Anda di halaman 1dari 36

IMUNITAS SELULER

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Imunologi
Yang dibina oleh Dr. Sri Rahayu Lestari, M.Si

Oleh :
Kelompok 5 /Offering GHI-K 2016
Dymas Ambarwati (160342606289)
Riris Novia Azemi (160342606286)
Sumardi (160342606238)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Oktober 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunitas seluler merupakan respon imun adaptif yang utamanya bermeditasi
dengan limfosit yang diturunkan dari kelenjar timus, yang dikenal sebagai sel T.
Fungsi utama sistem imun seluler adalah pertahan terhadap bakteri, virus, jamur dan
keganasan di intra seluler. Terdapat dua jenis sel T yaitu sel T helper (Th) dan sel T
killer. Sel T sangat penting dalam respon imun, hal ini dikarenakan mampu
memaksimalkan sistem kekebalan tubuh. Sel T helper (Th) tidak menghancurkan sel
yang terinfeksi atau pathogen, melainkan mampu mengaktifkan dan mengarahkan
sel-sel lain untuk melawan. Peran utama sel T helper (Th) adalah untuk menstimulasi
sel B dalam melakukan sekresi antibody, untuk mengaktifkan fagosit, untuk
mengaktifkan sel T killer. Istilah lain untuk sel T helper adalah CD4+ karena mampu
mengekspresikan protein CD4. Sel T helper masih dibagi lagi berdasarkan sitokin
yang disekresikan setelah menemukan pathogen. Sel T helper 1 mengeluarkan banyak
tipe sitokinin yang berbeda-beda, diantaranya adalah interferon-ℽ (IFN-ℽ),
interleukin-2 (IL-2) dan interleukin-12 (IL-12). IFN- ℽ memiliki banyak efek dalam
aktivasi makrofag untuk mengatasi bakteri dan parasite intraseluler (Nauta, 2011).
Respon sel T dibagi menjadi tiga tahap utama yaitu aktivasi, diferensiasi, dan
pembentukan memori. Limfosit T Naive (T0) mengenali antigen di organ limfoid
perifer (sekunder), yang mengawali proliferasi sel T dan diferensiasinya ke dalam sel
efektor dan memori, dan sel efektor melakukan fungsinya ketika diaktifkan oleh
antigen yang sama di jaringan perifer atau organ limfoid. Sel T naive (T0)
mengekspresikan reseptor antigen dan co-receptors yang berfungsi untuk mengenali
sel yang ada mikrobanya, namun sel-sel ini tidak berperan sebagai efektor yang
diperlukan untuk menghilangkan mikroba. Sel efektor yang dibedakan mampu
melakukan fungsi-fungsi ini, yang mereka lakukan di organ limfoid dan di jaringan
perifer, nonlymphoid. Tanggapan limfosit T naive (T0) terhadap antigen mikroba
yang terkait sel terdiri dari rangkaian langkah sekuensial yang menghasilkan
peningkatan jumlah sel T antigen-spesifik dan konversi sel T naive (T0) ke sel efektor
dan memori (Abbas et al., 2016).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tahapan dari respon sel T
2. Untuk mengetahui pengenalan antigen dan kostimulasi
3. Untuk mengetahui jalur biokimia aktivasi sel T
4. Untuk mengetahui respon fungsional dari limfosit T terhadap antigen dan
kostimulasi
5. Untuk mengetahui migrasi dari limfosit T dalam reaksi imun yang dimediasi
sel
BAB II
PEMBAHASAN

Limfosit T selain memiliki peran utama dalam imunitas seluler yang


memberikan pertahanan terhadap infeksi, limfosit T juga dapat melawan adanya
infeksi oleh berbagai jenis mikroba intraseluler. Limfosit T juga memainkan peran
penting dalam pertahanan terhadap mikroba yang mereplikasi sel luar, termasuk
beberapa jenis bakteri, jamur, dan parasit cacing. Beberapa sel T menginduksi respon
inflamasi yang kaya akan leukosit dengan sifat aktif yang sangat efisien dalam
membunuh mikroba ekstraseluler. Pada beberapa jenis infeksi, mikroba dapat
menemukan tempat berlindung di dalam sel, dimana mereka harus dihilangkan oleh
cell-mediated immune responses (Abbas et al., 2016).

Gambar 2.1. Jenis mikroba intraseluler yang dilawan oleh imunitas yang dimediasi sel
T (Abbas et al., 2016).

A. Mikroba dapat difagosit oleh cell-mediated immune response dan dapat bertahan
hidup dalam vesikula (fagolisoma) atau melarikan diri ke sitosol, di mana mereka
tidak rentan terhadap mekanisme mikrobisidal fagosit.
B. Virus dapat menginfeksi banyak tipe sel, termasuk sel nonfagositik, dan
bereplikasi di nukleus dan sitosol sel yang terinfeksi. Misalnya Rickettsiae dan
beberapa protozoa adalah parasit intraseluler obligat yang berada di sel non-
fagositik.

1. Tahapan dari Respon Sel T


Respon sel T dibagi menjadi tiga tahap utama yaitu aktivasi, diferensiasi, dan
pembentukan memori. Limfosit T naif (T0) mengenali antigen pada organ limfoid
perifer (sekunder), yang mengawali proliferasi sel T dan diferensiasinya menjadi
efektor dan sel memori, dan sel efektor menjalankan fungsinya ketika diaktifkan oleh
antigen yang sama di jaringan perifer atau limfoid yang dapat dilihat pada (Gambar
2.2). Sel T naive (T0) mengekspresikan reseptor antigen dan co-receptors yang
berfungsi untuk mengenali sel yang bermikroba, namun sel-sel ini tidak berperan
sebagai efektor yang diperlukan untuk menghilangkan mikroba. Sel-sel efektor yang
dibedakan mampu melakukan fungsi-fungsi ini, yang dilakukan di organ limfoid, di
jaringan perifer, dan di jaringan nonlymphoid. Dalam bab ini kami fokus pada respon
sel T naif terhadap antigen. Respons limfosit T naif terhadap antigen mikroba terkait
sel terdiri dari serangkaian langkah berurutan yang menghasilkan peningkatan jumlah
sel T spesifik antigen dan konversi sel T naif menjadi efektor dan sel memori
(Gambar 2.3) (Abbas et al., 2016; Pennock et al., 2013).
 Salah satu respons paling awal adalah sekresi sitokin dan peningkatan
ekspresi reseptor untuk berbagai sitokin.
 Beberapa sitokin menstimulasi proliferasi sel T yang diaktifasi oleh antigen,
sehingga menghasilkan peningkatan jumlah limfosit spesifik-antigen dengan
cepat dalam suatu proses yang disebut ekspansi klonal.
 Limfosit yang diaktifkan menjalani proses diferensiasi, yang menghasilkan
konversi sel T naif menjadi populasi sel T efektor yang berfungsi untuk
menghilangkan mikroba.
 Banyak sel T efektor meninggalkan organ limfoid, memasuki sirkulasi, dan
bermigrasi ke tempat infeksi, di mana mereka dapat membasmi infeksi.
Beberapa sel T efektor dapat tetap berada di kelenjar getah bening, di mana
mereka berfungsi untuk membasmi sel yang terinfeksi di tempat itu atau
memberikan sinyal ke sel B yang menghasilkan respons antibodi terhadap
mikroba.
 Beberapa progeni sel T yang telah berproliferasi sebagai respons terhadap
antigen berkembang menjadi sel-sel T memori, yang berumur panjang dan
secara fungsional tidak aktif, bersirkulasi selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, dan siap untuk merespon dengan cepat terhadap paparan
berulang terhadap mikroba yang sama.
 Karena sel efektor T menghilangkan agen infeksi, rangsangan yang memicu
ekspansi dan diferensiasi sel T juga dihilangkan. Akibatnya, sebagian besar
sel-sel dalam klon besar limfosit antigen-spesifik mati, dan mengembalikan
sistem ke keadaan istirahat, dengan hanya sel-sel memori yang tersisa dari
respon imun.

Gambar 2.2. Fase Induksi dan Efektor Imunitas Seluler (Abbas et al., 2016)
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa proses induksi respon sel T
pada organ limfoid perifer adalah sebagai berikut: Sel T naive CD4+ dan sel T CD8+
mengenali peptida yang berasal dari antigen protein dan ditunjukkan oleh sel
dendritik (DC). Limfosit T distimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel efektor, yang banyak di antaranya memasuki sirkulasi. Beberapa sel T
CD4+ yang diaktifkan tetap berada di kelenjar getah bening, bermigrasi ke folikel,
dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi.
Migrasi sel T efektor dan leukosit lainnya ke situs antigen: sel T efektor dan
leukosit lainnya bermigrasi melalui pembuluh darah di jaringan perifer dengan
mengikat sel endotel yang telah diaktifkan oleh sitokin yang diproduksi sebagai
respons terhadap infeksi pada jaringan ini. Fungsi efektor sel T: Sel T CD4+ merekrut
dan mengaktifkan fagosit untuk menghancurkan mikroba, dan CD8+ limfosit T
sitotoksik (CTL) membunuh sel yang terinfeksi

Gambar 2.3. Langkah-Langkah dalam Aktivasi Limfosit T (Abbas et al., 2016).

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa sel T naif mengenali antigen
peptida terkait histokompatibilitas kompleks (MHC) utama yang ditampilkan pada sel
yang mempresentasikan antigen dan sinyal lainnya (tidak ditunjukkan). Sel T
merespons dengan memproduksi sitokin, seperti interleukin-2 (IL-2), dan
mengekspresikan reseptor untuk sitokin ini, yang mengarah ke jalur proliferasi sel
autokrin. Hasilnya adalah perluasan klon sel T yang spesifik untuk antigen. Sebagian
progeni berdiferensiasi menjadi sel efektor, yang melayani berbagai fungsi dalam
imunitas sel, dan sel memori, yang bertahan untuk jangka waktu lama. Perubahan lain
yang terkait dengan aktivasi, seperti ekspresi berbagai molekul permukaan, tidak
ditampilkan. APC, Antigen-presenting cell; CTL, limfosit T sitotoksik; IL-2R,
reseptor interleukin-2.

2. Pengenalan Antigen dan Kostimulasi


Responinisiasi sel T membutuhkan banyak reseptor pada sel T yang mengenali
ligan pada APC. Tahapan pengenalan antigen dan costimulasi dijelaskan sebagai
berikut
 Reseptor sel T (TCR) mengenali antigen peptida MHC associated.
 Co-receptors CD4 atau CD8 pada sel T mengenali molekul MHC pada APC dan
membantu kompleks TCR untuk menghasilkan sinyal pengaktifan.
 Molekul adhesi memperkuat pengikatan sel T ke APC.
 Molekul yang disebut co-stimulator, yang diekspresikan pada APC setelah
bertemu dengan mikroba, berikatan dengan reseptor-reseptor kadimulatori pada sel
T naive sehingga mendorong respons terhadap patogen infeksius.
 Sitokin memperkuat respons sel T dan mengarahkannya ke berbagai jalur
diferensiasi.
a. Pengenalan Peptida terkait MHC
Reseptor sel T untuk antigen (TCR) dan koreseptor CD4 atau CD8 bersamaan
mengenali kompleks antigen peptida dan molekul MHC pada APC, dan pengenalan
ini memberikan sinyal awal, atau pertama, untuk aktivasi sel T.
Gambar 2.4 Reseptor dan Ligan Terlibat Dalam Aktivasi Sel T
(Abbas et al., 2016)

TCR (T Cell Reseptor) di eskpresikan pada semua sel T baik CD4+ maupun
CD8+dari rantai α dan rantai β. Kedua rantai ini berperan dalam pengenalan antigen
atau molekul yang dikeluarkan oleh antigen. Beberapa sel T mengeskpresikan TCR
yang terdiri dari rantai γ dan δ. Rantai ini tidak dapat mengenali antigen dari signal
MHC-assosiated peptide karena dibentuk lebih khusus untuk mengenali protein pada
antigen secara langsung. TCR yang mampu mengenali antigen dibantu oleh MHC-
assosiated peptide pada kelompok residu di sekitar celah peptide binding. Setiap sel T
dewasa dapat dibatasi oleh MHC dalam ekspresi CD4 dan CD8. Keduanya dapat
disebut sebagai koreseptor karena mampu berikatan dengan molekul MHC yang sama
dalam inisiasi pensinyalan dari kompleks TCR. Pada saat TCR mengenali kompleks
peptida MHC (CD4 atau CD8) kelas I maupun kelas II maka akan terjadi pengiriman
sinyal pada APC yag bertindak mencerna antigen atau protein antigen dari
lingkungan ekstraseluler menjadi vesikel atau di proses dalam sitosol oleh protesom
sesuai dengan sinyal yang diterima. Jadi sel T CD4+ dan CD8+ mengenali antigen dari
jenis yang berbeda oleh sel yang berbeda. TCR dan koreseptornya dapat bekerja
secara bersamaan dalam respon imun oleh sel T. Beberapa TCR mungkin perlu dipcu
untuk aktivasi sel T. Apabila terjadi gangguan dari antigen atau molekul asing maka
kondisi atau respon imun oleh sel T akan dikativasi seperti proses yang sebelumnya.
Sinyal biokimia yang mengarah ke sel T aktivasi dipicu oleh satu set
protein ditautkan ke TCR yang merupakan bagian dari TCR kompleks dan oleh
koreseptor CD4 atau CD8.

Gambar 2.5. Pengenalan dan Transduksi Sinyal Antigen Pada SaatAktivasi Sel T
(Abbas et al., 2016).

Pada limfosit, pengenalan antigen dan pensinyalan selanjutnya dilakukan oleh


set molekul yang berbeda. eterodimer TCR αβ mengenali antigen, tetapi tidak mampu
mengirimkan sinyal biokimia ke interiorsel. TCR secara nonkovalen dihubungkan
dengan α kompleks molekul pensinyalan transmembran termasuk tiga protein CD3
dan protein yang disebutrantai ζ. Tata rias TCR, CD3, dan ζ kompleks TCR. Variasi
dari TCR berhubungan dengan fungsi pengenalan dan pensinyalan yang
menyebabkan protein CD3 dan ζ berbeda-beda pada tiap sel T.

b. Peran Molekul Adhesi dalam Respon Sel T


Molekul adhesi pada sel T mengenali ligan mereka pada APC dan menstabilkan
mengikat sel T ke APC. Kebanyakan TCR berikatan dengan kompleks peptida-MHC
secara spesifik dengan afinitas rendah. Untuk menginduksi respon a pengikatan sel T
ke APC harus stabil dalam jangka waktu yang cukup lama dalam pensinyalan.
Stabilisasi ini dilakukan leh oekul adhesi pada sel T yang berikatan dengan ligan
yang diekspeskan oleh APC. Molekul adheis ini tersusun dari kelompok protein
heterodimerik (dua rantai) yang disebut integrin. Ikatan integrin sel T dalam APC
terkait antigen 1 (LFA-1) dan ligan pada APC disebut molekul adhesi 1 (ICAM-1).
Ketika sel T telah mengenali antigen ikatan antar dengan APC akan ditingkatkan
sehinga kemempuan dari APC dalam menangani antigen mikroba meningkat. Integrin
dalam hal ini berperan juga dalam migrasi sel T efektor dan sel leukosit dalam sistem
srikulasi.

c. Peran Kostimulasi dalam Aktivasi Sel T


Aktivasi seluruh sel T tergantung pada costimulator APC selain pada
costimulator antigen (Gambar 2.6). Antigen-presenting cells (APCs) yang belum
terpapar mikroba dapat menghadirkan antigen peptida, tetapi mereka tidak
mengekspresikan kostimulator dan tidak dapat mengaktifkan sel T naif. Sel T yang
mengenali antigen tanpa costimulation dapat menjadi tidak responsif (toleran)
terhadap paparan antigen selanjutnya. Mikroba, serta sitokin yang diproduksi selama
respon imun bawaan terhadap mikroba, menginduksi ekspresi costimulator, seperti
molekul B7, pada APC. Kostimulator B7 dikenali oleh reseptor CD28 pada sel T naif,
memberikan sinyal 2. Dalam hubungannya dengan pengenalan antigen (sinyal 1),
pengenalan ini memulai respon sel T. APCs yang teraktivasi juga menghasilkan
sitokin yang menstimulasi diferensiasi sel T naif ke dalam sel efektor, Interleukin
(IL). (Abbas et al., 2016).
Gambar 2.6. Peran Costimulation dalam Aktivasi Sel T (Abbas et al., 2016).

Costimulator terbaik yang didefinisikan untuk sel T adalah dua protein yang
disebut sebagai B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), kedua protein tersebut diekspresikan
oleh APC dan ekspresinya dapat meningkat ketika APC berinteraksi dengan mikroba.
Perbedaan golongan protein B7 dan CD28 memiiliki fungsi yaitu untuk merangsang
atau menghambat respon imun. Ligan pada APC yang homolog dengan B7 mengikat
reseptor pada sel T yang homolog dengan CD28. Pasangan ligand-receptor yang
berbeda melayani peran yang berbeda dalam respon imun. CD28 dan ICOS adalah
reseptor stimulasi pada sel T, dan CTLA-4 dan PD-1 adalah reseptor penghambatan
yang dapat dilihat pada (Gambar 2.7). Syaratan untuk costimulasi memastikan bahwa
limfosit T naif diaktifkan sepenuhnya oleh antigen mikroba dan bukan oleh zat asing
yang tidak berbahaya atau oleh antigen sendiri, karena mikroba dapat merangsang
ekspresi costimulator B7 pada APC. Protein yang disebut ICOS (inducible
costimulator), yang terkait dengan CD28 dan juga diekspresikan pada sel T,
memainkan peran penting dalam perkembangan dan fungsi sel T helper folikel
selama respon pusat germinal (Abbas et al., 2016).
Gambar 2.7. Golongan protein B7 dan CD28 (Abbas et al., 2016).

d. Rangsangan untuk Aktivasi Sel T CD8+


Aktivasi dari sel T CD8+ dirangsang oleh adanya pengaktifan MHC kelas I
yang terikat oleh peptide dan membutuhkan adanya sel T konstimulasi dan sel T
penolong. Tanggapan sel T CD8+ dalam beberapa cara dapat berbeda dari tanggapan
limfosit T CD4+ yaitu sebagai berikut:
 Inisiasi aktivasi sel T CD8+ sering membutuhkan antigen sitosol dari satu sel
(misalnya, sel yang terinfeksi virus atau sel tumor) untuk disilangkan oleh sel
dendritik.

Gambar 2.8. MHC kelasi I-persilangan terbatas-presentasi antigen mikroba


dari sel yang terinfeksi oleh sel dendritik.
Fragmen sel yang terinfeksi dengan mikroba intraseluler (misalnya, virus) atau
antigen yang diproduksi dalam sel-sel ini dicerna oleh sel dendritik. Antigen mikroba
yang menginfeksi ini dipecah dan dipresentasikan melalui asosiasi dengan molekul
MHC kelas I dari Antigen Presenting Cell (APCs). Sel T mengenali antigen mikroba
yang diekspresikan pada APC, dan sel T diaktifkan. Dengan konvensi, istilah cross-
presentation (atau cross-priming) diterapkan ke sel T CD8+ (limfosit T sitotoksik)
yang mengenali MHC kelas I-terkait antigen (seperti yang ditunjukkan); persilangan
yang sama-membuat APC dapat menampilkan MHC kelas II-antigen terkait dari
mikroba untuk dikenali oleh sel T helper CD4+ (Abbas et al., 2016).
 Diferensiasi sel T CD8+ naif menjadi limfosit T sitotoksik aktif penuh (CTLs)
dan sel T CD8+ memori memerlukan adanya aktivasi dari aktivasi sel T CD4+
penolong secara bersamaan (Gambar 2.10). Ketika sel yang terinfeksi virus
dicerna oleh sel dendritik, APC dapat mempresentasikan antigen virus dari
sitosol dalam kompleks dengan molekul MHC kelas I dan dari vesikel dalam
kompleks dengan molekul MHC kelas II. Dengan demikian, kedua sel T
CD8+ dan sel T CD4+ khusus untuk antigen virus akandiaktifkan berdekatan
satu sama lain. Sel T CD4+ dapat menghasilkan sitokin atau molekul
membran yang membantu mengaktifkan sel T CD8+. Sel T pembantu ini yang
membantu dalam pengaktifan sel T CD8+ menunjukkan adanya penjelasan
yang mungkin bagi terjadinya CTL yang cacat pada banyak virus pasien yang
terinfeksi virus human immunodeficiency (HIV) karena virus akan merusak
atau membunuh CD4+ tetapi tidak membunuh sel T CD8+. Namun tanggapan
CTL ke beberapa virus diketahui tidak memerlukan adanya bantuan dari sel T
CD4+ (Abbas et al., 2016).

Gambar 2.9. Aktivasi sel T CD8+.


Antigen-presenting cells (APCs), terutama sel dendritik, dapat menelan sel
yang terinfeksi dan menghadirkan antigen mikroba ke sel T CD8+ (presentasi silang)
dan sel T helper CD4+. Terkadang, APC dapat terinfeksi dan dapat secara langsung
mempresentasikan antigen (tidak ditampilkan). Sel T helper kemudian menghasilkan
sitokin yang merangsang ekspansi dan diferensiasi sel T CD8+. Sel helper juga dapat
mengaktifkan APC untuk membuat mereka menjadi stimulator yang kuat dari sel T
CD8+. CTLs, Limfosit T sitotoksik (Abbas et al., 2016).

3. Jalur Biokimia Aktivasi Sel T


Setelah pengenalan antigen dan costimulator, sel T akan mengekspresikan
protein yang terlibat dalam fungsi proliferasi, diferensiasi, dan efektor (Gambar 2.10).
Sel T naif yang belum menemukan antigen diketahui memiliki tingkat sintesis protein
yang lebih rendah. Dalam beberapa menit setelah pengenalan antigen, transkripsi gen
baru dan sintesis protein akan terlihat dalam sel T yang diaktifkan atau aktif. Protein
yang baru diekspresikan ini nantinya akan memediasi banyak respons untuk sel T
berikutnya.
Gambar 2.10. Protein yang Dihasilkan oleh sel T Akibat Ragsangan Antigen.
Pengenalan antigen oleh sel T menghasilkan sintesis dan ekspresi berbagai
protein seperti contoh yang ditunjukkan. Kinetika produksi protein ini (A) adalah
perkiraan dan dapat bervariasi dalam sel T yang berbeda dan dengan berbagai jenis
rangsangan. Kemungkinan efek dari costimulation pada pola atau kinetika ekspresi
gen tidak ditunjukkan. Fungsi dari beberapa protein permukaan yang diekspresikan
pada sel T yang teraktifasi ditunjukkan dalam gambar B. CD69 adalah penanda
aktivasi sel T yang terlibat dalam migrasi sel; reseptor interleukin-2 (IL-2R)
menerima sinyal dari sitokin IL-2 yang mendorong kelangsungan hidup sel T dan
proliferasi; Ligan CD40 adalah molekul efektor sel T; CTLA-4 adalah penghambat
respon imun. c-Fos (ditampilkan dalam A) adalah faktor transkripsi. TCR, reseptor
sel T (Abbas et al., 2016).
Pengenalan antigen mengaktifkan beberapa mekanisme biokimia yang
mengarah pada respons sel T, termasuk aktivasi enzim seperti kinase, perekrutan
protein adaptor, dan produksi faktor transkripsi aktif (Gambar 2.11).
Gambar 2.11. Jalur Transduksi Sinyal dalam Limfosit T.
Pengenalan antigen oleh sel T menginduksi peristiwa pensinyalan awal, yang
meliputi molekul fosforilasi tirosin dari reseptor sel T (TCR) kompleks dan
perekrutan protein adaptor ke tempat pengenalan antigen sel T. Proses awal ini
menyebabkan aktivasi beberapa intermediet biokimia, yang pada gilirannya
mengaktifkan faktor transkripsi. Pengaktifan ini akan merangsang transkripsi gen
yang nantinya akan menghasilkan produknya untuk memediasi respon sel T.
Kemungkinan efek dari konstimulasi pada jalur sinyal ini tidak ditampilkan. Jalur
sinyal ini diilustrasikan sebagai independen satu sama lain yang sederhana tetapi
dapat saling terhubung dalam jaringan yang lebih kompleks. AP-1, Activating protein
1; APC, antigen-presenting cell ; GTP / GDP, guanosine trifosfat / difosfat; ITAM,
immunoreceptor tyrosine-based activation motif; mTOR, mammalian target of
rapamycin; NFAT, nuclear factor of activated T cells; PKC, protein kinase C; PLCγ1,
γ1 isoform of phosphatidylinositol-specific phospholipase C ; PI-3,
phosphatidylinositol-3; ZAP-70, zeta-associated protein dari 70 kD (Abbas et al.,
2016).
Jalur biokimia ini dimulai ketika kompleks TCR dan koreceptor yang sesuai
bersatu dengan mengikat kompleks MHC-peptida pada permukaan APC. Selain itu,
ada pergerakan protein yang teratur di kedua APC dan membran sel T di wilayah
kontak sel-ke-sel, seperti kompleks TCR, coreceptors CD4 / CD8, dan CD28
menyatu ke pusat dan integrin bergerak untuk membentuk cincin perifer. Redistribusi
molekul-molekul pensinyalan dan adhesi diperlukan untuk induksi optimal dari
sinyal-sinyal pengaktifan dalam sel T. Wilayah kontak antara APC dan sel T,
termasuk protein membran yang terdistribusi ulang, disebut dengan sinaps imun.
Meskipun sinaps pertama kali digambarkan sebagai tempat pengiriman sinyal
pengaktifan dari reseptor membran ke bagian dalam sel, namun hal ini dimungkinkan
melayani fungsi lain (Abbas et al., 2016).
Beberapa molekul efektor dan sitokin mungkin disekresikan melalui wilayah ini
sehingga molekul tersebut tidak menyebar tetapi ditargetkan sampai ke APC. Enzim
yang berfungsi untuk menurunkan atau menghambat molekul sinyal juga direkrut ke
sinaps, sehingga mungkin terlibat dalam penghentian aktivasi limfosit.
Koreseptor CD4 dan CD8 memfasilitasi pensinyalan melalui protein tirosin
kinase yang disebut Lck, yang bersifat nonkovalen terikat pada ekor sitoplasma dari
koreseptor ini. Beberapa protein pensinyalan transmembran berhubungan dengan
TCR, termasuk rantai CD3 dan ζ. CD3 dan ζ mengandung motif yang masing-masing
memiliki dua residu tirosin disebut immunoreceptor tyrosine-based activation motif
(ITAM), yang sangat penting untuk proses pensinyalan (Abbas et al., 2016).
Lck, yang dibawa dekat kompleks TCR oleh molekul CD4 atau CD8,
memfosforilasi residu tirosin yang terkandung dalam ITAM protein CD3 dan ζ.
ITAMs terfosforilasi dari rantai menjadi situs docking untuk tirosin kinase yang
disebut ZAP-70 (zeta-associated protein dari 70 kD), yang juga terfosforilasi oleh
Lck dan dengan demikian membuat enzimatik aktif. ZAP-70 aktif kemudian
memfosforilasi berbagai protein dan enzim adaptor, yang berkumpul di dekat
kompleks TCR dan memediasi peristiwa pensinyalan tambahan (Abbas et al., 2016).
Jalur pensinyalan utama yang terkait dengan ζ-rantai fosforilasi dan ZAP-70
adalah jalur kalsium-NFAT, jalur Ras-dan Rac-MAP kinase, jalur PKCθ-NF-κB, dan
jalur PI-3 kinase :
 Nuclear faktor yang diaktifkan dari sel T (NFAT) adalah faktor transkripsi yang
ada dalam bentuk terfosforilasi yang tidak aktif di sitoplasma sel T yang
beristirahat. Aktivasi NFAT dan translokasi nuclearnya bergantung pada
konsentrasi ion kalsium (Ca2+) di sitosol. Jalur pensinyalan ini diinisiasi oleh
mediasi fosforilasi ZAP-70 dan aktivasi enzim yang disebut phospholipase Cγ
(PLCγ), yang mengkatalisis hidrolisis membran plasma inositol fosfolipid yang
disebut phosphatidylinositol 4,5-bifosfat (PIP2). Satu hasil samping pemecahan
PIP2 yang dimediasi oleh PLCγ, yang disebut inositol 1,4,5-trifosfat (IP3),
berikatan dengan reseptor IP3 pada membran retikulum endoplasma (ER) dan
menstimulasi pelepasan Ca2+ dari ER, sehingga meningkatkan konsentrasi Ca2+
sitosol. Menanggapi hilangnya kalsium di wilayah intraselular menyebabkan
saluran kalsium plasma membran dibuka, yang menyebabkan masuknya Ca2+
ekstraseluler ke dalam sel, yang selanjutnya meningkatkan konsentrasi Ca2+
intraseluler dan mempertahankan ini selama berjam-jam. Kalsium (Ca2+)
sitoplasma yang meningkat menyebabkan aktivasi fosfatase yang disebut
calcineurin. Enzim ini menghilangkan fosfat dari NFAT sitoplasma,
memungkinkan faktor transkripsi untuk bermigrasi ke nukleus, di mana akan
mengikat dan mengaktifkan promotor beberapa gen, termasuk gen yang mengkode
faktor pertumbuhan sel T IL-2 dan komponen dari reseptor IL-2. Obat bernama
siklosporin menghambat aktivitas fosfatase kalsineurin, dan dengan demikian
menekan produksi sitokin yang bergantung pada NFAT oleh sel T. Agen ini secara
luas digunakan sebagai obat imunosupresif untuk mencegah penolakan graft;
pengantar adalah salah satu faktor utama dalam keberhasilan transplantasi organ
(Abbas et al., 2016).
 Jalur Ras / Rac-MAP kinase mencakup protein Ras dan Rac yang ber-guanosin
trifosfat (GTP), beberapa protein adaptor, dan enzim kaskade yang akhirnya
mengaktifkan salah satu keluarga mitogen-activated protein (MAP) kinase. Jalur
ini diinisiasi oleh fosforilasi ZAP-70 dan akumulasi protein adaptor pada membran
plasma, yang mengarah ke penerimaan Ras atau Rac, dan aktivasi mereka dengan
pertukaran terikat guanosine difosfat (GDP) dengan GTP. Ras • GTP dan Rac •
GTP, bentuk aktif dari protein ini, memulai enzim kaskade yang berbeda, yang
mengarah ke aktivasi MAP kinase yang berbeda. MAP terminal kinase dalam jalur
ini, disebut extracellular signal–regulated kinase (ERK) dan c-Jun amino-terminal
(N-terminal) kinase (JNK), masing-masing, menginduksi ekspresi protein yang
disebut c-Fos dan fosforilasi protein lain yang disebut c-Jun. c-Fos dan fosforilasi
c-Jun bergabung untuk membentuk faktor transkripsi yang mengaktifkan protein 1
(AP-1), yang meningkatkan transkripsi beberapa gen sel T (Abbas et al., 2016).
 Jalur utama lain yang terlibat dalam pensinyalan TCR terdiri dari aktivasi θ
isoform dari serine-threonine kinase yang disebut protein kinase C (PKCθ), yang
mengarah pada aktivasi faktor transkripsi factor-κB (NF-κB) (Nuclear Factor
Kappa B). PKC diaktifkan oleh diasilgliserol seperti IP3, dihasilkan oleh hidrolisis
membran inositol yang dimediasi oleh PLC. PKCθ bertindak melalui protein
adaptor yang membawa ke kompleks TCR untuk mengaktifkan NF-kB. NF-kB
ada di sitoplasma sel T istirahat dalam bentuk tidak aktif, terikat ke inhibitor yang
disebut IκB. TCR menginduksi sinyal downstream PKCθ sehingga mengaktifkan
kinase yang memfosforilasi IκB dan menargetkannya untuk kerusakan. Akibatnya,
NF-κB dilepaskan dan bergerak ke nucleus untuk mendorong transkripsi beberapa
gen (Abbas et al., 2016).
 Transduksi sinyal reseptor sel T juga melibatkan lipid kinase yang disebut
phosphatidylinositol-3 (PI-3) kinase, yang memfosforilasi membran fosfolipid
PIP2 untuk menghasilkan PIP3. PIP3 diperlukan untuk aktivasi sejumlah target,
termasuk kinase serin-treonin yang disebut Akt, atau protein kinase B, yang
memiliki banyak peran, termasuk merangsang ekspresi protein antiapoptotic
sehingga meningkatkan kelangsungan hidup sel T yang diinduksi oleh antigen.
Jalur PI-3 kinase / Akt dipicu tidak hanya oleh TCR tetapi juga oleh reseptor
CD28 dan IL-2. Jalur Akt erat kaitannya dengan mTOR (target mamalia
rapamycin), kinase serin-threonin yang terlibat dalam merangsang penerjemahan
protein dan meningkatkan kelangsungan hidup sel dan pertumbuhan. Obat yang
mengikat dan menginaktivasi mTOR-rapamycin digunakan untuk mengobati
penolakan graft (Abbas et al., 2016).
Berbagai faktor transkripsi yang diinduksi atau diaktifkan dalam sel T,
termasuk NFAT, AP-1, dan NF-kB, menstimulasi transkripsi dan produksi sitokin,
reseptor sitokin, induser siklus sel, dan molekul efektor seperti CD40L. Semua sinyal
ini diinisiasi oleh pengenalan antigen, karena pengikatan TCR dan coreceptors ke
kompleks peptida-MHC diperlukan untuk memulai pensinyalan di sel T (Abbas et al.,
2016).
Seperti yang dinyatakan sebelumnya pengenalan costimulator, seperti molekul
B7 oleh reseptor CD28 sangat penting untuk respon penuh sel T. Sinyal biokimia
yang ditransduksi oleh CD28 pada pengikatan costimulator B7 kurang terdefinisi
dengan baik daripada sinyal yang dipicu TCR. Keterlibatan CD28 kemungkinan
menguatkan beberapa jalur pensinyalan TCR yang dipicu oleh pengenalan antigen
(sinyal 1) dan juga memulai serangkaian sinyal berbeda yang melengkapi sinyal TCR
(Abbas et al., 2016).
Aktivasi limfosit juga dikaitkan dengan perubahan besar dalam jalur metabolik.
Pada sel T naif (istirahat), kadar glukosa yang rendah diambil dan digunakan untuk
menghasilkan energi dalam bentuk ATP oleh fosforilasi oksidatif mitokondria.
Setelah aktivasi, pengambilan glukosa meningkat secara nyata, dan sel-sel beralih ke
glikolisis aerobik. Proses ini menghasilkan ATP yang lebih sedikit tetapi
memfasilitasi sintesis lebih banyak asam amino, lipid, dan molekul lain yang
menyediakan semacam blok bangunan untuk organel dan untuk menghasilkan sel-sel
baru. Hasilnya dimungkinkan pengaktifan sel T untuk memproduksi komponen
seluler lebih efisien yang dibutuhkan untuk peningkatan ukurannya yang cepat dan
untuk memproduksi sel anak (Abbas et al., 2016).

4. Respon Fungsional dari Limfosit T terhadap Antigen dan Kostimulasi


Pengenalan antigen dan kostimulator oleh sel T mengawali adanya respon
yang terkontrol. Respon ini mengakibatkan perluasan klon limfosit spesifik antigen
dan diferensiasi sel T yang naif menjadi sel efektor dan sel memori. Banyak respon
sel T yang dimediasi oleh sitokin yang disekresikan oleh sel T. Sitokin bertindak pada
sel T dan pada banyak sel lain terutama dalam pertahanan kekebalan.
a. Sekresi Sitokin dan Ekspresi Reseptor Sitokin
Sebagai respon terhadap antigen dan costimulator, limfosit T, khususnya sel T
CD4+, dengan cepat mensekresi sitokin IL-2. Sitokin adalah kelompok besar protein
yang berfungsi sebagai mediator kekebalan dan peradangan. Sitokin dalam respon
imun bawaan diproduksi terutama oleh sel dendritik dan makrofag. Pada imunitas
adaptif, sitokin disekresikan oleh sel T, terutama sel CD4+. IL-2 diproduksi dalam 1
hingga 2 jam setelah aktivasi sel T CD4+. Aktivasi juga meningkatkan ekspresi
reseptor IL-2 dengan afinitas tinggi, sehingga dengan cepat meningkatkan
kemampuan sel T untuk mengikat dan merespon IL-2 (Gambar 2.12).
Reseptor untuk IL-2 adalah molekul rantai tiga. Sel T naif mengekspresikan
dua rantai pensinyalan tetapi tidak mengekspresikan rantai α (CD25) yang
memungkinkan reseptor untuk mengikat IL-2 dengan afinitas tinggi. Dalam beberapa
jam setelah aktivasi oleh antigen dan costimulator, sel T menghasilkan rantai reseptor
ketiga sehingga reseptor IL-2 lengkap dan sel T naif mampu mengikat IL-2 dengan
kuat. Jadi, IL-2 yang diproduksi oleh sel T dipicu oleh antigen secara berikatan
khusus dan bertindak pada sel T yang sama, contoh aksi sitokin autokrin. Fungsi
utama IL-2 adalah untuk menstimulasi kelangsungan hidup dan proliferasi sel T
dimana akan terjadi peningkatan jumlah sel T antigen spesifik. Hal ini menyebabkan
IL-2 awalnya disebut faktor pertumbuhan sel T. IL-2 juga penting untuk
pemeliharaan sel T regulator dan mengendalikan respons imun. Limfosit T CD8+
yang mengenali antigen dan costimulator tampaknya tidak mengeluarkan IL-2 dalam
jumlah besar, tetapi limfosit ini disekresikan dengan baik selama respon imun.
Pengenalan dan costimulasi antigen mungkin dapat mendorong proliferasi sel T
CD8+, atau IL-2 dapat diberikan oleh sel T helper CD4+ (Abbas et al., 2016).

Gambar 2.12. Peran Reseptor Interleukin-2 dan IL-2 dalam Proliferasi Sel T. Sel T naif
mengekspresikan kompleks IL-2 reseptor rendah (IL-2R), yang terdiri dari
rantai β dan ɣc (ɣc menunjuk rantai ɣ umum disebut demikian karena
merupakan komponen reseptor untuk beberapa sitokin). Pada aktivasi oleh
pengenalan antigen dan konstimulasi, sel menghasilkan IL-2 dan
mengekspresikan rantai α IL-2R (CD25), yang menghubungkan dengan
rantai β dan ɣc untuk membentuk reseptor IL-2 dengan afinitas
tinggi.Pengikatan IL-2 ke reseptornya mengawali proliferasi sel T yang
mengenali antigen. APC, Antigen-presenting cell (Abbas et al., 2016).

b. Ekspansi Klonal
Ekspansi klonal adalah proliferasi limfosit karena tanggapan terhadap antigen.
Menurut Abbas et al., (2007) Limfosit mengalami proliferasi setelah terpapar antigen.
Ekspansi klonal merujuk pada peningkatan jumlah sel yang mengekspresikan
reseptor identik untuk antigen dan dengan demikian disebut dengan klon. Salah satu
tanggapan paling awal dari sel T helper CD4 + adalah sekresi sitokin interleukin-2
(IL-2). IL-2 adalah faktor pertumbuhan yang bekerja pada limfosit yang diaktifkan-
antigen dan menstimulasi proliferasinya (ekspansi klonal) seperti Gambar 2.13.

Gambar 2.13. Fase dari Respon Sel T (Abbas et al., 2007).

Antigen dihadirkan oleh APC. Pengenalan antigen oleh sel T menginduksi


sekresi sitokin (misalnya, IL-2), ekspansi klonal sebagai akibat proliferasi sel
autokrin yang diinduksi IL-2, dan diferensiasi sel T menjadi sel efektor atau sel
memori. Pada fase efektor respon, sel T efektor CD4 + merespon antigen dengan
memproduksi sitokin yang memiliki beberapa tindakan, seperti aktivasi makrofag dan
limfosit B, dan CD8 + CTL merespon dengan membunuh sel lain (Abbas et al.,
2007).

Gambar 2.14. Ekspansi dan Penurunan Respon dari Sel T (Abbas et al., 2016).

Gambar 2.14 menjelaskan bahwa jumlah sel T CD4+ dan CD8+ spesifik untuk
berbagai antigen, dan ekspansi klonal serta kontraksi selama respon imun, yang
ditunjukkan dengan angka perkiraan berdasarkan studi model mikroba dan antigen
yang dikandung pada tikus; pada manusia, jumlah limfosit sekitar 1000 kali lipat
lebih besar (Abbas et al., 2016).
Ekspansi Clonal dari Sel T CD4 +. Proliferasi sel T sebagai respon terhadap
pengenalan antigen dimediasi terutama oleh jalur pertumbuhan autokrin, di mana sel
T yang merespon dengan mensekresikan sitokin dan juga mengekspresikan reseptor
permukaan sel untuk sitokin tersebut. Faktor pertumbuhan autokrin utama untuk
sebagian besar sel T adalah IL-2. Hasil proliferasi sel T naif adalah ekspansi klon,
yang menghasilkan dari genangan kecil limfosit spesifik-naif naif sejumlah besar sel
yang diperlukan untuk menghilangkan antigen. Sebelum paparan antigen, frekuensi
sel T naif khusus untuk antigen apa pun adalah 1 dalam 105 sampai 106 limfosit.
Setelah paparan antigen, jumlah sel T CD4 + spesifik untuk antigen itu dapat
meningkat menjadi sekitar 1 dalam 100 hingga 1000 sel (Abbas et al., 2007).
Ekspansi Clonal dari Sel T CD8 +. Sebelum paparan antigen, frekuensi sel T
naive CD8+ spesifik untuk antigen apa pun adalah 1 pada 105 hingga 106 limfosit.
Setelah paparan antigen, jumlah sel T CD8 + spesifik untuk antigen itu dapat
meningkat. Beberapa sitokin dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan untuk
mendorong ekspansi klonal sel T CD8 +; ini termasuk IL-12, IL-IS, dan IL-7.
Ekspansi antigen yang dirangsang oleh sel CD4 +, tampaknya jauh lebih sedikit
daripada ekspansi klonal sel CD8 +. Ini mungkin diharapkan, karena CD8 + CTL
melakukan fungsi efektornya dengan menyerang sel yang terinfeksi secara langsung,
sedangkan sel pembantu CD4 + tunggal dapat mengeluarkan sitokin yang
mengaktifkan banyak sel efektor seperti makrofag, dan karena itu sejumlah besar
CTL mungkin diperlukan untuk proteksi kekebalan (Abbas et al., 2007).
Jika terdapat infeksi, jumlah sel T spesifik-mikroba dapat meningkat lebih
dari 50.000 kali lipat. dan jumlah sel B spesifik dapat meningkat lebih dari 5000 kali
lipat. Perluasan klonal yang cepat dari limfosit spesifik-mikroba diperlukan untuk
mengimbangi kemampuan mikroba untuk bereplikasi dengan cepat dan berkembang
jumlahnya. Seiring dengan ekspansi klonal, limfosit yang dirangsang oleh antigen
berdiferensiasi menjadi sel efektor. yang fungsinya adalah menghilangkan antigen.
Beberapa progeni dari distimulasinya antigen limfosit B dan T akan berdiferensiasi
menjadi sel memori panjang, yang berfungsi untuk memediasi respon cepat dan
ditingkatkan terhadap paparan antigen selanjutnya (Abbas et al., 2007).
c. Diferensiasi Sel T Naive menjadi Sel Efektor
Gambar 2.15. Pengembangan sel T CD4 + efektor.

Ketika sel T CD4 + naif diaktifkan di organ limfoid sekunder, mereka


berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Beberapa efektor (populasi
Th1, Th2, dan Th17) sebagian besar keluar dari organ limfoid dan berfungsi untuk
membasmi mikroba di jaringan perifer. Sel-sel lain yang berdiferensiasi, disebut sel T
(helper T) folikel, tetap di organ limfoid dan membantu sel B untuk menghasilkan
antibodi (Abbas et al., 2016).
Beberapa progeni sel T yang dirangsang oleh antigen, berdiferensiasi menjadi
sel-sel efektor yang fungsinya untuk membasmi infeksi. Proses diferensiasi ini adalah
hasil dari perubahan ekspresi gen, seperti aktivasi gen yang mengkodekan sitokin
(dalam sel T CD4 +) atau protein sitotoksik (dalam CD8 + CTL). Ini dimulai
bersamaan dengan ekspansi klon, dan sel-sel efektor yang berbeda muncul dalam 3
atau 4 hari setelah terpapar mikroba. Sel-sel efektor dari garis keturunan CD4 +
memperoleh kapasitas untuk memproduksi set sitokin yang berbeda. Subset sel T
yang dibedakan oleh profil sitokin mereka diberi nama Th1, Th2, dan Th17 (Gambar
2.16). Banyak dari sel-sel ini meninggalkan organ limfoid perifer dan bermigrasi ke
situs infeksi, di mana sitokin mereka merekrut leukosit lain yang menghancurkan
agen infeksi (Abbas et al., 2016).
Sel T CD4 + lainnya tetap berada di organ limfoid dan bermigrasi ke folikel
limfoid, di mana mereka membantu limfosit B untuk menghasilkan antibodi. Sel-sel
efektor dari garis keturunan CD8 + memperoleh kemampuan untuk membunuh sel
yang terinfeksi; perkembangan dan fungsi mereka (Abbas et al., 2016). Sel T CD4 +
helper mengaktifkan fagosit dan limfosit B melalui aksi protein membran plasma dan
oleh sitokin yang dise kresikan (Gambar 2.15). Protein permukaan sel yang paling
penting yang terlibat dalam fungsi efektor sel T CD4 + adalah ligan CD40, anggota
dari keluarga besar protein yang secara struktural terkait dengan faktor nekrosis
tumor sitokin (TNF). Gen CD40L ditranskripsikan dalam sel T CD4 + sebagai
respons terhadap pengenalan dan costimulasi antigen, sehingga CD40L diekspresikan
pada sel T helper yang diaktifkan. Ia berikatan dengan reseptornya, CD40, yang
diekspresikan terutama pada makrofag, limfosit B, dan sel dendritik. Keterlibatan
CD40 merangsang sel-sel ini, dan dengan demikian CD40L memegangperan penting
dalam aktivasi makrofag dan limfosit B oleh sel T helper. Interaksi CD40L pada sel T
dengan CD40 pada sel dendritik meningkatkan ekspresi costimulator pada APC ini
dan produksi sitokin stimulasi sel T, sehingga memberikan mekanisme umpan balik
positif (amplifikasi) untuk aktivasi sel T yang diinduksi oleh APC (Abbas et al.,
2016).
d. Pengembangan Limfosit T Memori
Sebagian kecil limfosit T yang diaktivasi antigen berdiferensiasi menjadi sel-
sel memori yang berumur panjang. Sel-sel ini adalah kumpulan limfosit yang
diinduksi oleh mikroba dan sedang menunggu infeksi kembali. Sel-sel memori
memiliki beberapa karakteristik penting (Abbas et al., 2016).
 Sel-sel memori bertahan bahkan setelah infeksi diberantas dan antigen tidak
lagi hadir. Sitokin IL-7 dan IL-15, yang diproduksi oleh sel-sel stroma dalam
jaringan, dapat berfungsi untuk menjaga sel-sel memori tetap hidup dan siklus
perlahan-lahan.
 Sel T Memori dapat dengan cepat diinduksi untuk menghasilkan sitokin atau
membunuh sel yang terinfeksi ketika berhadapan dengan antigen yang mereka
kenali. Sel-sel ini tidak melakukan fungsi efektor sampai mereka menemukan
antigen, tetapi setelah diaktifkan, mereka merespon lebih keras dan cepat
daripada limfosit naif.
 Sel T Memori dapat ditemukan di organ limfoid, di berbagai jaringan perifer,
terutama mukosa dan kulit, dan dalam sirkulasi. Subset sel T memori, yang
disebut sel memori sentral, mengisi organ limfoid dan bertanggung jawab
untuk ekspansi klonal yang cepat setelah kembali ke antigen. Bagian lain,
yang disebut sel-sel memori efektor, melokalisasi di mukosa dan jaringan
perifer lainnya dan memediasi fungsi-fungsi efektor cepat pada reintroduksi
antigen ke situs-situs ini.

5. Migrasi Limfosit T dalam Mediasi Respon Imun Seluler


Sel T dalam masa fungsionalnya akan terus bermigrasi dengan cara yang
berbeda. Sel T naive bermigrasi dalam pembuluh darah dan organ limfoid perifer di
seluruh tubuh. Sel T akan menuju pada sel dendritik dalam organ limfoid untuk
menerima sinyal antigen yang akan dibawa oleh sel T naive. Setelah sel T naive
diaktifkan maka akan terdiferensiasi menjadi sel efektor. Sel T yang telah diaktivasi
selanjutnya akan bermigrasi menuju sumber infeksi yang terjadi dalam tubuh untuk
membunuh atau memfagosit mikroba atau antigen yang menginfeksi.
Gambar 2.16. Migrasi sel T dalam endotelium dan pembuluh limfa
(Abbas et al., 2016).

Migrasi sel T naive dan sel efektor diregulasi oleh tiga jenis kelompok protein
yakni selektin, integrin dan kemokin yang juga mengatur migrasi dari semua enis
leukosit. Rute migrasi sel T naive dan efektor berbeda karena ekpsresi selektif dari
berbagai molekul adhesi dan reseptor kemokin pada jenis selnya. Migrasi sel T dan
efektor dari jaringan endhotel dengan membawa molekul adhesi dan dalam jaringan
limfoid dengan kemokin akan menuju daerah atau tempat terjadinya infeksi atau
peradangan.
Sel T naive mengekspresikan molekul adhesi L-selectin (CD62L) dan
reseptor kemokin CCR7, yang memediasi migrasi selektif sel naive ke kelenjar
getah bening melalui pembuluh darah khususdisebut high endothelial venules
(HEVs). HEVs terletak pada jaringan limfoid yang dilapisi sel endothel khusus.
Dalam jarngan ini sel T mengeskpresikan L-selectin yang mampu berikatan dengan
ligan karbohidrat. Dalam HEVs juga terdapat kemokin yang mampu dikenali oleh
reseptor CCR7 sel T. Semua migrasi sel T dalam tubuh dimediasi oleh pembuluh
darah yang khusus.
Gambar 2.17. Migrasi Limfosit T Naive dan Limfosit T Efektor
(Abbas et al., 2016).

 Sel T naive dalam darah terlibat dalam L-selectin-mediated rolling interaction


dengan HEV, memungkinkan chemokines untuk berikatan dengan CCR7
pada sel T.
 CCR7 mentransduksi sinyal intraseluler yang mengaktifkan fungsi leukosit
integrin-terkait antigen 1 (LFA-1) pada sel T naive, meningkatkan afinitas
pengikatan integrin.
 Peningkatan afinitas integrin untuk ligan, molekul adhesi interselular 1
(ICAM-1) pada HEV, menghasilkan adhesi yang kuat dan menahan sel T
yang berputar.
 Sel T kemudian keluar dari pembuluh darah melalui sambungan endotel dan
dipertahankan di zona sel T nodus limfa karena kemokin yang dihasilkan di
sana.
Dengan demikian, banyak sel T naive yang dibawa oleh darah ke HEV
bermigrasi ke zona sel T dari stroma kelenjar getah bening. Hal ini terjadi terus-
menerus di semua kelenjar getah bening dan jaringan limfoid mukosa di tubuh. Sel T
efektor tidak mengekspresikan CCR7 atau L-selectin, dan dengan demikian tidak
terjadi migrasi ke kelenjar getah bening.
The fosfolipid sphingosine 1-fosfat (S1P) memainkan peran kunci dalam
mediasi jalan keluar Sel T dari kelenjar getah bening. Jumlah S1P dalam darah
lebih tinggi dibandingkan dalam kelenjar getah bening. Iakatan yang dibentuk
molekul tersebut menyebabkan ekspresi reseptor yang terhambat sehingga migrasi sel
T naive menurun. Efek lain yang dapat terjadi ketika ekspresi S1P meningkat adalah
sel T yang diaktivasi akan tetap dalam kelenjar getah bening. Pada saat yang sama
ekpsresi L-selectin dan CCR7 yang menarik sel T kedalam kelenjar getah bening dan
kemudian dikeluarkan menjadi sel efektor dalam sirkulasi. Penghambatan dari S1P
dapat mengurangi scelrosis yang dapat menyebabkan peradangan.
Migrasi sel T efektor ke tempat infeksi akibat adanya pelepasan molekul
adhesi dan reseptor kemokin yang mengikat ligan dalam endhotelium dalam
respon imun bawaan.
 Sel T yang diaktivasi mengekspresikan level tinggi dari ligan glikoprotein
untuk E- dan P-selectins dan integrin LFA-1 dan VLA-4 (antigen sangat
terlambat 4). Sitokin imun bawaan diproduksi di tempat infeksi, seperti TNF
dan IL-1, bekerja pada sel-sel endotel untuk meningkatkan ekspresi E-dan P-
selectins serta ligan untuk integrin, terutama ICAM-1 dan molekul adhesi sel
vaskular 1 (VCAM-1), ligan untuk integrin VLA-4.
 Sel T efektor yang melewati pembuluh darah di situs infeksi mengikat
pertama ke selektin endotel, yang mengarah ke interaksi bergulir.
 Sel T efektor juga mengekspresikan reseptor untuk kemokin yang dihasilkan
oleh makrofag dan sel endotel di situs peradangan ini dan ditampilkan di
permukaan endotelium. Sel T yang berputar mengenali kemokin ini, yang
menyebabkan peningkatan afinitas pengikatan integrin untuk ligan dan adhesi
perusahaan dari sel T ke endotelium.
 Setelah efektor limfosit T ditangkap di endothelium, mereka melibatkan
molekul adhesi lainnya di persimpangan antara sel-sel endotel, merangkak
melalui persimpangan ini ke dalam jaringan. Kemokin yang dihasilkan oleh
makrofag dan sel-sel lain dalam jaringan merangsang motilitas sel T yang
bermigrasi.

Homing sel T efektor ke tempat infeksi terjadi akibat pengenalan limfosit


secara khusus dan dipertahankan kemudian terjadi pengaktifan signal dari
tempat infeksi. Interaksi molekuler antara sel T dan sel endotel adalah bahwa sel T
bermigrasi keluar dari pembuluh darah ke tempat infeksi. Sel T naif tidak
mengekspresikan ligan untuk E- atau P-selectin dan tidak mengekspresikan reseptor
untuk kemokin yang diproduksi di tempat peradangan. Oleh karena itu, sel T naif
tidak bermigrasi ke situs infeksi atau cedera jaringan. The homing sel T efektor ke
situs infeksi independen dari pengakuan antigen, tetapi limfosit yang mengenali
antigen secara istimewa dipertahankan dan diaktifkan di situs. The homing sel T
efektor ke situs infeksi terutama tergantung pada molekul adhesi dan kemokin. Oleh
karena itu, setiap sel T efektor hadir dalam darah, terlepas dari spesifisitas antigen,
dapat memasuki tempat infeksi. Migrasi nonselektif ini mungkin memaksimalkan
kemungkinan limfosit efektor memasuki jaringan di mana mereka mungkin
menghadapi mikroba yang mereka kenal. Sel T efektor yang meninggalkan sirkulasi,
dan yang secara khusus mengenali antigen mikroba yang disajikan oleh jaringan lokal
APC, menjadi aktif kembali dan berkontribusi terhadap pembunuhan mikroba di
APC. Salah satu konsekuensi dari reaktivasi ini adalah peningkatan ekspresi integrin
VLA pada sel T. Beberapa integrin ini secara khusus mengikat molekul yang ada
dalam matriks ekstraseluler, seperti asam hyaluronic dan fibronektin. Oleh karena itu,
limfosit yang dirangsang oleh antigen melekat kuat pada protein matriks jaringan di
dekat antigen, yang dapat berfungsi untuk menjaga sel-sel di tempat peradangan.
Retensi selektif ini berkontribusi terhadap akumulasi lebih banyak sel T yang spesifik
untuk antigen mikroba di lokasi infeksi.
Sebagai hasil dari urutan kejadian migrasi sel T ini, fase efektor dari respons
imun yang dimediasi sel T dapat terjadi di setiap lokasi infeksi. Berbeda dengan
aktivasi sel T naif, yang membutuhkan presentasi antigen dan costimulation oleh sel
dendritik, sel efektor dibedakan kurang bergantung pada costimulation. Oleh karena
itu, proliferasi dan diferensiasi sel T naif terbatas pada organ limfoid, di mana sel
dendritik (yang menunjukkan kostimulator berlimpah) menampilkan antigen, tetapi
fungsi sel T efektor dapat diaktifkan kembali oleh sel host yang menampilkan peptida
mikroba yang terikat ke molekul MHC, bukan hanya sel dendritik
a. Penurunan Respon Imun

Gambar 2.18 Mekanisme Penurunan Respon Imun (Homeostasis)


(Abbas et al., 2007).

Limfosit T berproliferasi dan berdiferensiasi sebagai respons terhadap antigen.


Ketika antigen dihilangkan, respon kekebalan terhadap antigen asing terbatas dan
berkurang dikarenakan banyak sel T yang aktif mati oleh apoptosis untuk
mengembalikan sistem kekebalan ke keadaan istirahat. Pada akhir respon imun. sel-
sel memori adalah satu-satunya sel yang bertahan hidup. Apoptosis mungkin
merupakan mekanisme utama untuk penurunan respon sel T dan sel B (hanya sel T
yang ditunjukkan). Karena ekspansi yang luar biasa dari limfosit antigen spesifik
pada puncak respon imun, dapat diprediksi bahwa setelah respon berakhir, sistem
harus kembali ke keadaan konstan, disebut homeostasis, sehingga ia siap untuk
merespon patogen infeksius berikutnya (Abbas et al., 2007).
Setelah eliminasi antigen, ada fase kontraksi, di mana sebagian besar sel yang
merespon antigen hilang. Fase kontraksi ini sebagian besar karena kematian apoptosis
limfosit yang diaktifkan sebelumnya. Antigen, kostimulator, dan sitokin (faktor
pertumbuhan) yang dihasilkan selama respons imun mencegah limfosit untuk mati
dan memungkinkan ekspansi klon dan diferensiasi limfosit ke dalam sel efektor.
Rangsangan kelangsungan hidup untuk limfosit berfungsi terutama dengan
menginduksi ekspresi protein anti-apoptosis, yang paling penting adalah anggota
keluarga Bcl-2. Apoptosis merupakan hasil aktivasi sensor kematian sel seperti Bim
dan mengurangi tingkat protein bertahan hidup seperti Bcl-2 dan Bcl-x.
Selain kontraksi respon imun ini karena kematian sel. Antigen dapat memicu
mekanisme pengaturan aktif yang juga berfungsi untuk menghentikan tanggapan
kekebalan. Dua mekanisme ini telah disebutkan sebelumnya sebagai mekanisme
toleransi sel T perifer. Sel T yang diaktifkan mulai mengekspresikan CTLA-4, yang
berinteraksi dengan molekul B7 dan menghambat proliferasi limfosit lanjutan.
CTLA-4 muncul setelah 3 atau 4 hari aktivasi sel T, dan ini mungkin menandai
penurunan respon sel T. CTLA-4 mungkin merupakan terminator fisiologis aktivasi
sel T. Reseptor penghambatan lain seperti PO-I dapat melayani fungsi yang serupa.
Sel T yang teraktivasi juga dapat mengekspresikan reseptor kematian seperti Fas dan
ligan untuk reseptor-reseptor ini, dan interaksi dari molekul-molekul ini
menghasilkan apoptosis. Karena koekspresi Fas, FasL dan Fas-mediated apoptosis
diinduksi oleh stimulasi antigen berulang, mereka kemungkinan besar akan dipicu
dalam situasi paparan antigen persisten (misalnya dengan antigen diri, atau selama
infeksi kronis). Namun, reseptor penghambat seperti CTLA-4 dan reseptor kematian
tampaknya lebih penting untuk toleransi terhadap antigen sendiri daripada untuk
mengakhiri respons imun normal terhadap antigen asing, seperti protein mikroba.
Tanggapan limfosit B juga aktif dikendalikan karena antibodi IgG yang diproduksi
oleh sel B membentuk kompleks dengan antigen, dan kompleks mengikat reseptor
Fey pada sel B dan menghambat sel-sel ini (Abbas et al., 2007).
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Tahapan respon sel T terhadap antigen dibagi menjadi 3 tahapan yaitu: tahap
aktivasi, tahap deferensiasi, dan tahap pembentukan memori.
2. Pengenalan antigen dan kostimulasi melibatkan adanya pengenalan peptide
yang terkait dengan MHC, peran molekul adhesi dalam respon sel T, peran
costimulasi dalam aktivasi sel T, dan adanya rangsangan untuk aktivasi sel T
CD8+
3. Jalur biokimia ini dimulai ketika kompleks TCR dan koreceptor yang sesuai
bersatu dengan mengikat mengikat kompleks MHC-peptida pada permukaan
APC.
4. Pengenalan antigen dan kostimulator oleh sel T mengawali adanya respon
yang terkontrol. Respon ini mengakibatkan perluasan klon limfosit spesifik
antigen dan diferensiasi sel T naif ke dalam sel efektor dan sel memori.
Banyak tanggapan sel T dimediasi oleh sitokin yang disekresikan oleh sel T.
Sitokin bertindak pada sel T dan pada banyak sel lain terutama dalam
pertahanan kekebalan.
5. Limfosit terus bergerak melalui aliran darah, limfatik, jaringan limfoid
sekunder, dan jaringan nonlymphoid perifer, dan populasi limfosit yang
berbeda secara fungsional menunjukkan pola perdagangan yang berbeda
melalui situs ini.
DAFTAR RUJUKAN

Abbas, A. K., Lichtman, A. H., & Pillai, S. 2007. Cellular and Molecular
Immunology. ISBN-13: 978-1-4160-3122-2
Abbas, A. K., Lichtman, A. H., & Pillai, S. 2016. Basic Immunology Function and
Disorders. ISBN 978-0-323-39082-8
Nauta, J. 2011. Statistics In Clinical Vaccine Trials. Verlag Berlin Heidelberg:
Springer.

Anda mungkin juga menyukai