Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan zaman yang begitu dinamis-progersif telah menimbulkan banyak persoalan
di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Dampak dari perubahan tersebut ditandai
dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, baik yang bersifat keagamaan atau
umum. Seyogyanya, perubahan yang terjadi harus direspon dan ditopang dengan kualitas
keilmuan yang mamadai, rasional, dan berkemajuan.
Al-Qur’an yang merupakan pedoman dan tuntunan berkehidupan, mengandung
doktrin ajaran yang selaras dengan setiap zaman dan setiap waktu, karena ajarannya
diturunkan dari Allah SWT, penguasa alam semesta.1 untuk menyelaraskan muatan al-
Qur’an dan perkembangan zaman yang progresif tersebut, maka kemudian lahirlah di
siplin ilmu dengan apa yang disebut tafsir. Lahirnya disiplin ilmu ini, dengan tujuan
untuk mengomunikasikan pesan-pesan maknawi-substantif yang termuat dalam al-
Qur’an dan ragam persoalan zaman dengan memahami makna terdalam yang tersirat
dalam al-Qur’an.
Dalam perspektif ilmu al-Qu’ran, dikenal metode dan klasifikasi penafsiran al-Qur’an
yang sering digunakan, yaitu tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Dalam pembahasan
makalah ini akan dijelaskan mengenai pengertian tafsir bil matsur dan tafsir bil ra’yi,
karakteristiknya, dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan keduanya?
3. Apa kelebihan dan kekurangan kedua jenis penafsiran ini?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami pengertian tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi.
2. Mengetahui Sejarah dan perkembangan tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi.

1
Abdullah al-Faqih, al-Fatwa al-Islamiyah, Maktabah Syamilah, tth., jil. Ke 27, hal. 34.

0
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir, Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi


1. Tafsir
Tafsir secara etimologis merujuk pada ayat al-Qur’an yang berarti
menjelaskan dan menyingkap makna- yang tersembunyi, menyingkap maksud dari
lafadh yang sulit.2 Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT:
    
   
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” (Q.S Al-Furqan: 33)
Menurut Ibn Manzhur sebagaimana yang dikutip oleh Nashruddin Baidar
mengatakan tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu
lafadz.3 Pendapat ini diamini oleh beberapa ahli yang sependapat dengan pemaknaan
tafsir yang berarti menjelaskan dan menerangkan.
Menurut ‘Ali Hasan al-‘Aridl, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan
hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang
dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.4
Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hampir sama. Ia adalah ilmu
yang membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan pengertian-
pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh
Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia.5
Jadi, Tafsir Al-Qur’an ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas
maksud yang sulit dipahami dari ayat-ayat Al-Quran sehingga tercapailah
pengetahuan yang dikehendaki Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia. Dalam
perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan berbagai metode untuk
mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.

2
Anshori, Ulumul Qur’an; kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014),
hal. 172.
3
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 33.
4
‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad ‘Akram (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hal. 3.
5
Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an (Jakarta : Gema Insani 1999), hal. 294.

1
Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua macam. Yaitu penafsiran
Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yi.
2. Tafsir Bil Ma’tsur
Secara bahasa, tafsir bil ma’tsur bermakna tafsir yang diriwayatkan.6 Tafsir ini
disebut juga dengan tafsir bi al-manqul, yang secara istilah berarti metode penafsiran
dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada Al-qur’an , hadist Nabi SAW,
kutipan sahabat serta tabi’in.7 Selain itu, penafsiran bil ma’tsur juga sering disebut
tafsir bil al-ma’tsum yaitu bentuk penafsiran yang paling tua dalam catatan sejarah.
Karena tafsir ini tentu masih bisa diketemukan dan masih dipakai dalam kitab-kitab
tafsir seperti dalam Tafsir Al-thabari dan tafsir Ibnu Katsir dan lain sebagainya.
Dengan demikian metode riwayat dalam penafsiran Al-qur’an merupakan suatu
proses penafsiran yang digunakan dengan data riwayat tentu dari Nabi SAW dan
para sahabat, sebagai tolak ukur yang penting dalam proses penafsiran Al-qur’an
dengan metode yang demikian ini.
a. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
kata “zulm” pada ayat 82 surat al-an’am, maka secara maksud dari kata
tersebut sirik sebagaimana dalam surat Luqman ayat 13. Atau juga penafsiran
ayat ditafsirkan dengan ayat, seperti kata-kata “maghdhub” dan kata “al-dhallin”
dalam QS. Al-fatihah ayat 7, menurut tafsir bil al-ma’tsur, maka yang dimaksud
dengan dua kata tersebut adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW:
“Sesungguhnya maksud orang yang dibenci adalah orang-orang Yahudi, sedang
orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.” (HR. Ahmad dan
Turmudzi dari Ibnu Hibban).
b. Penafsiran al-Qur’an dengan Hadith
Penjelasan tentang shalat wustha dalam QS. Al-Baqarah ayat 238, ditafsirkan
hadith yang disabdakan Nabi SAW: “Shalat wustha adalah shalat ashar”(HR.
Turmudzi dan ibnu Hibban dari Ibnu Mas’ud). Maka secara ma’tsur yang
dimaksud dengan shalat wustha adalah shalat ashar
c. Penafsiran Al-Qur’an dengan qaulu sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya
adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai

6
Anshori, Ulumul Qur’an; kaidah-kaidah memahami firman Tuhan, Ibid…. hal. 173.
7
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), hal. 227.

2
kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.8
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur,
karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu
sama saja dengan tafsir bil ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para
tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufassir
yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
3. Tafsir Bil Ra’yi
Secara bahasa ar-ra’yu berarti al-I’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu (akal) dan at-
tadbiiru (perenungan). Tafsir ini disebut juga sebagai tafsir bil-‘aqli dan bil ijyihady,
tafsir atas dasar nalar dan ijtihad. 9
Menurut istilah, tafsir bil ra’yi adalah upaya untuk memahami nash Al-Qur’an
atas dasar ijtihad seorang mufassir yang memahami betul bahasa arab dari segala
sisinya, memahami betul lafazh-lafaznya dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir
Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbab nuzul, mengerrti nasakh dan
mansukh di dalam Al-Qur’an, dan menguasai ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan
seorang mufassir.10
Menurut para ulama tafsir, metode ini dinamakan dengan tafsir ra’yi atau tafsir
dengan akal (ma’qul) adalah karena penafsiran kitab Allah bertitik tolak dari
pendapatnya dan ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang diwakilkan dari
sahabat atau tabi’in. Namun yang dimaksud ra’yi disini adalah ijtihad yang
didasarkan pada dalil-dalil sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak
mendalami tafsir Al-qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud ra’yi disini
bukanlah menafsirkan Al-qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-qurtubi
mengatakan “Barangsiapa yang menafsirkan Al-qur’an berdasarkan imajinasinya
(yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah
termasuk orang-orang yang keliru dan tercela.11

8
‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ibid… hal. 44.
9
Anshori, Ulumul Qur’an; kaidah-kaidah memahami firman Tuhan, Ibid…. hal. 174.
10
Anshori, Ulumul Qur’an; kaidah-kaidah memahami firman Tuhan, Ibid…. hal. 174.

3
B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi
1. Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir jenis ini termasuk tafsir yang paling tua dalam catatan sejarah yaitu sejak
zaman sahabat. Pada zaman ini orang-orang meggunakan tafsir bil ma’tsur dengan
cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat serta
dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas metode dan periwayatannya, cara
seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana
penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan
dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits,
namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-
buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi
Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in al tabi’in12
Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan
tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya
mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatan
yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi –
studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu
sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan
Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-
Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad.13
Aliran tafsir bil Ma’tsur banyak yang dipergunakan oleh para mufasir,
diantaranya adalah:
a. Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
b. Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
c. Tafsir Baqy Makhlad
d. Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
e. Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
f. Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
g. Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
h. Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
i. Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi).14

12
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, Ibid… hal 226-236.
13
‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom, Ibid… hal. 42
14
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, ibid…hal. 252-253.

4
2. Tafsir Bil Ra’yi
Tafsir bil ra’yi muncul setelah berakhirnya masa salaf sekitar abad ke 3 H dan
peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka seiring perkembangan
tersebut lahirlah berbagai macam mazhab dan aliran-aliran di kalangan umat Islam.
Mereka saling berusaha meyakinkan penganutnya dengan cara mencari ayat-ayat Al-
qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW yang sesuai dengan ideologi alirannya, kemudian
ditafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka yakini. Maka mulai saat itulah
berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’yi (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad) dan
mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur sebagaimana yang dijelaskan oleh
manna’ al qathtan.
Akan tetapi, walaupun tafsir bil ra’yi tampak berkembang pesat, tapi para ulama
dalam menerima terbagi menjadi dua macam: ada yang membolehkan dan ada juga
yang melarang. Akan tetapi setelah diadakan penelitian ternyata dua pendapat itu
sekalipun berbeda, perbedaan hanya pada reduksionalnya (bersifat lafzhi).
Namun keduanya sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’yi (pemikiran)
yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya,
kedua sepakat membolehkan penafsiran Al-qur’an dengan sunnah Rasul serta
kaidah-kaidah yang mu’tabarah (diakui sah secara bersama).15 Tafsir bir – Ra’yi
masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut:
a. Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam
KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsi.
b. Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk
mengetahuinya.
c. Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
d. Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab
e. Menghindari penafsiran pasti (qath’i).16
Adapun kitab tafsir yang tergolong beraliran tafsir bil Ra’yi antara lain:
a. Mafatih al-Ghaib, oleh Fahr al-Razi (wafat 606 H)
b. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, oleh Baidhawi (wafat 691 H)
c. Madarik al- Tanzil wa Haqa’iq al- Ta’wil, oleh Nasahafi (wafat 70-1 H)
d. Lubab Ta’wil fi Ma’ani Tanzil, oleh Khozin (wafat 741 H)

15
Abdul Mustaqim, Studi Al-qur’an teori dan Metodologi: ( Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta: 2011), hal. 95-97
16
‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ibid… hal. 50.

5
e. Irsyad al-‘Aql al- Salim ila Mazaya al- Kitab al- Karim, oleh Abi Sa’ud (wafat
982 H)
C. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi
1. Tafsir Bil Ma’tsur
a. Kelebihan
1) Tidak terlalu banyak bercampurnya pendapat-pendapat yang potensial dengan
segalakebohongan, mereka yang mengaku ahli, bisa saja sebenarnya tidak
2) Tingkat keakuratan informasi jauh lebih valid ketimbang lainnya. Pasalnya
informasi yang ada berasal dari Allah sendiri dan para pelaku sejarah yakni Nabi,
sahabat dan tabiin.
3) Lebih simpel dan mudah dimenegerti, sebab tafsirannya hanya singkat sekali.
4) Menjadi dasar pijakan dari seluruh tafsir lainnya
5) Terjaganya keaslian teks dan makna dengan terbatasnya informan yakni Al-
qur’an itu sendiri, Nabi, sahabat dan tabiin.
b. Kelemahan
Sementara kelemahannya adalah ketika berhadapan dengan sumber yang
dialamatkan pada sahabat atau tabiin. Para sahabat dan tabiin tidaksemua secara
mutlak adalah mufassir. Mereka be ragam dan riwayat mereka beragam pula. Ada
yang dianggap sohih dan ada yang tidak. Untuk itu, bisa saja suatu pendapat yang
dianggap sohih pada dasarnya adalah lemah, dengan demikian, penafsiran menjadi
lemah (ini kalau berparadigma riwayah). Dan bisa saja pendapat yang dianggap
lemah padahal sohih.Jadi segala kemungkinan bisa saja terjadi. Untuk itu,
lemahnya ada disitu.17
2. Tafsir Bil Ra’yi
a. Kelebihan
1) Dengan adanya metodologi rasional dalam dunia tafsir, seseorang dapat
menafsirkan komponen ayat secara dinamis relevan dengan perkembangan zaman
dimana ia berada
2) Seseorang akan mengalami akselerasi kecerdasan dalam berpikir dan bertindak
sehingga kontribusi yang diberikan dapat diterima masyarakat dari berbagai
tingkat dan golongan
3) Menambah keyakinan pada diri seseorang dalam menjaga hubungannya dengan
Allahnya serta sosialnya

