Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS INDONESIA

PENYIMPANAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH


OLEH NOTARIS
BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 53/PID.B/2017/PN.BKT

PROPOSAL TESIS

Diajukan sebagai pemenuhan tugas Metode Penelitian Ilmiah

AUDINA SINTASARI
1806246754

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK, DESEMBER 2019
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang ...........................................................................................0
B. Rumusan Masalah ......................................................................................0
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .................................................................0
3.1. Tujuan Penelitian ................................................................................0
3.1.1. Tujuan Umum .........................................................................0
3.1.2. Tujuan Khusus ........................................................................0
3.2. Manfaat Penelitian .............................................................................0
3.2.1. Manfaat Teoritis ......................................................................0
3.2.2. Manfaat Praktis .......................................................................0
D. Metode Penelitian ......................................................................................0
4.1. Bentuk Penelitian ................................................................................0
4.2. Tipologi Penelitian ..............................................................................0
4.3. Jenis Data ............................................................................................0
4.4. Jenis Bahan Hukum ............................................................................0
4.5. Alat Pengumpul Data ..........................................................................0
4.6. Bentuk Hasil Penelitian.......................................................................0
E. Sistematika Penulisan ................................................................................0
A. LATAR BELAKANG
Tindakan Notaris yang menahan sertifikat dapat dikategorikan sebagai
bentuk tanggung jawab Notaris dalam menjaga kepentingan para pihak.
Seharusnya perbuatan Notaris yang menahan sertipikat dilakukan bukan semata-
mata untuk kepentingan/keuntungan pribadi melainkan untuk memenuhi
kewajibannya berdasarkan perintah undang-undang untuk melindungi
kepentingan para pihak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2004 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak mengatur
secara spesifik mengenai kewenangan penyimpanan sertipikat hak atas tanah.
Seringkali terjadi konflik antara Notaris dan klien dalam hal penyimpanan akta
khususnya dalam hal ini penyimpanan yang dilakukan pada proses pengikatan jual
beli.
Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan
yang dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris sebelum dilakukanya akta jual beli
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Apabila terjadi wansprestasi terhadap
pengikatan jual beli, Notaris seringkali dilaporkan kepada pihak kepolisian
dengan tuduhan penggelapan karena menyimpan sertifikat hak atas tanah dalam
proses perjanjian pengikatan jual beli. Sekalipun para pihak telah sepakat
menitipkan atau menyimpan tanda bukti tersebut kepada Notaris.
Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh Notaris ini
memiliki fungsi untuk dijadikan alat bukti apabila akta atau objek dari akta
disengketakan, selain itu akta juga menjadi aturan bagi para pihaknya guna
menjamin suatu kepastian hukum. Apabila diamati, perjanjian pengikatan jual beli
adalah akta yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang. Akta
tersebut dibuat dan di sepakati oleh para pihak dihadapan Notaris secara bebas
yang dituangkan sendiri oleh para pihak, sesuai dengan Pasal 1 (satu) dalam akta
perjanjian pengikatan jual beli yang menyebutkan “Pihak penjual berjanji dan
mengikat dirinya untuk menjual kepada pihak pembeli yang berjanji dan mengikat
dirinya untuk membeli dari pihak penjual sebidang tanah tertentu”, tentu saja
apabila para pihak telah sepakat maka Akta tersebut mengikat para pihak dengan
melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Isi akta dalam pasal
tersebut adalah perizinan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu
telah bersepakat, setuju atau seiya-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. Hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
timbal-balik.1 Pengikatan jual beli seringkali terjadi penyimpangan, oleh karena
itu Notaris seringkali melakukan penyimpanan sertipikat hak atas tanah demi
menjamin kepentingan para pihak. Namun sebenarnya penyimpanan sertipikat
hak atas tanah tersebut bukan merupakan peranan serta kewenangan yang dimiliki
oleh Notaris.
Masyarakat memandang bahwa Notaris merupakan seorang pejabat
yang bisa di andalkan dan dianggap tempat memperoleh nasihat mengingat
profesi seorang Notaris memiliki kewajiban tidak memihak serta menjaga
kepentingan para pihak yang dapat memberikan rasa keadilan diantara para pihak
dalam pembuatan akta. Sesuatu yang ditulis dan ditetapkannya adalah benar serta
sebagai pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.2 Notaris
merupakan profesi di bidang hukum terutama pemberian jasa pembuatan akta.
Akta yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi alas hukum atas suatu harta benda,
hak dan kewajiban seseorang.3 Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai peranan
penting dalam menciptakan kepastian hukum di dalam setiap hubungan hukum,
sebab akta Notaris bersifat otentik, dan merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh
dalam setiap perkara yang terkait dengan akta Notaris tersebut.4 Dengan dasar
tersebut, mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk
melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa
dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya dapat memberikan
honorarium kepada Notaris, oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika

1
Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: Intermasa, 1976), hlm. 17.
2
Tan Khong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2007), hlm. 444.
3
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm, 25.
4
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, cet.1,
(Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm.7.
masyarakat tidak membutuhkannya.5 Jabatan Notaris erat kaitannya dengan kode
etik profesi Notaris sendiri, yang mana merupakan norma yang ditetapkan dan
diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk
kepada anggota bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu
moral profesi itu dimata masyarakat.6
Notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam lalu lintas
hukum, khususnya dalam bidang hukum keperdataan, karena Notaris
berkedudukan sebagai pejabat publik, yang mempunyai kewenangan untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.7 Ruang lingkup kewenangan
Notaris meliputi: wewenang berkaitan dengan Tempat, wewenang berkaitan
dengan Waktu, wewenang berkaitan dengan Orang dan wewenang berkaitan
dengan Akta.8
Pengertian Notaris itu sendiri terdapat dalam ketentuan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.9 Notaris
adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai perbuatan, perjanjian, dan ketetapan, sedangkan pejabat lain hanya
merupakan pengecualian, artinya pejabat lain hanya mempunyai kewenangan
untuk membuat akta otentik apabila pejabat lain tersebut ditunjuk secara tegas
dalam Undang-Undang. Jadi wewenang Notaris bersifat umum sedangkan pejabat
lain merupakan pengecualian.10 Pejabat umum dalam bahasa Belanda adalah
Openbaar Ambtenar, Openbaar dalam pemerintahan berarti urusan yang terbuka

5
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 27
6
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006),
hlm. 77
7
Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk
Dan Minuta Akta), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 33.
8
Alwesius, Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, cet. 1, (Jakarta: LP3H, 2018)
hlm. 4.
9
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tapsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 13.
10
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 36.
untuk umum, kepentingan umum.11 Dalam hal terdapat istilah Pejabat Umum,
undang-undang memang belum dan atau tidak secara rinci membuat
definisinya.12
Selain itu Notaris juga merupakan satu-satunya pejabat umum yang
diangkat untuk pembuatan alat-alat bukti, sehingga Notaris tidak melakukan
perbuatan yang dilakukan para pihak tetapi hanya membuatkan alat bukti bagi
kedua belah Pihak. Keberadaan Notaris merupakan pelaksanaan dari hukum
pembuktian.13 Produk hukum yang dikeluarkan oleh Notaris adalah berupa akta-
akta yang memiliki sifat otentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Berkaitan dengan kewenangan pejabat umum yang merupakan satu-
satunya yang berwenang membuat akta otentik, terdapat aturan yang menjelaskan
yaitu dalam pasal 1868 Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disebut BW) : ”Akta otentik adalah suatu akta yang didalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh orang dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya.”14
Tugas dan wewenang Notaris erat hubungannya dengan perjanjian-
perjanjian, perbuatan-perbuatan dan juga ketetapan-ketetapan yang menimbulkan
hak dan kewajiban antara para pihak, yaitu memberikan jaminan atau alat bukti
terhadap perbuatan, perjanjian, dan juga ketetapan tersebut agar para pihak yang
terlibat di dalamnya mempunyai kepastian hukum.15 Selain itu Pasal 15 ayat (2)
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan Notaris berwenang
pula:

11
N.E Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, Belanda-Indonesia, (Jakarta:
Binacipta, 1983), hlm. 363.
Sri Winarsi, “Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat
12

Umum,” Yuridika, Vol. 17 No.2, (Maret 2002), hlm. 186.


13
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku
Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 220
14
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh
Subekti, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2009), Ps. 1868.
15
Habib Adjie, Sanksi Perdata, hlm 32.
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar pada buku khusus;
b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahaan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Melakukan penyuluhan hokum sehubung dengan pembuatan Akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat Akta risalah lelang.16
Akta autentik yang dibuat oleh Notaris ada 2 (dua) jenis yaitu akta
yang dibuat oleh (door) Notaris yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat
(ambrelijke akten) dan akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris atau
yang dinamakan akta partij (partij akten).17 Dalam akta relaas, Notaris menulis
atau mencatatkan semua hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung
oleh Notaris yang dilakukan para pihak. Akta pihak adalah akta yang dibuat
dihadapan Notaris atas permintaan para pihak. Notaris berkewajiban untuk
mendengarkan pernyataan atau keterangan para pihak yang dinyatakan atau
diterangkan sendiri oleh para pihak dihadapan Notaris. Pernyataan atau keterngan
para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan ke dalam akta Notaris.18
Salah satu perjanjian yang banyak timbul dalam praktek Notaris yang
dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas adalah perjanjian
pengikatan jual-beli hak atas tanah, perjanjian ini termasuk perjanjian
onbenoemde (perjanjian tak bernama) yang kemudian diberi nama sendiri. Dalam
praktek selama ini, sudah umum terjadi Notaris menyimpan sertifikat Hak Atas
Tanah terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya, khususnya sertifikat Hak
Atas Tanah, baik itu Hak Guna Bangunan maupun Hak Milik. Salah satu alasan
para pihak menitipkan sertifikat Hak Atas Tanah kepada Notaris adalah jika
pembeli belum mampu membayar lunas dan di lain pihak penjual sangat

16
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, UU. No. 2 Tahun 2014, LN. No. 3 Tahun 2014, TLN. No. 5491.
17
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan, hlm. 51.
18
Habib Adjie, Hukum Notaris, hlm.39.
membutuhkan uang, Penitipan ini terjadi atas dasar kesepakatan kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian pengikatan jual beli Hak Atas Tanah. Notaris
dalam hal ini senantiasa menjalankan amanah profesinya, harus sesuai dengan
UUJN maupun kode etik profesi Notaris.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah antara para pihak dapat
dilakukan melalui akta di bawah tangan atau dapat pula dilakukan melalui suatu
akta yang dibuat dihadapan Notaris. Untuk tanah-tanah yang bersertifikat Hak
Milik (SHM) maupun tanah yang belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM)
pengikatan jual belinya dapat dilakukan dihadapan Notaris. Pengikatan jual beli
tanah dengan status Sertifikat Hak Milik merupakan perbuatan hukum awal yang
mendahului perbuatan hukum jual beli tanah. Jadi pengikatan jual beli berbeda
dengan perbuatan hukum jual beli tanah. Notaris memiliki wewenang membuat
akta pengikatan jual beli tanah dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM) tapi
tidak berwenang membuat akta otentik jual beli tanah bersertifikat hak milik
(AJB), karena kewenangan membuat akta Jual Beli Tanah (AJB) bersertifikat
Hak Milik ada pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).19
Pada prinsipnya suatu perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah
(PJB)tunduk pada ketentuan umum perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Pengikatan Pasal 1313
KUH Perdata memberikan rumusan tentang Perjanjian adalah “suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Subekti memberikan definisi perjanjian
adalah “Suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.20
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa, semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Pasal 1338 ini mengandung asas kebebasan berkontrak,
maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa
saja, baik bentuknya, isinya, namanya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.

19
Muchlis Patahna, Problematika Notaris, (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 9.
20
Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 1.
Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
Sebelum dilakukannya jual beli tanah dihadapan PPAT yang
berwenang, para pihak membuat akta pengikatan jual beli tanah di hadapan
Notaris. Pengikatan dimaksudkan sebagai perjanjian pendahuluan dari maksud
utama para pihak untuk melakukan peralihan hak atas tanah. Pengikatan jual beli
ini memuat janji-janji untuk melakukan jual beli tanah apabila persyaratan yang
diperlukan untuk itu telah terpenuhi.21
Akta perjanjian pengikatan jual beli tanah dalam prakteknya sering
dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, sehingga Akta
perjanjian pengikatan Jual Beli merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna. Hal ini dimaksudkan oleh para pihak untuk lebih
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang
membuatnya. Karena Notaris dalam membuat akta tidak berpihak dan menjaga
kepentingan para pihak secara obyektif.
Dengan bantuan Notaris para pihak yang membuat perjanjian
pengikatan jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang
akan diperjanjikan. Namun suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai
dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak.Dalam kondisi-kondisi
tertentu dapat ditemukan terjadinya berbagai hal, yang berakibat suatu perjanjian
mengalami pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun atas perintah
pengadilan. 22
Pengikatan Jual Beli (PJB) tanah antara para pihak dapat dilakukan
melalui akta di bawah tangan atau dapat pula dilakukan melalui suatu akta yang
dibuat dihadapan Notaris. Untuk tanah-tanah yang bersertifikat Hak Milik (SHM)
maupun tanah yang belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) pengikatan jual
belinya dapat dilakukan dihadapan Notaris. Pengikatan jual beli tanah dengan
status Sertifikat Hak Milik merupakan perbuatan hukum awal yang mendahului

