besar Ilmu Politik di Princeton University Amerika
Serikat. Melalui karya besarnya yang berjudul The Study of
Administration, Wilson menyampaikan beberapa pemikiran
tentang administrasi publik antara lain sebagai berikut.
1. Perlunya pemisahan antara aktivitas pembuatan kebijakan yang
dilakukan dalam proses politik dan implementasi kebijakan
yang harus dilakukan oleh birokrasi pemerintah (dikotomi
politik administrasi). Pemisahan tersebut dilakukan karena jika
masalah administratif dicampuri politik, akan terjadi
penyimpangan yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) sehingga pemerintahan menjadi tidak
efisien.
2. Nilai yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas
pemerintahan adalah efisiensi, ekonomis, dan rasionalitas
dengan dasar pengambilan keputusan bureauratic rational
choice.

Menurut Thoha (2010), secara garis besar ide inti


administrasi publik klasik adalah sebagai berikut.
1. Titik perhatian pemerintah adalah pada jasa pelayanan yang
diberikan langsung oleh dan melalui instansi – instansi
pemerintah yang berwenang.
2. Public policy dan administration berkaitan dengan merancang
dan melaksanakan kebijakan – kebijakan untuk mencapai
tujuan – tujuan politik.
3. Administrasi publik hanya memainkan peran yang lebih kecil
pada proses pembuatan kebijakan – kebijakan pemerintah
ketimbang upaya untuk melaksanakan (implementation)
kebijakan publik.
4. Upaya memberikan pelayanan harus dilakukan oleh para
administrator yang bertanggung jawab kepada pejabat politik
dan yang diberikan diskresi terbatas untuk melaksanakan
tugasnya.
5. Para administrator bertanggung jawab kepada pemimpin
politik yang dipilih secara demokratis.
6. Program – program kegiatan diadministrasikan secara baik
melalui garis hierarki organisasi dan dikontrol oleh para pejabat
dari hierarki atas organisasi.
7. Nilai – nilai utama administrasi publik adalah efisiensi dan
rasionalitas.
8. Administrasi publik dijalankan sangat efisien dan sangat
tertutup sehingga warga negara keterlibatannya amat terbatas.
9. Peran administrasi publik dirumuskan secara luas
seperti planning, organizing, staffing, directing, coordinating,
reporting budgeting.

Gagasan Wilson melakukan pemisahan antara politik dan


administrasi tidak sepenuhnya dapat dilakukan karena pada
kenyataannya administrasi publik tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan politik. Administrasi publik tidak hanya sekadar
pelaksana keputusan politik dalam bentuk kebijakan negara,
tetapi administrasi publik juga ikut merumuskan kebijakan
negara. Sifat organisasi pada administrasi publik klasik yang
sangat hierarkis menimbulkan red-tape, kelambanan, tidak
adil, dan biaya tinggi. Demikian pula dengan sifat administrasi
publik klasik yang birokratik dan tertutup menyebabkan
keterlibatan warga negara sangat terbatas sehingga keadilan
sosial terabaikan dan dianggap tidak mampu memecahkan
masalah – masalah yang dihadapi masyarakat.

Dengan alasan – alasan di atas ditambah dengan


perkembangan teknologi informasi, globalisasi, demokrasi, dan
liberalisasi yang terjadi pada tahun 1990-an, berdampak pada
perubahan lingkungan strategis administrasi publik sehingga
mengharuskan administrasi publik meninjau kembali konsep –
konsep yang telah ada selama ini, yang dianggap sudah tidak
cocok dengan lingkungan strategi baru.

4.2.2. Paradigma New Public Management (NPM)


Lahirnya konsep new public management (NPM) pada
awal tahun 1990-an merupakan reaksi terhadap kelemahan
birokrasi tradisional dalam paradigma administrasi publik
klasik (O’Flynn, 2007; Stoker, 2006). Setyoko (2011)
mengompilasi pendapat ahli mengenai NPM ini, yaitu sebagai
berikut.
1. NPM menggeser penekanan dari administrasi publik
tradisional ke manajemen publik (Lane, 1994). Model
tradisional organisasi dan penyaluran pelayanan publik
berdasarkan prinsip hierarki birokrasi, sentralisasi
perencanaan, dan pengendalian langsung oleh pemerintah
digantikan oleh manajemen pelayanan berdasarkan kehendak
pasar (market-based public service management) (Wals, 1995;
Flynn, 1993).
2. NPM dimaknai sebagai visi, ideologi atau seperangkat
pendekatan dan teknik manajemen publik yang diadosi dari
sektor swasta (Pollitt, 1994; Ferlie, dkk., 1996; Hood, 1991,
1995).

NPM menganut nilai – nilai dan praktik – praktik


administrasi bisnis yang diterapkan ke dalam praktik
administrasi publik (run government like business), misalnya
dengan melakukan restrukturisasi sektor publik melalui
privatisasi, perampingan struktur birokrasi, mengenalkan nilai
persaingan (kompetisi) melalui pasar internasional,
mengontrakkan pelayanan publik pada organisasi swasta,
penerapan outsourcing (kontrak kerja), membatasi intervensi
pemerintah (hanya dilakukan jika mekanisme pasar mengalami
kegagalan), dan meningkatkan efisiensi melalui pengukuran
kerja (Setyoko, 2011).

NPM berkehendak meningkatkan efisiensi, efektivitas,


dan produktivitas sehingga kurang memperhatikan keadilan
sosial. Nilai – nilai ekonomis (bisnis) yang dianut NPM sering
kali bertentangan dengan demokrasi dan kepentingan publik.
Pengelolaan pelayanan publik yang diserahkan kepada swasta
pada satu sisi memang dapat meningkatkan kinerja pelayanan
publik, namun cenderung hanya dinikmati oleh orang – orang
yang mampu membayar. Uraian di atas merupakan gambaran
kegagalan konsep NPM dan sekaligus gambaran kegagalan
administrasi publik dalam mewujudkan keadilan sosial dan
kesejahteraan masyarakat.

4.2.3. Kelemahan Pradigma OPA dan NPM


Baik OPA dan NPM cenderung memposisikan negara
sebagai aktor sentral bahkan sebagai satu – satunya institusi
yang paling menentukan apa yang menjadi materi
pelayanannya, bagaimana desain dan pelaksanaan pelayanan
itu sendiri. Negara adalah penyelenggara segala bentuk
pelayanan (service provider). Apa saja yang terjadi dalam
masyarakat harus diselenggarakan oleh negara. Negara adalah
pihak yang aktif memberi, sedangkan masyarakat adalah pihak
yang pasif menerima kebaikan negara. Negara memandang
dirinya sebagai sumber kebaikan bagi masyarakatnya,
sedangkan masyarakat diharapkan mengakui kebaikan negara
dan wajib menunjukkan rasa terima kasihnya. Negara adalah
yang pertama, masyarakat adalah yang kedua. Keberadaan
masyarakat adalah demi negara. Prestasi negara adalah
anugerah bagi masyarakatnya, bukan kewajiban.

Permasalahan pelayanan publik bukan semata – mata


persoalan keputusan politik yang kemudian dituang dalam
bentuk hukum yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh
masyarakat. George Frederickson (1984), menyatakan bahwa
sebuah keputusan politik tidak boleh dibiarkan untuk
memanipulasi jabatan – jabatan administratif. Demikian juga
keputusan politik tidak boleh dan tidak bisa memanipulasi
kebutuhan dan kepentingan publik. Pelayanan publik yang
menekankan pada pengembangan dan pengokohan lembaga
pemerintah sebagai aktor tunggal dalam penyelenggaraan
urusan publik sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang modern saat ini.

Apa yang menjadi urusan publik seyogyanya


dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan publik
yang berkembang dari hasil dialog publik itu sendiri.
Keputusan politik yang dimanifestasikan sebagai kebijakan
publik dan diekspresikan dalam bentuk hukum atau peraturan
perundang – undangan seringkali gagal memecahkan
permasalahan yang ada di masyarakat, tetapi justru
memunculkan masalah baru. Ketidakmampuan merumuskan
apa yang menjadi masalah publik menjadi sumber kegagalan
kebijakan publik.

