Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil asuhan keperawatan perioperatif pada Tn. A di Ruang Bedah RS.
Airan Raya yang dilakukan pada tanggal 25 September 2019, dengan hasil analisa
data di dapatkan beberapa masalah keperawatan baik dalam fase pre, intra, dan post
operatif yang dijelaskan sebagai berikut :

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 September 2019 jam 10.30 WIB
diperoleh data: Pasien bernama Tn. A, Umur: 29 tahun, Agama: Islam,
Alamat: Way Sulan Lamsel, Pendidikan: Sarjana, Pekerjaan: Wiraswasta,
Nomor Rekam Medis: 009240.
2. Gambaran kasus
Riwayat kesehatan pasien, pasien datang ke RS Airan Raya pada tanggal 24
September 2019 pukul 12.40 WIB dengan keluhan nyeri perut kanan
menjalar ke pinggang sejak post kecelakaan lalu lintas 1 hari yang lalu.
Nyeri dirasakan pasien seperti ditusuk-tusuk, nyeri bertambah berat saat
pasien bergerak, skala nyeri 6. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
dahulu seperti Hipertensi, DM, dan lain-lain, pasien juga tidak memiliki
alergi terhadap apapun baik makanan ataupun obat.
Keadaan umum pasien baik dengan kesadaran composmentis GCS: E4 V4
M6, tanda-tanda vital: tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 99x/menit, suhu
37,2 0c, respirasi 22x/menit, SPO2 98%, terpasang dowe cateter ukuran 18.
Pemeriksaan head to toe diperoleh beberapa hasil pemeriksaan fokus di
antaranya: pemeriksaan paru inspeksi: pengembangan dada kanan kiri
sama, tidak ada bekas luka, tidak nampak penggunaan otot bantu nafas dan
retraksi, palpasi: pengembangan dada kanan dan kiri sama, tidak ada
krepitasi tulang iga, perkusi: sonor lapang paru, auskultasi: bunyi paru
vesikuler tanpa adanya bunyi paru tambahan. Pemeriksaan jantung inspeksi:
ictus cordis tidak nampak, palpasi: ictus cordis teraba, perkusi: pekak
seluruh lapang jantung, auskultasi: bunyi jantung reguler S1 dan S2 tanpa
adanya bunyi jantung tambahan. Pemeriksaan abdomen inspeksi: perut
datar, tidak ada luka bekas operasi, auskultasi: bising usus 12x/menit,
perkusi: tympani, palpasi: teraba keras, terdapat nyeri tekan pada perut
kanan.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 24 September 2019 diperoleh
hasil Hemoglobin 13 g/dl, Eritrosit 4,3 sel/mm3, Leukosit 16.900 MM3,
Hematokrit 37%, Trombosit 168.000 sel/mm3, BT 3 menit, CT 7 menit,
SGPT 610 µ/L, SGOT 564 µ/L, HbsAg Negatif. Hasil pemeriksaan USG
pada tanggal 24 September 2019 diperoleh hasil: Fluid collection dg
internal echo di perihepatika dan perivesika, Irreguleritas pada permukaan
hepar sisi posterolateral kanan disertai fluid collection disekitarnya suspek
perihepatic hematoma, Tidak tampak laserasi pada lien dan kedua ginjal.
Terapi yang diperoleh pada tanggal 24 September 2019: Infus RL 20 tpm,
injeksi ceftriaxon 1 gr/12 jam diberikan pada pukul 24.00 WIB. Diagnosa
medis pasien dengan trauma tumpul abdomen, dan akan dilakukan tindakan
operasi laparatomi.
