Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah periodisai hadits mengalami masa yang lebih panjang
dibandingkan dengan yang dialami Al Qur’an, yang hanya memerlukan waktu
relatif pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan pengkondifikasian
hadits memerlukan waktu sekitar tiga abad.
Yang dinamakan periodisasi penghimpunan hadits disini adalah:”fase-fase
yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan
hadits, sejak Rosulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang
dapat disampaikan pada masa ini.
Para ulama’dan ahli hadits, secara bervariasi membagi periodisasi
penghimpunan dan pengkondifikasian Hadits tersebut berdasarkan perbedaan
pengelompokan data sejarah yang mereka miliki, serta tujuan yang hendak mereka
capai.
Membicarakan sejarah petumbuhan dan perkembangan hadits yang
bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah
SAW. Kemudian secara periodik pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-
masa berikutnya.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits ini
diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat islam, khususnya para
ulama ahli hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka
pada tiap-tiap periodenya hingga terwujudnya kitab-kitab hasil tadwin secara
sempurna. Karena perjalanan hadits pada tiap-tiap periodenya mengalami
berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama, maka dalam pengungkapan
sejarah perjalanan perlu dikemukakan ciri-ciri khusus.
Di anatar para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodisasi
pertumbuhan dan perkembangan hadits ini. Ada yang membaginya dalam tiga
periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-
an dan masalah setelah tadwin.

1
Namun yang akan diuraikan secara khusus pada bahasan ini adalah masa
Rasulullah SAW, masa sahabat , masa tabi’in.
Apabila membicarakan pada masa Rasulullah SAW, berarti membicarakan
hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan
langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. Sebagai sumber hadits.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT, kepada Rasulullah SAW disaksikan
oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.
Pada masa Rasulullah SAW ini merupakan contoh sati-satunya bagi para sahabat,
karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT
yang berbeda dengan manusia lainnya.

B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu
antara lain :
1. Pengertian Hadits
2. Sejarah Pertumbuhan hadits pada masa Rasulullah Saw
3. Sejarah Pertumbuhan hadits pada masa Sahabat
4. Sejarah Pertumbuhan hadits pada masa Tabi’in

C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui pengertian Hadits.
2. Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadits pada masa Rasulullah
SAW.
3. Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadits pada masa sahabat.
4. Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadits pada masa tabi’in.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan".
Dalam terminologi Islamistilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah
pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya
(Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai
Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini
semakna dengan sunnah.

B. Hadits pada masa Rasulullah Saw


Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini
merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wujudkannya hadits.
Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehatian-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskan melalui
perkataan (aqwal), perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa
yang didengar, dilihat dan di saksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka. Rasul Saw merupakan contoh satu-satunya bagi
para sahabat , karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul
Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadits dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu
telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya
ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak Hadits
Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-
sunnah.
A. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadits
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan
masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh

3
hadits dari Rasul Saw sebagai sumber hadits. Antara Rasul Saw dengan
mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit
pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw
sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya.
Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada
protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang
tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala
beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah dan
berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di
dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga
seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat.
Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua
perkataan, perbuatan,dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan
para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara
proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka
tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka
mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan ini sendiri
dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak
sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan
Rasulullah Saw cukup bervariasi, seperti di mesjid, rumahnya sendiri, pasar,
ketika dalam Perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadits,
yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para
sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan
serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).

4
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk
tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan
haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin
mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara Rasul SAW menyampaikan
hadits kepada ara sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di
sebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak
peluang untuk menerima Hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan
oleh Nabi SAw.
Para sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di
majlis ini , ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara
mereka bergantian hadir , seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia
sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk
menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau hari ini
aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku
melakukannya”. Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah
mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada
suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan
haidisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadits ,
para sahabat yang datang hanya beberapa orang saja, baik karena di sengaja
oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya
beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadits-hadits yang di
tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal
keluarga dan kebetulan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami
istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat ,jika
ada hal-ahal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada
Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.

5
Ketiga , cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah
atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, di
antaranya ialah ; a) karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat
yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang ; b)
ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang
dilihat dan di alaminya sendiri; c) bermaksud meluruskan akidah yang salah
atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.

B. Cara-Cara Sahabat Menerima Hadits Dari Rasulullah SAW


Apabila para shahabi berkata yang artinya:
“ saya mendengar Rasul SAW”
Atau
“ Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
Atau
“ Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
Atau
“ Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
Atau
“Aku lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi
Hujjah; karena terang bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi
SAW:
Apabila seseorang shahabi membawa lafadhnya yang memungkinkan
ada perantaraan, seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah SAW”
Atau
“Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW telah menegah”
“ Rasulullah SAW telah memutuskan”
Maka menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah , baik perawi
itu sahabat kecil ataupu shahabi besar , kerena menurut Dhahair Shahabi itu
meriwayatkan dari Nabi SAW jika di takdirkan ada perantaraan maka hadits
tersebut menjadi Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah juga menurut Jumhur.

6
Apabila Shahabi berkata:
“ kami diperintahkan begini”
Atau
“ kami di larang yang demikian “
Maka menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut
dhahir, yang memerintah dan menegah itu adalah Nabi SAW sendiri.
Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al Juwaini, Al Karakhi, mengatakan
bahwa “ yang demikian itu tidak menjadi Hujjah, kerena mungkin yang
menyuruh dan menegah itu, bukan Nabi, tetapi sebagian Khalifah.
Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan, bahwa sebagian ulama membedakan
antara sahabat-sahabat besar, seperti: Khalifah Empat, Ulama-ulama Sahabat,
seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Anas ibn Malik, Abi
Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara lain mereka.

C. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits


Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan
hadits. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal
ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal
kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal
kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena
berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul
Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak
menerima hadits dari Rasul Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu
antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang
mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman
Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud . mereka banyak
menerima Hadits dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari
sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan
Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw

7
daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak
yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga
menuliskan hadits-hadits yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-
‘Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi
banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh,
seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup
lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas
ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.

D. Menghafal dan Menulis Hadits


1. Menghafal Hadits
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an
dan hadits, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan
yang berbeda. Terhadap al-Quran ia secara resmi menginstruksikan kepada
sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang terhadap hadits ia hanya
menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam hal ini
ia bersabda yang artinya :
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa
telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan
saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa
berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat
duduknya di neraka”. (HR Muslim).

Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat untuk menulis


hadits, salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam
catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak sengaja. Oleh
karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits, beliau khawatir sabda-
sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.
Maka segala hadits yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat
diingatkan secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir

8
dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di
terimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para
sahabat dalam kegiatan menghafal hadits ini. Petama, karena kegiatan
menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah di warisinya sejak
praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak
memberikan spirit melalui doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan
kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya
kepada orang lain.

2. Menulis Hadits
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadits Abu Sa’id Al-
Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-
catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits dan memiliki catatan-
catatannya, ialah:
a) Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadits yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-
sahifah al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-
orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena sikapnya yang
selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau
tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang
bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya
kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan yang
artinya:
“tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang
keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits,
yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika
mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
b) Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan
Hadits dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadits-haditsnya kemudian
diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengansahifah Jabir.

9
c) Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadits yang dikenal
dengan Al- Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada
anaknya bernama Hammam.
d) Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia
meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadits yang disampaikannya ketika
pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya
pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap
salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda yang
artinya:
“kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat
lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadits dan di benarkan Rasul
SAW . seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu
Mas’ud.

C. Hadits Pada Masa Sahabat


Periode kedua sejarah pertumbuhan hadits adalah pada masa sahabat,
khususnya masa khulafah’ Al- Rasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman
Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib ) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai
dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadits belum begitu
berkembang , dan kelihataanya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini
oleh para ulama di anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan
kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadits serta
mengajarkannya kepada orang lain . sebagaimana sabdanya yang artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah
berperang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-
Hadits)”. (HR. Malik)

10
Dan sabdanya pula:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat /satu Hadits”.
Pesan-pesan Rasulullah SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada
para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada
Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang di contohkannya.

2. Berhati-hati Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadits


Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada
usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-
Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha
pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga
melahirkanMushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf
Al-Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah,
Syiria dan Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak
berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadits. Mereka
memegang hadits seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara
utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para
sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang
padahal mereka sadari bahwa hadits merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-
Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh
karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu
Ubaidah berusaha memperketat periwayatandan penerimaan hadits.
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya
dalam memelihara hadits. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat
yang pertama kali menerima hadits dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn
Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu
Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu
tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadits. Al-Mughirah
menyebutkan bahwa, Rasul SAW memberinya seperenam. Abu Bakar

11
kemudian meminta supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih dahulu baru
kemudian Haditsnya diterima.
Setelah rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para
sahabat. Kepada mereka ia berkata:”kalian meriwayatkan hadits-hadits Rasul
SAW yang diperselisihkan orang-orang setelah kalian akan lebih banyak
berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan Hadits (tersebut).
Sikap kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu
Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadits.
Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali iapun menerima periwayatan
tanpa Syahid dari orang tertentu, seperti hadits-hadits dari Aisyah. Sikap
kedua sahabat juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di
atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.

3. Periwayatan Hadits dengan Lafaz dan Makna


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits ,yang di
tunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya , tidak berarti
hadits-hadits Rasul tidak diriwayatkan.dalam batas-batas tertentu hadits-hadits
itu diriwayatkan,khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
masyarakat sehari-harinya, seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah.
Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadits
tersebutdan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasul
SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzy (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi
(makna saja).

a. Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah
periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang
diwurudkan Rasul SAW ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar
apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini.
Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari

12
Rasulullah SAW bukan menurut redaksi mereka. Diantara para sahabat yang
paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan jalan lafzhi adalah Ibnu
Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda
(walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya terhadap Ubaid ibn amir.
Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits tentang Lima prinsip dasar
islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar
serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana
yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

b. Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam
keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul
SAW, boleh meriwayatkan hadits secara maknawi. Periwayatan maknawi
artinya periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan
yang didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa
ada perubahan sedikitpun.

D. Hadits pada masa tabi’in


Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak
berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun
mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan
yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada
masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha
yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya
masa Kekhalifaan Usman para sahabat ahli hadits menyebar kebeberapa wilayah
kekuasaan islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelajari hadits.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam
sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol,
disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan
pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-
daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadits (istisydar al-riwayah ila al-amshdar).

13
1. Pusat-pusat Pembinaan Hadits
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan
hadits, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadits. Kota-kota
tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan
Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits
pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits cukup
banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik,
Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya
perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn
Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan
terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah,
Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga
kelompok tersebut).
Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti di atas, cukup
memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh
yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits-hadits
palsu pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yang
(Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masung
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun ndorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadits, sebagai
upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pengertian Hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits
adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW baik ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang di syariatkan kepada manusia .
Para sahabat menerima hadits (Syari’at) dari Rasul SAW ada kala langsung
dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik
karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi SAW
menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala
tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima
dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka
sendiri malu untuk bertanya, selain pada masa Rasulullah pertumbuhan hadits
juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah dan pada masa tabi’in, yang bertujuan
untuk menjaga hadits Rasulullah yang merupakan sumber ajaran agama ke dua
setelah Al-qur’an.

B. Saran
Sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadits sebagai sunah Rasul
SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam, selain itu
kitapun harus mengetahui asal muasal petumbuhan dan perkembagan hadits dari
zaman Rasulullah SAW sampai munculnya ilmu hadits, Agar kita juga dapat
mengetahu bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadits ini, dari zaman
Rasulullah sampai masa Tabi’in seperti yang di bahas dalam makalah ini.

15
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman
dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini saya
akan membahas mengenai “Sejarah Pertumbuhan Hadits” dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil referensi pengetahuan penulis.
Dan juga berkat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak yang alhamdulillah
penyusunann makalah ini dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada dosen mata kuliah
Ilmu Hadist..
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun untuk perbaikan penyusunan kedepannya.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Amiin.

Malangbong, September 2015

Penulis

i 16
DAFTAR ISI

Hal.
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................
C. Tujuan .......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits ......................................................................
B. Hadits Pada Masa Rasulullah saw ............................................
C. Hadits Pada Masa Sahabat/Khulafaur Rasyidin .......................
D. Hadist Pada Masa Tabi’in .........................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

ii 17
DAFTAR PUSTAKA

Syahraeni, “Kritik sanad dalam perspektif Sejarah” (Alauddin, samata 2011),


Penerbit: Bulan Bintang.

M. Hasbi Ash Shiddieqy “Sejarah dan pengantar ilmu Hadits” (Yogyakarta


1953), Penerbit: Bulan Bintang

Muhammad Jamal Al- Din Al- Qasimi , “Qawa’id Al- Tahdits min Funun
Musthalah Al- Hadits” ,(Beirut: Dar Al- kutub Al- Ilmiayah, 1979),

18
PERKEMBANGAN HADITS
PADA MASA RASULULLAH SAW,
SAHABAT/KHULAFAUR RASYIDIN DAN TABI’IN

Disusun untuk memenuhi salah satu


Tugas mata kuliah Ilmu Hadits

Disusun oleh :

Nama : Aneng Fauziyah


NIM :-
Jurusan : PG PAUD

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


SABILI
BANDUNG

19

Anda mungkin juga menyukai