21
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 12.
22
Setiawan Rahmat, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abardin, 2005), hlm.
5.
perbuatan hukum jual beli tanah. Jadi pengikatan jual beli berbeda dengan
perbuatan hukum jual beli tanah. Notaris memiliki wewenang membuat akta
pengikatan jual beli tanah dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM) tapi tidak
berwenang membuat akta otentik jual beli tanah bersertifikat hak milik (AJB),
karena kewenangan membuat akta jual beli tanah (AJB) bersertifikat Hak Milik
ada pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).23
Sebagaimana terkait dengan penyimpanan sertifikat hak atas tanah
oleh Notaris pada perbuatan hukum pembuatan akta pengikatan jual beli,
pelaksanaan perjanjian pendahuluan yang dilakukan berupa perjanjian./pengikatan
jual beliterhadap tanah, tidak lain karena para pihak belum siap untuk
melaksanakan jual beli tanah secara langsung dengan pemindahan/peralihan hak.
Diadakannya pengikatan jual-beli tanah, tidak lain karena para pihak
belum siap untuk melaksanakan jual-beli tanah langsung dengan pemindahan hak.
Dalam praktek, perjanjian pengikatan jual-beli tanah dilakukan misalnya karena
pihak pembeli belum siap membayar tunai harga tanah yang menjadi objek jual-
beli. Sehingga terjadilah pengikatan dengan pembayaran uang dimuka yang sering
disebut “Voorshot”.24 Pengikatan jual beli terhadap tanah dilakukan karena pihak
pembeli belum mempunyai uang yang cukup untuk membayar tunai harga tanah
yang menjadi objek jual beli. Pasal 16 ayat (1) huruf (c) UUJN, “Notaris
berkewajiban melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta”. Terhadap sidik jari (jempol kiri atau kanan) oleh Notaris
dibuatkandalam lampiran kertas tersendiri terpisah dan dilekatkan pada minuta
akta dari setiapperbuatan hukum para pihak.
Terhadap berkas-berkas dari pihak-pihak yang mengikatkan dirinya
dalam perbuatan hukum akta pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris,
pemenuhan kelengkapan pembuatan akta disesuaikan sebagaimana maksud
ketentuan Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 2
tahun 2014. Pengikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak ditentukan dan
disepakati syarat-syarat mengenai pembayaran harga objek tanah, serta tahapan

23
Ramdan Harijanto, Kewajiban-Kewajiban Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah
Bersertifikat, (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2010), hlm. 36.
24
Wishnu Febrizha Arvendha, “Peranan Notaris dalam Pembuatan Akta Pengikatan Jual
Beli Hak Atas Tanah,” (Tesis Magister Universitas Airlangga, Surabaya, 2008), hlm. 1.
waktu pembayaran angsuran harga objek tanah tersebut dan berbagai macam
klausul (ketentuan) yang telah disepakati kedua belah pihak.
Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah melalui perjanjian
pendahuluan akta pengikatan jual beli dikarenakan belum siapnya para pihak
untuk dilangsungkannya akta jual beli (AJB) secara lunas terkait biaya pembuatan
akta dan pengurusan pemecahan dan atau pemisahan Sertifikat hak atas tanah,
termasuk pajak-pajak yang harus dibayar terlebih dahulu dan beberapa faktor
penyebab lainnya.
Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintah non kementerian di
Indonesia mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena
itu, haruslah dapat melaksanakan penyusunan, penetapan kebijakan, perumusan,
pelaksanaan, dan pengawasan bidang pertanahan dengan baik berpedoman hukum
yang berlaku. Agar mendapatkan penguasaan atas sebidang tanah, orang baik
sendiri ataupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum harus
memiliki suatu hak atas tanah yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penggunaan tanah tanpa adanya hak adalah dilarang.
Oleh karena itu dilakukan penerbitan sertipikat hak atas tanah.
Umumnya, sertipikat hak atas tanah diterbitkan sebagai suatu wujud bukti
kepemilikan hak atas tanah. Sertipikat hak atas tanah juga memiliki fungsi sebagai
alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Hal ini telah
ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang menyatakan sebagai
berikut :
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.

Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) dinyatakan secara implisit. Dikatakan secara implisit karena ketentuan
tersebut hanya mengatur bahwa sebagai proses akhir dari pendaftaran tanah yaitu
pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat. Jadi dalam ketentuan tersebut tidaklah menyebutkan sertipikat tanah sebagai
surat tanda bukti hak secara langsung. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tepatnya pada
Pasal 32 ayat (1) menentukan bahwa surat tanda bukti hak atas tanah yang
didaftar dinamakan sertipikat. Dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan
sebagai berikut :
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang bersangkutan.

