Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BIOETIK DAN HUMANIORA

PELANGGARAN/ MALPRAKTEK YANG TERKAIT DENGAN


INFORMED CONCENT

DISUSUN OLEH
Ardhia Regita Cahyani
70600116005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah- Nya kepada kita semua
bahwa dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Bioetik dan humaniora
Adapun tugas makalah ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terimah kasih
kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh
karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka saya membuka selebar-lebarnya
bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada saya sehingga saya
selaku penulis dapat memperbaiki makalah ini. Akhirnya penyusun mengharapkan
semoga dari tugas makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga
dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Makassar, 27 September 2019

Ardhia Regita Cahyani

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman, perkembangan dunia medis pun
ikut berkembang, baik secara teknologi maupun secara teknik dokter
dalam menangani pasien pasiennya. Semakin banyak juga obat–obat baru
yang ditemukan untuk mengatasi segala penyakit. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa dokter hanyalah seorang manusia biasa yang dapat
melakukan kesalahan.1
Dengan bertambah cerdasnya masyarakat Indonesia, timbul pula
kebutuhan dan keinginan untuk menambah pengetahuan, mengetahui
tentang segala sesuatu yang baru. Informasi berarti keterangan, data,
penjelasan tentang suatu hal. Tanpa informasi, manusia zaman sekarang
akan menjadi ketinggalan. Pasien sekarang ingin tahu lebih dahulu apa
yang dideritanya, apa nama penyakitnya, apa obatnya, apa tidak ada
alternatif atau cara lain, pasien merasa berhak untuk mengetahui apa yang
hendak dilakukan dokter terhadap dirinya. Pasien juga bisa menolak apa
yang dianjurkan oleh dokternya. Dan jika tindakan dokter itu ternyata
tidak berhasil, maka pihak dokter harus memberi penjelasan, ini sudah
dianggap sebagai hak asasinya sebagai seorang pasien dan manusia.
Setiap orang berhak mendapat hak perawatan kesehatan. Merupakan suatu
kewajiban bagi dokter untuk memberi pelayanan bagi setiap orang yang
membutuhkan. Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat
terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter
dan pasien dalam pelayanan medis. Oleh karena hubungan antar dokter
dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya komunikasi
atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu sangat
penting. Membuktikan bahwa essensi dari hubungan antara dokter dan
pasien terletak dalam wawancara pengobatan. Pada wawancara tersebut
para dokter diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi

3
kepada pasien mengenai bentuk tindakan yang akan atau perlu
dilaksanakan dan juga resikonya. Setelah informasi diberikan, maka
diharapkan adanya persetujuan dari pasien, dalam arti ijin dari pasien
untuk dilaksanakan tindakan medis.1
Dokter harus mendapat persetujuan dari pasiennya sebelum
melakukan tindakan medik tertentu. Persetujuan inilah yang biasa disebut
informed consent, yang diperoleh setelah dokter memberikan informasi
tentang penyakit yang diderita pasien dan tindakan medis yang akan
dilakukannya. Salah satunya meliputi tindakan operasi medik yang
membutuhkan penjelasan detail sebelum dilakukan tindakan oleh dokter.
Sebelum diputuskan untuk operasi medik, apapun penyebabnya, pada
prinsipnya pihak keluarga inti akan dimintai persetujuan. Untuk itu dokter
akan menjelaskan alasan perlunya dilakukan operasi medik ini.
Persetujuan ini perlu karena ini merupakan salah satu prosedur baku
pelaksanaan operasi. Bila pihak keluarga menyetujui, akan diwajibkan
untuk menandatangani semacam surat persetujuan tertulis.1
Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien,
baik diminta atau tidak oleh pasien tersebut. Kemudian berdasarkan
informasi tersebut, pasien akan memutuskan untuk menyetujui tindakan
medis yang ditawarkan atau menolaknya. Persetujuan tersebut dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan. Menurut pasal 3 ayat (1)
Permenkes RI No. 290/MEN.KES/PER/III/2008 dinyatakan bahwa “setiap
tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan”.2
Seorang dokter yang melakukan pembedahan (operasi) tanpa
persetujuan pasien dapat dikenai pasal 351 KUHP sebagai penganiayaan.
Bahkan untuk memeriksa dan mengetuk-ngetuk badan (melakukan
perkusi) pasien pun diperlukan persetujuan karena hal itu berarti sudah
menyentuh hak milik pribadi seseorang. Jadi, setiap tindakan medis harus
didahului informed consent.2

4
Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu
tidak beresiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan
penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko misalnya pembedahan, maka informed consent dilakukan secara
tertulis dan ditandatangani oleh pasien.1
Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi
pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau
tidak diijinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara
hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat
negatif dalam operasi medik.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan informed consent ?
2. Apa saja bentuk-bentuk informed consent ?
3. Apa saja aspek hukum yang mencakup tentang informed consent?
4. Bagaimanan kedudukan hukum dan kekuatan informed consent sebagai
alat bukti dalam kasus malpraktek?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi informed consent
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk informed consent
3. Untuk mengetahui aspek hukum informed consent
4. Untuk mengetahui kedudukan hukum dan kekuatan informed consent
sebagai alat bukti dalam kasus malpraktek

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi informed consent


Informed consent atau persetujuan Medik/Informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien sesuai dengan pasal 1 (a)
Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989 2. Di mana pasal 1
(a) menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik (informed consent)
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Informed consent mencakup peraturan yang
mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien. Interaksi
tersebut melahirkan suatu hubungan yang disebut hubungan dokter-
pasien. Informed consent secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu
informed dan consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau
informasi; sedangkan consent berarti memberi persetujuan atau
mengizinkan. Dengan demikian informed consent berarti suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.5,6

B. Bentuk-bentuk informed consent


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa
tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi
tiga bentuk, yaitu :5,6
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis
yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis
yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko

6
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang
diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat,
misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya,
langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan
yang akan dilakukan terhadap dirinya.

C. Aspek Hukum Informed consent


Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan
medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni
orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan
medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum,
baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa
tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik
Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan
diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.6,7
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum
perdata, tolak ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil”, sehingga
jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan
pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang
dipergunakan adalah “kesalahan berat”. Oleh karena itu adanya
kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat
dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.6,7

7
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus
menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin
terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas
dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk
dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk
menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan
oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian
yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenan
dengan informed consent ini.5,6

D. Kedudukan hukum dan kekuatan informed consent sebagai alat bukti


dalam kasus malpraktek
Untuk membuktikan adanya kelalaian dalam tindakan medis yang
menyebabkan malpraktek yang merugikan pasien baik berupa luka maupun
kematian memerlukan alat bukti. Rekam medis dan informed consent
merupakan berkas medis yang harus ada dalam proses pelayanan
medis.Kedua berkas tersebut memungkinkan untuk dijadikan alat bukti
terhadap adanya dugaan kasus malpraktek. Permenkes yang menyebutkan
secara jelas bahwa rekam medis dapat digunakan sebagai alat bukti adalah
Pasal 13 Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008, sedang mengenai
informed consent tidak ditemukan peraturan yang menyebutkan
kegunaannya dalam hal pembuktian untuk penegakan hukum seperti halnya
rekam tetapi hal tersebut tidak mengubah dapat tidaknya informed
consentmenjadi alat bukti dalam kasus malpraktek tinggi.4
a) Ketika rekam medis maupun informed consent memerlukan keterangan
ahli maka keterangan mengenai isi rekam medis ini juga dapat menjadi
alat bukti keterangan ahli, tetapi jika dikaitkan dengan ajaran hukum

8
pembuktian masih harus disesuaikan dengan syarat alat bukti yaitu:
Diperkenankan oleh undang-undang,
b) Reability,
c) Necessity,dan
d) Relevance.
Nilai kekuatan pembuktian kedua berkas tersebut tidak sepenuhnya mengikat
pada hakim, tetapi tergantung padakeyakinan dan kecermatan hakim. Dari suatu
hasil penelitian lapangan yang digunakan untuk memperoleh persepsi kalangan
hakim dan dokter menunjukkan bahwa seluruh responden hakim mengatakan
bahwa rekam medis dan informed consent mempunyai kedudukan sebagai alat
bukti surat,sedangkan dokter juga mengatakan dapat berfungsi sebagai alat bukti
dengan tidak menyebutkan secara spesifik jenis alat bukti tinggi.4

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hubungan antar dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka
adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara
pengobatan itu sangat penting. Membuktikan bahwa essensi dari hubungan
antara dokter dan pasien terletak dalam wawancara pengobatan. Pada
wawancara tersebut para dokter diharapkan untuk secara lengkap memberikan
informasi kepada pasien mengenai bentuk tindakan yang akan atau perlu
dilaksanakan dan juga resikonya. Setelah informasi diberikan, maka diharapkan
adanya persetujuan dari pasien, dalam arti ijin dari pasien untuk dilaksanakan
tindakan medis.
Dokter harus mendapat persetujuan dari pasiennya sebelum melakukan
tindakan medik tertentu. Persetujuan inilah yang biasa disebut informed
consent, yang diperoleh setelah dokter memberikan informasi tentang penyakit
yang diderita pasien dan tindakan medis yang akan dilakukannya juga untuk
melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui
atau tidak diijinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara
hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negative.

B. Saran
Bagi dokter dan tenaga kesehatan diharapkan sebelum melakukan tindakan
medik hendaknya harus menginformasikan mengenai persetujuan tindakan
kedokteran kepada pasien maupun kepada keluarganya. Dalam melakukan
pelayanan kesehatan hendaknya lebih berhati-hati lagi dengan menjunjung

10
tinggi profesionalisme yang akan diberikan kepada pasien supaya tidak
terjadinya korban dari malpraktik medic.

Penerapan persetujuan tindakan kedokteran perlu dipertegas kembali dalam


dunia kesehatan yakni pemberian informasi mengenai persetujuan tindakan
kedokteran secara benar kepada pasien. Dan juga masyarakat pelu mendapat
sosialisasi dan pemberitahuan mengenai hak-hak dan kewajiban baik yang
dilakukan oleh dokter maupun rumah sakit serta perlunya mendapatkan
pendampingan hukum bila terhadap malpraktik medis yang menimbulkan
kerugian.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Guwandi. Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas


Kedokteran UI. 2007
2. Astuti, Endang Kusuma. Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien
Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang.2003
3. Hakim, Reza Aulia. Tanggung Jawab Dokter Terkait Persetujuan Tindakan
Medis (Informed Consent) Pada Korban Kecelakaan Dalam Kondisi Tidak
Sadar (Studi Permenkes Nomor 290/Men.Kes./Per/Iii/2008 Tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran). Program Studi S1 Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro.2016
4. Ridwan, Khairandy. Kedudukan Hukum Rekam Medis Daninformed
Consent Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Malpraktek. Program
Pascasarjanauniversitas Islam Indonesia.2009
5. Astuti, Endang Kusuma. Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan
Medis di Rumah Sakit. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.2009
6. Kinanti, Armanda Dian. Urgensi Penerapan Mekanisme Informed Consent
Untuk Mencegah Tuntutan Malpraktik Dalam Perjanjian Terapeutik.
Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2015
7. Johan, Bahder. Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta:
Rineka Cipta.2010

12

Anda mungkin juga menyukai