Takikardi Supraventrikular
Takikardi Supraventrikular
G.PENATALAKSANAAN
1.Penatalaksanaan segera
a.Pemberian adenosin. Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat
dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan
dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat
ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada
mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena dapat
menghilangkan hampir semua TSV. Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus.
Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50
µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif
pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah
takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan terjadinya A-V
bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi
A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers,
calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada
pasien asma.
b.Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja
memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada
sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose
diberikan.
c.Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan TSV pada anak. Digoksin
tidak digunakan lagi untuk penghentian segera TSV dan sebaiknya dihindari pada anak yang
lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras
tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif. Penelitian oleh Wren
dkk tahun 1990, pada 29 bayi dengan TSV, pengobatan efektif dengan digoksin. Digoksin
memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh inotropiknya maupun melalui blokade
nodus AV yang ditengahi vagus.
d.Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif atau
kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct current
synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada
umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang
QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi
ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh karena
akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi
ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini
tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasif.
e.Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat digitalis secara
intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½ dari dosis
digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut
berselang 8 jam.
f.Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa digunakan, dan
digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama
sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan mengubah
takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-synephrine) sama
halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti
aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak direkomendasikan pada bayi
dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload sehingga merugikan pada bayi dengan
gagal jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena
diberikan secara drip dengan pengawasan doketr terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik
tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
g.Price dkk pada tahun 2002, menggunakan pengobatan dengan flecainide dan sotalol untuk
TSV yang refrakter pada anak yang berusia kurang dari 1 tahun. Flecainide dan sotalol
merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol TSV yang refrakter.
h.Penelitian oleh Etheridge dkk tahun 1999, penggunaan beta bloker efektif pada 55% pasien.
Selain itu juga penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien dimana di
antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi memerlukan kepatuhan
sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan terapi pada beberapa pasien karena hanya
diminum 1x sehari. Semua pasien yang diterapi dengan amiodarone, harus diperiksa tes fungsi
hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering
efektif dalam memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik.
2.Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang TSV. Di antara
bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV, kurang lebih sepertiganya akan membaik
sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan
mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan
merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda
yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang
dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan
simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron,
terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka
panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid, quinidin,
flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone.
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun, radiofrequency ablasi
catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok
umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak
tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dilakukan
pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek
samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif
terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan
anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.
I.PENGKAJIAN
1.Pengkajian primer :
a.Airway
• Apakah ada peningkatan sekret ?
• Adakah suara nafas : krekels ?
b.Breathing
• Adakah distress pernafasan ?
• Adakah hipoksemia berat ?
• Adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak nafas ?
• Apakah ada bunyi whezing ?
c.Circulation
• Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
• Apakah ada takikardi ?
• Apakah ada takipnoe ?
• Apakah haluaran urin menurun ?
• Apakah terjadi penurunan TD ?
• Bagaimana kapilery refill ?
• Apakah ada sianosis ?
2.Pengkajian sekunder
a.Riwayat penyakit
1)Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
2)Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung, hipertensi
3)Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya kemungkinan untuk
terjadinya intoksikasi
4)Kondisi psikososial
b.Pengkajian fisik
1)Aktivitas : kelelahan umum
2)Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit
nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna dan
kelembaban berubah misal pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila
curah jantung menurun berat.
3)Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,marah, gelisah,
menangis.
4)Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual
muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit
5)Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan
pupil.
6)Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan
obat antiangina, gelisah
7)Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman
pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan
komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena
tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
8)Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis
siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan