Anda di halaman 1dari 8

PERUBAHAN HUKUM DALAM

PANDANGAN IBNU QAYYIM

Abdi Wijaya
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Abstract:
The transformation of Islamic law is a necessity that must occur in
response to contemporary problems faced by society. The
transformation of Islamic law is closely linked to various factors
within the framework of Islamic law. These factors are mixed and
used as the theory of Ibn Qayyim to become an "icon". That is the
factor of the times, places, situations of intention and custom.
Keyword:
Islamic Law, transformation.

Abstrak:
Transformasi hukum Islam adalah sebuah keniscayaan yang harus
terjadi dalam merespon persoalan-persoalan kontemporer yang
dihadapai oleh masyarakat. Transformasi hukum Islam tersebut
sangat terkait dengan berbagai faktor yang berada dalam bingkai
hukum Islam. Faktor-faktor tersebut diramu dan dijadikan sebagai
teori Ibnu Qayyim menjadi sebuah “icon”. Yaitu faktor zaman,
tempat, situasi niat dan adat.
Keyword:
Hukum Islam , transformasi.

A. PENDAHULUAN

D
alam hukum Islam, ada dua kategori hukum Islam, yaitu hukum Islam yang
bersifat tetap dan yang bersifat elastis. Hukum Islam yang bersifat tetap
tersebut, tidak mengalami perubahan sepanjang masa. Kategori yang
bersifat tetap adalah biasanya hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdah.
Sedangkan hukum yang bersifat elastis biasanya mengalami tranformasi seiring
berubahnya zaman, kondisi dan kebiasaan-kebiasaan. Jenis hukum tersebut biasanya
yang berhubungan dengan masalah-masalah muamalah.
Dua jenis kategori hukum yang disebut di atas, Hukum yang bersifat elastis
yang banyak mendapat porsi jikia dibandingan dengan hukum yang bersifat tetap.

Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017 - 387


Abdi Wijaya

Bagi hukum yang bersifat elastis, maka penjabaran dan implementasi pronsip-
prinsip perlu dilakukan, sehingga hukum Islam tidak menjadi stagnan dan
senantiasa sesuai dengan perubahan masyarakat.
Terkat hal tersebut yang dikemukakan di atas, Ibnu Qayyim mengemukakan
bahwa transformasi hukum Islam senantiasa beriringan dengan transformasi tradisi.
Prinsip ini memberi posisi penting bagi tradisi sebagai pemegang kunci transformasi
hukum Islam. Artinya, jika terjadi perubahan tradisi itu akan diikuti oleh perubahan
hukum Islam.1 Dalam hal ini Ibn Qayyim mengajukan dua kasus transformatif untuk
mendukung pokok pikirannya, yaitu:
1. Transformasi hukum adsalah suatu tindakan berdasar makna tradisi, makna urf .
secara operasional prinsip ini dapat dicermati pada kasus transformasi
penetapan hukum pada suatu tindakan yang didasarkan pada arti tradisi.
Penetapan hukum suatu kasus yang berkaitan dengan pemikiran makna suatu
ungkapan yang berkaitan dengan pemakaian makna suatu ungkapan harus
didasarkan pada makna tradisi dan bukan pada makna leksikal.2
2. Transformasi hukum suatu kasus berdasarkan pada prilaku tradisi, Secara
operasional prinsip ini dapat dicermati pada kasus transformasi penetapan
hukum suatu tindakan dan prilaku yang didasarkan pada prilaku dan tindakan.
Penetapan hukum tentang prilaku yang sudah mentradisi harus didasarkan
pada rasa keadilan hukum tradisi, selagi panduan syar’i dalam keadaan netral
dan vakum.3
Jika dikaji secara umum, pemikiran hukum Islam di atas, secara representatif
mendukung prinsip tradisi sebagai kunci penyebab transformasi hukum Islam.
Secara sosiologis, tradisi atau adat istiadat merupakan bentuk kontrol sosial tertua.
Tradisi merupakan seperangkat prosedur yang muncul secara bertahap dari generasi
ke generasi lainnya sampai terjadinya keyakinan sosial. 4. Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa tradisi merupakan salah satu variabel bagi terjadinya perubahan
hukum.
Perubahan hukum sebagai suatu kemestian dalam sistem hukum Islam harus
dipahami secara proporsional. Dikatakan demikian karena proporsionalitas
perubahan hukum akan menempatkan setiap permasalahan secara tepat dan benar.
Hal ini penting karena tanpa proporsionalitas, bisa saja perubahan hukum yang
dilakukan akan tercabut dari akarnya.