4.2.4. Paradigma New Public Service (NPS)


Dalam perspektif NPS, dasar – dasar teoritis yang ingin
digunakan berkaitan dengan teori – teori demokrasi dengan
berbagai pendekatan yang positivistik, intepretatif dan juga
kritis. Pelayanan publik dikembangkan berdasarkan upaya
untuk memenuhi dan mengakomodasi nilai – nilai kebutuhan
dan kepentingan publik yang didefinisikan melalui proses
dialog publik yang rasional dengan pertimbangan politik,
ekonomi maupun organisasional. Dengan demikian, peran
pemerintah adalah melayani (serving, tidak lagi steering atau
bahkan rowing) dan posisi publik bukan lagi klien, konstituen
ataupun pelanggan, tetapi lebih sebagai warga negara (citizen).
Materi pelayanan publik lahir dari apa yang menjadi kebutuhan
publik, sedangkan bentuk dan pelaksanaan pelayanan publik
merupakan hasil kesepakatan antara stakeholder. Oleh karena
itu, pelaksanaan tanggungjawab oleh negara kepada rakyatnya
dalam pemenuhan hak – hak dasar perlu dipertegas untuk
mencapai tujuan tersebut.

Dan untuk mendukung akuntabilitas pelaksanaannya


dalam pencapaian tujuan, maka seluruh proses kerja tersebut
harus berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku, nilai
publik yang kita sepakati, norma – norma politik yang etis,
standar profesional dan kepentingan publik. Setiap
penyelenggara memiliki diskresi untuk mengoptimalkan
perannya, tetapi harus dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, pelayanan publik merupakan tanggungjawab negara
yang penyelenggaraannya dapat dilakukan oleh berbagai
kalangan yang dikembangkan sebagai kontribusi untuk
menyelenggarakan urusan – urusan publik dan memberikan
pelayanan publik secara adil dan tanpa diskriminasi. Denhardt
and Denhardt, menyatakan bahwa NPS atau pelayanan publik
baru, fokus pada isu – isu penting sebagai berikut:
1. Serve Citizen, Not Customer
Apa yang menjadi kepentingan publik merupakan hasil
dialog publik (public shared value), bukan sekedar agregasi
kepentingan invidual, pejabat publik tidak hanya sekedar
merespon kebutuhan publik sebagai pelanggan tetapi lebih
fokus pada bagimana membangun relasi kepercayaan dan
kolaborasi dengan dan di antara warga.

2. Seek The Public Interest


Administrator public harus memberikan kontribusi dalam
mengembangkan kolektivitas, gagasan – gagasan tentang
kepentingan publik. Tujuan bukan menemukan solusi cepat
yang berdasarkan pada pilihan – pilihan individual, tetapi lebih
pada bagaimana menciptakan apa yang menjadi kepentingan
bersama dan tanggungjawab bersama.

3. Value Citizenship over entrepreneurship


Kepentingan publik lebih baik bila ditunjukkan dalam
komitmen publik dan pejabat publik untuk membuat kontribusi
yang lebih bermakna untuk masyarakat luas ketimbang
kepiawaian (entrepreneurship) pejabat publik dalam
mengembangkan dirinya sendiri.

4. Think Strategically, Act Democratically


Kebijakan publik dan program merupakan upaya untuk
memenuhi kebutuhan publik, dan dapat dicapai secara efektif
dan lebih dapat dipertanggungjawabkan melalui usaha bersama
dan proses yang kolaboratif.

5. Recognize that Accountability is Not Simple


Pejabat publik harus lebih memperhatikan konstitusi dan
peraturan perundang – undangan, nilai – nilai kemasyarakatan,
norma politik, standar profesional dan kepentingan –
kepentingan publik.

6. Serve rather than Steer


Lebih penting bagi pejabat publik untuk berbagi dengan
publik sebagai basis kepemimpinannya dalam membantu
masyarakat untuk mengartikulasikan menemukan apa yang
menjadi kepentingan bersama ketimbang mengendalikan atau
mengarahkan publik.

7. Value People, not Just Productivity


Organisasi publik dan jaringannya dalam berpartisipasi
akan lebih berhasil untuk jangka apabila mereka bekerja secara
kolaboratif dan berdasarkan kepemimpinan kolektif dengan
menghargai semua masyarakat.

Tabel 4.1 Perbandingan Perspektif[6] Administrasi Publik


Lama, Manajemen Publik Baru, dan Pelayanan Publik Baru.
Administrasi Administrasi Pelayanan Publik
Pisau Analisa
Publik Lama Publik Baru Baru

Teori Demokrasi,

Teori Politik, Teori ekonomi, yang divariasikan

sosial dan yang diperlengkap dengan pendekatan


Teori Dasar dan
argumentasi dengan dialog pengetahuan
Landasan
politik yang berdasarkan termasuk
Epistomologi
menafikkan ilmu positivistik ilmu positivistik,

sosial sosial interpretatif dan


kritis
Kepentingan

Publik adalah Kepentingan Publik


Kepentingan
Konsepsi dari penjelasan dari merepresentasikan
Publik adalah hasil
Kepentingan politik yang agregasi dari
dari dialog bersama
Publik diekspresikan kepentingan
akan nilai
dalam aturan individual

hukum

Kepada siapa

aparat pelayanan Klien dan


Pelanggan Warga Negara
bertanggung konsumen

jawab

Melayani

(negosiasi dan
Mengendalikan
bertindak sebagai
(mendesain dan Mengarahkan
perantara dari
menerapkan (bertindak sebagai
kepentingan -
Peran Pemerintah kebijakan yang katalis untuk
kepentingan warga
terfokus pada melepaskan
negara dan
satu tujuan politis kekuatan pasar)
komunitas atau
tertentu)
kelompok

masyarakat)

Mekanisme yang Membuat nilai

Tujuan dibuat dan struktur bersama,

Mekanisme untuk tergantung dari insentif untuk membangun koalisi

mencapai keberadaan mencapai tujuan publik, lembaga

Kebijakan Publik agensi publik melalui non-profit dan

pemerintah agensi swasta dan lembaga swasta


lembaga non-profit untuk mencapai
kesepakatan dalam

kebutuhan bersama

Multidimensi,

pebajat publik
Pada kepentingan
Hierarki tunduk pada
pasar, dimana
administratif hukum, nilai-nilai
Pendekatan akumulasi dari
yang bertanggung masyarakat, norma
Akuntabilitas kepentingan pribadi
jawab kepada politik, standar
(warga atau
pemimpin politik profesional dan
pelanggan)
kepentingan warga

negara

Garis yang melebar


Diskresi
Diskresi untuk mencapai
Diskresi Terbatas dibutuhkan tetapi
Administratif tujuan
hanya terbatas
kewirausahaan

Struktur yang

terkolaborasi
Birokrasi, otoritas
Organisasi publik dengan
Struktur atas bawah,
yang kepemimpinan
Organisasi kontrol regulasi
terdesentralisasi bersama antara
klien
eksternal dan

internal
Dibayar dan Semangat

Dasar motivasi mendapat wirausaha, dan Pelayanan publik

dari pelayan keuntungan, ideologis untuk untuk kepentingan

dan administratur perlindungan pengurangan masyarakat

pelayan publik besaran pemerintah

Tabel 4.2 Perbandingan Public Administration (PA), New


Public Management (NPM), dan New Public Servis (NPS)
Mekani
Tekanan Sifat
sme
Dasar / Sistem Nilai
Paradig-ma Sifat Fokus Alokasi
Teoritis Perhatia Pelaya Dasar
Sumber
n nan
Daya

Pembuata
Ilmu
n
Politik
Public kebijakan Budaya
dan Keseraga Sistem Tertutu
Administratio dan Hierarki Sektor
Kebija- man Politik p
n(PA) Impleme Publik
kan
n-tasi
Publik
kebijakan

Rasiona
Manaje-
l/ teori Pasar Keungg
New Public men Rasion
pilihan penga- Organi dan Neo ulan dan
Manage- sumber al
publik turan sasi classical pangsa
ment (NPM) daya terbuka
dan kontrak pasar
organisas
studi
manaje- i dan

men kinerja

Negosiasi
Jaringan
nilai
Organi kerja
Teori makna
Jamak -sasi dan Memper
New Public institusi dan Terbuk
dan dan kontrak -
Service (NPS onal dan saling a, tertu-
berbeda- lingku- hubu- juangka
) jaringan keterkaita tup
beda ngan- ngan n
kerja n (saling
nya relasio-
hubungan
nal
-nya)

Sumber: Osborne (2010: 10)

4.3. Masalah dan Faktor Penyebab Buruknya Pelayanan


Publik
Apabila kita cermati antara tugas negara yang tercantum
dalam berbagai peraturan perundang – undangan jelas
tergambar bahwa negara ini lahir untuk memberikan pelayanan
kepada rakyatnya. Persoalan pelayanan publik di Indonesia
secara singkat dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal,
yaitu[7]:
1. Paradigma pelayanan publik dan mentalitas aparat
Aturan dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan
tanggung jawab negara dalam memberi pelayanan, namun
ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan
buruknya pelayanan publik di Indonesia. Selain itu, belum
berubahnya sikap dan paradigma dari aparat pemerintah dalam
pemberian pelayanan yang masih rules-driven atau berdasar
perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan
masyarakat. Setiap aparat harusnya memahami esensi dari
pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat.

