Anda di halaman 1dari 18

A.

Anatomi

Gambar 2.1. Apendiks (Diyono, 2016)

B. Fisiologi
1. Usus besar
Usus besar adalah bagian dari sistem pencernaan. Usus besar adalah lanjutan dari
proses usus halus, dalam hal ini makanan yang sudah di serap nutrisinya oleh usus
halus selanjutnya ke usus besar
2. Sekum
Sekum berfungs sebaga menyerap cairan dan garam yang sudah diolah
sebelumnya pada bagian pencernaan usus Sebagai bagian yang mencampur
baurkan zat pelumas tubuh atau lendir dengan bagian yang diserap seperti cairan
serta garam.
3. Apendiks (usus buntu)
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks (umbai cacing) akibat infeksi oleh
bakteri. Apabila sisa makanan masuk ke dalam apendiks, makanan tersebut akan
busuk dan sulit dikeluarkan. Akibatnya, apendiks akan mengalami peradangan.
(Kuncara, 2012)
C. Definisi
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu adalah sebenarnya sekum (cecum). Infeksi ini bis
mengakibatkan peradangan akut sehingga memerukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Nanda, 2015)
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks (umbai cacing) akibat infeksi oleh
bakteri. Apabila sisa makanan masuk ke dalam apendiks, makanan tersebut akan busuk
dan sulit dikeluarkan. Akibatnya, apendiks akan mengalami peradangan.
D. Etiologi
Apendisitis dapat disebabkan karena fekalith (batu feses) yang mengoklusi
lumen apendiks, apendiks yang terpuntir, pembengkakan dinding usus, kondisi fibrosa
di dinding usus, okulusi eksternal usus akibat adesi, Infeksi organisme yersinia telah
ditemukan pada kasus 30% kasus.
Menurut klasifikasi apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri dan faktor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu
fekalith (tinja/batu), tumor apendiks, biji-bijian dan cacing askaris yang dapat
menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks karena parasit. Sedangkan
apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopi dan mikroskopi (fibrosis
menyeluruh di dinding apendiks sumbatan persial atau lumen apendiks adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel infalmasi kronik), dan keluhan
menghilang setelah pembedahan apendiktomi. (Kuncara, 2012)
E. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
(Kuncara, 2012)
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise dan demam ringan (Kuncara, 2012)
c. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum (Kuncara, 2012)
d. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Kuncara,
2012)
e. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
f. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya
di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal((Kuncara,
2012)
g. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik
(Kuncara, 2012)
h. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat
menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang
tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).
F. Patofisiologi