1
Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam dan Peubahan Sosial: Sebuah Refleksi Sosiologis Atas
Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah (Surakarta: Muhammadiyah University Press,. 2003), h. 90.
2
Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam dan Peubahan Sosial: Sebuah Refleksi Sosiologis Atas
Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah,h. 90.
3
Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam dan Peubahan Sosial: Sebuah Refleksi Sosiologis Atas
Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah,h. 90.
4
Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam dan Peubahan Sosial: Sebuah Refleksi Sosiologis Atas
Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah, 91.

388 - Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017


Perubahan Hukum dalam Pandangan Ibnu Qayyim

B. PEMBAHASAN
Biografi Ibnu Qayyim
Ibnu Qayyim bernama lengkap Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin
Abu Bakar bin Ayyub bin Saad al-Dimasyqi al-Jauziyah. Ia dilahirkan pada tahun
691 H bertepatan 1292 M dan wafat pada tahun 751 H beretepatan dengan tahun
1350 M. Ia seorang ahli fikih dan seorang mujtahid Hambali.
Ibn Qayyim belajar pada Ali Shihab an-Nablisi al-Qabir dan kepada ulama-
ulama lainnya.Gurunya yang paling berpengaruh adalah Inbu Tamiyah. Walaupun
demikian ia tidak jarang berbeda pendapat dengan gurunya bila menurutnya
sesuatu itu benar dan jelas dalilnya. Ilmu yang ia peroleh diajarkan pula kepada
muridnya, seeperti Inbu Katsir, Zainuddin Abu alFariz Abdurrahman, Syamsuddin
Muhammad bin Abd.Qahhar al-Nablisi, Ibn al-Hadi dan lain-lainnya. Ibnu Qayyim
pernah masuk penjara bersama gurunya,ibnu Taimiyah. Ia dimasukkan ke penjara
karena mengharamkan berhaji ke masjid Ibrahim.
Ibnu Qayyim terkenal perpegang teguh dan membela kemurnian Alquran dan
hadis. Ia jiuga dikenal sebagai penentang paham sufi yang menurutnya bertentangan
dengan Alquran dan hadis, misalnya wihdatul wujud, ittihad maupun hulul. Paham-
paham tersebut menurutnya lebih banyak menggunakan akal karena tidak jelas
sumber rujukannya. Pendapatnya cukup tegas karena tidak saja bersifat kritis
terhadap berbagai aliran tersebut, bahkan juga terjadi perbedaan pendapat dengan
ulama fikih mazhab Hambali.5
Dalam dunia tulis menulis, ia dikenal sebagai penulis yang produktif, hal
tersebut dapat dilihat dengan karya-karyanya, diantaranya yang berkaitan dengan
tauhid yaitu; Syifa al-Alil fi masail al Qadha wa al-Qadr, ar-Ruh, dan lain-lainnya. Dalam
kitab-kitab fikih karya yang dihasilkan oleh ibnu Qayyim diantaranya I’lam al-
Muwaqqi’in, Bayan al-Dalil ala Istiqna al-Musabaqat an at-Tahlil dan lain-lain. Selain
kitab-kitab yang telah disebutkan sebelumnya, Ibnu Qayyim juga menulis buku
tasawwuf dan sejarah, diantara buku-buku tersebut adalah Iddat Sabirin dan al-
Fawaid, akhbar al-Nisa dan Zaad al-Ma-ad dan lain-lain.
Ibnu Qayyim dan Teori Perubahan Hukumnya
Perubahan hukum dalam pandangan Ibnu Qayyim yaitu perubahan hukum
dapat saja terjadi sebagaimana fatwa selalu mengalami perubahan. Perubahan
hukum sesungguhnya, bukan saja yang dilakukan oleh Ibnu Qayyim, akan tetapi
perubahan hukum telah pernah dilakukan oleh Imam Syafi-i dengan konsep
perubahan hukumya yaitu Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Dengan demikian
perubahan hukum dalam bentuk fatwa telah menjadi tradisi sejak dulu yang
dilakukan oleh para fukaha sampai saat ini. Dan hai ini merupakan tugas yang harus
dilakukan oleh para fukaha dan pemikir hukum Islam agar supaya hukum Islam
tetap eksis dan mampu mengakomodir segala permasalahan yang selalu dinamis.

