Refarat Fix
Refarat Fix
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun
dimana persendian mengalami peradangan sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi.1 Penyebab dari RA terkait dengan keterlibatan
persendian simetrik poliartikular, manifestasi sistemik dan tidak dapat
disembuhkan. RA diduga akibat dari disregulasi sistem imun tubuh
sehingga manifestasinya sistemik. Manifestasi sistemik yang timbul yaitu
vaskulitis, inflamasi pada mata, disfungsi saraf, penyakit kardiopulmoner,
limphadenopati dan splenomegali. Angka kejadian rheumatoid arthritis
sering terjadi pada wanita daripada pria, dengan rasio 6 : 1 pada usia 15 –
45 tahun, di atas 60 tahun diperkirakan seimbang.1,2
Prevalensi penyakit rheumatoid arthritis bervariasi. Prevalensi RA
di Kanada sekitar 1,0%, Amerika Serikat sekitar 0,6% pada kaukasia
dewasa, Australia, Selandia Baru dan Belanda memiliki prevalensi lebih
tinggi sekitar 2,4- 2,6%. Prevalensi RA di Indonesia, berdasarkan survei
epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah sekitar 0,3%, Malang Jawa
Timur dengan usia diatas 40 tahun prevalensinya sekitar 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten.3
Berdasarkan dari American College of Rheumatology, kriteria
diagnosis rheumatoid arthritis yaitu terjadinya kekakuan pada pagi hari di
daerah persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum
perbaikan maksimal. Selain itu adanya pembengkakan pada jaringan lunak
atau persendian sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan.
Pengobatan pada rheumatoid arthritis untuk mengurangi inflamasi yang
terjadi serta menghambat proses penyakit digunakan OAINS,
kortikosteroid dan DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs).1,4
Pemberian OAINS yang bekerja menghambat sintesis
prostaglandin dan memiliki efek analgetik dan antiinflamasi tidak mampu
memperlambat progresi penyakit atau mencegah erosi tulang atau
1
deformitas sendi. OAINS awalnya dipandang sebagai inti dari semua
terapi rheumatoid arthritis, tetapi saat ini dipertimbangkan sebagai terapi
tambahan untuk manajemen gejala yang tidak terkontrol. Berdasarkan
pengalaman beberapa individu lebih berespon dengan penggunaan OAINS
tertentu. Pemilihan OAINS harus didasarkan pada kebutuhan spesifik
pasien dan penggunaan obat lain secara bersamaan.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
3
Prevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki, sehingga diduga hormon seks berperanan dalam
perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa
terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan. Perbaikan ini
diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang
menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop
HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu,
terdapat juga perubahan profil hormon. Placental corticotropin
releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama
pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus.2
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun
selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam
sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi
respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular
(Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih dominan sehingga
estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral
dilaporkan mencegah kemungkinan RA atau berhubungan dengan
penurunan insiden RA yang lebih berat.2
c. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab.
Organisme diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah
reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya
penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara
nyata terbukti sebagai penyakit.1,2
4
superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial Cell Walls Aktivasi mikrofag
A. Sinartrosis
5
Adalah persendian yang tidak memperbolehkan pergerakan.
Dapat dibedakan menjadi tiga:5
a. Sinartrosis sinfibrosis (sindemosis): sinartrosis yang tulangnya
dihubungkan jaringan ikat fibrosa. Contoh: persendian tulang tengkorak,
antara gigi dan rahang, antara radius dan ulna
b. Sinartrosis sinkondrosis: sinartrosis yang dihubungkan oleh tulang rawan.
Contoh: hubungan antarsegmen pada tulang belakang.
c. Sinostosis : Persambungan tulang dipisahkan oleh jaringan tulang
misalnya persambungan pada os ilium, os iskium,dan os pubikum
B. Diartrosis
Diartrosis adalah persambungan antara dua tulang atau lebih yang
memungkinkan tulang-tulang bergerak satu sama lain. Diantara tulang-tulang
yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kavum artikulare.
Diartrosis ini juga disebut sebagai sendi sinovial yang tersusun atas bonggol
sendi (kapsul retikuler), bursa sendi dan ikat sendi (ligamentum).
6
ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi, rawan sendi,
membran sinovium serta kapsul sendi
D. Simfisis
Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk seperi
cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang.
7
sinovium adanya hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit
B pada bagian luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi
yang meningkat dan infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang
merupakan peran utama pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya
kerusakan sendi terletak pada pertemuan jaringan sinovium yang meradang
(pannus) dengan rawan sendi dan tulang. Pada stadium lanjut terdapat kerusakan
periartikuler dan erosi tulang.4
2.5 Patofisiologi
8
Tabel 1. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RA
9
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4+.4,5
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang
akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular
juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah
lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial.4
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan
dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease
neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi
dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi.