Fekalith, bakteri, cacing ascaris, produksi lendir berlebih, dan tumor merupakan
beberapa etiologi dari apendisitis. Semua faktor tersebut menyebabkan adanya
obstruksi pada lumen apendiks. Faktor predisposisi yaitu, adanya benda asing (biji –
bijian, konstipasi, diare). Obstruksi tersebut menyebabkan terjadinya inflamasi, distensi
dan dilatasi pada dinding apendiks, tekanan intraluminal meningkat. Tekanan
intraluminal yang meningkat menimbulkan aliran cairan limfe dan darah terhambat dan
tekanan intraluminal meningkat, bisa mengakibatkan munculnya rasa mual dan ingin
muntah. Kemudian berlanjut nafsu makan berkurang dan menyebabkan anorexia,
akibatnya ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh. Stimulasi kemudian
dihantarkan ke spinal cord ke cortex cerebri dan di sampaikan ke nosiseptor. Nyeri akan
dipersepsikan. Bakteri masuk dan jika bakteri berkembang semakin banyak dan
merusak mukosa apendiks (menginfeksi) maka akan mengakibatkan terjadinya
apendisitis supuratif akut (ditandai adanya abses yang banyak berwarna kuning).
Apabila kerusakan vaskular yang cepat mengakibatkan terjadinya ruptur, perforasi
(apendisitis perforasi) maka bakteri akan tersebar secara meluas ke seluruh area
abdomen sehingga dapat menyebabkan peritonitis maka tindakan pembedahannya
adalah laparaskopi. Anastesi yang sering digunakan adalah meperidin, morfin. Juga
mengakibatkan cemas, gangguan pola tidur, dan intoleransi aktivitas (Pre-operasi) dan
nyeri, luka insisi, serta intoleransi Aktivitas (Post-operasi). Pembedahan pasien dengan
apendisitis adalah apendektomi. Anastesi yang sering digunakan adalah anastesi umum
yaitu pethidin, diazepam.
G. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda umum untuk apendisitis antara lain:
1. Nyeri kuadran kanan bawah
2. Demam ringan
3. Mual dan muntah
4. Anoreksia
5. Malaise
6. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
7. Spasme otot
8. Konstipasi dan diare (Brunner & Suddart, 1997).
Selain itu, tanda dan gejala yang dialami dipengaruhi juga dengan usia, gejala
yang timbul pada anak-anak dan dewasa serta usia lanjut akan berbeda.
a Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya, beberapa jam kemudian akan terjadi
muntah- muntah dan anak menjadi lemah. Ketidakjelasan gejala ini, seringkali
apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
b Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus buntu
dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang terinfeksi) atau
peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan utama untuk perforasi
appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan perawatan. Secara umum,
semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan
perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu,
setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda.
Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus.
Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan
otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika
penyumbatan usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual
dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin perlu untuk mengeluarkan isi usus
melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan dan ke dalam perut dan usus. Sebuah
komplikasi apendisitis yang lebih ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri
menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya. Kebanyakan
komplikasi setelah apendektomi adalah: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus
akut, ileus paralitik, dan fistula tinja eksternal (Hugh A.F. Dudley, 1992).
I. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm3. Jika
terjadi peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah
mengalami perforasi (pecah).
b. Pemeriksaan radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
c. Ultrasonografi (USG)
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
d. CT scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
J. Penatalaksanaan Apendisitis
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik. Antibiotik yang biasanya diberikan adalah
ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindomisin.
Berikut perawatan yang dilakukan setelah operasi :
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat
sonde lambing bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah. Baringkan pasien dalam posisi Fowler. Pasien dapat dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,
puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pasca operasi
pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada
hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan
dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
1) Operasi
Terdapat 2 tindakan operasi dalam penanganan apendisitis, antara lain:
a. Apendiktomi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang apendiks (apendektomi). Pasien
biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum
operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi.
Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan.
Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Pembiusan akan
dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau
spinal/lumbal. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks)
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Pada
umumnya, tehnik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan
cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks. Bila
diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah
sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau pun dengan cara
laporoskopi.

Insisi Grid Iron


(McBurney Incision)11
Insisi Gridiron pada titik
McBurney. Garis insisi
parallel dengan otot
oblikus eksternal,
melewati titik McBurney
yaitu 1/3 lateral garis
yang menghubungkan
spina liaka anterior
superior kanan dan
umbilikus.

Lanz transverse
incision12
Insisi dilakukan pada 2
cm di bawah pusat, insisi
transversal pada garis
miklavikula-
midinguinal. Mempunyai
keuntungan kosmetik
yang lebih baik dari pada
insisi grid iron.