2. Kualitas pelayanan tidak memadai dan masih


diskriminatif
Jaminan terhadap pemenuhan hak – hak dasar masyarakat yang
tanpa diskriminatif belum diberikan dengan kualitas yang
memadai. Selain itu, pelayanan publik yang disediakan
umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fasilitas
dan sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini
disebabkan oleh keterbatasan SDM serta alokasi anggaran yang
kurang memadai dalam APBD. Di sejumlah daerah, APBD
lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan
kegiatan pembangunan.

3. Belum ada regulasi yang memadai


Regulasi yang ada belum mampu meyakinkan bahwa
kewajiban negara semestinya diiringi dengan kemampuan
memberi layanan yang terbaik kepada warganya. Selain itu,
partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan belum
optimal, meski terdapat perangkat yang dapat mendukung
upaya itu.

Pengaturan tentang pentingnya pelayanan publik


mempunyai beberapa elemen penting yang harus terpenuhi dan
wajib diciptakan atau disediakan oleh setiap aktor dalam
pelayanan publik yang menunjukkan perlunya pelayanan
publik adil dan berkualitas, yaitu[8]:
1. Relasi Tanggung Jawab dan Paradigma Pelayanan Publik bagi
Penerima Layanan
Pelayanan publik yang adil dan berkualitas merupakan
dambaan masyarakat dimana harus memenuhi standar
minimum sesuai yang dirumuskan penyelenggara dan tidak
bertentangan dengan kontrak layanan yang merupakan hukum
bagi pemberi dan penerima layanan. Selain itu, pelayanan
publik juga harus adil, tidak hanya melayani orang yang
“mampu membayar” saja tetapi juga orang lain yang tidak
mampu membayar dan “kurang beruntung” (dalam hal ini kami
kategorikan dalam kelompok khusus). Karena pada prinsipnya,
pelayanan publik terutama pelayanan hak – hak dasar
merupakan hak publik di satu sisi dan kewajiban negara di sisi
lain.

2. Kualitas Layanan bagi Pemberi Layanan


Memberikan pelayan publik yang adil dan berkualitas juga
menjadi dambaan para pemberi layanan karena akan
menaikkan citra dan kapabilitasnya sebagai pemberi layanan.
Buat mereka, aspek penting penilaian kinerja adalah kepuasan
pelanggan atau warga penerima layanan. Kepuasan merupakan
bentuk keberhasilan dari pemberian layanan.

3. Buah Pelayanan Publik yang Baik bagi Masyarakat


Pelayanan yang adil memberi kesempatan setiap orang atau
warga negara untuk menikmati jenis pelayanan yang terbaik
untuk perbaikan kehidupannya. Bila masyarakat telah mampu
mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya, maka secara
tidak langsung akan memberi kesempatan dalam peningkatan
taraf hidupnya di masa depan.