10
Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan
sendi.5
11
Gambar 2. Mekanisme erosi sendi oleh osteoklast pada AR
12
2.6 Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis
menurut American College of Rheumatology/European League Against
Rheumatism 2010, yaitu :3
13
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.
14
beberapa kriteria gejala AR. Biasanya diagnosis disertai dengan gejala-
gejala non spesifik seperti, malaise, kelemahan otot, berat badan turun,
demam ringan, kelelahan, dan keluhan sistemik lainnya mungkin timbul,
terutama dalam presentasi akut.2
2.8 Anamnesis :
15
f. Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak
sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi
struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi).
g. Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan,
organ, atau sistem tidak dapat bekerja secara adekuat. Handicap
adalah apabila disabilitas menyebakan aktivitas sehari-hari
terganggu, termasuk aktivitas sosial.
h. Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai
maupun tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP.
Selain itu akan disertai dengan gejala siskemik seperti panas,
penuruanan berat badan, kelelahan, lesu, dan mudah terangsang.
Kadang-kadang pasien mengeluhkan hal yang tidak spesifik seperti
merasa tidak enak badan. Pada orang tua disertai dengan gangguan
mental.
i. Gangguan tidur dan depresi, ganguan tidur dapat disebabkan oleh
adanya nyerikronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi
nonsteroid.
16
5) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses
inflamasi di daerah sendi tersebut.
6) Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak,
atau tulang.
7) Nyeri raba
8) Pergerakan sinovitis menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah.
9) Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang
gerakan struktur yang diserang.
10) Atrofi dan penurunan kekuatan otot.
11) Ketidakstabilan.
12) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan
observasi pada penggunaan normal seperti bangkit dari kursi
atau kekuatan menggenggam.
13) Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku,
tumit belakang, sacrum).
14) Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis
atau serpihan darah.
15) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang
pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
16) AR mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya yaitu :
a) Kulit : nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada
banyak pasien dengan RA yang nilai RF-nya normal, sering
lebih dari titik-titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit
dapat bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi
kulit).
b) Jantung : morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang
meningkat pada pasien RA. Faktor resiko non tradisional
tampak memainkan peran penting. Serangan jantung,
disfungsi miokard, dan efusi perikrdial tanpa gejala yang
umum dan gejala perikarditis konstriktif jarang.
17
Miokarditis, vaskulitis koroner, penyakit katup, dan cacat
konduksi kadang-kadang diamati.
c) Paru : RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk
termasuk efusi pleura, fibrosis interstisial, nodul (Caplan
sindrom), dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian
pneumonia.
d) Ginjal : ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA
langsung. Umumnya akibat pengaruh obat-obatan
(misalnya : obat anti-inflamatory peradangan
(amyloidosis)).
e) Vascular : lesi vaskuler dapat terjadi diorgan mana saja
namun yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat
hadir sebagai perpura gambling, borok kulit, atau infak
digital.
f) Hematologi : sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit
anemia kronis, termasuk anemia normokromik-normositik,
trombositiosis, dan eosinofilik, meskipun yang terakhir ini
sering terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien dengan
sindrom Felty.
g) Neurologis : biasanya saraf jeratan, seperti padasaraf
median di carpal, lesi vasculitis, multiple mononeuritis, dan
myelopathy leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi
serius neurologis.
h) Okular : keratoconjunctivitis siscca adalah umum pada
orang dengan RA dan sering manifestasi awal dari sindrom
Sjogren sekunder. Mata mungkin juga episkleritis uveitis,
dan scleritis nodular yang dapat menyebabkan
scleromalacia.
2.10 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratoris
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik
untuk mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji
18
serologis laboratorium menunjukan adanya kenaikan titer
antibodi IgM yang bereaksi terhadap perubahan IgG α-1
dan IgG α-2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF)
ditemukan negatif (<5%) pada 30% penderita AR stadium
dini, meskipun begitu tidak serta-merta mematahkan
diagnosis AR selama masih memenuhi 4 dari 7 kriteria
utama. Kenaikan C-Reactive Protein (CRP) umumnya
terjadi sampai >0,7 pg/mL.
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan
kenaikan laju endap darah (LED) hingga >30mm/jam.
Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan untuk
memonitor perjalanan penyakit. Pada AR sering pula
ditemukan penurunan kadar Hb yang bila kemudian
diperiksa melalui apusan darah tepi menunjukan anemia
normositik normokrom akibat pengaruhnya pada sumsum
tulang. Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai
2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini
merupakan karakteristik peradangan pada artritis, namun
hal tersebut tidak mendiagnosis RA.
Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila
diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal,
kultur negatif, dan kadar glukosa rendah. Analisi cairan
sinovial tidak menunjukkan satupun temuan spesifik untuk
artritis reumatois, namun menunjukkan keadaan inflamasi
pada sendi. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan
kekentalan yang menurun, dan peningkatan kandungan
protein.
