Anda di halaman 1dari 9

REVITALISASI PERAN LPTK

DALAM MEWUJUDKAN TENAGA PENDIDIK PROFESIONAL1

Mauled Moelyono
Dosen Tetap Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universwitas Tadulako

Pengantar

Revitalisasi peran LPTK dalam mewujudkan tenaga pendidik yang profesional mengandung arti
sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali dan membangun komitmen tentang peran LPTK secara
proporsional dan kontekstual. Revitalisasi juga berarti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan
kemampuan dan meningkatkan kinerja LPTK, dan sedapat mungkin diusahakan terbangunnya sinergi
dengan melibatkan sebanyak-banyaknya lembaga penyelenggara pendidikan lainnya. Pertanyaan penting
yang akan dijawab melalui pembahasan ini adalah ”kemana revitalisasi peran LPTK akan diorientasikan?”.
Pembahasan ini akan berangkat dari indikator daya saing LPTK, dan akan menuju kepada suatu
kajian tentang perubahan orientasi dalam praktik-praktik pendidika: (1) aktivitas pembelajaran, (2) tenaga
pendidik, (3) sarana dan prasarana, (4) budaya akademik, dan (5) karya akademik.

1. Revitalisasi Aktivitas Pembelajaran

Revitalisasi aktivitas pembelajaran dimaksudkan sebagai upaya memperkuat penyelenggaraan


aktivitas pembelajaran yang bermutu untuk mengahsilkan lulusan yang memiliki kecakapan hidup yang
tangguh melalui pengembangan aspek: berpikir kreatif-produktif (creative-productive thinking), kiat
pemecahan masalah (problem solving), kiat pengambilan keputusan (decision making), keterampilan
belajar bagaimana belajar (learning how to learn), keterampilan berkolaborasi (collaboration), dan
pengelolaan diri (self management).
Dalam hal ini, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk memfasilitasi pengembangan potensi
mahasiswa secara optimal yang difokuskan pada pengembangan kemampuan emulasi daripada
kemampuan emitasi. Indikator kemampuan emulasi ditunjukan oleh keterampilan melakukan kompilasi
dan sinergi dari berbagai informasi, barang, atau jasa yang baru untuk menghasilkan sesuatu (produk dan
jasa) yang lebih baru yang memiliki keunggulan kompetitif dari produk atau jasa yang ada sebelumnya.

1 Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “Peran LPTK Dalam Menghasilkan Lulusan Tenaga pendidik yang
profesional”, diselenggarakan oleh FKIP-UNTAD, Mei 2009.

1
Kemampuan emulasi tersebut dapat difasilitasi dengan melakukan kompilasi dan sinergi sumber
daya manusia sebagai human embodied technology, peralatan dan permesinan sebagai capital embodied
technology, dan organisasi lembaga pendidikan sebagai technology disembodiement. Ini berarti, untuk
mengahsilkan lulusan yang memiliki kecakapan hidup yang lebih bermutu, selain dibutuhkan masukan
mentahnya (mahasiswa) yang baik, juga kualitas lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya sarana dan
prasarana pendidikan. Pemahaman yang baik atas variasi masukan di atas oleh para dosen menjadi
prasyarat untuk dapat memfasilitasi pembelajaran yang dapat melibatkan mahasiswa secara intens dan
proporsional, baik dari aspek kognitif, psikomotor, maupun afektif. Fenomena pembelajaran seperti ini
dapat menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan  bagi mahasiswa, dan dapat
memfasilitasi munculnya prakarsa belajar bagaimana belajar (learning how to learn).
Pengelolaan pembelajaran tersebut perlu diperkuat dengan memberikan otonomi pendidikan
yang lebih luas dan pemberlakuan standar mutu pendidikan, baik dari aspek proses maupun dari aspek
hasil pembelajaran. Selain itu, perlu juga dilakukan reorientasi terhadap paradigma keberhasilan
pembelajaran yang digunakan selama ini, yaitu bergerak dari pembelajaran yang hanya menekankan
aspek kognitif dan keterampilan teknis, ke arah pengembangan faktor-faktor nonkognitif seperti
keterampilan interaksi sosial, kreativitas, motivasi kerja, rasa percaya diri, kemampuan kerja tim, serta
perlunya mempertimbangkan parameter emotional quation (EQ) dalam mengukur keberhasilan belajar.
Hal ini penting karena berdasarkan temuan para ahli psikologi menunjukkan bahwa kontribusi
faktor-faktor dalam EQ terhadap keberhasilan seseorang mencapai 80%. Upaya pembelajaran ini tidak
dapat dijawab dengan pendekatan teori dan konsep behavioristik yang hanya menuntut keteraturan,
tetapi harus mengacu pada pendekatan teori dan konsep konstruktivistik yang  mengarah pada variasi
perlakuan sesuai konteks.
Orientasi belajar dan pembelajaran berbasis aliran konstruktivistik ini dapat diberikan
indikatornya sebagai berikut: Pertama, aktivitas belajar dan pembelajaran lebih mengutamakan aktivitas
mahasiswa daripada aktivitas pengelola pembelajaran. Aktivitas ini bisa meliputi aktivitas akademik di
laboratorium, di lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, penelitian, diskusi, brainstorming, dan
simulasi (Ajeyalemi, 1993). Peran pengelola pembelajaran lebih bersifat mengendalikan ide-ide, dan
interpretasi mahasiswa dalam belajar, memfasilitasi mahasiswa ke dalam ide-ide alternatif yang diyakini
sebelumnya, dan menawarkan berbagai alternatif melalui penerapan dan bukti-bukti serta argumentasi.
Kedua, latar belajar dan pembelajaran memperhitungkan konsepsi utama mahasiswa yang dibawa ke
dalam aktivitas belajar sebagai bagian dari aktivitas pembelajaran. Aktivitas belajar dalam hal ini adalah
proses aktif pada diri mahasiswa dengan membangun makna yang terfasilitasi melalui negosiasi
interpersonal. Di sini konsepsi pengelola pembelajaran juga berperan, baik konsepsi terhadap isi ajaran
maupun pembelajaran (Driver & Leach, 1993). Ketiga, bahan ajaran perlu diangkat dari pengalaman

2
personal mahasiswa, mempertimbangkan kehidupan nyata yang dialami, dan di masyarakat sekitar. Hal
ini sebagai implikasi dari interpretasi belajar sebagai proses membangun makna oleh mahasiswa, bukan
ditentukan oleh faktor eksternal. Pembelajaran dalam hal ini lebih mengarah pada bagimana mahasiswa
sukses dalam mengorganisasi pengalaman sendiri daripada kebenaran melakonkan replikasi dari apa yang
dilakukan atau disuruh oleh dosen. Keempat, kurikulum tidak lagi dipandang sebagai kumpulan deskripsi
keterampilan yang akan ditransfer  ke mahasiswa, tetapi sebagai rangkaian tugas dan strategi
pelaksanaannya. Orientasi pngembangan kurikulum menata lingkungan kelas sebagai latar sosial untuk
memfasilitasi proses pembangunan pengetahuan bagi mahasiswa. Latar kelas dalam hal ini lebih
mengarah pada tugas belajar sebagai paket, dan tugas belajar yang diinterpretasikan mahasiswa, yang
mencakup organisasi sosial dan kancah interaksi antara mahasiswa dengan berbagai sumber belajar.
Kelima, karakteristik interaksi belajar di latar kelas bercirikan: aktif dengan konsepsi dirinya terintegrasi
dalam situasi belajar untuk membangun makna, dalam membangun makna berlangsung secara personal
dan sosial, dosen membawa dan mengintegrasikan konsepsinya (isi dan pembelajaran) dalam
memfasilitasi belajar mahasiswa, pembelajaran merupakan penataan situasi agar memudahkan
mahasiswa membangun makna (Connor, 1990).
Kelima indikator pembelajaran berbasis aliran konstruktivistik tersebut sangat potensial untuk
merajut suasana pembelajaran yang menggairahkan (menyenangkan), baik oleh mahasiswa maupun
dosen. Dengan kondisi dan orientasi pembelajaran di atas,  dosen dapat menata latar yang membuat
mahasiswa tidak merasa takut berbuat salah, ditertawakan, dan disepelekan. Di samping itu,
pembelajaran yang dirancang berpotensi untuk membuat mahasiswa berani berbuat, bertanya,
berpendapat, mempertanyakan gagasan orang lain (Durori, 2002).

2. Revitalisasi Tenaga Pendidik

Revitalisasi tenaga pendidik (dosen) dimaksudkan sebagai upaya memperkuat peran dosen
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengelola pembelajaran secara profesional.
Untuk dapat menjadi dosen yang profesional dalam mengelola pembelajaran, dosen dituntut memiliki
penguasaan isi bidang studi, pemahaman karakteristik mahasiswa, melakonkan pembelajaran yang
mendidik, dan potensi pengembangan profesionalisme dan kepribadian (Depdiknas, 2002; dan
Depdiknas, 2004).
Dosen sebagai tenaga profesional bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, mengevaluasi kemajuan pembelajaran, melakukan bimbingan dalam seni menjalani
kehidupan, melakukan konseling dalam perencanaan kehidupan, mengembangkan kreativitas dan
potensi, melakukan penelitian, membantu pengembangan dan pengelolaan program studi serta
mengembangkan profesionalitas. Selain daripada itu, ke depan dosen juga dituntut untuk memiliki
ketrampilan khusus berkomunikasi, menggunakan komputer, dan ketrampilan memberikan pengaruh

3
positif. Mengingat begitu berat tugas sebagai dosen, ia dituntut memenuhi standar kompetensi dan
profesionalismenya. Standar ini perlu ditetapkan mengingat betapa penting peran dosen dalam
memfasilitasi tercapainya lulusan akademik yang bermutu dan memenuhi standar nasional dan standar
tuntutan era global. Standar kompetensi ini mengacu kepada standar nasional pendidikan (lihat amanat
pasal 35 ayat 1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, 2003), yaitu sebagai sesuatu spesifikasi teknis
kompetensi yang dibakukan, dan disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan keselamatan, keamanan, kesehatan, perkembangan IPTEKS, perkembangan masa kini dan
masa mendatang untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
Untuk mengoptimalkan tugas berat dosen tersebut, terlebih dahulu kita harus secara jujur
memberikan penilaian bahwa banyak diantara dosen yang terjangkiti perasaan inferiority feeling akibat
kurang sanggup mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu cepat. Tak sedikit pula dosen
terhinggapi perasaan rendah diri berlebihan (meerwardigheid complex), sehingga mereka tidak bisa
memaksimalkan fungsinya. Salah satu penyebabnya adalah, penghasilan mereka sangat tidak memadai
atau sangat rendah. Sebagai perbandingan, jika gaji dosen baru di Indonesia tak lebih dari Rp 1.000.000,-
per bulan atau sekitar US$ 110, maka di negara-negara Singapura, Malaysia, dan Brunei menerima gaji
lebih dari US$ 1000 setiap bulannya, sedangkan di Jepang, mereka menerima gaji sekitar 200 ribu Yen
atau sekitar Rp 16 juta per bulan (Kompas, 7/5/2004). Dengan kesejahteraan yang rendah, kesediaan
dosen untuk mengalokasikan sebagian dari pendapatannya untuk membeli buku juga rendah, akibatnya,
kapasitas dosen yang seharusnya ditingkatkan sesuai tuntutan profesinya tidak dapat berlangsung
seirama dengan pesatnya kemajuan, sehingga optimalisasi fungsi dan peran sebagai profesi dosen tidak
pernah tercapai. Hal ini berdampak terhadap mutu proses instruksional dan mutu lulusan.
Solusi terbaik agar bisa keluar dari jeratan kesulitan pendidikan yang tak kunjung selesai adalah:
(1) menaikkan gaji dosen yang memungkinkan mereka terbebas dari tuntutan kerja ekstra di luar jam
tugas hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga; dan (2) menciptakan lingkungan kerja dosen
yang kondusif yang mendorong mereka untuk mau dan mampu mengoptimalkan potensi kreatifnya
menjadi guru dan peneliti yang handal, senang berperan di kelompok keilmuan, program studi, dan
pusat-pusat penelitian atau pusat-pusat pengkajian. Karena sesungguhnya itulah wadah program tempat
berkecimpung dosen, sehingga mereka bangga di profesi atau habitatnya, bukan pada habitat yang lain.

3. Revitalisasi Sarana dan Prasarana

Revitalisasi sarana dan prasarana dimaksudkan sebagai upaya memperkuat keberadaan dan fungsi
dari sarana dan prasarana akademik dalam menunjang proses belajar mengajar yang bermutu dan
mendukung upaya penciptaan atmosfir akademik yang kondusif.
Upaya ini difokuskan pada upaya pengadaan dan pemeliharaan secara selektif dan berkelanjutan
sesuai dengan prioritas dan kemampuan pendanaan. Peruntukan program revitalisasi ini meliputi:

4
bangunan dan perangkat-perangkat peralatan untuk aktivitas proses belajar-mengajar di ruang kelas,
laboratorium dan perpustakaan; bahan ajar, paket proses belajar mengajar, administrasi,
kegiatan-kegiatan penunjang akademis, penelitian, pengabdian, tenaga pengajar dan tenaga administrasi,
kegiatan ko-kurikuler kemahasiswaan, serta program-program layanan masyarakat.
Secara bertahap revitalisasi sarana dan prasarana akademik juga diarahkan untuk mempercepat
pengembangan berbagai sarana dan prasarana akademik berbasis teknologi informasi dan komunikasi
yang bertujuan memenuhi standar penjaminan mutu LPTK.

4. Revitalisasi  Budaya Akademik


Revitalisasi Budaya Akademik dimaksudkan sebagai upaya memfasilitasi aktivitas-aktivitas di
lingkungan kampus dalam rangka mengintensifkan, memperkuat dan meningkatkan tradisi kehidupan
akademik secara berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat kampus. Melalui upaya ini diharapkan akan
menciptakan suasana akademik yang menarik dan memikat warga masyarakat kampus untuk secara
sukarela dan berkelanjutan mempertahankan kehidupan akademik di kampusnya. Dengan demikian,
masyarakat kampus menjadi terbiasa dan senang terlibat dalam berbagai kegiatan akademik, tumbuh
budaya kritis dan peduli melalui kegemaran membaca di perpustakaan, mengikuti aksi-aksi kolektif dalam
berbagai aktivitas sosial budaya dan terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan seminar dan diskusi
ilmiah di kampus.
Karena aktivitas-aktivitas tersebut merupakan bagian dari kehidupan masyarakat kampus dan
dapat memenuhi sebagian dari kebutuhan akademiknya, maka warga masyarakat kampus merasa senang
dan bisa memetik manfaat dari setiap aktivitas kampus yang diikutinya, sehingga menjadikan mereka
betah berlama-lama tinggal dan larut dalam aktivitas kampus. Tradisi akademik inilah yang kemudian
diharapkan menjadi budaya akademik di kalangan warga masyarakat kampus. Kebiasaan terlibat dalam
berbagai aktivitas kampus sebagaimana diuraikan di atas, tentu saja tidak terlepas dari ketersediaan
berbagai sarana dan prasarana pendukung yang ada dan suasana kehidupan kampus yang
menyenangkan.
Untuk mewujudkan suasana dan budaya akademik yang demikian itu perlu secara terus-menerus
dilakukan revitalisasi terhadap upaya-upaya yang mendorong terciptanya interaksi dan interelasi
antarwarga masyarakat kampus melalui:
(1) Perluasan dan peningkatan mutu layanan perpustakaan melalui: penambahan dan pemeliharaan
koleksi perpustakaan yang lebih beragam dan mutakhir; peningkatan kemampuan pengelola
perpustakaan; peningkatan diversifikasi fungsi perpustakaan untuk mewujudkan perpustakaan
sebagai tempat yang menarik untuk dikunjungi; dan pemberdayaan tenaga perpustakaan dengan
mengembangkan jabatan fungsional pustakawan

5
(2) Perluasan dan penguatan aktivitas ko-kurikuler di dalam kampus yang mendukung terciptanya
kehidupan kemahasiswaan yang harmonis dan bermakna.
(3) Perluasan dan penataan sarana dan prasarana umum yang dapat mendukung terciptanya
kehidupan akademik di dalam kampus.
(4) Perluasan dan penguatan kegiatan-kegiatan akademik, seni budaya dan sosial kemasyarakatan di
kalangan warga masyarakat kampus.
(5) Perluasan dan peningkatan aktivitas keolahragaan.

5. Revitalisasi  Karya Akademik

Revitalisasi Karya Akademik dimaksudkan sebagai upaya memfasilitasi aktivitas-aktivitas


akademik, seperti aktivitas pembelajaran, penelitian, dan aktivitas pengabdian kepada masyarakat yang
diorientasikan untuk meningkatkan kualitas karya-karya akademik, khususnya mutu publikasi jurnal ilmiah
dan mutu lulusan.
Dalam hal peningkatan jumlah dan mutu publikasi jurnal ilmiah, perlu secara terus-menerus
dilakukan revitalisasi terhadap upaya-upaya yang mendorong terbitnya sejumlah jurnal ilmiah melalui:
perluasan dan peningkatan mutu hasil-hasil penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan
dasar, terapan, dan teknologi sesuai dengan kompetensi inti dan kebutuhan pengguna agar layak untuk
dipublikasikan; peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaan di bidang publikasi jurnal ilmiah
dengan melakukan berbagai kegiatan pelatihan dan pengembangan yang fokus pada teknik penulisan dan
pengelolaan jurnal ilmiah; dan memberikan dukungan sarana dan prasarana penerbitan secara memadai
dan mengoptimalkan pemanfaatannya secara efektif dan efisien.
Dalam hal peningkatan mutu lulusan akademik, perlu secara terus-menerus dilakukan revitalisasi
terhadap upaya-upaya yang bersentuhan secara langsung dengan perancangan kurikulum pendidikan dan
proses pembelajaran yang diorientasikan untuk mencapai lulusan yang memenuhi kriteria kecakapan
hidup (Versi Depdiknas, 2004), yaitu: kecakapan hidup generik dan kecakapan hidup spesifik.
Depdiknas (2004) kemudian merinci kecakapan hidup generik ke dalam: (1) kesadaran diri, (2)
kecakapan berpikir, (3) kecakapan komunikasi, dan (4) kecakapan bekerjasama. Kesadaran diri banyak
terkait dengan sikap dan dirinci menjadi (a) kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, yang diwujudkan
dengan ibadah ritual maupun sikap hidup, yaitu: jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras dan
ulet/pantang menyerah; (b) kesadaran diri sebagai makhluk sosial, yang diwujudkan dengan toleransi dan
menghormati orang lain, serta berempati dan memberikan bantuan kepada sesama manusia; (c)
kesadaran diri sebagai bagian dari lingkungan, yang diwujudkan dengan memelihara lingkungan dan
menggunakannya secara bijak; dan (d) kesadaran akan potensi diri sebagai karunia Tuhan, yang
diwujudkan dalam mengenal kekuatan dan kelemahan diri, mengembangkan potensi diri, serta bekerja
keras. Kecakapan berpikir dirinci menjadi kecakapan: (a) menggali informasi melalui berbagai sumber, (b)

6
mengolah informasi, (c) mengambil keputusan, dan (d) menyelesaikan masalah seraca arif dan kreatif.
Kecakapan komunikasi diwujudkan dalam: (a) komunikasi lisan, melalui menyimak dan berbicara, serta (b)
komunikasi tulis, melalui membaca dan menulis. Kecakapan kerjasama, diwujudkan dalam kecakapan: (a)
bekerjasama dengan rekan setara, (b) bekerjasama dalam posisi sebagai anggota tim, dan (c) bekerjasama
dalam posisi sebagai pimpinan tim. Sedangkan kecakapan spesifik, merujuk pada bidang yang ditekuni.
Agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuannya, maka peran dosen sangat menentukan.
Karena itu, lagi-lagi dosen dituntut agar profesional dalam memberikan layanan akademik (kependidikan)
kepada mahasiswa, menguasai ilmu dan keterampilan spesialis yang diperoleh dari pendidikan yang
mendalam dan berkelanjutan. Sesuai rekomendasi United Nations Educational, and Cultural Organization
(UNESCO), dosen hendaknya memiliki: (1) semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang mantap; (2) kemampuan mewujudkan dirinya dalam
keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan IPTEKS; (3) kemampuan belajar
dan bekerja sama dengan profesi lain; (4) etos kerja yang tinggi; (5) kejelasan dan kepastian
pengembangan jenjang karier; (6) jiwa profesional tinggi; (7) kesejahteraan lahir dan batin, material dan
non material; (8) wawasan masa depan; (9) kemampuan melaksankaan fungsi dan peranannya secara
terpadu; sehat jasmani dan rohani serta berpenampilan yang baik; dan (10) rasa cinta dan bangga
terhadap profesinya.

Penutup

1. Di abad pengetahuan saat ini, kecenderungan yang berlaku umum menempatkan intelectual capital
sebagai kekuatan utama dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup, baik pada tataran individu 
maupun kelompok. Hanya individu yang dapat dengan arif mengkompilasi dan mensintesis informasi
menjadi pengetahuanlah yang dapat eksis dan berkembang di era global.
2. Tuntutan di abad pengetahuan itu, di satu sisi mendudukkan pentingnya upaya peningkatan kualitas
pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang dilakukan terus menerus, sehingga
pendidikan dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun dan meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia sebagaimana yang dituntut pada abad pengetahuan. Di sisi yang lain, secara
kelembagaan penyelenggaraan pendidikan diperhadapkan dengan berbagai tantangan dan
persaingan yang kian meningkat dan ketat.
3. Agar peran strategis pendidikan dapat menjawab berbagai perubahan dan kecenderungan di abad
pengetahuan ini, maka secara kelembagaan, perguruan tinggi harus melakukan penataan diri dan
meningkatkan daya saingya.
4. Fenomena kehidupan LPTK hingga saat ini masih diperhadapkan dengan masalah daya saing yang
rendah, terutama jika dicermati dari mutu aktivitas pembelajaran, tenaga akademik, sarana dan
prasarana, budaya akademik, dan mutu karya akademiknya.

7
5. Kontribusi LPTK dalam mewujudkan tenaga pendidik profesional masih jauh dari harapan
pemenuhan sumberdaya manusia sebagaimana yang dicirikan pada era pengetahuan. Menurut
hemat saya, praktik-praktik pendidikan dan pembelajaran masih terbelenggu oleh cara belajar yang
lebih mendasarkan pada pendekatan bihavioristik (stimulus—respon) dan perolehan pengetahuan,
belum mendasarkan pada pendekatan konstruktivistik yang menciptakan kemampuan
mengkonstruksi pengetahuan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kompetensi dosen belum
memenuhi standar dan tuntutan kompetensi di era pengetahuan. Karena itu, implementasi
manajemen LPTK yang berlangsung selama ini perlu direvitalisasi.
6. Sasaran strategis dalam merevitalisasi manajemen LPTK , hendaknya difokuskan pada aspek mutu
aktivitas akademik, tenaga akademik, sarana dan prasarana akademik, budaya akademik, dan mutu
karya akademiknya berdasarkan tuntutan masyarakat pengguna dan tuntutan perubahan dan
kecenderungan zaman.

DAFTAR RUJUKAN

8
Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Examply STS Teacher, What Research Says to the Science
Teaching VII. Washington DC.: NSTA, 5—18.
Badan Standardisasi Nasional. 2001. Sistem Standardisasi Nasional. Jakarta: BSN.
Connor, J.R. 1990. Naive Conceptions and the School Science Curriculum. What Research Says to the Science
Teaching VII. Washington DC.: NSTA, 5—18.
Depdiknas. 2002. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2004. Draft Naskah Akademik Sertifikasi Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta:
P2TK Ditjen Dikti.
Durori, M. 2002. Media Belajar dan Alat Peraga Sederhana untuk Mengembangkan Pembel-ajaran Aktif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Banyumas: Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas.
Goleman, D. 1998. Emotional Intelligence. New York:  Bantam Books.
Imura, Hiroo. 1996. Science Education in Japan. Sciance, Vol. 274. 4 Oktober 1996. http://www.scienmag.org
Jeffrey Mervis and June Kinoshita. 1995. Science in China: A Great Leap Forward Science, Vol. 270. 17
November 1995. p: 1131 – 1154
Jeremy Galbreath. 1999. Preparing The 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology
and Future Skill Sets. Educational Technology. November-December 1999 Edition
Mukhadis, A. 2004. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajarannya. Makalah Sosialisasi
KBK di Lingkungan Pondok Pesantren Propinsi Bali di Hotel Surya Indah Negara Bali, 23 Agustus.
Oentoro, J. 2000. Perbaikan Sistem Pendidikan untuk Menunjang Dunia Industri. Makalah Konvensi Nasional
Pendidikan Indonesia di Jakarta 19—22  September.
Ordonez, Victor. 1996. “Towards Lifelong Education For All” Presented in the Inter-Parliamentary
Conference On Education, Science, Culture, And Communication On The Eve Of The 21st Century.
Paris, 3 – 6 June 1996 On The Occasion Of The 50th Anniversary Of Unesco
Tampubolon, D.P. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi
Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wen, Sayling. 2003. Masa Depan Pendidikan. Batam Centre: Lucky Publishers.

Anda mungkin juga menyukai