5
Abdillah F. Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam (Cet. I; Surabaya; Jawara,n 20040, H. 227.

Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017 - 389


Abdi Wijaya

Dalam bukunya, I’lam al-Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim mengemukakan teorinya


yaitu; Terjadinya perubahan fatwa dan terjadinya perbedaan hukum disebabakan
adanya faktor tempat, situasi, niat dan adat.6 Dalam pandangan Ibnu Qayyim bahwa
adanya perubahan dan perbedaan hukum pada dasarnya merujuk kepada esensi
syariat Islam yang senanatiasa berasaskan kemaslahatan manusia. Syariat tersebut
bertujuan mewujudkan suatu keadilan hukum, kemaslahatan, dan kebajikan. Setiap
masalah yang yang tidak memenuhi asas keadilan sesungguhnya bertentangan
dengan syariat Islam.7
Adapun teori perubahan hukum yang diajukan oleh Ibnu Qayyim sebagai
berikut;
a. Faktor Zaman
Terkai dengan faktor ini, Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa ketika Nabi
Saw melihat kemungkaran di Mekah, kemungkaran tersebut tidak dapat diubahnya,
akan tetapi setelah Fathul Makkah dan umat Islam meraih kemenangan, maka segala
kemungkaran dapat diubah.8, Hal tersebut memberikan indikasi bahwa perubahan
hukum sangat dipengaruhi oleh zaman. Mencegah kemungkaran adalah kewajiban
umat Islam. Akan tetapi Mekah pada saat itu belum memungkinkan, maka nanti
setelah Fathul Makkah umat Islam mampu melakukan perubahan terhadap
kemungkaran sehingga kemungkaran tersebut dapat dikendalikan dengan baik.
Pada awal kedatangan Islam, harus diakui bahwa masyarakat Mekah mereka
berada pada zaman jahiliyah, kemungkaran dan segala tindak kriminal yang ada
pada saat itu sangat tidak meresahkan masyarakat. Dalam kondisi demikian, hukum
Islam tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan, akan tetapi melalui tahapan dan
proses yang panjang. Dengan kata lain dibutuhkan sebuah proses gradual dan
dibutuhkan kehati-hatian yang ekstra, sebab jika hukum Islam dipaksakan akan
menjadi kontraproduktif dalam mengembangkan misa Islam pada saat itu. Contoh
yang bisa digambarkan yaitu proses pengharaman khamar yang tidak secara
langsung diharamkan akan tetapi ia secara gradual.9
b. Faktor Tempat
Dalam penjelasan tentang tempat, Ibnu Qayim melarang memotong tangan
musuh dalam medan perang. Pelarangan tersebut dilakukan dengan alasan bahwa
peperangan tersebut terjadi di wilayah musuh.10. Hal ini memberikan indikasi bahwa
pemberlakuan hukumIslam tidak harus dipaksakan pada wilayah yang lain. Dalam
uraian yang lain disebutkan bahwa Nabi Saw pernah mewajibkan zakat fitrah
berdasarkan makanan pokok dari penduduk setempat. Nabi Saw mentapkan zakat
fitrah berupa satu gantang kurma atau satu gantang gandum atau satu gantang

6
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 14.
7
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, h. 2.
8
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, 16.
9
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, 2.
10
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, h.2.