Laparatomi tidak lain adalah pembedahan mayor yang meliputi penyayatan
lapisan abdomen guna memperoleh organ abdomen yang bermasalah
(hemoragi, perforasi, kanker, dan obstruksi). Laparatomi sendiri tidak
berhenti pada sekedar kasus bedah biasa, namun juga pada banyak kasus
seperti hernia inguinalis, kanker lambung, apendiksitis, perforasi, kanker
colon dan rectum, obstrusi usus, imflamasi usus kronis, peritonitis,
kolestisitis (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Menurut Smeltzer (2014),
laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi
pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen yang dapat di lakukan
pada bedah digestif dan obgyn. Sedangkan menurut penulis, tindakan
laparatomi yang akan dilakukan pada Tn. A dengan tujuan membuka akses
ke organ perut untuk mengeksplorasi organ perut yang bermasalah akibat
trauma abdomen sehingga dapat dilakukan tindakan repair atau
pengangkatan.
B. Diagnosa keperawatan
Pasien datang di ruang bedah pada tanggal 25 September 2019 pukul 10.30
WIB. Perawat melakukan checking terhadap kelengkapan berkas dan inform
consent yang harus ditandatangani pasien atau keluarga.
1. Pre operasi
Persiapan pre operasi dilakukan dengan mengecek identitas pasien,
pemeriksaan fisik, hasil tes diagnostik, inform consent pembedahan dan
inform consent anastesi. Inform consent sudah ditandatangani oleh
penanggungjawab yaitu Ny. S. Pasien mengatakan tidak memiliki alergi dan
puasa sejak jam 24.00 WIB, pasien terpsang infus RL 20 tpm di tangan
kanan. Alat dan obat anastesi yang diberikan telah lengkap, instrument
pembedahan dalam keadaan steril, hasil USG dipasang pada X-ray film
viewer di ruang operasi sebagai wacana area yang akan dilakukan insisi agar
tidak mengalami kesalahan.
a. Nyeri Akut berhubungan dengan Trauma tumpul abdomen.
Diagnosa tersebut dirumuskan berdasarkan data-data: pasien tampak
menahan nyeri, terdapat nyeri tekan pada perut pasen, skala nyeri diukur
dengan VAS yaitu 6, tanda-tanda vital: tekanan darah 130/90 mmHg,
nadi 99x/menit, respirasi 22x/menit, suhu 37,20c. Hasil laboratorium:
Leukosit 16. 900, SGPT 610 µ/L, SGOT 564 µ/L. Kesan Hasil USG:
Irreguleritas pada permukaan hepar sisi posterolateral kanan disertai
fluid collection disekitarnya suspek perihepatic hematoma. Menurut
penulis, berdasarkan data pada Tn. A tersebut, dirumuskan diagnosa
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan trauma tumpul abdomen
dapat terjadi karena terputusnya kontinuitas jaringan pada abdomen
yang disebabkan oleh trauma abdomen, sehingga menimbulkan rasa
sakit. Hal tersebut didukung oleh SDKI (2018), bahwa nyeri akut
merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
 Intervensi
Intervensi keperawatan bertujuan untuk menurunkan nyeri sampai
hilang dengan kriteria hasil: Pasien mengungkapkan nyeri
berkurang atau hilang, Pasien tampak rileks, Skala nyeri 3-0.
Adapun intervensi keperawatan meliputi: kaji nyeri secara
komprehensif ( lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
fase presipitasi), observasi tanda – tanda vital, atur posisi pasien
senyaman mungkin, latih teknik relaksasi napas dalam, anjurkan
pasien menggunakan teknik relaksasi napas dalam saat nyeri timbul,
gunakan teknik distraksi, kolaborasi dengan dokter dalam terapi
obat analgesik, persiapan pasien untuk tindakan operasi,
dokumentasikan semua hal yang dilakukan. Berdasarkan intervensi
yang dirumuskan untuk mengontrol nyeri yang dialami oleh Tn. A,
penulis menggunakan intervensi pada SIKI tahun 2018. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang diakukan oleh Syamsiah (2014),
tentang pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap tingkat nyeri
akut pada pasien abdominal pain, menjelaskan bahwa kombinasi
terapi relaksasi dengan analgesik lebih efektif menurunkan skala
nyeri pada pasien abdominal pain dibandingkan dengan yang
diberikan analgesik saja.
 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan, tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tartowo &
Wartonah, 2015). Implementasi yang dilaksanakan yaitu dengan
mengkaji nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan fase presipitasi), mengobservasi tanda –
tanda vital, mengatur posisi pasien senyaman mungkin, melatih
teknik relaksasi napas dalam, menganjurkan pasien menggunakan
teknik relaksasi napas dalam saat nyeri timbul, menggunakan teknik
distraksi, mengkolaborasi dengan dokter dalam terapi obat
analgesik, mempersiapkan pasien unntuk tindakan operasi,
mendokumentasikan semua hal yang dilakukan.
 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Pada tahap ini, penulis menggunakan
metode pendokumentasian SOAP yaitu Subyektif(S), Obyektif(O),
Assesment(A), dan Planning(P). Evaluasi dari diagnosa nyeri akut
diperoleh hasil: Subyektif: pasien mengatakan nyeri pada perutnya
berkurang. Obyektif: pasien tampak menahan nyeri, skala nyeri 4,
tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 96x/menit, respirasi 22x/menit,
suhu tubuh 370c. Pasien dapat dipindahkan ke kamar operasi.
Assesment: nyeri akut. Planning: memindahkan pasien ke kamar
operasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Syamsiah (2014), tentang pengaruh terapi relaksasi autogenik
terhadap tingkat nyeri akut pada pasien abdominal pain, didapatkan
hasil kombinasi terapi relaksasi dengan analgesik lebih efektif
menurunkan skala nyeri pada pasien abdominal pain dibandingkan
dengan yang diberikan analgesik saja.

2. Intra operasi
Pasien dilakukan anestesi pada pukul 11.05 WIB dan dilakukan
pembedahan pada pukul 11.20 WIB, jenis anestesi yang dilakukan adalah
general anestesi. Sebelumnya pasien memperoleh injeksi propofol 40 mg,
atravenon 30 mg, midazolam 30 mg untuk premedikasi selama jalannya
tindakan operasi. Dilakukan incisi midline dan diperdalam lapis demi lapis
sampai peritonium, keluar darah ±500 cc, dilakukan eksplorasi, ditemukan
ruptur hepar gr III dan IV, dilakukan laparatomi repair hepar dan solutio
dengan cromic no. 2, mengontrol perdarahan, membersihkan dan membilas
rongga perut menggunakan cairan NaCl 0,9 % sebanyak 2000 cc dan
dilakukan pemasangan drain dengan selang NGT no. 18, drain difiksasi,
jahit luka lapis demi lapis, dimulai dari peritonium dengan cromic 2/0,
kemudian fasia dengan PGA no. 1, dan subkutis dengan PGA no. 1, serta
kulit dengan side 2/0 cut.
a. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan.
Diagnosa tersebut dirumuskan berdasarkan data-data: pasien dalam
keadaan tidak sadar karena pengaruh general anastesi, pasien dilakukan
operasi laparatomi eksplorasi, dilakukan incisi midline dan diperdalam
lapis demi lapis sampai peritonium, terpadat ruptur hepar gr III dan IV,
keluar darah 500 cc, suhu tubbuh pasien 36,0 0c, akral dingin. Menurut
penulis, berdasarkan data pada Tn. A tersebut, dirumuskan diagnosa
keperawatan resiko syok hipovolemik terjadi karena perdarahan yang
disebabkan oleh tindakan pembedahan laparatomi eksplorasi sehingga
beresiko mengalami penurunan volume cairan intravaskuler. Hal ini
didukung oleh teori Hall (2006), yang mengatakan bahwa syok
hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume
plasma di intravaskuler, dimana penyebab utamanya adalah perdarahan
yang dapat menurunkan filling preassure sirkulasi dan kemudian juga
meurunkan venous return. Menurut SDKI tahun 2018, mengatakan
bahwa resiko syok hipovolemik beresiko mengalami penurunan volume
cairan intravaskule, interstisiel, dan/atau intraseluler.
 Intervensi
Intervensi keperawatan bertujuan untuk mencegah terjadinya syok
hipovolemik pada Tn. A dengan kriteria hasil: perdarahan dapat
diatasi, tanda – tanda vital dalam batas normal. Adapun intervensi
keperawatan meliputi: observasi tanda – tanda vital, observasi
pemasukan dan pengeluaran cairan selama prosedur operasi,
pastikan keamanan elektrikal dan alat – alat yang digunakan,
hentikan perdarahan bila terjadi menggunakan kassa atau couter,
lakukan pemasangan dua jalur intravena untuk akses pemberian
cairan. Berdasarkan intervensi yang dirumuskan untuk mencegah
terjadinya syok hipovolemik pada Tn. A, penulis menggunakan
intervensi pada SIKI tahun 2018. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Dewi & Rahayu (2017), tentang
kegawatdaruratan syok hipovolemik, menjelaskan bahwa pasien
yang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan
perdarahan dilakukan pemasangan dua jalur intravena guna
pemberian cairan kristaloid.
 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan, tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tartowo &
Wartonah, 2015). Implementasi yang dilakukan yaitu dengan
mengobservasi tanda – tanda vital, mengobservasi pemasukan dan
pengeluaran cairan selama prosedur operasi, memastikan keamanan
elektrikal dan alat – alat yang digunakan, menghentikan perdarahan
bila terjadi menggunakan kassa atau couter, melakukan pemasangan
dua jalur intravena untuk akses pemberian cairan kristaloid.
 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Pada tahap ini, penulis menggunakan
metode pendokumentasian SOAP yaitu Subyektif(S), Obyektif(O),
Assesment(A), dan Planning(P). Evaluasi dari diagnosa resiko syok
hipovolemik diperoleh hasil: Subyektif: -. Obyektif: dilakukan incisi
midline pada perut pasien, TD : 120/70 mmHg, HR : 88x/menit, RR
: 22x/menit, suhu tubuh : 36,0 0 c, masuk cairan RL 500 cc, keluar
darah 500 cc, perdarahan terkontrol. Assesment: -. Planning: operasi
selesai pasien dipindahkan ke RR (ruang peulihan). Hasil evaluasi
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi & Rahayu
(2017), tentang kegawatdaruratan syok hipovolemik, didapatkan
hasil setelah dilakukan pemasangan dua jalur intravena guna
pemberian cairan kristaloid syok hipovolemik dapat dicegah.

3. Post operasi
Pasien tiba di ruang recovery pada tanggal 25 September 2019 pukul 12.30
WIB, instruksi di ruang recovery: posisi supinasi, O2 3 lpm nasal kanul,
awasi tanda-tanda vita setiap 15 menit, infuse RL 20 tpm. Saat diruang
recovery penulis melakukan pengkajian data diperoleh hasil sebagai berikut:
keadaan umum baik, TD 130/80 mmHg, HR 92x/menit, RR 25x/menit, suhu
tubuh 35,90c, SpO2 97%, kesadaran apatis dengan E3 V4 M5, pasien tampak
menggigil kedinginan, dan mengeluh nyeri perut skala nyeri 4, terdapat
secret pada jalan napas pasien, suara napas ronchi, pasien masih terpengaruh
obat anastesi, pergerakan dinding dada simetris, akral dingin.
Dari hasil pengkajian yang diperoleh saat post operasi di ruang recovery,
penulis merummuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
secret
Diagnosa tersebut dirumuskan berdasarkan data-data: terdapat secret
pada jalan napas pasien, suara napas ronchi, pasien masih pengaruh obat
anastesi (general anastesi), respirasi : 25x/ menit, SpO2 97%. Menurut
penulis, berdasarkan data pada Tn. A tersebut, dirumuskan diagnosa
keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif karena terdapat
penumpukan secret pada jalan napas Tn. A yang ditimbulkan oleh efek
anestesi umum yaitu hipersekresi mukus dan saliva. Hal ini didukung
oleh teori Smeltzer (2011) bahwa salah satu efek yang ditimbulkan dari
anastesi umum adalah hipersekresi mukus dan saliva. Sebagian besar
anastesi menekan fungsi mukosiller saluran nafas, sehingga anastesi
yang berlama-lama dapat menimbulkan penumpukan lendir yang
mengakibatkan terjadinya bersihan jalan napas tidak efektif. Menurut
SDKI tahun 2018,mengatakan bahwa bersihan jalan napas tidak efektif
merupakan ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.
 Intervensi
Intervensi keperawatan bertujuan agar jalan napas pada Tn. A efektif
dengan kriteria hasil: tidak ada secret pada jalan napas pasien,
respirasi 18-22x/menit. Adapun intervensi keperawatan meliputi:
kaji adanya penumpukan secret, atur posisi supinasi dengan kepala
pasien diekstensikan, lakukan suction, kolaborasi pemberian O2
nasal kanul 3L/m. Berdasarkan intervensi yang dirumuskan agar
jalan napas pada Tn. A efektif, penulis menggunakan intervensi pada
SIKI tahun 2018. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sulasmi (2019), tentang analisis asuhan keperawatan pada
pasien post operasi craniotomi dengan ketidakefektifan bersihan
jalan napas di ruang intensif care unit (ICU), menjelaskan bahwa
pasien dengan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
napas dilakukan tindakan suction dalam 10 detik dengan tekanan
penghisapan 100 mmHg untuk mengeluarkan secret yang
menghambat jalan napas.
 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan, tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tartowo &
Wartonah, 2015). Implementasi yang dilakukan yaitu dengan
mengkaji adanya penumpukan secret, mengatur posisi supinasi
dengan kepala pasien diekstensikan, melakukan suction,
mengkolaborasi pemberian O2 nasal kanul 3L/m.
 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Pada tahap ini, penulis menggunakan
metode pendokumentasian SOAP yaitu Subyektif(S), Obyektif(O),
Assesment(A), dan Planning(P). Evaluasi dari diagnosa bersihan
jalan napas tidak efektif diperoleh hasil: Subyektif: -. Obyektif:
pasien tampak pulih dari pengaruh anastesi, tidak ada secret pada
jalan napas pasien, suara napas vesikuler, respirasi: 22x/menit.
Assesment: -. Planning: pertahankan O2 4L/M selama pemulihan.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi
(2019), tentang analisis asuhan keperawatan pada pasien post
operasi craniotomi dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas di
ruang intensif care unit (ICU), didapatkan hasil bahwa dengan
dilakukannya tindakan keperawatan suction dalam 10 detik dengan
tekanan penghisapan 100 mmHg dapat meningkatkan kadar saturasi
oksigen, dan pernapasan dalam batas normal.
b. Hipotermi berhubungan dengan pasca pembedahan
Diagnosa tersebut dirumuskan berdasarkan data-data: pasien mengeluh
kedinginan, pasien tampak menggigil kedinginan, warna kulit pucat,
suhu tubuh 35, 9 0c. Menurut penulis, berdasarkan data pada Tn. A
tersebut, dirumuskan diagnosa keperawatan hipotermi karena pasien
pasca pembedahan sebagai akibat sekunder dari suhu yang rendah di
ruang operasi, aktivitas otot yang menurun, usia yang lanjut atau agen
obat-obatan yang digunakan seperti anestesi dan vasodilator. Hal ini
didukung oleh teori dari Smeltzer (2011) yang mengatakan bahwa
pasien pasca bedah dapat mengalami hipotermi yang dapat terjadi pada
periode peri-operasi hingga berlanjut pada periode pasca operasi di
ruang pemulihan, sebagaiakibat sekunder dari suhu yang rendah di
ruang operasi, infus dengan cairan yang dingin, inhalasi dengan gas
yang dingin, kavitas atau luka yang terbuka, aktivitas otot yang
menurun, usia yang lanjut atau agen obat – obatan yang digunakan,
seperti anestesi dan vasodilator. Menurut SDKI tahun 2018, hipotermi
adalah diaman suhu tubuh berada dibawah batas rentang normal yaitu
360c.
 Intervensi
Intervensi keperawatan bertujuan agar hipotermi teratasi dengan
kriteria hasil: pasien mengatakan tidak dingin lagi, pasien tidak
menggigil kedinginan, suhu tubuh pasien 36,5 – 37,50c. Adapun
intervensi keperawatan meliputi: observasi tanda – tanda vital
pasien, atur suhu ruangan rendah, beri selimut hangat elektrik
kepasien. Berdasarkan intervensi yang dirumuskan agar hipotermi
teratasi, penulis menggunakan intervensi pada SIKI tahun 2018. Hal
ini sesuai dengan teori Sjamsuhidajat & De Jong (2010), yang
mengatakan bahwa teknik terapi non farmakologis yang dapat
dilakukan untuk mengatasi hipotermi yaitu dengan memberikan
selimut hangat, mengatur suhu lingkunngan yang memadai, serta
menggunakan penghangat cairan untuk tranfusi dan cairan lain. Hal
ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Suswitha
(2018), tentang efektifitas penggunaan electricblanket pada pasien
yang mengalami hipotermi post operasi di instalasi bedah sentral
(IBS) rumah sakit umum daerah palembang bari, yang menjelaskan
bahwa pasien dengan diagnosa keperawatan hipotermi dapat diatasi
dengan upaya peningkatan suhu tubuh dengan intervensi
electricblanket.
 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan, tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tartowo &
Wartonah, 2015). Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi
hipotermi yaitu dengan mengobservasi tanda – tanda vital pasien,
mengatur suhu ruangan rendah, memberi selimut hangat elektrik
kepasien.
 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Pada tahap ini, penulis menggunakan
metode pendokumentasian SOAP yaitu Subyektif(S), Obyektif(O),
Assesment(A), dan Planning(P). Evaluasi dari diagnosa hipotermi
diperoleh hasil: Subyektif: pasien mengatakan sudah tidak dingin.
Obyektif: terpasang selimut elektrik pada pasien, tanda – tanda vital
TD : 130/80 mmHg, HR : 90x/menit, RR : 22x/menit, suhu tubuh
pasien: 36,30c. Assesment: -. Planning: observasi suhu tubuh pasien,
pertahankan selimut pasien sampai suhu tubuh diatas 36,5 0c,
pindahkan ke ruang rawat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakuakan oleh Suswitha (2018), tentang efektifitas
penggunaan electricblanket pada pasien yang mengalami hipotermi
post operasi di instalasi bedah sentral (IBS) rumah sakit umum
daerah palembang bari, yang mengatakan bahwa electricblanket
efektif untuk meningkatkan suhu tubuh pasien post operasi dengan
nilai pvalue 0,000.
c. Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi
Diagnosa tersebut dirumuskan berdasarkan data-data: pasien mengeluh
nyeri pada perutnya, terdapat luka jahitan post operasi dan luka
pemasangan drain pada perut pasien, pasien tampak gelisah, skala nyeri
4, tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 92x/menit, rspirasi: 25x/menit,
suhu tubuh pasien: 35, 9 0c. Menurut penulis, berdasarkan data pada Tn.
A tersebut, dirumuskan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan luka post operasi dapat terjadi karena adanya kerusakan jaringan
akibat suatu pembedahan. Hal ini didukung oleh teori potter & perry
(2010), mengatakan bahwa nyeri pada laparatomi merupakan nyeri akut
yang memiliki awitan cepat dan berlangsung dalam waktu singkat yang
terjadi karena adanya luka insisi bekas pembedahan yang menyebabkan
tubuh menghasilkan mediator-mediator kimia nyeri. Sedangkan
menurut SDKI tahun 2018, nyeri akut merupakan suatu pengalaman
sensoris dan emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
 Intervensi
Intervensi keperawatan bertujuan untuk menurunkan nyeri sampai
hilang dengan kriteria hasil: pasien mengatakan nyeri berkurang
atau hilang, skala nyeri 3 – 0, tanda – tanda vital dalam batas normal.
Adapun intervensi keperawatan meliputi: kaji nyeri secara
komprehensif ( lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
fase presipitasi), observasi tanda – tanda vital, atur posisi pasien
senyaman mungkin, anjurkan pasien menggunakan teknik relaksasi
napas dalam saat nyeri timbul, gunakan teknik distraksi latihan 5
jari, kolaborasi dengan dokter dalam terapi obat analgesik.
Berdasarkan intervensi yang dirumuskan untuk mengontrol nyeri
yang dialami oleh Tn. A, penulis menggunakan intervensi pada SIKI
tahun 2018. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri
Utami (2016) tentang efektifitas relaksasi napas dalam dan distraksi
dengan latihan 5 jari terhadap nyeri post laparatommi, menjelaskan
bahwa relaksasi napas dalam dan distraksi dengan latihan 5 jari
efektif untuk menurunkan nyeri post laparatomi.
 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan, tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tartowo &
Wartonah, 2015). Implementasi yang dilaksanakan yaitu dengan
mengkaji nyeri secara komprehensif ( lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan fase presipitasi), mengobservasi tanda – tanda
vital, mengatur posisi pasien senyaman mungkin, menganjurkan
pasien menggunakan teknik relaksasi napas dalam saat nyeri timbul,
menggunakan teknik distraksi latihan 5 jari, mengkolaborasi dengan
dokter dalam terapi obat analgesik.
 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Pada tahap ini, penulis menggunakan
metode pendokumentasian SOAP yaitu Subyektif(S), Obyektif(O),
Assesment(A), dan Planning(P). Evaluasi dari diagnosa nyeri aku
diperoleh hasil: Subyektif: pasien masih mengeluh nyeri namun
kadang-kadang. Obyektif: pasien sedikit rileks, skala nyeri 4,
tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 90x/menit, respirasi: 22x/menit,
suhu tubuh: 36, 1 0c. Assesment: Nyeri akut. Planning: anjurkan
pasien napas dalam, gunakan teknik distraksi latihan 5 jari. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Utami (2016)
tentang efektifitas relaksasi napas dalam dan distraksi dengan latihan
5 jari terhadap nyeri post laparatommi, menjelaskan bahwa relaksasi
napas dalam dan distraksi dengan latihan 5 jari efektif untuk
menurunkan nyeri post laparatomi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan dan pengawasan selama di ruang
recovery penulis melakukan penilaian dengan hitungan Alderette Score
dengan batasan skornya ≥ 8 pasien masuk diruang rawat inap, jika Aldrette
skornya < 8 pasien harus dimasukkan ke dalam ruang ICU. Dari perhitungan
dengan Alderette Score diperoleh hasil: warna kulit kemerahan/normal,
aktivitas motorik gerak dengan 4 anggota tubuh, pernafasan dalam, batuk,
tekanan darah 130/80 mmHg, kesadaran bangun jika dipanggil. Hal tersebut
merupakan indikasi pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
Kemudian penulis melakukan operan ke perawat ruangan dengan rincian
sebagai berikut: posisi supinasi, O2 3 lpm nasal kanul, awasi tanda-tanda
vital setiap 15 menit, observasi drain, observasi nyeri, observasi bising usus,
pasien dipuasakan sampai bising usus positif/platus, terapi obat: Ambacim
inj 1gr/12 jam, Dexketoprofen inj 25 mg/ 8 jam, Asam traneksamat inj 100
mg / 12 jam, dan IV lien RL 20 tpm.

Anda mungkin juga menyukai