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak
adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan
pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai
19
pembanding dalam penelitian selanjutnya. Setelah sendi
mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat
penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur rawan
sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan
penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini
biasanya irreversibel.
Pemeriksaan MRI
20
nodul-nodul reumatoid yang merupakan massa jaringan lunak yang
biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar
pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya
terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.
Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita
artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga
membantu dalam menegakkan diagnosis (Eisenberg RL, Johnson
NM, 2003). Kekakuan selama minimal 1 jam dan artritis yang
simetrk juga menjadi gejala khas dari RA.
21
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua
belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta
artikuler yang diobservasi dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal
faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
membrikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol
yang diperiksa.
g. Perubahan gambaran radiologis, perubahan gambaran
radiologis yang khas pada AR pada pemeriksaan sinar X
tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan sendi.
22
Produksi Menjalar ke
Tidak Ya
tulang tepi korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri
Kaki,
Proksimal ke pergelangan Distal ke
Lokasi
distal kaki, tangan proksimal
dan siku
Seagull
Karakteristik
Pembentukan appearance pada
yang Poliartrikular
kristal sendi
membedakan
interfalangeal
2.13 Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-
orang yang berhubungan dengan penderita.:
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk
regimen obat yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan.
b. Istirahat
c. Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit,
minimal dua kali dalam sehari.
23
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini
untuk mengurangi nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini
paling baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang
sudah mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi
atauterapis kerja.
24
3) Pengalaman dokter
4) Adanya penyakit penyerta
25
hati, dll
d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak
diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
26
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan
efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan
radiografi.
e. Garam Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50
mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah
pemberian 500 mg). pasien yang memberikan respons, interval
dosis ditingkatkan secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa
dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan
darah dan urinalisis rutin. Leucopenia dan trombositopenia atau
proteinuria biasanya bersifat reversible jika pemberian emas
dihentikan.6,7
f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi
yang berat
3) Ada ruptur tendon
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk
meluruskan kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat
dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan.
Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas
yang berat.
27
2.14 Kriteria Remisi
2.15 Prognosis
28
penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur
tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah
Menurut National Institute of Health (NIH), Osteoporosis
adalah kelainan tulang, ditandai dengan kekuatan tulang yang
mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah
tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari
dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang.
2. Carpal Tunnel Sydrome (CTS)
Carpal tunnel syndrome, atau neuropati saraf medianus di
pergelangan tangan, adalah kondisi medis di mana saraf median
dikompresi di pergelangan tangan, menyebabkan parestesia, mati
rasa dan kelemahan otot di tangan. Bangun di malam hari
merupakan karakteristik gejala carpal tunnel syndrome.
Pengobatan definitif untuk sindrom carpal tunnel adalah
rilis operasi dekompresi saraf. Metode ini efektif menghilangkan
gejala dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut, hanya saja
disfungsi saraf biasanya dalam bentuk statis (konstan) mati rasa,
atrofi, atau kelemahan yang bersifat permanen.
Kebanyakan kasus CTS adalah idiopatik (tanpa alasan
tertentu). Beberapa pasien secara genetik cenderung untuk
mengembangkan kondisi tersebut. Diagnosis CTS sering
dihubungkan pada pasien yang memiliki aktivitas yang
berhubungan dengan nyeri lengan, seperti RA.
29
BAB III
KESIMPULAN
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang
tidak diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis
perifer dan simetris. Beberapa faktor yang menjadi etiologi dan
predisposisi dari Rheumatoid Arthritis (RA) adalah faktor genetik,
hormon seks, faktor infeksi, serta Protein heat shock (HSP).
Pada pasien penderita reumatoid artritis, membran sinovial telah
mengalami hiperplasia, peningkatan vaskulariasi, dan infiltrasi dari
sel-sel pemicu inflamasi, terutama sel T CD4+. Untuk menegakkan
diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association), diagnosa AR ditegakkan jika sekurang-kurangnya
memenuhi 4 dari 7 kriteria dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal
6 minggu.
Penatalaksanaan untuk penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) dapat
berupa tatalaksana non- farmakologis dan farmakologis
a. Non-farmakologis : pendidikan, istirahat, latihan-latihan
fisik, alat-alat pembantu dan adaptif serta terapi-terapi yang
lain.
b. Farmakologis : Obat - obatan antiinflamasi
nonsteroid, glukokortikoid, DMARD, Terapi kombinasi,
garam emas serta tatalaksana bedah.
Komplikasi dari Rheumatoid Arthritis (RA) dapat berupa
osteoporosis dan Carpal Tunnel Sydrome (CTS). Prognosis penyakit
ini buruk dengan beberapa faktor menjadi penyebabnya.
30
DAFTAR PUSTAKA
31