TINJUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Ruang perawatan Intensif adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan
kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat.
Ruang perawatan Intensif merupakan instalasi pelayanan khusus di rumah
sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan
selama 24 jam. Dalam rangka mewujudkan ruang perawatan Intensif yang
memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan
keselamatan perlu didukung oleh bangunan dan prasarana (utilitas) yang
memenuhi persyaratan teknis (Kemenkes RI, 2012).
Ruang perawatan Intensif Care Unit (ICU) adalah bagian dari bangunan
rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan
instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012).
8
b. High Care Unit (HCU)
High Care Unit (HCU) adalah unit pelayanan di Rumah Sakit bagi pasien
dengan kondisi stabil dari fungsi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran
namun masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pemantauan secara
ketat. Tujuannya ialah agar bisa diketahui secara dini perubahan-
perubahan yang membahayakan, sehingga bisa dengan segera dipindah ke
ICU untuk dikelola lebih baik lagi.
1. Prioritas satu Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta tidak
stabil yang memerlukan terapi intensif dan pengawasa yang tidak selalu
tersedia di luar ICU. Contohnya pasien yang membutuhkan bantuan
ventilator, pemberian infus obat vasoaktif yang diberikan secara titrasi
terus menerus, dll (Marik, 2015). Suatu institusi juga dapat membuat
kriteria spesifik misalnya derajat hipoksemia ataupun hipotensi dibawah
tekanan darah tertentu. Pasien yang tergolong dalam prioritas satu,
umumnya memerlukan terapi yang tidak mempunyai batas (Kepmenkes,
2010).
9
2. Prioritas dua Kelompok ini merupakan pasien yang memerlukan
pelayanan pemantauan canggih di ICU dan merupakan pasien yang
berisiko untuk memerlukan terapi intensif secara tiba-tiba. Contohnya
pasien dengan penyakit jantung, paruparu, ginjal, atau penyakit sistem
saraf pusat dimana pasien tersebut memiliki penyakit yang berat dan akut
atau pasien yang menjalani bedah mayor (Marik, 2015). Sama halnya
dengan pasien yang tergolong dalam prioritas pertama, pasien yang
tergolong dalam prioritas dua juga memerlukan terapi yang tidak
mempunyai batas. Hal ini disebabkan karena kondisi medis pasien
golongan prioritas kedua senantiasa berubah (Kepmenkes, 2010).
3. Prioritas tiga Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta pasien
tidak stabil status kesehatannya sebelumnya, yang disebabkan oleh
penyakit yang mendasarinya atau penyakit akut yang dapat mengurangi
kemungkinan kesembuhan dan manfaat dari perawatan di ICU. Pasien ini
dapat menerima perawatan intensif untuk mengurangi penyakit akutnya
tetapi usaha dengan tujuan terapi diberhentikan sebentar misalnya untuk
pemasangan intubasi atau resusitasi jantung paru. Contoh pasien pada
prioritas tiga ini yaitu pasien dengan keganasan metastatik dengan
komplikasi infeksi, pericardial tamponade atau obstruksi jalan nafas, atau
pasien dengan penyakit jantung atau paru pada stadium terakhir dengan
komplikasi penyakit yang berat dan akut (Marik, 2015). Pasien yang
tergolong dalam prioritas tiga mamiliki kemungkinan sembuh dan/ atau
manfaat terapi yang sangat kecil (Kepmenkes, 2010).
4. Prioritas empat Pasien pada prioritas empat ini merupakan pasien yang
secara umum tidak tepat untuk masuk ICU. Indikasi masuk pasien ini
seharusnya berdasarkan individu tersebut, pada keadaan yang tidak biasa,
dan atas kebijaksanaan pimpinan. Pasien ini dapat digantikan apabila
memenuhi kategori berikut:
10
atas intervensi aktif yang berisiko rendah yang tidak bisa dengan aman
dipindahkan ke ruangan non-ICU. Contohnya: pasien dengan peripheral
vascular surgery, diabetic ketoacidosis dengan keadaan hemodinamik
yang stabil, conscious drug overdose, dan mild congestive heart failure.
11
aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli merupakan bakteri
yang memegang peran besar dalam terjadinya infeksi nosokomial. (Khan,
2015).
2.2.1 Definisi
Terapi intravena merupakan salah satu terapi medis yang dilakukan secara
invasif dengan menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan dan
elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh darah (intravascular), lebih dari
80% pasien rawat inap mendapatkan terapi intravena sebagai bagian rutin dari
perawatan dirumah sakit. Adanya terapi ini sering menyebabkan komplikasi
antara lainnya terjadinya phlebitis (Wahyunah, 2011).
12
2.2.3 Vena tempat pemasangan intravena (infus)
Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan
infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak didalam fasia
subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah
tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena
supervisial dorsalis, vena basalika, vena safalika), lengan bagian dalam (vena
basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena radialis), permukaan dorsal
(vena safena magna, ramus dorsalis) (Perry & Potter, 2010).
13
a. Umur pasien
Pada pasien yang berusia sangat muda atau lansia memiliki vena yang
rapuh, perawat harus menghindari vena yang mudah bergeser atau rapuh,
seperti vena dipermukaan dorsal tangan.
c. Aktivitas pasien
Misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan tingkat kesadaran.
d. Jenis intravena
Jenis larutan dan obat - obatan yang akan diberikan sering memaksa
tempat - tempat yang optimum (misalnya hiperalimentasi adalah sangat
mengiritasi vena - vena perifer).
f. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada, pemilihan sisi
dan rotasi yang berhati - hati menjadi sangat penting, jika sedikit vena
pengganti.
h. Sakit sebelumnya
Jangan menggunakan ekstermitas yang sakit pada pasien yang mengalami
stroke.
14
2.2.4 Indikasi dan kontraindikasi pemasangan infus
a. Indikasi
Menurut Perry & Potter, (2010) indikasi pada pemberian terapi intravena
yaitu : pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui
intravena langsung masuk kedalam jalur peredaran darah, misalnya pada
kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis), sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan melalui oral.
Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan disaluran cerna bagian atas). Pada keadaan seperti ini,
perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus),
sublingual (dibawah lidah), subkutan (dibawah kulit), dan intramuskular
(disuntikkan dibagian otot). Kesadaran menurun dan beresiko terjadi
aspirasi (tersedak obat masuk kebagian pernapasan), sehingga pemberian
melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam darah perlu
segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung
ke pembuluh balik / vena).
b. Kontraindikasi
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri - vena pada tindakan
hemodialisis.
15
2.2.5 Jenis - Jenis Cairan Terapi Intravena
1) Isotonik
Larutan yang memiliki osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya sama
dengan cairan tubuh dan merupakan larutan yang paling umum
digunakan, sehingga terus berada didalam pembuluh darah. Bermanfaat
bagi pasien yang mengalami hipovolemik (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadi overload
(kelebihan cairan) khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contoh larutan isotonik yaitu : Ringer – laktat (RL),
normalsaline atau larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Perry&Potter,
2010).
2) Hipertonik
Larutan yang memiliki osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan dengan
cairan tubuh sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan sel
kedalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).
Penggunaan kontradiktif dengan cairan hipotonik. Contoh larutan
hipertonik yaitu : NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer – laktat,
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah dan albumin)
(Perry&Potter, 2010).
3) Hipotonik
Larutan yang memiliki osmolaritasnya kurang dari cairan tubuh
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum) sehingga
menurunkan osmalaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh
darah keluar kejaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi) sampai akhirnya mengisi sel –
16
sel yang dituju, digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi,
misalnya pada pasien yang mengalami cuci darah (dialisis) dalam terapi
deureti, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosi diabetik. Komplikais yang dapat membahayakan adalah
perpindahan tiba – tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel sehingga
menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan peningkatan tekanan intrakranial
(dalam otak). Contoh larutan hipotonik yaitu : NaCl 45%, Dextrose 2,5%
(Perry&Potter, 2010).
Hal ini sesuai dengan penelitian Ari, et al (2010) bahwa jenis cairan yang
digunakan mempengaruhi terjadinya phlebitis. Hal ini terjadi akibat cairan
tersevut masuk ke seledotelial sehingga terjadi ruptur. Iritasi dapat juga terjadi
ketika cairan hipotonik seperti Nacl 0,45% dicampurkan dengan air yang
dimasukkan dalam terapi intravena. cairan hipertonik seperti D5% dalam Nacl
dan D5% dalam RL dapat menyebabkan phlebitis dengan sel endotelial terjadi
kerusakan yaitu membran pembuluh darah menyusut dan terbuka. Kedua jenis
cairan (hipotonik dan hipertonik) dapat mengakibatkan iritasi pada pembuluh
darah (Wahyunah, 2011).
1. Infiltrasi
17
(karena cairan pada jaringan meningkat) dan kepucatan lengan dan kulit
terasa dingin (disebabkan karena menurunnya sirkulasi) disekitar sisi vena
pungsi. Cairan mungkin dapt mengalir melalui jalur IV (intravena) dengan
kecepatan yang rendah dan mungkin dapat berhenti mengalir. Nyeri
mungkin dirasakan dan biasanya disebabkan karena edema jaringan. Nyeri
dapat meningkat jika infiltrasi terus terjadi, saat infiltrasi terjadi hentikan
aliran cairan IV (intravena) dan jika terapi IV (intravena) masih terus
diperlukan, masukkan kanula baru ke dalam vena ekstremitas yang lainnya.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi disekitar vena pungsi selama infus atau pada kanula
atau selang jika selang terlepas dengan tidak sengaja. Perdarahan sering
terjadi pada pasien yang menerima heparin atau yang mengalami gangguan
perdarahan (misalnya hemofilia atau trombositopenia). Jika perdarahan
terjadi disekitar sisi vena pungsi dan kanula yang berada dalam vena,berikan
balut tekan disekitar vena disekitar vena untuk mengontrol perdarahan.
Perdarahan yang berasal dari vena biasanya terjadi dengan lambat, kontinu
dan tidak begitu bahaya.
Kelebihan volume cairan dapat terjadi pada klien yang menerima pemberian
larutan IV (intravena) yang terlalu cepat. Hasil pengkajian yang ditemukan
meliputi napas pendek, bunyi krekles pada paru dan takikardi. Jika tanda
klinis ini ditemukan, kurangi kecepatan aliran infus IV (intravena), beritahu
petugas kesehatan, naikkan kepala tempat tidur dan monitor tanda - tanda
vital.
4. Phlebitis
18
dan meningkatnya suhu kulit disekitar vena dan pada beberapa instansi,
kemerahan pada jalur vena. Saat flebitis terjadi, lepaskan jalur IV
(intravena) dan pasang jalur pada sisi vena yang lainnya (Perry & Potter,
2010).
2.3 Phlebitis
2.3.1 Definisi
Phlebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena
yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi
(pengerasan) pada daerah tusukan dan pengerasan sepanjang pembuluh
darah vena (Alexander, et al, 2010).
19
sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan) (Smeltzer & Bare,
2011).
2.3.2 Epidemiologi
Menurut data surveilans angka kejadian (HAIs) yaitu 5% per tahun pada 9
juta orang dari 190 juta pasien yang dirawat di rumah sakit dan juga dapat
menyebabkan kematian 1,4 juta kematian setiap hari diseluruh dunia.
Sedangkan menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat
inap, angka kejadian phlebitis di Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 744
orang (17,11%) (Leetari D. D., et al, 2016), sedangkan menurut Depkes RI
Tahun (2013) angka kejadian phlebitis di Indonesia sebesar 50,11% untuk
Rumah Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar
32,70%.
20
Tabel 2.1
Tabel 2.2
21
Pasien yang terpasang infus dapat dikatakan mengalami phlebitis jika pada
daerah sekitar tempat penusukan kanula ditemukan tanda tanda berikut :
(INS / Infusion Nursing Society, 2010).
a. Rubor (Hiperemia)
b. Kalor (Hipertermi)
c. Tumor (Oedema)
Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel - sel dari
sirkulasi kejaringan intrerstitiel, campuran antara sel yang tertimbul
didaerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi peradangan
eksudatnya adalah cairan
d. Nyeri (Dolor)
22
kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat
terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter
yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7, 35 – 7, 45 dan
cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah
7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan
konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi
dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung
glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi
parenteral lebih bersifat flebitogenik.
23
bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena
sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.
Tabel 2.3
Skala Phlebitis
24
Tempat suntikan tampak sehat 0 Tidak ada tanda phlebitis
Observasi kanula
Salah satu dari berikut jelas : Mungkin tanda dini phlebitis :
1. Nyeri pada tempat suntikan 1 Observasi kanula
2. Eritema pada tempat suntikan
Keterangan :
2.3.6 Patofisiologi
25
terjadi dari kapiler menuju seluruh jaringan. Fenomena ini mengakibatkan
terjadinya pembengkakan lokal yang menimbulkan nyeri akibat tekanan dari
edema pada daerah ujung syaraf. Sejalan dengan proses inflamasi, bakteri
toksin dan protein terbentuk akibat invasi sinyal organisme ke hipotalamus
untuk meningkatkan suhu tubuh diatas normal. Prostaglandin terbentuk dari
fosfolipid dalam membran sel yang juga berkontribusi terhadap proses
inflamasi, nyeri dan demam (Nurjanah, 2011).
1. Faktor Internal
a. Usia
Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada usia lanjut (
>60 tahun) vena menjadi rapuh, tidak elastis dan mudah hilang ( kolaps),
pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat
mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan
phlebitis.
Sesuai pernyataan dari Phillips (2010), bahwa resiko untuk terjadi infeksi
flebitis lebih besar pada orang yang berusia lanjut/lansia karena orang
yang berusia lanjut akan mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini
juga yang menyebabkan semakin sulit untuk dipasang terapi
intravena/resiko mencederai vena itu bisa terjadi.
b. Status gizi
Status gizi adalah suatu kondisi didalam tubuh yang dapat dipengaruhi
oleh konsumsi makanan seseorang setiap hari (Amalia, Dachlan, &
Santoso, 2014)
26
1. Underweight (<18,5 kg/m2) : risiko comorbiditas rendah (tetapi
resiko terhadap masalah - masalah klinis lain meningkat)
2. Batas normal (18,5 - 22,9 kg/m2) ; risiko comorbiditas rata - rata
3. Overweight ≥ 23 kg/m2 dibagi kedalam 3 kategori adalah sebagai
berikut :
a. At risk (23 - 24,9 kg/m2) : risiko terhadap comorbiditas meningkat
b. Obese I (25 - 29,9 kg/m2) : risiko terhadap comorbiditas sedang
c. Obese II (≥ 30,0 kg/m2) : risiko terhadap comorbiditas berbahaya
Pada pasien dengan gizi buruk, baik pasien yang gemuk dan kurus lebih
beresiko untuk terkena phlebitis. Pasien gemuk memiliki masalah saat
akan dipungi vena karena sulitnya mencari vena superfisial, sedangkan
pasien kurus, vena dapat terlihat tetapi sedikit rapuh.
Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energy dan protein, pada
tahap awal akan menyebabkan rasa lapar kemudian dalam jangka waktu
tertentu berat badan akan menurun disertai dengan menurunnya
produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan
menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada
perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, tubuh akan
mudah terserang penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kematian
(Mustika, 2012).
c. Stress
Tubuh berespon terhadap stres dan emosi atau fisik melalui adaptasi
imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak
– anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak -
anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena
pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung
menghindari perawatan medis, dengan menghindari pelaksanaan
pemasangan infus berontak saat dipasang bisa mengakibatkan phlebitis
karena pemasangan yang berulang dan respon imun yang menurun.
27
e. Keadaan vena
Kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus mudah
mengalami phlebitis (Lyda, Zoraya . R . S, et al, 2015).
g. Jenis kelamin
2. Faktor eksternal
1. Faktor kimiawi
28
a. PH dan osmolaritas cairan / terapi intravena yang tinggi beresiko
terjadinya phlebitis. Cairan infus yang seringkali menyebabkan
phlebitis adalah larutas Dekstrose yang memiliki pH sekitar 3 – 5
dan larutan infus yang berisi asam amino dan lipid dalam larutan
nutrisi parenteral yang bersifat flebitogenic dibandingkan larutan
normal salin. Obat injeksi yang diberikan intravena yang lebih sering
menyebabkan terjadinya phlebitis adalah : Kalium Chlorida, obat
antibiotik, Diazepam, obat Khemotherapi, dan obat – obat lain yang
dengan osmolaritas >900 mOs/L harus diberikan melalui vena
sentral.
b. Partikel obat yang tidak larut secara sempurna selama pencampuran
obat dapat memberikan kontribusi terjadinya phlebitis.
B. Jenis infus
2. Faktor Mekanik
29
Plebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Penempatan
kateter yang baik perlu diperhatikan : bahan (resiko tertinggi untuk
plebitis dimiliki kateter dengan bahan yang terbuat dari polivinil klorida),
ukuran kateter (ukuran kateter harus dipilih sesuai dengan ukuran vena
dan difiksasi dengan baik), lokasi pemasangan : Vena metakarpal, Vena
sefalika, Vena basilika, Vena sefalika mediana, Vena basilika mediana,
Vena antebrakial mediana (dalam pemasangan diperlukan skill yang
memadai dan pemilihan lokasi perlu diperhatikan dimana kateter yang
dipasang pada daerah lekukan sering mengakibatkan phlebitis bila pasien
banyak gerak), dan lama pemasangan (Wayunah, 2011).
Ukuran vena sefalika yang besar dan lurus lebih dominan dipilih sebagai
lokasi pemasangan infus dibandingkan dengan vena metacarpal yang
berukuran kecil dan tidak lurus. Selain itu pada orang dewasa bagian
metacarpal sering digunakan untuk beraktivitas sehingga beresiko terjadi
injury yaitu phlebitis. Penelitian Yasir (2014) menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara lokasi pemasnagan infus dengan
kejadian phlebitis.
3. Faktor Bakterial
30
penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik
dressing. Perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan
pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi kuman,
sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Daerah
insersi pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang
potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat
memutus perkembangbiakan daripada kuman (Zahra, 2010).
31
belakang pendidikannya dan persahabatnnya dengan seorang ahli fisiologis
yang bernama Stackpole. Menurutnya, tugas untuk perawat adalah
membantu individu baik dalam keadaan sakit maupun sehat melalui
upayanya melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan
penyembuhan individu atau proses meninggal yang damai, yang dapat
dilakukan secara mandiri oleh individu saat memiliki kekuatan,
kemampuan, kemauan, atau pengetahuan untuk itu. Disamping itu,
Henderson juga mengembangkan sebuah model keperawatan yang dikenal
dengan “The Activities of Living”. Model tersebut menjelaskan bahwa tugas
perawat adalah membantu individu dalam meningkatkan kemandiriannya
secepat mungkin. Perawat menjalankan tugasnya secara mandiri, tidak
tergantung pada dokter. Akan tetapi, perawat tetap menyampaikan
rencananya pada dokter sewaktu mengunjungi pasien (Siokal, Brajakson.,
Patmawati, Sudarman, 2017).
32
10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan, ketakutan atau pendapat
11. Beribadah sesuai keyakinan seseorang
12. Bekerja sedemikian rupa bahwa ada rasa prestasi
13. Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai rekreasi
14. Belajar, menemukan, atau memuaskan rasa ingin tahu yang mengarah
pada perkembangan normal dan kesehatan dan menggunakan fasilitas
kesehatan yang tersedia
33
2.5 Kerangka Teori
Luka
Jenis kelamin
Wanita dengan
kontrasepsi kombinasi
Kejadian
Phlebitis
Lokasi pemasangan :
Kateter intravena yang
dipasang pada daerah
Faktor lekukan sering
Eksternal mengakibatkan phlebitis
Lama infus terpasang :
≥ 72 jam
34