390 - Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017


Perubahan Hukum dalam Pandangan Ibnu Qayyim

anggur bagi penduduk kota Madinah. Hal tersebut ditetapkan oleh Nabi Saw
berdasarkan bahwa jenis makanan yang telah disebutkan merupakan makanan
pokok bagi penduduk Madinah.
Adapun penduduk kota lainnya yang makanan pokoknya selain yang telah
disebutkan sebelumnya, maka kewaqjiban penduduk yang ada di kota tersebut
untuk mengeluarkan zakatnya berdasarkan makanan pokok yang mereka konsumsi.
Seabagaimana jika suatu daerah makanan pokok tersebut berupa jagung atau beras
atau buah tin atau yang lainnya berupa biji-bijian, maka kewajiban bagi
penduduknya untuk mengeluarkan zakatnya dari jenis makanan utamanya.
Demikian halnya jika yang menjadi makanan pokok suatu daerah adalah daging,
susu, ikan , maka zakat fitrahnya yang wajib dikeluarkan adalah sesuai dengan
makanan pokok tersebut di suatu daerah.11
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut Ibnu Qayyim
diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok apa saja sesuai
apa yang berlaku pada sebuah masyarakat tersebut. Makanan pokok masyarakat
Mekkah seperti gandum ketika itu, berbeda dengan makanan pokok bangsa yang
lain.
c. Faktor Situasi
Dalam sejarah dikemukakan, Umar bin al-Khattab tidak memberlakukan
hukum potong tangan terhadap seorang pencuri pada masa paceklik.12 Pernyataan
ini dikemukakan Ibnu Qayyim dalam bukunya. Senada dengan hal tersebut,
menurut Abbas Mahmud Akkad lebih lanjut menyatakan bahwa tindakan Umar
tersebut yang tidak menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pencurian tersebut,
pada dasarnya tidak meninggalkan nash karena pelaku tersebut melakukannya
secara terpaksa sebagai bagian dari tuntutan kelangsungan hidup dan keselamatan
dari bencan kelaparan. Dewngan demikian, pelaku pencurian dianggap sebagai
orang yang tidak melakukan dosa dengan perbuatannya tersebut.13
Perbuatan mencuri adalah perbuatan yang dilarang oleh syariat, akan tetapi
perbuatan tersebut dapat ditoleransi ketika jika akan meninggal tanpa makan dan
hanya satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup dengan cara ia mencuri hanya
sekedar memenuhi makan. Karena perbuatan yang dilakukannya dalam rangka
menjaga jiwa yang merupakan salah satu unsur maqasid al-Syari’ah . Demikian halnya
dalam kaidah usul disebutka bahwa siuasi emergensi membolehkan yang dilarang
yang dibuat ulama sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum.
d. Faktor Niat
Terkait dengan niat, niat adalah sengaja untuk melakukan sesuatu yang disertai
dengan perbuatan.14 Terkait perubahan hukum dengan masalah niat, Ibnu Qayyim
11
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, 9-10.
12
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, 16.
13
Abbas Mahmud Akkad, al-Tafkir Faridah Islamiahi, (Kairo: Nahdah Masri, t.th.), 100
14
Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-salam min Adillat al-Ahkam (Bairut: Dar- al-Fikr, 1979), h. 26.

Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017 - 391


Abdi Wijaya

mengangkat kasus pada peristiwa ketika suami mengatakan kepada istrinya jika
aku mengizinkanmu keluar menuju kamar mandi, maka jatulah talakmu. Oleh
karena sesuatu dan lain hal, istrinya membutuhkan kamar mandi tersebut, maka
berkatah suaminya “keluarlah”.15Oleh sebahagian masyarakat menganggap bahwa
jatulah talak bagi si istri hanya dengan kata “keluarlah”. Si suami kemudian
mempertanyakan hal tersebut kepada seorang mufti. Jawaban mufti menegaskan
bahwa talak telah jatuh kepada si istri dengan perkataan “keluarlah” dari si suami.16
Uraian di atas, menurut Ibnu Qayyim dianggap suatu hal yang bodoh karena
kata “keluar” bukan dimaksudkan oleh suami sebagai izin. Tindakan mufti yang
menceraikan suami dari istrinya tersebut adalah hal yang tidak diizinkan oleh Allah
Swt. dan Nabi Swa, demikian juga tidak dibolehkan oleh para imam.17
Kasus yang dihadapi diatas oleh Ibnu Qayyim merupakan gambaran hukum
bahwa ketetapan hukum tidak boleh mengindahkan niat dari pelaku hukum. Hal
tersebut menunjukkan bahwa posisi niat dalam sistem hukum Islam menempati
kedudukan penting yang mampu merubah suatu hukum yang telah ditetapkan.
e. Faktor Adat
Menurut Ibnu Qayyim faktor adat sama halnya dengan urf yang teramsuk
salah satu faktor dapat merubah hukum. Dicontohkan dengan orang yang
bersumpah untuk tidak mengendarai “dabbah” Dimana di daerah tersebut kata
“dabbah” sesuai dengan urf/adat yang berlaku diartikan keledai. Oleh karena itu,
sumpahnya hanya berlaku untuk mengendarai hewan yang bernama keledai.
Adapun jika orang tersebut mengendarai kuda atau onta, maka tidak ada
konsekuensi hukum baginya.18 Demikian juga sebaliknya, jika yang dimaksud:
”dabbah” sesuai dengan adat/urf pada daerah lainnya adalah kuda, maka sumpahnya
tersebut hanya berlaku untuk hewan kendaraan yang bernama kuda. Hal tersebut
memberi indikasi bahwa perubahan hukum selalu memperimbangkan adat/urf
suatu daerah.
Bahkan lebih jauh menurut Ibnu Qayyim, jika sesorang mendatangimu dari
daerah yang berlainan denganmu meminta keputusan hukum, maka tanyakanlah
tentang adat/urf yang berlaku di daerahnya dab berilah keputusan hukum
berdasarkan adat/urf yang berlaku di daerahnya, bukan berdasarkan adat/urf yang
berlaku di daerahmu.19. Demikian juga halnya seorang mufti tidak dibolehkan
mengeluarkan fatwa berdasarkan adat/urf yang terjadi pada masa yang
lalu.20Dengan uraian teori perubahan hukum yang terkait dengan adat tersebut,
maka seorang penegak hukum hendaknya selalu mempertimbangkan faktor-faktor

Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, h. 44.
15
16
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, 44.
17
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, h. 44.
18
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III, h. 43.
19
Muhammah Said al-Asmawi, Jauhar al Islam (Cet. III; Kairo: Sina, 1993), h. 29.
20
Nadiyah Syarif al-Umri, Ijtihad fi al-Islami: Usuluhu, aahkamuhu, afatuhu (Cet.I; Bairut; Muassasah
al-Risalah, 2001), h. 246.

392 - Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017


Perubahan Hukum dalam Pandangan Ibnu Qayyim

yang mempengeruhi penetapan suatu hukum. Hal ini juga berarti bahwa seorang
mufti, pembuat dan penegak hukum harus berwawasan luas dan mengetahui aspek-
aspek yang berpengarug dalam penetapan hukum. Dalam konteks tersebut dapat
dipahami bahwa perubahan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu
Qayyim, pada dasaranya berbasis pada realitaskehidupan masyarakat yang
senantiasa berubah-ubah. Setiap masa- dari generasi ke generasi tidak sama dengna
masa yang dihadapi oleh generasi sebelum dan setelahnya, sehingga perubahan
hukum tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, perubahan hukum sejalan dengna misi
ajaran Islam yang senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi masyrakat. Esensi
perubahan hukum Islam, pada dasarnya inheren dengan permaslahan kontemporer
yang dihadapi oleh masyarakat. Persoalan yang dihadapi masyarakat mengalami
perbedaan sesuai dengan perbedaan zaman, tempat kondisi yang berbeda. Dengan
demikian, diperlukan suatu usaha yang maksimal dalam rangka meyelaraskan
realitas kehidupan dengan hukum Islam yang bersumber dari nash Alquran dan
hadis. Selain berlandaskan kedua sumber tersebut, pintu ijtihad21 senantiasa dibuka
untuk mengakomodir permaslah-permasalan kontemporer yang selalu dinamais dan
membutuh solusi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah
permaslahan-permasalahan yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi, Sahabat dan
tabi’in, sehingga perubahan hukum pun mutlak terjadi. Permasalahan-permaslahan
tersebut perlu direspon dan diberikan solusi. Ibnu Qayyim hadir dengan
menawarkan bagunan epistimologinya yaitu bahwa setiap permaslahan hukum
harus dibicarakan atau ditetapkan berdasarkan konteksnya. Maksudnya bahwa
perbedaan hukum dan perubahan hukum Islam adalah masalah yang logis dan tidak
perlu diperdebatkan. Ia beralasan bahwa jika perubahan hukum harus berbasis pada
realitas kehidupan sosial masyarakat.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan dan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa suatu keniscayaan bagi Ibnu Qayyim yaitu terjadinya transformasi dan
perbedaan dalam hukum Islam, sehingga hukum Islam mampu beradaptasi dan
terhadap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta mampu merespon
permasalahan-permasalahn kontemporer.

21
Konsep ijtihad dalam terminologi ahli usul fikih adalah mengeluarkan segala potensi yang dimilikinya
dalam hal ini seorang mujtahid untuk mengeksplorasi hukum-hukum syariat dengan cara penetapan hukum,
Lihat Abd. Karim Zaedan, al-Wajiz fi Usul al-Fighi (Cet. II; Bairut: Muassasah al-Risalah, 1987), h. 401. Dan
Muhammad Faraj Salim, Wafiz fi Usul al-Fighi (Cet. II; Kairo: al-Iman, 1965), h. 291.

Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017 - 393


Abdi Wijaya

Daftar Pustaka

Abd. Karim, al-Wajiz fi Usul al-Fighi (Cet. II; Bairut: Muassasah al-Risalah, 1987.
Abdillah, Mujiono. Dialektika Hukum Islam dan Peubahan Sosial: Sebuah Refleksi
Sosiologis Atas Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah (Surakarta: Muhammadiyah
University Press,. 2003.
Akkad, Abbas Mahmud.. al-Tafkir Faridah Islamiahi, (Kairo: Nahdah Masri, t.th..
al-Asmawi, Muhammah Said Jauhar al Islam .Cet. III; Kairo: Sina, 1993.
Hasan, Abdillah F.. Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.Cet. I; Surabaya; Jawara,n 2004.
al-Kahlani, Muhammad Ismail. Subul al-salam min Adillat al-Ahkam. Bairut: Dar- al-
Fikr, 1979.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al Muawaqqiin ‘an al-Alamin , Juz III. Bairut: Dar al-
Fikr, t.th.
al-Umri, Nadiyah Syarif. Ijtihad fi al-Islami: Usuluhu, aahkamuhu, afatuhu. Cet.I; Bairut;
Muassasah al-Risalah, 2001.
Zaedan Muhammad Faraj Salim. Wafiz fi Usul al-Fighi. Cet. II; Kairo: al-Iman, 1965.

394 - Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai