Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

ERITRODERMA

Pembimbing :
dr. Thianti Sylviningrum, Sp.KK, M.Pd.Ked, M.Sc

Disusun Oleh :
Dita Yulianti
G4A017045

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018

LEMBAR PENGESAHAN

1
ERITRODERMA

Disusun Oleh :
Dita Yulianti
G4A017045

PRESENTASI KASUS

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekardjo

Disetujui dan disahkan,


pada tanggal Desember 2018

Pembimbing

dr. Thianti Sylviningrum, Sp.KK, M.Pd,Ked, M.Sc


NIP. 19790129 200501 2 004
DAFTAR ISI

2
Halaman Pengesahan ................................................................................ 2
Daftar Isi ................................................................................................... 3
I. Laporan Kasus................................................................................. 5
II. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9
A. Definisi ..................................................................................... 9
B. Etiologi dan Faktor Risiko........................................................ 9
C. Epidemiologi............................................................................. 9
D. Patomekanisme......................................................................... 10
E. Penegakkan Diagnosis.............................................................. 15
F. Diagnosis Banding.................................................................... 16
G. Penatalaksanaan........................................................................ 17
H. Prognosis................................................................................... 19
III. Pembahasan .................................................................................... 20
IV. Kesimpulan..................................................................................... 21
Daftar Pustaka............................................................................................ 22

3
I. LAPORAN PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 37 tahun
Alamat : Pandan RT 14 RW 04
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 15 Desember 2018

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kulit mengelupas di seluruh tubuh
Keluhan Tambahan : Kulit kemerahan, mual dan perut terasa penuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli RSMS dengan keluhan kulit yang mengelupas
hampir di seluruh bagian tubuh yang mulai dirasakan sejak 3 bulan yang lalu.
Keluhan tidak disertai nyeri dan tidak gatal. Awalnya pasien didiagnosis MH
sejak 9 bulan yang lalu dan rutin mengonsumsi MDT. Namun setelah
memasuki pengobatan bulan ke-6, pasien mulai mengeluhkan terdapat bintik
kemerahan disertai sisik pada tangan yang kemudian meluas hingga seluruh
badan. Setelah diperiksa, ternyata pasien alergi terhadap obat MDT. Pasien
juga post operasi chlesistektomi 10 hari yang lalu. Pasien juga mengaku, saat
ini merasa kesemutan pada tangan, lemas, mual namun tidak muntah, dan
perut terasa penuh.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit kulit serupa disangkal, riwayat Morbus Hansen
diakui, hipertensi disangkal, diabetes mellitus disangkal, penyakit jantung
disangkal, alergi obat diakui, riwayat operasi cholesistektomi

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada yang mengalami keluhan yang


sama dengan pasien.

4
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik
Vital Sign : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36.6 C
Kepala : normocephal, rambut hitam, distribusi merata, rambut
tipis.
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : simetris, deviasi septum (-), sekret (-/-)
Telinga : bentuk daun telinga normal, sekret (-/-)
Mulut : mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Leher
- Inspeksi : Simetris, tidak tampak kelainan
- Palpasi : Trakea di tengah, tidak terdapat pembesaran KGB
Kuku : Tidak tampak pitting nail
Thorax : Bentuk normal, simetris statis dan dinamis, retraksi tidak
ada
Jantung : Bunyi jantung I dan II regular, murmur tidak ada, gallop
tidak ada.
Paru : Vesikuler kanan dan kiri, ronki tidak ada, wheezing tidak
ada.
Abdomen : datar, bising usus positif normal, timpani di seluruh lapang
abdomen
hepar dan lien tidak teraba membesar
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : akral hangat, edema ( )

5
C. STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi : Seluruh tubuh (di regio gluteal, pedis dan manus)
Eflurosensi : Tampak makula eritematous, hiperpigmentasi dengan
batas tidak tegas disertai skuama kasar generalisata

Gambar 1.2 Eflorosensi pada


Gambar 1.1 Eflorosensi pada regio ekstremitas superior
facialis

Gambar 1.3 Eflorosensi pada regio Gambar 1.4 Eflorosensi pada regio
abdomen ekstremitas inferior

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

E. RESUME
Pasien datang ke Poli RSMS dengan keluhan kulit yang mengelupas
hampir di seluruh bagian tubuh yang mulai dirasakan sejak 3 bulan yang lalu.