4. Faktor Penyebab Pelayanan Publik yang Buruk


Buramnya pelayanan publik selama ini dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, yaitu:
a. Kebijakan atau keputusan politik yang diambil oleh pemerintah
- Tidak memihak kepada kepentingan masyarakat
- Kebijakan merugikan masyarakat
- Kebijakan lebih memikirkan kepentingan orang terdekat serta
golongannya
- Seringkali tidak memberikan jaminan perlindungan kepada
rakyat yang dirugikan oleh negara
- Tidak ada sanksi tegas untuk pemerintah yang lalai
melaksanakan tugasnya
b. Manajemen dari pelaksanaan pelayanan publik
Selama ini pelaksanaan pelayanan publik lebih bersifat state
oriented tidak public oriented. Dimana kepentingan negara
lebih menjadi prioritas, segala yang menyangkut negara akan
mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan dengan
kepentingan masyarakat. Seharusnya dalam memberikan
pelayanan, para aparatur lebih berorientasi pada public
oriented. Pelayanan publik yang bersifat state
oriented menyebabkan kepentingan publik bukan menjadi
prioritas utama. Selama ini PNS (sebagai aparatur) seringkali
disebut sebagai abdi negara bukan abdi masyarakat
Manajemen yang kurang baik bisa dilihat dari seringnya
masyarakat kebingungan dalam mengurus pelayanan,
seringkali mereka dipimpong (dipermainkan) kesana kemari
tanpa mereka ketahui prosedur yang baku.
c. Latar belakang kultur layanan
Setiap orang yang bekerja di instansi pemerintahan (di
birokrasi) akan dihormati oleh rakyat. Ciri – ciri birokrat di
Indonesia[9]:
- Lebih mementingkan kepentingan pimpinan dari pada
kepentingan klien atau pengguna jasa
- Lebih merasa sebagai abdi negara dari pada abdi masyarakat
- Meminimalkan risiko dengan cara menghindari inisiatif
- Menghindari tanggung jawab
- Menolak tantangan
- Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugas
– tuganya
Budaya organisasi publik yang berkembang di Indonesia-pun
bersifat caring culture. Caring culture bercirikan budaya yang
memberikan perhatian terhadap kinerja pelaksanaan tugas
rendah akan tetapi perhatian terhadap hubungan sesama
manusia sangat tinggi. Dalam budaya tersebut pada akhirnya
tidak bisa memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
pengguna layanan. Selain itu kemungkinan terjadinya
diskriminasi pelayanan sangat tinggi karena siapa yang
memiliki kedekatan emosional maupun personal akan
didahulukan untuk mendapatkan pelayanan.
4.4. Otonomi Daerah dan Upaya Peningkatan Pelayanan
Publik
Dalam negara hukum modern, tugas kewenangan
pemerintah tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan,
tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum. Munculnya
konsep itu membawa konsekuensi terhadap peranan
pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat
lebih dominan. Demi terciptanya tujuan negara sebagai mana
yang tercantum dalam UUD 1945 itu, maka negara melalui
pemerintah melakukan berbagai upaya. Salah satunya upaya itu
adalah melalui beberapa perubahan sistem pemerintahan yang
selama ini dijalankan dan melalui berbagai kegiatan
pembangunan, khususnya di daerah.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari


pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip
otonomi daerah. Sebagi kawasan otonom, daerah harus
memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam
menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan
prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Dapat disimpulkan, tujuan utama pelaksanaan otonomi


daerah adalah meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat. Ukuran keberhasilannya adalah terwujudnya
kehidupan yang lebih baik dan adil dalam hal pendapatan dan
terciptanya rasa aman. Salah satu aspek penting lain adalah
pemberdayaan masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta
penyelenggaraan pelayanan publik.

Selanjutnya otonomi daerah menggunakan prinsip


otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintahan yang
ditetapkan dalam UU. Dengan demikian daerah memiliki
kewenangan dalam membuat kebijakan dalam memberikan
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan.

4.5. Kelembagaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah


dalam Mewujudkan Good Governance
Dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik
melalui penataan kelembagaan penyelenggaraan pemerintahan
daerah, maka kebijakan dalam penataan kelembagaan
penyelenggaraan pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun
daerah lebih diarahkan pada upaya penyederhanaan birokrasi
pemerintah untuk menyempurnakan dan mengembangkan
organisasi dengan lebih proporsional, datar, transparan,
hierarki pendek, serta terdesentralisasi kewenangannya.

Fungsi pemerintah dalam rangka mendukung terwujudnya


tata pemerintahan daerah yang baik, pemerintah daerah
diharapkan dapat menciptakan organisasi perangkat daerah
yang lebih efisien dengan memberi ruang partisipasi
masyarakat yang lebih besar dalam penyelenggaraan
pembangunan di daerah.

Berhasil atau tidaknya pemerintah dalam mengupayakan


terwujudnya kepemerintahan yang baik ditentukan oleh
seberapa besar prinsip/asas kepemerintahan yang baik tersebut
diimplementasikan. Apabila prinsip kepemerintahan yang baik
tersebut dapat diimplementasikan secara sempurna/maksimal,
akan dicapai kualitas pelayanan yang baik dan kesejahteraan
masyarakat. Dalam rangka pencapaian untuk mewujudkan
kepemimpinan yang baik guna menghasilkan pelayanan yang
berkualitas, salah satu upayanya diperlukan adanya
penyempurnaan di dalam tatanan kelembagaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk
melakukan restrukturisasi, terhadap kelembagaan
penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik,


keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak
dapat dipisahkan bahkan saling memengaruhi dengan
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di pusat, oleh
sebab itu yang perlu mendapat perhatian antara lain:
1. Perlu kesadaran sepenuhnya bahwa era globalisasi sangat
mempengaruhi eksistensi peran administrasi publik terhadap
berbagai aspek. Kondisi ini apabila tidak segera di respons akan
mengakibatkan secara bertahap hilangnya eksistensi dari peran
administrasi publik untuk kepentingan masyarakat dan
pembangunan.
2. Tuntutan pemanfaatan teknologi canggih di dalam
implementasi administrasi publik antara lain meliputi bidang:
informasi, tata kelola, pendidikan dan lain-lain sangat dominan
sehingga tanpa penguasaan teknologi, baik pemerintahan di
daerah maupun di pusat, tidak akan mampu menciptakan
keunggulan daya saing/tidak mampu menciptakan nilai
tambah.

3. Organisasi/institusi, sebagai perangkat yang menggambarkan


pembagian tugas wewenang dan tanggung jawab masing-
masing aparatur sebagai anggota organisasi/institusi di dalam
mencapai tujuan akhir dari penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Ketepatan di dalam penyusunan organisasi/institusi
akan menghasilkan terlaksananya pelaksanaan tugas
pemerintah yang efektif, efisien, dan akuntabel, sehingga dapat
diciptakan check & balances (keseimbangan pembagian
kewenangan dan kekuatan yang dapat saling mengendalikan),
handal, responsif, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

4. Belum terciptanya sistem manajemen pemerintahan yang


mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen secara
profesional, baik para aparatur yang melaksanakan secara baik
fungsi: perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan
pengendalian.

5. Kualitas sumber daya aparatur yang dimiliki saat ini masih


belum profesional, sangat lamban dalam melaksanakan
transformasi budaya aparatur, dari sumber daya aparatur yang
birokratik menjadi sumber daya aparatur yang berjiwa
wirausaha, inovatif, kreatif, dan responsif.

BAB V
KESIMPULAN

Pada akhirnya pelayanan publik bukanlah hal yang rumit


untuk dilaksanakan dan diterapkan jika pemerintah mengerti
akan pelayanan itu adalah hak untuk setiap warga negara tanpa
adanya diskriminasi.

Jika kita membicarakan pelayanan publik, yang tersirat


difikiran adalah pemerintah dan masyarakat sebagai aktor
dalam hal melayani dan dilayani. Karena hak warga negara itu
adalah mendapatkan suatu pelayanan yang baik untuk
melanjutkan kelangsungan hidupnya. Dan pemerintahlah yang
berkewajikan untuk mewujudkan pelayanan yang adil tanpa
membedakan status sosial.

Tidak lupa pula para birokrat yang menjalankan


pemerintahan harus merubah pola pikirnya bahwa adanya
pemerintahan itu adalah untuk warga negara tanpa terkecuali.
Semata-mata tujuan nya itu untuk mensejahterakan warga
negara.
Untuk menjawab segala permasalahan pelayanan yang
ada dimasyarakat, harus dilakukan berbagai macam tahapan,
seperti:
- Pemerintah harus menghormati setiap warga negara tanpa
membeda-bedakan status sosialnya.
- Melayani dengan sepenuh hati dan ikhlas semata-mata untuk
melaksanakan tugas negara.
- Mengerti tugas pokok seorang birokrat adalah untuk melayani
seluruh warga negaranya.

Jika tahapan – tahapan diatas di implementasikan dengan


baik dan terstruktur, dapat dipastikan pelayanan publik yang
ada di Indonesia khususnya di daerah yang memiliki otonomi
khusus dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan
yang dapat merugikan warga negara itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Puspitosari, Hesti. Khalikussabir. Kurniawan, Luthfi J.
2011, Filosofi Pelayanan Publik, Buramnya Wajah Pelayanan
Menuju Perubahan Paradigma Pelayanan Publik. Malang:
SETARA Press, Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3)

Ridwan, Juniarso. Sudrajat, Achmad Sodik. 2012. Hukum


Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan
Publik. Bandung: Nuansa
Syafri, Wirman. 2012, Studi tentang Administrasi
Publik. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai