Anda di halaman 1dari 2

Perihal Aku, Koran , dan Kalian

Oleh Rozi Rahmanda Azmil

Sudah seberapa pantas kita menyumpah takdir? Padahal kita tidak pernah sesulit Aldi
(13) seorang anak kecil penjaja koran yang harus rela membuang jauh-jauh kata bermain, dalam
umur yang selayaknya memiliki hak tersebut. Di tengah teriknya mentari dan basahnya hujan
kota Padang. Dia harus siap menyisihkan waktu sepulang sekolah hingga malam menjelang,
yaitu untuk menjajakan koran di jalan-jalan, trotoar, dan lampu merah. Satu hal yang paling tidak
ingin ia lupakan, yaitu sekalipun disibukkan dengan kegiatan menjual koran demi mendapatkan
uang untuk kelangsungan hidupnya tetapi ia tidak pernah lupa tuhannya. Hal itu ditunjukkannnya
dengan melaksanakan perintah tuhannya seperti tidak meninggalkan sholat. Padahal kita tau, ada
banyak anak-anak di luar sana yang acuh saja dengan perintah tuhannya dan lebih memilih
bermain.

Bagi Aldi bermain adalah sebuah mimpi yang tak harus diwujudkan. Jika dia tidak
menjajakan koran hari ini, sama saja dia memilih tidak makan esok hari, tutur anak kecil yang
bercita-cita sebagai guru ini. Menurutnya guru merupakan orang yang sangat mulia. Karena guru
telah mengajarkan banyak hal yang tidak pernah ia ketahui selama ini.

“ Koran bu, koran pak”.

Suara lelah Aldi lenyap dimakan bunyi kenalpot mobil dan motor di sepanjang jalan dan
lampu merah . Namun, hal itu tetap tak memutus harapannya untuk terus menjajakan koran demi
sesuap nasi. Karena ada impian yang sangat besar membuat ia kuat. Impian itulah salah satu
sumber kekuatan Aldi untuk menahan rasa sakit ketika kulit di sengat panasnya mentari dan
hujan bersama gigilnya.
Sehari-hari Aldi tinggal bersama ibunya yang juga sakit-sakitan, sedangkan ayahnya
sudah lama meninggal. Sebelum berangkat sekolah atau pergi menjajakan koran, terlebih dahulu
Aldi mengurus keperluan ibunya. Mulai dari memasak dan sebagainya. Beruntung tetangganya
cukup peduli dengan Aldi dan ibunya, sehingga ketika ia pergi sekolah atau menjajakan koran.
Ada tetangga yang mau membantu ibunya.

Meski sesulit apapun kehidupannya, tak pernah terlintas sedikitpun bagi Aldi untuk putus
sekolah. Sebab cita-citanya amat besar untuk menjadi seorang guru. Apalagi sampai menyumpah
takdir dan menyalahkan Tuhan. Bahkan ia sangat bersyukur tuhan telah memberi dia sekolah
gratis, sehingga ia dapat mengejar cita-citanya. “Saya paling tidak suka dengan orang -orang
yang sudah diberikan kebahagiaan oleh Allah tetapi malah menyia-nyiakan hal tersebut. Bahkan
sampai merusak diri sendiri”. Tutupnya.

Anda mungkin juga menyukai