6
Keluhan tidak disertai nyeri dan tidak gatal. Awalnya pasien didiagnosis MH
sejak 9 bulan yang lalu dan rutin mengonsumsi MDT. Namun setelah
memasuki pengobatan bulan ke-6, pasien mulai mengeluhkan terdapat bintik
kemerahan disertai sisik pada tangan yang kemudian meluas hingga seluruh
badan. Setelah diperiksa, ternyata pasien alergi terhadap obat MDT. Pasien
juga post operasi chlesistektomi 10 hari yang lalu. Pasien juga mengaku, saat
ini merasa kesemutan pada tangan, lemas, mual namun tidak muntah, dan
perut terasa penuh.
Pasien memiliki riwayat penyakit kulit Morbus Hansen sejak 9 bulan
yang lalu dan rutin mengonsumsi MDT, namun sejak 3 bulan terakhir pasien
alergi terhadap MDT. Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi dan
diabetes mellitus disangkal, penyakit jantung disangkal, alergi obat diakui.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis
didapatkan Tampak makula eritematous, hiperpigmentasi dengan batas tidak
tegas disertai skuama kasar generalisata. Berdasarkan anamnesis dan
gambaran klinis yang ditemukan pada pasien, maka dapat ditegakkan
diagnosis eritroderma.

F. DIAGNOSA KERJA
Eritroderma

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis
2. Dermatitis seboroik

H. PENATALAKSANAAN
1. Edukasi
a. Rawat Inap
b. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
c. Mencegah garukan dan gosokan pada daerah yang gatal
d. Istirahat yang cukup

7
e. Hindari stres psikologis
f. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi
g. Diet tinggi protein (ekstra putih telur 3x/hari)
2. Farmakologi
a. Inj. Dexamethason 2x1 Amp
b. Inj. Ranitidin 2x1 Amp
c. Inj. Difenhidramin 2x1 Amp
d. Inj. Gentamisin 2x80 mg
e. PO cetirizine 2x1
f. PO Curcuma 3x1
g. PO Claritromicin 1x250 mg
h. PO Ofloxacin 1x400 mg
i. Fucilex ointment 2x sehari
j. Desoksimetason cream dan Soft uderm (mf cream da in pot, 2 x oles
pagi dan malam)

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) +
derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai
90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada
beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma
yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai
skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena
bercampur dengan hiperpigmentasi (Grant, 2008).

8
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan eritema di
seluruh atau hampir seluruh permukaan tubuh (universalis, 90-100%) yang
dapat disertai dengan skuama (Siregar, 2005; Bruno and Grewal, 2009).
Apabila eritema mengenai 50-90% permukaan tubuh maka disebut sebagai
pre-eritroderma (Djuanda, 2015). Sinonim dari penyakit eritroderma adalah
dermatitis eksfoliativa, namun perbedaan yang mendasar adalah skuama pada
dermatitis eksfoliativa yang berlapis-lapis (Djuanda, 2015).

B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi eritroderma meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan insidensi kausa yang juga meningkat, yaitu
psoriasis. Pada studi Sigurdsson et al. ditemukan angka mortalitas sebesar
43% dimana 18% di antaranya disebabkan langsung oleh eritroderma,
sedangkan 74% sisanya disebabkan oleh penyebab lain yang tidak langsung
dari eritroderma. Eritroderma dijumpai lebih sering pada pria dengan rasio 2-
4 kali lipat dibanding perempuan. Umunya eritroderma dijumpai pada pasien
berusia lebih dari 40 tahun, atau pada usia yang lebih muda jika pasien
memiliki penyakit kulit primer misalnya dermatitis atopik, psoriasis,
dermatitis seboroik, staphylococcus scalded skin syndrome, atau iktiosis
herediter (Sigurdsson et al., 1996; Bruno and Grewal, 2009; Umar and
Elston, 2015).

C. ETIOLOGI
Penyebab eritroderma dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu
(Okoduwa et al., 2009; Siregar, 2005) :
1. Eritroderma akibat alergi obat secara sistemik
Untuk menentukanya diperlukan anamnesis menganai riwayat masuknya
obat ke dalam badan dengan berbagai cara (per oral, infus, supposituria,
intravaginal, maupun obat luar seperti obat kumur). Keadaan ini banyak
ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat menyebabkan eritroderma
diantaranya arsenik organik, emas, penisilin, barbiturat. Apabila terdapat
obat lebih dari satu yang masuk kedalam tubuh yang disangka sebagai
penyebabnya adalah obat yang paling sering menyebabkan alergi. Adapun

9
berikut adalah obat obatan dengan probabilitas berlakunya reaksi
eksantematosa (Djuanda, 2007)
a) Obat-obatan yang tinggi probabilitas berlakunya reaksi
eksantematosa. (Wolff, 2009)

 Penicilin dan antibiotik yang berkaitan

 Karbamazepin

 Allopurinol

 Gold salts (10-20%)

b) Obat-obatan yang sedang probabilitas berlakunya reaksi


eksantematosa (Wolff, 2009)

 Sulfonamid (bakteriostatik, antidiabetik, direutik)

 Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)

 Hidantoin derivative

 Isoniazid

 Kloramfenikol

 Eritromisin

 Streptomisin

c) Obat-obatan yang rendah probabilitas berlakunya reaksi


eksantematosa (Wolff, 2009)

 Barbiturat

 Benzodiazepam

 Fenotiazin

 Tetrasiklin

2. Akibat perluasan penyakit kulit.

10
Pada penyakit tersebut yang sering terkena misalnya psoriasis,
pemfigus foliaseus, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris dan liken
planus. Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling
banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun
akibat pengobatan psoriasis yang terlalu kuat misalnya pengobatan topical
dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi (Virendra N. Sehgal,
2004).
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan
eritroderma yang juga dikenal penyakit Leiner. Etiologinya belum
diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20 minggu. Ptyriasis rubra pilaris
yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi
eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah
pemfigus foliaseus, dermatitis atopik dan liken planus (Djuanda, 2007).
3. Akibat penyakit sistemik termasuk keganasan.
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat
memberi kelainan kulit berupa eritroderma.Jadi setiap kasus eritroderma
yang tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit
harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh
(termasuk pemeriksaan laboratorium dan sinar X toraks), untuk melihat
adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal.Ada kalanya
terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat
infeksi bakterial yang tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati
(Djuanda, 2007).
4. Manifestasi berat paparan sinar ultra violet.
Eritroderma yang tidak diketahui penyebabnya ini yakni sekitar 5-10%
dari semua kasus eritroderma. Sebagian para penderita eritroderma yang
mula-mula tidak diketahui penyebabnya ini kemudian berkembang
menjadi sindrom Sezary (Djuanda, 2007).

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas.
Patogenesis eritroderma berkaitan dengan patogenesis penyakit yang
mendasarinya, dermatosis yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi
eritroderma, atau perkembangan eritroderma idiopatik de novo tidaklah

11
sepenuhnya dimengerti. Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang
dimediasi toksin menunjukkan bahwa lokus pathogenesis Staphylococcus
mengodekan superantigen. Lokus-lokus tersebut mengandung gen yang
mengodekan toxin shock syndrome dan staphylococcal scalded skin
syndrome. Kolonisasi Stahphylococcus aureus atau antigen lain merupakan
teori yang mungkin saja seperti toxic shock syndrome-1, mungkin memainkan
peranan dalam pathogenesis eritroderma. Pasien-pasien dengan eritroderma
biasanya mempunyai kolonisasi Staphylococcus aureus sekitar 83% dan
padakulit sebesar 17%, bagaimanapun juga hanya satu dari 6 pasien memiliki
toksin S.aureus yang positif (Kels-Grant, 2001).
Dapat diketahui bahwa akibat suatu agen dalam tubuh baik itu obat-
obatan, perluasan penyakit kulit dan penyakit sistemik makan tubuh bereaksi
berupa pelebaran pembuluh darah (eritema) yang generalisata. Eritema berarti
terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke kulit
meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya, pasien merasa
demam dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung.
Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan
cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan
meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu.
Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan
peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasii
meningkat sebanding dengan laju metabolisme basal (Djuanda, 2015).
Kehilangan skuama dapat mencapai 9gram/m2 permukaan kulit atau
lebih dalam sehari, sehingga menyebabkan kehilangan protein
(hipoproteinemia) dengan berkurangnya albumin dengan peningkatan relatif
globulin terutama gammaglobulin merupakan kelainan yang khas. Edema
sering terjadi kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke runag
ekstravaskular. Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis
rambut dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada
eritrderma yang telah berlangsung berbulan-bulan dapat terjadi perburukan
keadaan umum yang progresif (Djuanda, 2015).
Exanthematous drug eruption merupakan idiosinkratik, mediasi sel-T
dan melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Tipe IV). Reaksi ini

12
melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel Langerhans yang
mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitisasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu
terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan
serangkaian limfokin. (Stern, 2012)

E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis eritroderma beranekaragam dan bervariasi tiap individu.
Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritem, yang disebabkan oleh
pelebaran pembuluh darah, yang umumnya terjadi pada area genitalis, ekstremitas
atau kepala. Eritem ini akan meluas sehingga dalam beberapa hari atau minggu
seluruh permukaan kulit akan terkena, yang akan menunjukan gambaran yang
disebut “red man syndrome” (Djuanda, 2015).
Skuama muncul setelah eritem, biasanya setelah 2-6 hari. Skuama adalah
lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama berkonsistensi mulai dari
halus sampai kasar (Djuanda, 2015). Ukuran skuama bervariasi; pada proses akut
akan berukuran besar, sedangkan pada proses kronis akan berukuran kecil. Warna
skuama juga bervariasi, dari putih hingga kekuningan. Deskuamasi yang difus
dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai membran
mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah terkena, dapat
terjadi alopesia, perubahan kuku dan kuku dapat lepas. Pada eritroderma, skuama
tidak selalu terdapat, misalnya eritroderma karena alergi obat sistemik, pada
mulanya tidak disertai skuama, skuama kemudian timbul pada stadium
penyembuhan timbul (Utama dan Kurniawan, 2007).

Gambar 2.1 Gambaran klinis eritroderma

13
Kulit kepala dapat terlihat, yang akan meluas ke folikel rambut dan matriks
kuku. Kurang lebih 25% dari pasien mengalami alopesia, dan pada banyak kasus
kuku akan mengalami kerapuhan sebelum lepas seluruhnya. Telapak tangan dan kaki
biasanya ikut terlibat, namun jarang mengenai membran mukosa. Sering terjadi pula
bercak hiper dan hipopigmentasi. Pada eritroderma kronis, eritem tidak begitu jelas
karena bercampur dengan hiperpigmentasi (Utama dan Kurniawan, 2007).
Epidermis berukuran tipis pada awal proses penyakit dan akan terlihat dan
terasa tebal pada stadium lanjut. Kulit akan terasa kering dengan krusta berwarna
kekuningan yang disebabkan serum yang mengering dan kemungkinan karena
infeksi sekunder. Pada beberapa kasus, manifestasi klinis yang muncul pada
eritroderma yang akut menyerupai nekrolisis epidermal toksik, walaupun secara
patofisiologi sangat berbeda (Akhyani et al., 2005).
Pada eritroderma karena penyakit kulit, penyakit sistemik dan obat-obatan,
sering dijumpai kelainan-kelainan yang mendasarinya, yang membantu dalam
menegakan diagnosis. Sering ditemukan plak psioriasis yang masih tersisa; papul
atau lesi oral liken planus; gambaran pulau yang khas dari pitiriasis rubra; dan lesi
papular dari drug eruption. Gejala dari penyakit yang mendasari ini sering sulit
ditemukan dan harus diperiksa dengan cermat (Djuanda, 2007).
Pasien mengeluh kedinginan. Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi
hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh
pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas metabolik. Eritroderma akibat
alergi obat secara sistemik diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat
penyebabnya. Umumnya alergi timbul akut dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit
hanya eritem saja, setelah penyembuhan barulah timbul skuama. Pada eritroderma
akibat alergi obat, dapat disertai edema pada wajah dan leher (Bruno, 2009).

Gambar 2.2 Red Man Syndrome (gambar kanan); Eritroderma karena erupsi obat
(gambar kiri)

14
Ditandai dengan erupsi makulopapular atau morbiliformis yang dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan
simetris terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada
demam, malese dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu
setelah dimulainya terapi. (Mochtar, 2011)
Reaksi awal pada pasien yang sebelumnya sensitif, erupsi mulai timbul
dalam 2 atau 3 hari setelah obat diadministrasi ulang. Untuk reaksi akhir,
sensitisasi timbul ketika administrasi atau setelah menyelesaikan kursus obat,
puncak insidens adalah hari kesembilan setelah administrasi. Namun ACDR
(Adverse Cutaneous Drug Reaction) bisa timbul pada bila-bila masa sahaja
antara hari pertama hingga minggu ketiga setelah rawatan dimulai. (Wolff,
2009)
Simptom pada kulit biasanya cukup pruritus juga menganggu tidur. 2
Bagian lesi kulit yang sakit menunjukkan perkembangan ACDR yang lebih
serius seperti toksik epidermal nekrolisis (TEN). Pasien juga bisa demam dan
menggigil. Gejala Simetrik. Hampir selalu pada tungkai dan ekstremitas.
Lesi konfluens di daerah intertriginosa, yaitu, ketiak, selangkangan, daerah
inframammary. Telapak tangan dan telapak kaki terlibat secara bervariasi.
Pada anak-anak, mungkin terbatas pada wajah dan ekstremitas. Reaksi
terhadap ampisilin biasa muncul awalnya di siku, lutut, dan tungkai,
memperluas simetris ke sebagian besar daerah tubuh. (Wolff, 2009)

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang
sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuning-
kemerahan di pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi,
erosi, dan ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema menyebar, relatif hiperkeratosis
tanpa skuama, dan pityriasis rubra; ditandai bercak kulit dalam eritroderma. Dengan
beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan diagnosis (Djuanda, 2007; Akhyani et
al., 2005).
1. Anamnesis
Dibutuhkan anamnesis yang lengkap dalam menegakkan diagnosis
eritroderma. Seperti riwayat pemakaian obat atau medikasi lain. Pasien dengan
penyakit kulit sebelumnya (psoriasism dermatitis). Atau pasien dengan penyakit
sistemik atau keganasan
2. Pemeriksaan Fisik

15
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya eritema yang universal dapat
disertai dan tidak oleh skuama, karena harus melihat dari tanda dan gejala yang
sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan dan perubahan kuku
pada psoriasis; hiperkeratotik skala besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut
rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di pitriasis rubra. Likenifikasi, erosi
dan ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema.
Gambaran klinis eritroderma beraneka ragam dan bervariasi tiap
individu.Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritema, yang disebabkan
oleh pelebaranpembuluh darah, yang umumnya terjadi pada area genitalia,
ekstremitas, atau kepala.Eritema ini akan meluas sehingga dalam beberapa hari
atau minggu seluruh permukaankulit akan terkena, yang akan menunjukan
gambaran yang disebut “red man syndrome”(Margaret, Bernstein, dan Rothe,
2012).
Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh
dalam waktu 12-48 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan,
kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai membrane mukosa, terutama yang
disebabkan oleh obat. Kulit kepala dapat terlibat, yang akan meluas ke folikel
rambut dan matriks kuku.Kurang lebih 25% dari pasien mengalami alopesia, dan
pada banyak kasus, kuku akan mengalami kerapuhan sebelum lepas seluruhnya.
Telapak tangan dan kaki biasanya ikut terlibat, namun jarang mengenai membran
mukosa. Sering terjadi pula bercak hiper dan hipopigmentasi. Pada eritroderma
kronis, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi.
Dapat terjadi limfadenopati dan hepatomegaly (Margaret, Bernstein, dan Rothe,
2012; Champion, 2008).
Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah lipatan.
Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya
bervariasi dari putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan kalau
diraba tebal. Pasien mengeluh kedinginan.Pengendalian regulasi suhu tubuh
menjadi hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh,
sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas metabolik
(Harahap, 2008; Utama dan kurniawan, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu spesifik pada eritroderma. Dapat
ditemukan anemia ringan, leukositosis dengan eosinofilia, penurunan albumin
serum, peningkatan relative gammaglobulin dan IgE. Pemeriksaan histopatologi
pada kebanyakan pasien dengan eritroderma dapat membantu mengidentifikasi

16
penyebab eritroderma sampai dengan 50% kasus. Pada tahap akut,spongiosis dan
parakeratosis menonjol sehingga terjadi edema (Harahap, 2008).

G. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding yang menyerupai eritroderma dan dapat
menjadi etiologinya antara lain (Prakash et al., 2009):
1. Psoriasis
Psoriasis memiliki efloresensi plakat eritema berbatas tegas berukuran
miliar s.d. numular, berbentuk arsinar, sirsinar, polisiklis, geografis yang
ditutupi oleh skuama tebal berlapis putih mengkilat seperti mika.
Predileksi psoriasis antara lain di siku, lutut, kulit kepala, plantar dan
palmar, femur, cruris, serta area cubiti (Siregar, 2005).
2. Dermatitis seboroik
Efloresensi yang khas adalah makula eritematosa yang tertutup oleh
papula miliar berbatas tidak tegas (difus) disertai skuama halus putih
berminyak.Dapat pula dijumpai erosi dengan krusta mengering yang
berwarna kekuningan. Dermatitis seboroik dapat dijumpai di area dengan
distribusi kelenjar sebasea yang tinggi misalnya di kulit kepala,
retroauriculer, alis mata, cuping hidung, ketiak, dada, interscapularis, serta
suprapubis (Siregar, 2005).

H. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana penyakit eritroderma harus ditangani dengan segera dan
komprehensif yang meliputi tatalaksana medikamentosa dan non
medikamentosa (Djuanda, 2015) :
a. Medikamentosa
Secara umum, pengobatan yang diberikan untuk pasien eritroderma
adalah golongan kortikosteroid. Pada golongan I yang disebabkan oleh
alergi obat secara sistemik, obat yang diberikan adalah prednisone dengan
dosis 4x10mg. penyembuhan biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu (Djuanda, 2015).
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan
terapi kortikosteroid yaitu prednisone 4x10-15mg perhari. Dosis dapat
dinaikkan bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan. Dosis diturunkan
perlahan-lahan setelah dilihat adanya perbaikan pada kondisi pasien.

17
Eritrodema karena psoriasis dapat juga diobati dengan asetresin. Lama
penyembuhan golongan II yakni hingga beberapa minggu sampai beberapa
bulan, lebih lama dibandingkan golongan I (Djuanda, 2015).
Pada pengobatan kortikosteroid jangka panjang hingga melebihi 1
bulan lebih baik dipilih metilprednisolon dibandingkan prednisone karena
efek samping yang lebih sedikit. Pengobatan penyakit Leiner dengan
kortikosteroid juga memiliki efek yang bagus dengan dosis 3x1-2mg
perhari. Pada sindrom Sezary, pengobatan terdiri atas kortikosterois
(prednisone 30mg/hari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik,
biasanya digunakan klorambusil dosis 2-6mg/hari. Pada kasus eritroderma
kronis, perlu juga diberikan emolien untuk mengurangi radiasi akibat
vasodilatasi oleh eritema, dapat diberikan salep lanolin 10% atau krim urea
10% (Djuanda, 2015).
Langkah definitif dalam penatalaksanaan adalah untuk
mengidentifikasi obat yang menyinggung dan harus menghentikan.
Indikasi untuk penghentian obat adalah urtikaria, edema pada wajah, nyeri,
blister, melibatkan mukosa, ulkus, purpura yang teraba atau meluas,
demam, limfadenopati. Untuk pengobatan simptomatik dengan oral
antihistamin untuk mengurangi pruritus. Penggunaan glukokortikoid
adalah untuk persiapan topikal ampuh dan membantu mempercepat
resolusi erupsi. Oral atau IV (Intra-vena) yang meringankan gejala
simptomatik. Jika obat yang menyinggung tidak dapat diganti atau
dihilangkan, glukokortikoid bisa diadministrasi untuk mengobati ACDR,
juga untuk menginduksi remisi lebih cepat. (Stern, 2012).
b. Non Medikamentosa
Pada eritroderma golongan I akibat penggunaan obat tertentu.
Penghentian obat harus segera dilakukan. Pada kasus eritroderma kronis
diberikan pula diet tinggi protein (biasanya putih telur) karena terlepasnya
skuama yang mengakibatkan hilangnya protein (Djuanda, 2015).

I. PROGNOSIS
Eritroderma golongan I memiliki prognosis baik dengan waktu
penyembuhan yang paling singkat dibanding golongan lainnya.Sedangkan
pada eritroderma idiopatik, pengobatan menggunakan kortikosteroid hanya
dapat mengurangi gejala dan justru menyebabkan ketergantungan

18
kortikosteroid.Adapun eritroderma yang disebabkan sindroma Sezary
memiliki prognosis yang buruk, dimana mayoritas pasien meninggal dunia 5-
10 tahun pasca diagnosis ditegakkan.Kematian disebabkan oleh infeksi atau
penyakit yang berkembang progresif menjadi mikosis fungoides (Umar and
Elston, 2015).
Adanya demam merupakan faktor prognostik yang buruk dan dapat
menjadi indikasi penurunan kondisi yang cepat. Pasien berusia 3 tahun ke
bawah, nampak sakit, muntah, kadar gula darah ≤110 mg/dl, kadar kalsium
darah ≤8,6 mg/dl, trombosit ≤300.000/µL, peningkatan kadar kreatinin
serum, leukosit polimorfonuklear ≥80%, dan adanya fokus infeksi menjadi
faktor-faktor yang memperberat kemungkinan munculnya hipotensi pada
pasien eritroderma.Pasien berusia 3 tahun ke bawah, nampak sakit, memiliki
kadar kreatinin serum yang meningkat, serta hipotensi saat datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan memiliki risiko sindroma syok toksik yang lebih tinggi.
Secara umum, mortalitas eritroderma berkisar antara 20-40%.Duapuluh
persen diantaranya memiliki penyebab kematian yang tidak berhubungan
dengan eritroderma (Byer and Bachur, 2006).

19
II. PEMBAHASAN

1. Penegakan Diagnosis

Kelainan kulit yang terjadi pada kasus adalah eritroderma.


Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema
universalis (90-100%), biasanya disertai skuama (Djuanda, 2010).
Alasan penegakan diagnosis eritroderma yaitu:
a. Anamnesis

1) Keluhan kulit yang mengelupas hampir di seluruh bagian tubuh


sejak 3 tahun yang lalu.

2) Gejala awal muncul berupa bintik kemerahan disertai sisik


mengkilap seperti mika dengan ukuran kecil yang kemudian
semakin meluas.

3) Riwayat alergi obat MDT

b. Pemeriksaan fisik

1) Lokasi: Seluruh tubuh (kepala, dada, punggung, ketiak, lengan,


tangan, bokong, selangkangan, dan kaki).

2) Efloresensi: makula eritematous dengan batas tidak tegas


disertai skuama kasar multipel tersebar generalisata.

2. Diagnosis Banding

a. Eritroderma et causa penyakit sistemik

Pada eritroderma yang disebabkan oleh penyakit sistemik


adakalanya ditemukan leukositosis namun tidak ditemukan
penyebabnya, jadi terdapat infeksi bacterial yang tersembunyi
(occult infection) yang perlu diobati (Djuanda, 2010).
b. Dermatitis seboroik

20
Pada dermatitis seboroik kelaianan kulit yang muncul berupa
eritema dan skuama berminyak dan agak kekuningan, batasnya
agak kurang tegas. Pada dermatitis seboroik yang ringan biasanya
hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama halus, mulai
sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala
dengan skuama-skuama yang halus dan kasar. Pada bentuk yang
berat dapat ditandai dengan adanya bercak-bercak berskuama dan
berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal, sering meluas ke
dahi, glabella, telinga posaurikular, dan leher. Sedangkan pada
bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-
krusta yang kotor, dan berbau tidak sedap (Djuanda, 2010).
3. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien adalah memberikan


kombinasi obat topical, enteral dan parenteral. Obat topikal terdiri atas
fucilex oinment, desoksimetason krim, dan soft uderm yang
dicampurkan menjadi satu di salam pot dan dioleskan sebanyak 2 kali
sehari saat pagi dan malam. Obat enteral yang diberikan yaitu Cetirizin
2x1 tab, Alprazolam 2x1 tab, Curcuma 3x1 tab, Claritromicin 1x250
mg dan Ofloxacin 1x400 mg. Obat parenteral yang diberikan yaitu
Dexamethason 2x1 amp, Ranitidin 2x1 amp, Difenhidramin 2x1 amp,
dan Gentamisin 2x80 mg. Edukasi pasien mengenai penyakit yang
dideritanya dan menyerankan untuk mencegah garukan dan gosokan
pada derah yang gatal, istirahat cukup, hindaro stres psikologis,
menjaga kebersihan kulit dengan mandi, dan diet tinggi protein.

21
22
IV. KESIMPULAN

1. Eritroderna adakah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema


universalis, biasanya disertai skuama.

2. Keluhan sejak 3 bulan yang lalu, awalnya hanya berupa bintik


kemerahan yang disertai sisik mengkilap seperti mika yang berukuran
kecil, dan semakin meluas disertai rasa gatal yang hilang timbul dan
mengganggu aktivitas.

3. Didapatkan makula eritematous, hiperpigmentasi dengan batas tidak


tegas disertai skuama multipel yang kasar tersebar generalisata.

4. Terapi farmakologis yang diberikan yaitu obat topikal yang


mengandung kortikosteroid, antijamur, dan antibiotik, obat enteral
berupa kortikosteroid, antihistamin, antibiotic dan PPI, serta obat
parenteral berupa antihistamin dan antibiotik sistemik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adhi. 2011. Dermatosis Eritroskuama dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Akhyani M et al., 2005. Erythroderma: a clinical study of 97 cases. BMC
Dermatology.vol; 5:5
Bruno TF, Grewal P. 2009. Eryhtroderma: a dermatologic emergency. CJEM.
11(3): 244-246.
Byer RL, Bachur RG. 2006. Clinical Deterioration among Patients with Fever and
Erythroderma. International Journal of Dermatology; 53 (8): 369-370.
Djuanda A. 2007. Dermatosis eritroskuamosa. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th
ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp;197-200.
Djuanda, A. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI.
Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative Dermatitis In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, leffell DJ, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill Book Co; 2008. p. 225–32.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 28

Kels-Grant JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Chapter-23 Exfoliative Dermatitis.


Wollf K et al. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine Seventh
Edition. New York : McGraw-Hill. 2001.
Margaret J, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith
LA,Katz SI, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8 th ed.
New York:Mc. Graw Hill Medical; 2012. P. 225 - 32.
Mochtar. 2011. Erupsi Obat Alergik dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Siregar RS. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Stern. R. S. 2012. Exanthematous Drug Eruptions in The New England Journal of
Medicine. England: Masachusetts Medical Society.
Umar SH, Elston DM. 2015. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis).
Medscape Reference.

24
Utama HW, Kurniawan D. 2007. Erupsi alergi obat. Tesis. Palembang: Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya. pp; 11.
Wolff K, Johnson R. A. 2009. Adverse Cutaneous Drug Reactions dalam
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. United
States, Amerika: The McGraw Hill Companies.

25

Anda mungkin juga menyukai