Salah satu perjanjian yang banyak timbul dalam praktek Notaris yang
dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas adalah perjanjian
pengikatan jual-beli hak atas tanah, perjanjian ini termasuk perjanjian
onbenoemde (perjanjian tak bernama) yang kemudian diberi nama sendiri.
Dalam praktek selama ini, sudah umum terjadi Notaris menyimpan sertifikat
Hak Atas Tanah terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya, khususnya
sertifikat Hak Atas Tanah, baik itu Hak Guna Bangunan maupun Hak Milik.
Salah satu alasan para pihak menitipkan sertifikat Hak Atas Tanah kepada
Notaris adalah jika pembeli belum mampu membayar lunas dan di lain pihak
penjual sangat membutuhkan uang, Penitipan ini terjadi atas dasar kesepakatan
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian pengikatan jual beli Hak Atas
Tanah. Notaris dalam hal ini senantiasa menjalankan amanah profesinya, harus
sesuai dengan UUJN maupun kode etik profesi Notaris.25
Pengikatan Jual Beli (PJB) tanah antara para pihak dapat dilakukan
melalui akta di bawah tangan atau dapat pula dilakukan melalui suatu akta
yang dibuat dihadapan Notaris. Untuk tanah-tanah yang bersertifikatHak Milik
(SHM) maupun tanah yang belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM)

25
C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006), hlm. 34.
pengikatan jual belinya dapat dilakukan dihadapan Notaris. Pengikatan jual beli
tanah dengan status Sertifikat Hak Milik merupakan perbuatan hukum awal
yang mendahului perbuatan hukum jual beli tanah. Jadi pengikatan jual beli
berbeda dengan perbuatan hukum jual beli tanah. Notaris memiliki wewenang
membuat akta pengikatan jual beli tanah dengan status Sertifikat Hak Milik
(SHM) tapi tidak berwenang membuat akta otentik jual beli tanah bersertifikat
hak milik (AJB), karena kewenangan membuat akta jual beli tanah (AJB)
bersertifikat Hak Milik ada pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).26
Sebelum dilakukannya jual beli tanah dihadapan PPAT yang berwenang,
para pihak membuat akta pengikatan jual beli tanah di hadapan Notaris.
Pengikatan dimaksudkan sebagai perjanjian pendahuluan dari maksud utama
para pihak untuk melakukan peralihan hak atas tanah. Pengikatan jual beli ini
memuat janji-janji untuk melakukan jual beli tanah apabila persyaratan yang
diperlukan untuk itu telah terpenuhi. Pelaksanaan profesinya tersebut seringkali
Notaris dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan tuduhan penggelapan dalam
menyimpan tanda bukti sertifikat hak atas tanah dalam pengikatan jual beli.
Sekalipun para pihak telah sepakat menitipkan atau menyimpan tanda bukti
sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek perjanjian kepada Notaris karena
tidak adanya kewenangan dan aturan terhadap Notaris dalam penyimpanan
sertifikat hak atas tanah tersebut.
Dalam pelaksanaan profesinya tersebut seringkali Notaris dilaporkan
kepada pihak kepolisian dengan tuduhan penggelapan dalam menyimpan tanda
bukti sertifikat hak atas tanah dalam pengikatan jual beli. Sekalipun para pihak
telah sepakat menitipkan atau menyimpan tanda bukti sertifikat hak atas tanah
yang menjadi objek perjanjian kepada Notaris karena tidak adanya kewenangan
dan aturan terhadap Notaris dalam penyimpanan sertifikat hak atas tanah tersebut.
Hal ini juga terlihat dalam Perkara Putusan Nomor
53/Pid.B/2017/PN.Bkt Pengadilan Negeri Bukittingi pada terdakwa Elfita Achtar,
seorang berprofesi sebagai Notaris yang dilaporkan karena menahan dan tidak
memberikan 4 (empat) sertifikat HGB milik PT. RAHMAN TAMIN dengan
dakwaan melanggar Pasal 374 KUHP subsidair melanggar Pasal 372 KUHP yaitu

26
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Jakarta: PT Buku Kita, 2009), hlm. 59.
penggelapan dalam jabatan. Perkara ini bermula pada tanggal 24 Februari 2014
Notaris/PPAT Elfita Achtar membuat akta perjanjian jual beli antara tim
likuidator PT. Rahman Tamin ( Ahmad Fadjrin, saksi Dwiana Miranti dan
Mahyunis ) dengan Edy Yosfi selaku Direktur PT. Starvi Properti Indonesia
dengan akta pengikatan jual beli (PJB) Nomor 06 Tahun 2014 yang pada
pokoknya berisi bahwa antara Tim Likuidator dengan Edi Yosfi akan dilakukan
jual beli asset PT. Rahman Tamin berupa sertifikat HGB Nomor 134, 135, 136,
137 yang terletak di daerah Kelurahan Tarok Dipo Kota Bukittinggi.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Pengikatan Jual Beli (PJB) Nomor 6
Tahun 2014 Notaris Elfita Achtar menerima titipan sertifikat atas asset PT.
Rahman Tamin berupa sertifikat HGB Nomor 134, 135, 136, 137 yang terletak di
daerah Kelurahan Tarok Dipo Kota Bukittinggi yang diserahkan oleh Mustafa
Gani Tamin Setelah jangka waktu Pengikatan Jual Beli berakhir yaitu tanggal 24
Maret 2014 dan tidak adanya pelunasan oleh Edi Yosfi selaku pembeli, Notaris
Elfita Achtar tetap menyimpan ke empat sertifikat HGB Nomor 134, 135, 136 dan
137 meskipun telah diminta beberapa kali oleh pemilik dan atau likuidator yang
baru PT. Rahman Tamin ( Khairil Poloan ) kemudian Mustafa Gani Tamin
mencoba meminta sertifikat kepada Notaris Elfita achtar agar menyerahkan
kembali sertifikat tersebut tetapi Notaris Elfita Achtar tidak mau menyerahkan
dengan alasan ke empat bidang tanah telah ada pengikatan jual beli (PJB)
selanjutnya pada tanggal 03 Desember 2015 Khairil Poloan (likuidator)
mendatangi ke kantor Notaris Elfita Achtar untuk meminta kembali ke empat
sertifikat HGB milik PT. Rahman Tamin tetapi tidak mendapatkan respon
sedikitpun.
Notaris Elfita Achtar dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan
tuduhan melanggar Pasal 374 KUHP subsidair melanggar Pasal 372 KUHP yaitu
penggelapan dalam jabatan dan tuduhan Pasal 216 KUHP yaitu menghalang-
halangi proses penyidikan. Selanjutnya pada perkara Putusan Nomor
53/Pid.B/2017/PN.Bkt majelis hakim mengadili dan menyatakan terdakwa Elfita
Achtar tersebut terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut
umum yaitu Pasal 374 KUHP subsidair Pasal 372 KUHP tetapi bukan merupakan
tindak pidana dan melepaskan dari dakwaan tersebut.
Oleh sebab itu, berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah berupa tesis yang berjudul ”
TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PENYIMPANAN SERTIPIKAT
HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR
53/PID.B/2017/PN.BKT)”

B. RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan uraian latar belakang di atas, maka rumusan
masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban Notaris dalam menyimpan sertifikat hak
atas tanah pada proses pengikatan jual beli berdasarkan Putusan Nomor
53/Pid.B/2017/Pn.Bkt?
2. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap penyimpanansertifikat hak atas tanah
oleh Notaris pada proses pengikatan jual beli berdasarkan Putusan Nomor
53/Pid.B/2017/Pn.Bkt?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Berdasarkan permasalahan yang telah disampaikan, penelitian ini
dilakukan berkaitan dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai, yaitu sebagai
berikut:
1. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini akan diarahkan secara spesifik pada
tiga hal berikut:
1.1. Tujuan Umum
Salah satu sarana untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan hukum
yang diperoleh selama perkuliahan yang bersifat teoritis dengan praktik
yang terjadi dalam masyarakat khususnya dalam bidang peraturan jabatan
Notaris.
1.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui bentuk pertanggungjawaban yang dapat dilakukan Notaris
dalam menyimpan sertifikat hak atas tanah pada proses pengikatan
jual beli berdasarkan Putusan Nomor 53/Pid.B/2017/Pn.Bkt.
b. Menjelaskan pertimbangan hakim terhadap penyimpanan sertifikat
hak atas tanah oleh Notaris pada proses pengikatan jual beli
berdasarkan Putusan Nomor 53/Pid.B/2017/Pn.Bkt.
2. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka diharapkan
penelitian ini akan memberikan manfaat atau kontribusi sebagai berikut:
2.1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga dalam melihat
peraturan perundang-undangan secara lebih komperhensif dan utuh atas
peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai konsentrasi subjek
dan objek yang berbeda-beda yang juga didukung dengan asas-asas ilmu
hukum yang melandasi lahirnya undang-undang tersebut. Dengan kata
lain, diperlukan sinkronisasi yang jelas dalam pemahaman peraturan
perundang-undangan tersebut. Dengan kata lain, diperlukan sinkronisasi
yang jelas dalam pemahaman peraturan perundang-undangan sehingga
tidak menimbulkan missinterpretation.
2.2. Manfaat Praktis
Untuk sisi praktisnya, juga diharapkan agar hasil penelitian ini dapat
memberi pengetahuan yang lebih luas lagi bagi pihak-pihak yang terkait,
baik bagi Notaris sebagai pejabat umum dan stakeholder Notaris perihal
hakikat dan aspek-aspek yang termuat dalam UUJN yang tentunya
menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam berhubungan satu sama lain.
D. METODE PENELITIAN
Metodologi merupakan faktor penting dalam penulisan dan
penyusunan suatu karya ilmiah. Penggunaan metode penelitian hukum dalam
penulisan tesis ini dapat digunakan untuk menggali, mengolah, dan merumuskan
bahan-bahan hukum yang diperoleh sehingga mendapatkan kesimpulan yang
sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang dihadapi.
Sehingga pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode yang tepat diharapkan dapat
memberikan alur pemikiran secara berurutan dalam usaha mencapai pengkajian.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
proses analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpul dan diolah,
dengan tujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara metodologis, sistematis,
dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
Sistematis adalah berdasarkan sistem; dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Oleh karena penelitian
merupakan sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka merodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan
ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.27 Sebagai pedoman dalam penulisan
skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagaimana tertulis dalam
uraian dibawah.
1. Bentuk Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menentukan aturan
hukum, aturan-aturan hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.28 Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-
kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian
yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang
bersifat formil seperti Undang-undang, peraturan-peraturan, serta literatur yang
berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan

27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, ed. 1, cet.10, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.1.
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Persada, 2010), hlm. 35.
yang akan dibahas dalam tesis ini. Tujuannya untuk mengadakan pendekatan
terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-
undangan yang berlaku mengenai perbuatan Notaris yang menyimpan sertifikat
hak atas tanah pada proses penfikatan jual sebagaimana telah diputus dalam
Putusan Nomor 53/Pid.B/2017/PN.Bkt, dengan tujuan untuk mempelajari
penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum
2. Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian dapat dilihat dari berbagai sudut dilihat dari sudut
bentuknya dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu, (1) penelitian diagnostik, suatu
penelitian guna mendapatkan dan menganalisis data tentang sebab-sebab
timbulnya suatu gejala (fenomena); dan (2) Penelitian preskiptif, suatu penelitian
bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan
keadaan/fakta yang ada; serta (3) Penelitian evaluatif, adlah penelitian untuk
menilai, baik melalui pengujian (eksplanatoris) maupun melalui analisis mengenai
hubungan variabel-variabel. 29
Dalam tesis ini, yang digunakan dalah penelitian preskriptif yaitu
pernyataan yang mengetengahkan apa yang perlu dilakukan.30 Misalnya
pernyataan bagaimana pasal tertentu di dalam konstitusi seharusnya
diinterpretasikan, undang-undang seperti apa yang harus dibuat untuk mengatasi
persoalan tertentu, atau bagaimana aturan tertentu seharusnya diubah.31 Bertujuan
untuk memberikan gambaran sesuai dengan keadaan/fakta yang ada sebagaimana
topik tesis ini.
3. Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian terdapat dua
macam yaitu data primer dan data sekunder. Sedangkan tesis ini hanya
menggunakan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
hasil penelitian di lapangan tidak . Sedangkan data sekunder, yaitu data yang

29
Meray Hendrik Mezak, “Jenis, Metode, dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum.” Law
Review, Universitas Pelita Harapan Vol.3. (Maret 2006), hlm. 88-89.
30
Andri Gunawan Wibisana, “Menulis di Jurnal Hukum: Gagasan,” Jurnal Hukum dan
Pembangunan 49 (April-Juni 2004), hlm. 5.
31
Pamela Samuelson, “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes,” University of
Pittsburgh Law Review, Vol.46 (1984), hlm. 151.
diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan membaca dan menganalisa berbagai
buku yang berkaitan dengan permasalahan. Data sekunder diperoleh dengan
mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundang undangan
yang terkait dengan analisis terhadap pertanggungjawaban Notaris dalam
penyimpanan sertipikat hak atas tanah. Studi dokumen yang dilakukan dengan
menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer yaitu:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 juncto Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
4. Jenis Bahan Hukum
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
Bahan hukum merupakan sarana dari suatu penulisan yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan yang ada sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim.32 Bahan hukum primer yang akan
dipergunakan dalam mengkaji setiap permasalahan dalam penulisan skripsi ini
adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

32
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 141.
5. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi ini meliputi literatur-literatur ilmiah, buku-buku serta surat kabar yang
bertujuan untuk mempelajari isi pokok permasalahan yang dibahas.33 Bahan
hukum sekunder yang digunakan dalam tesis ini antara lain: buku-buku literatur,
website/internet, jurnal yang relevan, dan kamus hukum.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus, encyclopedia.34
5. Alat Pengumpul Data
Dikenal tiga alat pengumpul data, yakni studi dokumen atau bahan
pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview. Alat mana
yang hendak dipergunakan, senantiasa tergantung pada ruang lingkup dan tujuan
penelitian hukum yang akan dilakukan, dalam hal ini khususnya mengenai tipe
data yang akan diteliti.35 Dalam hal pelaksanaan pengerjaan proposal tesis ini
melakukan studi dokumen atau bahan pustaka di perpustakaan khususnya
Perpustakaan Universitas Indonesia.
6. Metode Analisis Data
Secara general ada 2 (dua) macam metode analisis yang umumnya
digunakan dalam penelitian yaitu (1) Analisis data secara Kualitatif, (2) Analisis
data Secara Kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif dengan melakukan penelitian memahami putusan Pengadilan Negeri
Bukittinggi Nomor 53/PID.B/2017/PN.BKT. Penelitian kualitatif mampu
mengungkapkan gejala yang ada di masyarakat secara sistematis. Oleh karena itu
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, hlm. 165.
34
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010), hlm. 32.
35
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, hlm. 201.
urutan atau sistimatika yang ada dalam penelitian memberikan urutan serta pola
berfikir secara sistematis dan komplek. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini
mampu mengungkap gejala yang ada di masyarakat secara sistematis serta mampu
mengungkapkan kejadian yang sebenarnya sehingga akan sulit ditolak
kebenarannya.
7. Bentuk Hasil Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu melakukan
pengumpulan data dengan menggunakan studi dokumen, menghasilkan data
preskriptif analitis, yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.36

36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 22.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap penulisan tesis,
penting bagi penulis untuk memberikan sistematika tesis yang nantinya penulis
akan sajikan. Garis-garis besar sistematika dalam penulisan tesis ini terdiri dari
tiga bagian, yaitu Bab I, Bab II dan Bab III, rinciannya adalah sebagai berikut:
4) Bab I
Pada bab ini menguraikan mengenai pendahuluan yang berisikan antara
lain latar belakang permasalahan, pokok Permasalahan yang akan dibahas, Tujuan
Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
5) Bab II
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian tentang penyimpanan sertipikat
hak atas tanah oleh Notaris berdasarkan putusan nomor 53/PID.B/2017/PN, serta
landasan teori, objek penelitian, dan pembahasan pokok permasalahan.
6) Bab III
Pada bab ini akan diuraikan tentang Penutup yang memuat kesimpulan
dan saran mengenai permasalahan yang dibahas dalam tesis ini
DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia. Tapsir Tematik Terhadap UU No. 30


Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama,
2008.

Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik. Bandung: Refika Aditama, 2008.

Algra, N.E. et al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea. Belanda-Indonesia.


Jakarta: Binacipta, 1983.

Alwesius. Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris. Cet. 1. Jakarta: LP3H,


2018.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2010.

Anshori, Abdul Ghofur. Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan


Etika. Yogyakarta: UII Press, 2009.

Arvendha, Wishnu Febrizha. “Peranan Notaris dalam Pembuatan Akta Pengikatan


Jual Beli Hak Atas Tanah.” Tesis Magister Universitas Airlangga.
Surabaya, 2008.

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan


Buku Kedua. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.

Harijanto, Ramdan. Kewajiban-Kewajiban Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah


Bersertifikat. Jakarta: Pustaka Ilmu, 2010.

HS, Salim. Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis. Kewenangan Notaris.
Bentuk Dan Minuta Akta). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30


Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, UU. No. 2 Tahun 2014, LN.
No. 3 Tahun 2014, TLN. No. 5491.

Kansil, C. S. T.. Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata.


Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan


oleh Subekti. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Persada, 2010.

Mezak, Meray Hendrik. “Jenis. Metode. dan Pendekatan dalam Penelitian


Hukum.” Law Review Universitas Pelita Harapan Vol.3. (Maret
2006). Hlm. 88-89.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2006.

Patahna, Muchlis. Problematika Notaris. Jakarta: Rajawali, 2009.

Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta: PT Buku Kita, 2009.

Rahmat, Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra Abardin,


2005.

Samuelson, Pamela. “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes.”


University of Pittsburgh Law Review. Vol.46 (1984). Hlm. 151.

Sjaifurrachman. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta.


Cet.1. Bandung: Mandar Maju, 2011.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat. Ed. 1. Cet.10. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Subekti. Hukum Perjanjian. Bandung: Intermasa, 1976.

Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.

Tan, Khong Kie. Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2007.

Tobing, G.H.S Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, 1999.

Wibisana, Andri Gunawan. “Menulis di Jurnal Hukum: Gagasan.” Jurnal Hukum


dan Pembangunan 49 (April-Juni 2004). Hlm. 5.

Winarsi, Sri. “Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai
Pejabat Umum.” Yuridika Vol. 17 No.2. (Maret 2002). Hlm. 186.

Anda mungkin juga menyukai