Lanz transverse
incision12
Insisi dilakukan pada 2
cm di bawah pusat,
insisi transversal pada
garis miklavikula-
midinguinal.
Mempunyai keuntungan
kosmetik yang lebih
baik dari pada insisi
grid iron.
Rutherford Morisson’s
incision (insisi
suprainguinal)13
Merupakan insisi
perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan
jika apendiks terletak di
parasekal atau
retrosekal dan terfiksir.
Low Midline Incision13
Dilakukan jika
apendisitis sudah
terjadi perforasi dan
terjadi peritonitis
umum.
Insisi paramedian
kanan bawah13
Insisi vertikal paralel
dengan midline, 2,5 cm
di bawah umbilikus
sampai di atas pubis.
a. Laparoskopi
Laparaskopi adalah teknik bedah dengan akses minimal. Artinya,
pembedahan tidak dengan membuka dada atau perut, melainkan dilakukan
lewat dua atau tiga lubang berdiameter masing-masing 2-10 milimeter. Satu
lubang untuk memasukan kamera mini (endo camera) yang memindahkan
gambaran bagian dalam tubuh ke layar monitor, sedangkan dua lubang lain
menjadi jalan masuk peralatan bedah. Karena luka yang ditimbulkan
minimal, pemulihannya pun lebih cepat, mengurangi nyeri dan pasca operasi
dan rawat inap lebih singkat.
b. Apendisitis pada kehamilan
Dugaaan adanya apendisitis merupakan salah satu indikasi tersering
dilakukanya eksplorasi pembedahan abdomen pada wanita hamil. Sebuah
studi yang melibatkan 700.000 wanita melaporkan bahwa sekitar 1 dari 1000
menjalani apendektomi sewaktu hamil, dengan apendisitis dipastikan pada
65% (1 dari 1500 kehamilan). Kehamilan sering menyebabkan diagnosis
apendisitis lebih sulit karena anoreksia, mual, dan muntah yang menyertai
kehamilan normal juga merupakan gejala umum pada apendisitis; seiring
dengan membesarnya uterus, apendiks sering bergerak ke atas dan keluar
menuju pinggang sehingga nyeri dan tekan di kuadaran kanan bawah
mungkin tidak mencolok, sewaktu kehamilan normal biasanya sedikit
banyak terjadi leukosit; selama kehamilan khususnya, penyakit lain dapat
menyerupai apendisitis, misalnya, pielonefritis, kolik ginjal, solusio
plasenta, dan degenerasi mioma uterus; dan wanita hamil terutama pada usia
gestasi lanjut (ukuran lama waktu seorang janin berada dalam rahim), sering
tidak memperlihatkan gejala yang dianggap “khas” untuk pasien tidak hamil
dengan apendisitis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa lebih dari
separuh wanita hamil dengan apendisitis mengalami perforasi.
Pada paruh pertama kehamilan, laparoskopi untuk pasien yang diduga
menderita apendisitis merupakan tindakan yang dapat diterima. Beberapa
orang mempertanyakan keamanaaan terjadinya pneumoperitoneum dengan
karbondioksida yang dapat menyebabkan asidosis janin dan menggangu
fungsi kardiovaskular janin. Dalam sebuah studi skala besar ditemukan
bahwa hasil akhir perinatal pada wanita yang menjalani tindakan
laparoskopi sebelum gestasi 20 minggu tidak berbeda dari mereka yang
ditangani dengan laparotomi.
Pasien diberi antimikroba intravena, misalnya sefalosporin atau penisilin.
Kecuali jika terjadi gangren, perforasi, atau flegmon periapendiks, terapi
antimikroba dapat dihentikan setelah pembedahan. Jika tidak terjadi
peritonitis, progonsis pasien baik. Sesar jarang diindikasikan saat dilakukan
apendektomi. Pada peritonitis sering terjadi kontraksi uterus dan kami tidak
menyarankan obat tokolitik, meskipun sebagai penulis menganjurkannya.
Dilaporkan bahwa pada apendisitis peripartum, peningkatan pemberian
cairan intravena dan pemakaian tokolitik meningkatkan risiko cidera paru.
Apendisitis yang tidak terdiagnosis sering memicu persalinan. Uterus yang
berukuran besar sering membantu menahan infeksi secara lokal, tetapi
setelah persalinan ketika uterus dengan cepat mengecil, infeksi yang selama
ini tertahan menjadi pecah disertai perembesan pus bebas ke dalam rongga
peritonium. Pada kasus ini, dalam bebrapa jam pascapartum terjadi keadaan
abdomen akut.
K. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Demografi
 Pasien dengan apendisitis Usia : paling muda usia 4 tahun, 18 tahun keatas
hingga usia 70 tahun.
 Perbandingan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:1,7.
b. Riwayat Kesehatan
 Keluhan Utama
Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan >37,5˚C, mual,
muntah, anoreksia, malaise, nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney.
 Riwayat Keluhan
Klien dengan apendisitis gejala awal yang khas, nyeri samar (nyeri tumpul) di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan
pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri
akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
 Kebiasaan
Klien dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung biji-bijian
yang sulit dicerna oleh lambung misalnya, biji cabai dan lain-lain. Selain
kebiasaan itu juga penyebabnya klien yang kurang mengunsumsi makanan
tinggi serat.
c. Pemeriksaan fisik fokus pada pasien dengan apendisitis
 Keadaan Umum
Pasien dengan penyakit apendisitis mengalami perubahan tanda - tanda vital,
yaitu peningkatan nadi perifer, hal ini disebabkan karena pasien merasa cemas
dan nyeri.
 Pengkajian head to toe fokus pada apendisitis.
1.
Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya compos mentis, dapat mengenali dan
menjawab tentang keadaan sekelilingnya serta berkomunikasi dengan baik.
2.
Wajah
Pada klien terjadi ketegangan pada otot wajah karena merasa nyeri.
3.
Abdomen
Auskultasi: Bising usus mengalami penurunan.
Palpasi : merasakan nyeri saat dilakukan deep palpation pada area abdomen
bagian perut kanan bawah: nyeri pada bagian titik Mc Burney.Nyeri sering
terasa pada pasien, nyeri yang dirasakan adalah nyeri saat di tekan dan nyeri
saat dilepas.
4.
Range of Motion
Jika dilakukan pemeriksaan melalui Blumberg Sign pasien dengan
apendisitis bila dilakukan palpasi pada daerah perut kanan bawah bila
ditekan akan terasa nyeri bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri hal ini
adalah kunci dari apendisitis akut. Pemeriksaan melalui ROM (range of
motion) berlanjut dengan cara pemeriksaan PSOA’S Sign dengan tindakan
tungkai kanan dan paha ditekuk kuat atau tungkai diangkat tinggi-tinggi,
maka rasa nyeri diperut semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan
usus buntu semakin bertambah apabila dilakukan pemeriksaan dubur dan
vagina merasa nyeri juga. Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji
psoas sign akan positif dan tanda perangsangan peritoneum tidak begitu
jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga pelvis maka obturator sign
akan positif dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.
Obturator sign dilakukan dengan cara fleksi dan endorotasi sendi panggul.
 Pengkajian Fungsional Gordon
1. Pola Persepsi Kesehatan
Pola persepsi pasien bergantung pada nilai dan kepercayaan individu
terhadap kesehatan.(Health Belief)
2. Pola Nutrisi Metabolik
o Mual dan muntah
o Klien tidak nafsu makan
o Penurunan Berat badan >20% berat badan ideal
o Input dan output cairan pada pasien apendisitis tidak seimbang karena
pada cairan yang masuk kurang dari cairan yang keluar.
3. Pola Eliminasi
o Buang air kecil (BAK)
Adanya gangguan
o Buang air besar (BAB)
Sebagian pasien mengalami diare, namun bisa juga mengalami
konstipasi.
4. Pola aktivitas dan latihan
Pasien mengalami gangguan aktivitas, berjalan seperti menunduk
karena menahan nyeri. Lebih sering duduk atau berbaring, aktivitas
berjalan sangat terbatas. Pasien merasa lemas, lesu dan tidak enak badan.
5. Pola istirahat dan tidur
Pasien mengalami gangguan istirahat karena pasien dengan apendisitis
mengalami nyeri dan merasa cemas sehingga tidak dapat istrahat dengan
nyaman.

