Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Perawatan Intensif

2.1.1 Definisi

Ruang perawatan Intensif adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan
kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat.
Ruang perawatan Intensif merupakan instalasi pelayanan khusus di rumah
sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan
selama 24 jam. Dalam rangka mewujudkan ruang perawatan Intensif yang
memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan
keselamatan perlu didukung oleh bangunan dan prasarana (utilitas) yang
memenuhi persyaratan teknis (Kemenkes RI, 2012).

2.1.2 Klasifikasi Ruang Perawatan Intensif Dan Karakteristik Pasien Di


Ruang Intensif

a. Intensif Care Unit

Ruang perawatan Intensif Care Unit (ICU) adalah bagian dari bangunan
rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan
instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan ICU di rumah sakit, ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit - penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis yang diharapkan masih
reversible (Kemenkes RI, 2010).

8
b. High Care Unit (HCU)

High Care Unit (HCU) adalah unit pelayanan di Rumah Sakit bagi pasien
dengan kondisi stabil dari fungsi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran
namun masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pemantauan secara
ketat. Tujuannya ialah agar bisa diketahui secara dini perubahan-
perubahan yang membahayakan, sehingga bisa dengan segera dipindah ke
ICU untuk dikelola lebih baik lagi.

c. Intensif Coronary Care Unit.

Merupakan unit perawatan intensif untuk penyakit jantung, terutama


penyakit jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama jantung yang
berat, gagal jantung.

d. Karakteristik pasien intensif

Marik (2015) dalam bukunya yang berjudul “Evidence-Based Critical


Care” menyebutkan bahwa terdapat empat prioritas dalam menentukan
pasien masuk ke ICU. Prioritas pertama yang akan memberikan hasil yang
sangat bermanfaat jika dirawat di ICU sedangkan prioritas empat tidak
akan memberikan manfaat sama sekali jika dirawat di ICU.

1. Prioritas satu Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta tidak
stabil yang memerlukan terapi intensif dan pengawasa yang tidak selalu
tersedia di luar ICU. Contohnya pasien yang membutuhkan bantuan
ventilator, pemberian infus obat vasoaktif yang diberikan secara titrasi
terus menerus, dll (Marik, 2015). Suatu institusi juga dapat membuat
kriteria spesifik misalnya derajat hipoksemia ataupun hipotensi dibawah
tekanan darah tertentu. Pasien yang tergolong dalam prioritas satu,
umumnya memerlukan terapi yang tidak mempunyai batas (Kepmenkes,
2010).

9
2. Prioritas dua Kelompok ini merupakan pasien yang memerlukan
pelayanan pemantauan canggih di ICU dan merupakan pasien yang
berisiko untuk memerlukan terapi intensif secara tiba-tiba. Contohnya
pasien dengan penyakit jantung, paruparu, ginjal, atau penyakit sistem
saraf pusat dimana pasien tersebut memiliki penyakit yang berat dan akut
atau pasien yang menjalani bedah mayor (Marik, 2015). Sama halnya
dengan pasien yang tergolong dalam prioritas pertama, pasien yang
tergolong dalam prioritas dua juga memerlukan terapi yang tidak
mempunyai batas. Hal ini disebabkan karena kondisi medis pasien
golongan prioritas kedua senantiasa berubah (Kepmenkes, 2010).

3. Prioritas tiga Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta pasien
tidak stabil status kesehatannya sebelumnya, yang disebabkan oleh
penyakit yang mendasarinya atau penyakit akut yang dapat mengurangi
kemungkinan kesembuhan dan manfaat dari perawatan di ICU. Pasien ini
dapat menerima perawatan intensif untuk mengurangi penyakit akutnya
tetapi usaha dengan tujuan terapi diberhentikan sebentar misalnya untuk
pemasangan intubasi atau resusitasi jantung paru. Contoh pasien pada
prioritas tiga ini yaitu pasien dengan keganasan metastatik dengan
komplikasi infeksi, pericardial tamponade atau obstruksi jalan nafas, atau
pasien dengan penyakit jantung atau paru pada stadium terakhir dengan
komplikasi penyakit yang berat dan akut (Marik, 2015). Pasien yang
tergolong dalam prioritas tiga mamiliki kemungkinan sembuh dan/ atau
manfaat terapi yang sangat kecil (Kepmenkes, 2010).

4. Prioritas empat Pasien pada prioritas empat ini merupakan pasien yang
secara umum tidak tepat untuk masuk ICU. Indikasi masuk pasien ini
seharusnya berdasarkan individu tersebut, pada keadaan yang tidak biasa,
dan atas kebijaksanaan pimpinan. Pasien ini dapat digantikan apabila
memenuhi kategori berikut:

a) Manfaat perawatan di ICU sedikit atau bahkan tidak ada


(dibandingkan dengan perawatan yang tidak di ICU) yang didasarkan

10
atas intervensi aktif yang berisiko rendah yang tidak bisa dengan aman
dipindahkan ke ruangan non-ICU. Contohnya: pasien dengan peripheral
vascular surgery, diabetic ketoacidosis dengan keadaan hemodinamik
yang stabil, conscious drug overdose, dan mild congestive heart failure.

b) Pasien dengan penyakit terminal, penyakit yang irreversibel.


Contohnya: pasien dengan kerusakan otak berat yang irreversibel,
irreversible multiorgan sistem failure, keganasan metastatik yang tidak
respon terhadap kemoterapi dan/ atau teapi radiasi, brain dead non-
organ donor, pasien dengan keadaan vegetatif yang menetap, pasien
yang tidak sadar secara menetap, dll. Kelompok ini termasuk pasien
yang menolak untuk dirawat di ICU dan/ atau monitor infasif dan lebih
memilih perawatan yang aman saja. Kelompok ini mengecualikan pada
pasien yang mengalami kematian batang otak tetapi akan mendonorkan
organnya (pasien ini membutuhkan monitor infasif dan/ atau perawatan
di ICU).

e. Infeksi Pada Pasien ICU

Infeksi nosokomial atau yang dikenal dengan Health care associated


infection merupakan infeksi yang didapatkan oleh pasien saat berada di
pelayanan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya (Dasgupta, Das,
Chawan, dan Hazra, 2015). Infeksi ini merupakan masalah yang serius
pada rumah sakit di seluruh dunia. Kejadian infeksi ini cukup tinggi pada
ruangan ICU dibandingkan dengan ruangan non-ICU (Naidu et al, 2014).
Jenis-jenis infeksi yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih, infeksi
pembuluh darah (plebitis), infeksi pembedahan dan pada jaringan lunak,
gastroenteritis, meningitis, dan infeksi pernapasan. Agen penyakit yang
biasanya menjadi penyebab pada infeksi ini adalah Streptococcus spp,
Acinetobacter spp, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
koagulasi-negatif, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Proteus
mirablis, Klebsiella pneumonia, Escherichia coli, Serratia marcescens.
Namun diantara bakteri patogen tersebut, Enterococcus, Pseudomonas

11
aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli merupakan bakteri
yang memegang peran besar dalam terjadinya infeksi nosokomial. (Khan,
2015).

Menurut penelitian Pradhan et al di India, dari jumlah 537 pasien di ICU,


32 pasien diantaranya terinfeksi nosokomial (9,6%). Mikroorganisme
terbanyak yang menyebabkan terjadinya infeksi adalah Acinetobacter
(34.5%), diikuti Pseudomonas (32.8%), Klebsiella (13.9%), E Coli
(12.1%), Citrobacter (5%) dan Candida (1.7%).

2.2 Infus (Terapi Intravena)

2.2.1 Definisi

Terapi intravena merupakan salah satu terapi medis yang dilakukan secara
invasif dengan menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan dan
elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh darah (intravascular), lebih dari
80% pasien rawat inap mendapatkan terapi intravena sebagai bagian rutin dari
perawatan dirumah sakit. Adanya terapi ini sering menyebabkan komplikasi
antara lainnya terjadinya phlebitis (Wahyunah, 2011).

2.2.2 Tujuan pemberian terapi intravena (infus)

Tujuan utama terapi intravena adalah mempertahankan atau mengganti cairan


tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, lemak dan kalori yang tidak
dapat dipertahankan melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan
dan elektrolit, memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan transfusi
darah, menyediakan medium untuk pemberian obat intravena dan membantu
pemberian nutrisi parenteral (Hidayat, 2009).

12
2.2.3 Vena tempat pemasangan intravena (infus)

Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan
infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak didalam fasia
subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah
tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena
supervisial dorsalis, vena basalika, vena safalika), lengan bagian dalam (vena
basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena radialis), permukaan dorsal
(vena safena magna, ramus dorsalis) (Perry & Potter, 2010).

Gambar 1. lokasi pemasangan infus

Sumber : Dougherty, dkk (2010)

Menurut Dougherty, dkk, (2010), pemilihan lokasi pemasangan terapi


intravena mempertimbangkan beberapa faktor yaitu :

13
a. Umur pasien
Pada pasien yang berusia sangat muda atau lansia memiliki vena yang
rapuh, perawat harus menghindari vena yang mudah bergeser atau rapuh,
seperti vena dipermukaan dorsal tangan.

b. Prosedur yang diantisipasi


Misalnya jika pasien harus menerima terapi tertentu atau mengalami
beberapa prosedur seperti pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh
apapun.

c. Aktivitas pasien
Misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan tingkat kesadaran.

d. Jenis intravena
Jenis larutan dan obat - obatan yang akan diberikan sering memaksa
tempat - tempat yang optimum (misalnya hiperalimentasi adalah sangat
mengiritasi vena - vena perifer).

e. Durasi terapi intravena


Terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena,
pilih vena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati - hati, rotasi sisi
pungsi dari distal ke proksimal (misalnya mulai dibagian tangan dan
pindah kebagian lengan)

f. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada, pemilihan sisi
dan rotasi yang berhati - hati menjadi sangat penting, jika sedikit vena
pengganti.

g. Terapi intravena sebelumnya


Phlebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk digunakan,
kemoterapi sering membuat vena menjadi buruk (misalnya mudah pecah
atau sklerosis).

h. Sakit sebelumnya
Jangan menggunakan ekstermitas yang sakit pada pasien yang mengalami
stroke.

14
2.2.4 Indikasi dan kontraindikasi pemasangan infus

a. Indikasi

Menurut Perry & Potter, (2010) indikasi pada pemberian terapi intravena
yaitu : pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui
intravena langsung masuk kedalam jalur peredaran darah, misalnya pada
kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis), sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan melalui oral.

Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan disaluran cerna bagian atas). Pada keadaan seperti ini,
perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus),
sublingual (dibawah lidah), subkutan (dibawah kulit), dan intramuskular
(disuntikkan dibagian otot). Kesadaran menurun dan beresiko terjadi
aspirasi (tersedak obat masuk kebagian pernapasan), sehingga pemberian
melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam darah perlu
segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung
ke pembuluh balik / vena).

b. Kontraindikasi

1. Inflamasi dan infeksi dilokasi pemasangan infus

2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri - vena pada tindakan
hemodialisis.

3. Obat – obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil


yang aliran darahnya lambat (misalnya, pembuluh vena ditungkai dan
kaki) (Perry & Potter, 2010).

15
2.2.5 Jenis - Jenis Cairan Terapi Intravena

Cairan infus merupakan cairan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan


tubuh dan mengganti cairan yang keluar. Pemberian cairan infus merupakan
tindakan memasukan cairan melalui intravena yang dilakukan pada pasien
dengan bantuan perangkat infus (Hignell P, 2012).

1) Isotonik
Larutan yang memiliki osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya sama
dengan cairan tubuh dan merupakan larutan yang paling umum
digunakan, sehingga terus berada didalam pembuluh darah. Bermanfaat
bagi pasien yang mengalami hipovolemik (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadi overload
(kelebihan cairan) khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contoh larutan isotonik yaitu : Ringer – laktat (RL),
normalsaline atau larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Perry&Potter,
2010).
2) Hipertonik
Larutan yang memiliki osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan dengan
cairan tubuh sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan sel
kedalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).
Penggunaan kontradiktif dengan cairan hipotonik. Contoh larutan
hipertonik yaitu : NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer – laktat,
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah dan albumin)
(Perry&Potter, 2010).
3) Hipotonik
Larutan yang memiliki osmolaritasnya kurang dari cairan tubuh
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum) sehingga
menurunkan osmalaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh
darah keluar kejaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi) sampai akhirnya mengisi sel –

16
sel yang dituju, digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi,
misalnya pada pasien yang mengalami cuci darah (dialisis) dalam terapi
deureti, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosi diabetik. Komplikais yang dapat membahayakan adalah
perpindahan tiba – tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel sehingga
menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan peningkatan tekanan intrakranial
(dalam otak). Contoh larutan hipotonik yaitu : NaCl 45%, Dextrose 2,5%
(Perry&Potter, 2010).

Menurut Subekti (2010), vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan


sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis)
makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis,
trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus
diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan
osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat
sehingga tidak merusak dinding.

Hal ini sesuai dengan penelitian Ari, et al (2010) bahwa jenis cairan yang
digunakan mempengaruhi terjadinya phlebitis. Hal ini terjadi akibat cairan
tersevut masuk ke seledotelial sehingga terjadi ruptur. Iritasi dapat juga terjadi
ketika cairan hipotonik seperti Nacl 0,45% dicampurkan dengan air yang
dimasukkan dalam terapi intravena. cairan hipertonik seperti D5% dalam Nacl
dan D5% dalam RL dapat menyebabkan phlebitis dengan sel endotelial terjadi
kerusakan yaitu membran pembuluh darah menyusut dan terbuka. Kedua jenis
cairan (hipotonik dan hipertonik) dapat mengakibatkan iritasi pada pembuluh
darah (Wahyunah, 2011).

2.2.6 Komplikasi Terapi Intravena

1. Infiltrasi

Infiltrasi terjadi saat cairan IV (intravena) memasuki jaringan subkutan


disekitar sisi vena pungsi. Infiltrasi dapat menyebabkan pembengkakan

17
(karena cairan pada jaringan meningkat) dan kepucatan lengan dan kulit
terasa dingin (disebabkan karena menurunnya sirkulasi) disekitar sisi vena
pungsi. Cairan mungkin dapt mengalir melalui jalur IV (intravena) dengan
kecepatan yang rendah dan mungkin dapat berhenti mengalir. Nyeri
mungkin dirasakan dan biasanya disebabkan karena edema jaringan. Nyeri
dapat meningkat jika infiltrasi terus terjadi, saat infiltrasi terjadi hentikan
aliran cairan IV (intravena) dan jika terapi IV (intravena) masih terus
diperlukan, masukkan kanula baru ke dalam vena ekstremitas yang lainnya.

2. Perdarahan

Perdarahan dapat terjadi disekitar vena pungsi selama infus atau pada kanula
atau selang jika selang terlepas dengan tidak sengaja. Perdarahan sering
terjadi pada pasien yang menerima heparin atau yang mengalami gangguan
perdarahan (misalnya hemofilia atau trombositopenia). Jika perdarahan
terjadi disekitar sisi vena pungsi dan kanula yang berada dalam vena,berikan
balut tekan disekitar vena disekitar vena untuk mengontrol perdarahan.
Perdarahan yang berasal dari vena biasanya terjadi dengan lambat, kontinu
dan tidak begitu bahaya.

3. Kelebihan volume cairan

Kelebihan volume cairan dapat terjadi pada klien yang menerima pemberian
larutan IV (intravena) yang terlalu cepat. Hasil pengkajian yang ditemukan
meliputi napas pendek, bunyi krekles pada paru dan takikardi. Jika tanda
klinis ini ditemukan, kurangi kecepatan aliran infus IV (intravena), beritahu
petugas kesehatan, naikkan kepala tempat tidur dan monitor tanda - tanda
vital.

4. Phlebitis

Phlebitis adalah keadaan inflamasi pada vena. Faktor terjadinya phlebitis


adalah jenis materi kanul, iritasi kimia yang berasal dari substansi tambahan
dan obat - obatan yang diberikan secara intravena (misalnya antibiotik) dan
posisi anatomis kanula. Tanda dan gejala meliputi nyeri, edema, eritema,

18
dan meningkatnya suhu kulit disekitar vena dan pada beberapa instansi,
kemerahan pada jalur vena. Saat flebitis terjadi, lepaskan jalur IV
(intravena) dan pasang jalur pada sisi vena yang lainnya (Perry & Potter,
2010).

2.3 Phlebitis

2.3.1 Definisi

Phlebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena
yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi
(pengerasan) pada daerah tusukan dan pengerasan sepanjang pembuluh
darah vena (Alexander, et al, 2010).

Infusion Nursing Society (INS 2010), phlebitis merupakan peradangan pada


tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai
komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme
iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan
tombosit pada area tersebut. Phlebitis adalah komplikasi dari pemberian
therapi intra vena, yang disebabkan oleh iritasi kimia, mekanik maupun
bakteri dan post infus. Phlebitis ditandai dengan adanya satu atau lebih dari
tanda-tanda phlebitis yaitu daerah yang merah, nyeri, indurasi, teraba hangat
atau panas, dan pembengkakan didaerah penusukan. Peradangan phlebitis
didapatkan dari mekanisme iritasi yang 8 terjadi pada endothelium tunika
intima vena dan perlekatan trombosit pada area tersebut.

Phlebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri,


kemerahan, bengkak, indurasi dan mengeras dibagian vena yang terpasang
kateter intravena (Smeltzer Bare, 2011). Phlebitis juga dikarakteristikkan
dengan adanya rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena. Insiden
phlebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena,
komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya,
ukuran dan tempat kanul dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak

19
sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan) (Smeltzer & Bare,
2011).

2.3.2 Epidemiologi

Angka kejadian phlebitis di dunia selama sepuluh tahun terakhir masih


tinggi (Oliveira & Parreira, 2010; Elvina & Kadrianti, 2013; Webster,
McGrail, Marsh, Wallis, Barruel, & Rickard, 2015). Angka tersebut
tergolong tinggi karena masih diatas standar yang ditetapkan oleh The
Infusion Nursing Standards of Practicice yaitu 5% (Infusion Nurse
Society, 2011).

Menurut data surveilans angka kejadian (HAIs) yaitu 5% per tahun pada 9
juta orang dari 190 juta pasien yang dirawat di rumah sakit dan juga dapat
menyebabkan kematian 1,4 juta kematian setiap hari diseluruh dunia.
Sedangkan menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat
inap, angka kejadian phlebitis di Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 744
orang (17,11%) (Leetari D. D., et al, 2016), sedangkan menurut Depkes RI
Tahun (2013) angka kejadian phlebitis di Indonesia sebesar 50,11% untuk
Rumah Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar
32,70%.

Penelitian yang dilakukan di Brasil oleh Gomes, A. C. R., et al (2011) di


Rumah Sakit Pro-Cardiaco, dari 36 pasien terdapat 16,7% kasus phlebitis.
Di Batala, Punjab dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaur, P., et al 24
(2011) di temukan 56,5% kasus phlebitis dari 200 pasien. Penelitian yang
dilakukan di National Healt and Medical Research Council (NHMRC)
Centre for Research Excellence in Nursing tahun 2013, didapatkan 23%
kasus phlebitis dari 233 pasien. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Zahedan Iran pada tahun 2013 di dapatkan 44% kasus
phlebitis dari 300 pasien.

20
Tabel 2.1

Angka Kejadian Phlebitis di Dunia

NO Penulis Lokasi Tahun Kejadian


1 Gomes, A. C. R.,et al Brasil 2011 16,7% kasus dari 36
pasien
2 Kaur, P., et al Batala, 2011 56,5% kasus dari
punjab 200 pasien
3 Barruel, G. R., et al Australia 2013 23% kasus dari 233
pasien
4 Abadi, S. A., et al Iran 2013 44% kasus dari 300
pasien
(Gomes, A. C. R., et al, 2011 ; Kaur, P.,et al, 2011 ; Barruel, G. R., et al,
2013 ; Abadi, S. A., et al, 2013).

Tabel 2.2

Angka Kejadian Phlebitis di Indonesia

No Penulis Lokasi Tahun Kejadian


1 Ince Maria dan Erlin Kurnia Kediri 2012 2,9%
2 Lindayanti, N dan Priyanto Semarang 2013 13,6%
3 Agustini Chandra, et al Pekanbaru 2013 21,7%
4 Irawati Nurma Wonogiri 2014 20,52%
(Ince, M & Erlin, K, 2012 ; Lindayanti, N & Priyanto, 2013 ; Agustini, C.,
et al, 2013 ; Irawati, N, 2014).

2.3.3 Tanda dan gejala

21
Pasien yang terpasang infus dapat dikatakan mengalami phlebitis jika pada
daerah sekitar tempat penusukan kanula ditemukan tanda tanda berikut :
(INS / Infusion Nursing Society, 2010).

a. Rubor (Hiperemia)

Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang


ditemukan didaerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi
peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut mengalami pelebaran
sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih banyak.

b. Kalor (Hipertermi)

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan.


Daerah sekitar peradangan menjadi sangat panas, karena darah yang
disalurkan kedaerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya
yang normal.

c. Tumor (Oedema)

Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel - sel dari
sirkulasi kejaringan intrerstitiel, campuran antara sel yang tertimbul
didaerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi peradangan
eksudatnya adalah cairan

d. Nyeri (Dolor)

Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan pH


lokal ataupun konsentrasi ion - ion tertentu yang merangsang ujung saraf
selain itu juga pembengkakan yang terjadi dapat juga menyebabkan
peningkatan tekanan lokal yang dapat merangsang sakit.

2.3.4 Klasifikasi phlebitis


a. Phlebitis kimia (Chemical Phlebitis) Kejadian phlebitis ini dihubungkan
dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan

22
kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat
terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter
yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7, 35 – 7, 45 dan
cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah
7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan
konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi
dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung
glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi
parenteral lebih bersifat flebitogenik.

Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah


partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi
plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H20. Larutan sering
dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai
dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas
plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total
sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memiliki osmolalitas kurang dari
itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik.
Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien
akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah.
Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan
hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L.
Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh
vena yang kecil. Cairan isototonik menjadi lebih hiperosmoler apabila
ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2010).

Menurut Subekti (2010), vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan


sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin
hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer
seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian
jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang

23
bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena
sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.

Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab


utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah
mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material
katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat
dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi
phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau
poliuretan (INS, 2010).

b. Phlebitis Bakteri (Bakterial Phlebitis) Phlebitis bacterial adalah


peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri.
Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai
predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor-faktor yang
berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :
1). Teknik cuci tangan yang tidak baik.
2). Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
3). Teknik pemasangan katheter yang buruk.
4). Pemasangan yang terlalu lama.
5). Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak, pembungkus yang bocor
atau robek dapat mengandung bakteri.
6). Tempat penyuntikan yang jarang diinspeksi visual (INS, 2010)

2.3.5 Skala phlebitis

Tabel 2.3

Skala Phlebitis

Skor visual phlebitis VIP Visual Infection Phlebitis Score


Score

24
Tempat suntikan tampak sehat 0 Tidak ada tanda phlebitis
Observasi kanula
Salah satu dari berikut jelas : Mungkin tanda dini phlebitis :
1. Nyeri pada tempat suntikan 1 Observasi kanula
2. Eritema pada tempat suntikan

Dua dari berikut jelas : Stadium dini phlebitis :


1. Nyeri, Eritema 2 Ganti tempat kanula
2. Pembengkakan
Semua dari berikut jelas : Stadium moderat phlebitis :
1. Nyeri sepanjang kanula 3 1. ganti kanula
2. Eritema & Indurasi 2. pikirkan terapi
Semua dari berikut jelas : Stadium lanjut atau awal
1. Nyeri sepanjang kanula 4 trombophlebitis :
2. Eritema & Indurasi 1. Ganti kanula
3. Venous cord teraba 2. Pikirkan terapi
Semua dari berikut jelas : Stadium lanjut trombophlebitis :
1. Nyeri sepanjang kanula 5 1. Lakukan
2. Eritema & Indurasi 2. Ganti kanula
3. Venous cord teraba
4. Demam
Dougherty, dkk, (2010).

Keterangan :

VIP : Visual Infection Phlebitis

2.3.6 Patofisiologi

Phlebitis terjadi akibat vasodilatasi lokal dengan peningkatan aliran darah,


peningkatan permeabilitas vascular dan pergerakan sel darah putih terutama
netrofil dari aliran darah menuju area luka. Perpindahan plasma darah

25
terjadi dari kapiler menuju seluruh jaringan. Fenomena ini mengakibatkan
terjadinya pembengkakan lokal yang menimbulkan nyeri akibat tekanan dari
edema pada daerah ujung syaraf. Sejalan dengan proses inflamasi, bakteri
toksin dan protein terbentuk akibat invasi sinyal organisme ke hipotalamus
untuk meningkatkan suhu tubuh diatas normal. Prostaglandin terbentuk dari
fosfolipid dalam membran sel yang juga berkontribusi terhadap proses
inflamasi, nyeri dan demam (Nurjanah, 2011).

2.3.7 Faktor Yang Mempengaruhi Phlebitis

Faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis, diantaranya adalah faktor


internal dan eksternal (Nurjanah, dkk, 2011).

1. Faktor Internal

a. Usia

Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada usia lanjut (
>60 tahun) vena menjadi rapuh, tidak elastis dan mudah hilang ( kolaps),
pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat
mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan
phlebitis.

Sesuai pernyataan dari Phillips (2010), bahwa resiko untuk terjadi infeksi
flebitis lebih besar pada orang yang berusia lanjut/lansia karena orang
yang berusia lanjut akan mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini
juga yang menyebabkan semakin sulit untuk dipasang terapi
intravena/resiko mencederai vena itu bisa terjadi.

b. Status gizi

Status gizi adalah suatu kondisi didalam tubuh yang dapat dipengaruhi
oleh konsumsi makanan seseorang setiap hari (Amalia, Dachlan, &
Santoso, 2014)

26
1. Underweight (<18,5 kg/m2) : risiko comorbiditas rendah (tetapi
resiko terhadap masalah - masalah klinis lain meningkat)
2. Batas normal (18,5 - 22,9 kg/m2) ; risiko comorbiditas rata - rata
3. Overweight ≥ 23 kg/m2 dibagi kedalam 3 kategori adalah sebagai
berikut :
a. At risk (23 - 24,9 kg/m2) : risiko terhadap comorbiditas meningkat
b. Obese I (25 - 29,9 kg/m2) : risiko terhadap comorbiditas sedang
c. Obese II (≥ 30,0 kg/m2) : risiko terhadap comorbiditas berbahaya

Pada pasien dengan gizi buruk, baik pasien yang gemuk dan kurus lebih
beresiko untuk terkena phlebitis. Pasien gemuk memiliki masalah saat
akan dipungi vena karena sulitnya mencari vena superfisial, sedangkan
pasien kurus, vena dapat terlihat tetapi sedikit rapuh.

Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energy dan protein, pada
tahap awal akan menyebabkan rasa lapar kemudian dalam jangka waktu
tertentu berat badan akan menurun disertai dengan menurunnya
produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan
menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada
perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, tubuh akan
mudah terserang penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kematian
(Mustika, 2012).

c. Stress

Tubuh berespon terhadap stres dan emosi atau fisik melalui adaptasi
imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak
– anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak -
anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena
pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung
menghindari perawatan medis, dengan menghindari pelaksanaan
pemasangan infus berontak saat dipasang bisa mengakibatkan phlebitis
karena pemasangan yang berulang dan respon imun yang menurun.

27
e. Keadaan vena

Kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus mudah
mengalami phlebitis (Lyda, Zoraya . R . S, et al, 2015).

f. Faktor jenis penyakit

Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis,


misalnya pada pasien Diabetes Mellitus (DM) yang mengalami
aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang
sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi. Pasien HIV /
AIDS juga sangat rentang terhadap terjadinya phlebitis karena pasien
yang menderita penyakit ini memiliki imunitas yang rendah. (Perry &
Potter, 2010).

g. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko kejadian


phlebitis,bahwa phlebitis terjadi lebih banyak terjadi pada perempuan
karena dipengaruhi kekuatan otot, kelenturan kulit, serta jaringan adiposa
subcutis yang berkurang. Perempuan lebih beresiko terjadi phlebitis
dimana perempuan yang menggunakan alat kontrasepsi kombinasi
(mengandung estrogen dan progesteron, oral atau suntikan) mudah
mengalami phlebitis. (Lyda, Zoraya. R . S, et al, 2015).

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal phlebitis antara lain yaitu faktor kimiawi, faktor


mekanik dan bacterial. Antara lain adalah :

1. Faktor kimiawi

A. Phlebitis kimia seringkali dikaitkan dengan cairan dan terapi intravena


yang diberikan, adalah :

28
a. PH dan osmolaritas cairan / terapi intravena yang tinggi beresiko
terjadinya phlebitis. Cairan infus yang seringkali menyebabkan
phlebitis adalah larutas Dekstrose yang memiliki pH sekitar 3 – 5
dan larutan infus yang berisi asam amino dan lipid dalam larutan
nutrisi parenteral yang bersifat flebitogenic dibandingkan larutan
normal salin. Obat injeksi yang diberikan intravena yang lebih sering
menyebabkan terjadinya phlebitis adalah : Kalium Chlorida, obat
antibiotik, Diazepam, obat Khemotherapi, dan obat – obat lain yang
dengan osmolaritas >900 mOs/L harus diberikan melalui vena
sentral.
b. Partikel obat yang tidak larut secara sempurna selama pencampuran
obat dapat memberikan kontribusi terjadinya phlebitis.

c. Pemilihan penusukan kateter intravena pada vena di daerah


proksimal sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas
>500 mOsm/L. Hindari penusukan infus pada vena metacarpal
(punggung tangan).
d. Pengaturan aliran infus disesuaikan dengan besarnya kanula (kateter
intravena) dan tempat insersi (penusukan). Vena didaerah distal dan
ukuran kateter vena yang tidak sesuai, serta aliran yang terlalu cepat
beresiko terhadap phlebitis (Rohani, 2015).

B. Jenis infus

Penggunaan material kateter juga berperan pada kejadian phlebitis.


Bahan infus yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon)
mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibandingkan bahan yang
terbuat dari silikon atau poliuretan (Alexander, et al, 2011).

2. Faktor Mekanik

a. Lokasi pemasangan infus

29
Plebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Penempatan
kateter yang baik perlu diperhatikan : bahan (resiko tertinggi untuk
plebitis dimiliki kateter dengan bahan yang terbuat dari polivinil klorida),
ukuran kateter (ukuran kateter harus dipilih sesuai dengan ukuran vena
dan difiksasi dengan baik), lokasi pemasangan : Vena metakarpal, Vena
sefalika, Vena basilika, Vena sefalika mediana, Vena basilika mediana,
Vena antebrakial mediana (dalam pemasangan diperlukan skill yang
memadai dan pemilihan lokasi perlu diperhatikan dimana kateter yang
dipasang pada daerah lekukan sering mengakibatkan phlebitis bila pasien
banyak gerak), dan lama pemasangan (Wayunah, 2011).

Ukuran vena sefalika yang besar dan lurus lebih dominan dipilih sebagai
lokasi pemasangan infus dibandingkan dengan vena metacarpal yang
berukuran kecil dan tidak lurus. Selain itu pada orang dewasa bagian
metacarpal sering digunakan untuk beraktivitas sehingga beresiko terjadi
injury yaitu phlebitis. Penelitian Yasir (2014) menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara lokasi pemasnagan infus dengan
kejadian phlebitis.

3. Faktor Bakterial

a. Lama infus terpasang

Pemasangan kateter intravena terlalu lama (lebih dari 96 jam) lama


pemasangan kateter intravena sering dihubungkan dengan kejadian
phlebitis. Pemindahan (rotasi) lokasi atau tempat penususkan infus
adalah 72 – 96 jam (The Center For Disease Control and Prevention
(CDC, 2012)).

b. Teknik aseptik buruk

Faktor yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis bakterial salah


satunya adalah teknik aseptik dressing yang tidak baik. Pendeteksian dan

30
penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik
dressing. Perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan
pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi kuman,
sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Daerah
insersi pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang
potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat
memutus perkembangbiakan daripada kuman (Zahra, 2010).

Salah satu teknik aseptik adalah cuci tangan Sebuah penelitian


mengungkapkan bahwa dengan mencuci tangan dapat menurunkan 20-
40% kejadian infeksi. Namun pelaksanaan cuci tangan itu sendiri belum
mendapat respon yang maksimal. Dinegara berkembang kegagalan
pelaksanaan cuci tangan terkendala karena kurangnya kepatuhan petugas
kesehatan untuk mentaati prosedur cuci tangan (Saragih, 2010).

Kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan adalah patuh, tetapi


pasien sebagai responden dapat mengalami kejadian phlebitis. Hal ini
dapat dipengaruhi beberapa hal diantaranya perawat dalam melakukan
cuci tangan enam langkah benar lima momen tidak dilakukan dengan
benar, sehingga terjadi transmisi mikroorganisme ke area penusukan
jarum infus. Penyebab lain kejadian phlebitis pada perawat yang sudah
patuh dalam melakukan cuci tangan enam langkah lima momen bisa
dikarenakan jenis mikroorganisme yang menempel pada tangan perawat
berjenis flora residen yang tidak mudah dihilangkan dengan gesekan
mekanis (Yuniarti & Notita, 2017).

2.4 Teori Keperawatan

2.4.1 Teori Keperawatan Virginia Henderson

Virginia A. Henderson lahir di Kansas City, Missouri tanggal 19 Maret


1897. Virginia Henderson memperkenalkan definition of nursing (definisi
keperawatan). Definisinya mengenai keperawatan dipengaruhi oleh latar

31
belakang pendidikannya dan persahabatnnya dengan seorang ahli fisiologis
yang bernama Stackpole. Menurutnya, tugas untuk perawat adalah
membantu individu baik dalam keadaan sakit maupun sehat melalui
upayanya melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan
penyembuhan individu atau proses meninggal yang damai, yang dapat
dilakukan secara mandiri oleh individu saat memiliki kekuatan,
kemampuan, kemauan, atau pengetahuan untuk itu. Disamping itu,
Henderson juga mengembangkan sebuah model keperawatan yang dikenal
dengan “The Activities of Living”. Model tersebut menjelaskan bahwa tugas
perawat adalah membantu individu dalam meningkatkan kemandiriannya
secepat mungkin. Perawat menjalankan tugasnya secara mandiri, tidak
tergantung pada dokter. Akan tetapi, perawat tetap menyampaikan
rencananya pada dokter sewaktu mengunjungi pasien (Siokal, Brajakson.,
Patmawati, Sudarman, 2017).

Konsep utama dari teori Henderson mencakup manusia, keperawatan,


kesehatan dan lingkungan (Siokal, Brajakson., Patmawati, Sudarman, 2017).
Konsep keperawatan melibatkan kehadiran perawat pada 14 aktivitas yang
membantu individu menuju kemandirian. 14 komponen tersebut adalah
(Kasron, Sahran, Usman B Ohorella, 2016) :
1. Bernafas dengan normal
2. Makan dan minum secara adekuat
3. Eliminasi sisa metabolisme tubuh
4. Pindah dan mempertahankan postur tubuh
5. Tidur dan istirahat
6. Memilih pakain yang cocok dan menanggalkan pakaian
7. Menjaga suhu tubuh dalam batas normal dengan menyesuaikan pakaian
dan modifikasi lingkungan
8. Menjaga tubuh tetap bersih dan rapih dan melindungi kulit
9. Hindari bahaya lingkungan dan hindari kecelakaan pada orang lain

32
10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan, ketakutan atau pendapat
11. Beribadah sesuai keyakinan seseorang
12. Bekerja sedemikian rupa bahwa ada rasa prestasi
13. Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai rekreasi
14. Belajar, menemukan, atau memuaskan rasa ingin tahu yang mengarah
pada perkembangan normal dan kesehatan dan menggunakan fasilitas
kesehatan yang tersedia

Definisi ilmu keperawatan Henderson dalam kaitannya praktik keperawatan


menunjukkan bahwa perawat memiliki tugas utama sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada pasien, yang semula bergantung pada orang
lain menjadi mandiri. Pada tahap pengkajian, perawat mengkaji kebutuhan
dasar pasien berdasarkan keempat belas komponen kebutuhan dasar di atas.
Dalam mengumpulkan data, perawat menggunakan metode observasi.
Setelah terkumpul, kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan
pengetahuan dasar tentang sehat-sakit. Hasil analisis tersebut menentukan
hasil diagnosa keperawatan yang akan muncul (Siokal, Brajakson.,
Patmawati, Sudarman, 2017).

33
2.5 Kerangka Teori

Usia penderita Vena rapuh,


pada usia lanjut tidak elastis,
(> 60 tahun) kolaps

Status gizi : Daya tahan Mudah


Gizi buruk tubuh berkurang terinfeksi

Stress : Rasa Berontak


takut dan nyeri

Keadaan vena : Rapuh, tidak


Faktor Sering terpasang elastis
Internal
Penyakit penyerta : Aliran darah ke
DM yang mengalami perifer
aterosklerosis berkurang

Luka

Jenis kelamin
Wanita dengan
kontrasepsi kombinasi
Kejadian
Phlebitis

Jenis cairan : Isotonik,


hipotonik, hipertonik

Lokasi pemasangan :
Kateter intravena yang
dipasang pada daerah
Faktor lekukan sering
Eksternal mengakibatkan phlebitis
Lama infus terpasang :
≥ 72 jam

Aseptik dressing : Mencuci


tangan, menggunakan sarung
tangan
Sumber : (Siokal, Brajakson, Patmawati & Sudarman, 2017).

34

Anda mungkin juga menyukai