Diagnosa Keperawatan:

1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (mis. Terpotong, prosedur operasi)
Kreteria hasil
1. Tingkat nyeri
No Indicator SA ST

1. Keluhan nyeri 5

2. Gelisah 5

3. Kesulitan tidur 5

2. Control nyeri
No Indicator SA ST

1. Melaporkan nyeri terkontrol 5


Kemampuan mengenal onsep nyeri
2. Kemampuan mengenali penyebab nyeri 5

3. Kemampuan menggunakan tehnik non 5


farmakologis

Intervensi keperawatan
1. Menejemen nyeri
2. Pemantauan nyeri
3. Terapi relaksasi

Implementasi

1. Menejemen nyeri
Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri

Terapeutik

1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,


hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedaeck, terapi pijat, aromatrapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain)
2. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1. Memonitor nyeri secara mandiri
2. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
2. Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu

Diagnosa Keperawatan:
2. Resiko infeksi b.d ketidak adekuatan pertahanan tubuh sekunder ; suplai respon
inflamasi
Kreteria hasil
1. Tingkat infeksi
No Indikator SA ST
1. Kebersihan tangan 5
2. Kebersihan badan 5

3. Nafsu makan 5

2. Status nutrisi
No Indikator SA ST
1. Porsi amkan yang 5
dihabiskan
2. Nyeri abdomen 5

Intervensi keperawatan
1. Pencegahan infeksi
2. Pengaturan posisi
3. Menejemen imunisasi atau vaksinasi
Implementasi

1. Pencegahan infeksi
Observasi
1. monitor tanda dan gejala infeksi

Terapeutik

1. cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
2. pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
1. jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3. anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

Kolaborasi

1. kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

Diagnosa Keperawatan:
3. Intoleransi aktivitas b.d tirah baring
Kreteria hasil
1. Toleransi aktivitas
No Indicator SA ST

1. Frekuensi nadi 5

2. Kemudahan dalam 5
melakukan aktivitas sehari-
hari
3. Kecepatan berjalan 5

Intervensi
1. Terapi aktivitas
2. Edukasi latihan fisik

Implementasi

Observasi
1. Identifikasi defisit tingkat aktifitas
2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
3. Monitor respon emosional, fisik, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas

Terapeutik
1. Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang dialami
2. Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan
Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perluEdukasi
1. Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
2. Anjurkan melakukan aktivitas fisik,sosisal,spiritual, dan kognitif dalam mejaga
fungsi dan kesehatan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Dinoyo, Mulyanti Sri.2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Sistem


Pencernaan.Kencana : Jakarta

Kuncara,H.Y, dkk.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, EGC :
Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI

Anda mungkin juga menyukai