17
Munawir Husni, Studi Keilmuan Al-qur’an, ( Yogyakarta: Binafsi publisher, 2015), hal. 219-221.

6
4) Sebagai kontribusi besar dengan khazanah keilmuan masa kini
5) Dalam berbagai sisi, seseorang dapat memiliki akidah yang benar dan jauh dari
khurapat tahayul dan sebgainya.
b. Kelemahan
1) Adanya kesalahan penafsiran dan cenderung terjadinya pemaksaan terhadap
beberapa ayat terutama ayat-ayat mutasyabihat
2) Adanya kebenaran subyektifitas pada diri penafsir sehingga bertendensi membela
diri atau kelompok
3) Sulit membedakan antara rasio murni dan pencampurannya dengan hawa nafsu
4) Memberi peluang bagi orang yang berniat jahat terhadap sendi-sendi ilmu
keislaman untuk menghancurkannya melalui tafsiran rasional pribadi
5) Berpotensi kuat terhadap konflik individu atau sosial dikarenakan masing-masing
memiliki nalar yang berbeda
6) Kaburnya mana kalimat yang dikatakan Nabi, sahabat dan ulama-ulama ternama
karena hanya menampilkan pikiran pribadi, dan lain-lain.18

D. Contoh Penafsiran dengan Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi


1. Tafsir bil ma’tsur
QS. Al-Ahzab : 59
   
 
   
    
     
  
Artinya : “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga
mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Kemudian di jelaskan dalam QS an-Nur : 31, pada ayat ini jilbab dijelaskan
tidak harus memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuh.
   
 
   

18
Munawir Husni, Studi Keilmuan Al-qur’an, Ibid…hal. 23.

7
     
    
Artinya: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya..” )An-Nur :31(
Kemudian dalam hadis Nabi juga di terangkan tentang batasan jilbab yang
diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita
Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :

“Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada

Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung


pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah
bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah saw.
bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).
2. Tafsir bil ra’yi
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan
mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai
jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian
dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama
kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka
hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hukum-hukum syara’
didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka
ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da
hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban
memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian dan analisis pendapat para ahli dan dalil nash sendiri, dapat
disimpulkan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya adalah cara penafsiran dengan
menukil al-qur’an dengan al-qur’an, atau dengan hadith nabi, atau dengan perkataan
sahabat, atau dengan tabi’in, atau dengan tabi’it tabi’in. Sementara tafsir bil ra’yi adalah
tafsir yang penjelasannya bersumber dari ijtihad dan akal mufassir, berpegang kepada
kaidah-kaidah bahasa arab dan metodenya, bukan berdasarkan atas imajinasinya (yang
tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah. Penggunaan kedua metode
penafsiran ini banyak digunakan oleh ulama-ulama tafsir yang dikodifikasikan dalam
berbagai macam kitab-kitab tafsirnya dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang
dikehendaki Allah SWT, dan sesuai dengan keadaan manusia.
Kedua motode panafsiran ini, diakui memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing, namun metode penafsiran bil ma’tsur lebih diharapakan pengunaanya guna
menghindari kesalahan dalam kebebasan berpikir dan menafsirkan apalagi ditambah
dengan minimnya kualitas keilmuan mufassir itu sendiri.
B. Saran
Penulisan dan penyusunan makalah ini penulis sadari masih jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang konstruktif akan kami terima untuk perbaikan
makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya. Jazakumullahu khairal jaza’. Amin..

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Aridlm, Ali Hasan. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad ‘Akram. Jakarta:
Rajawali Press.
Al-Faqih, Abdullah. al-Fatwa al-Islamiyah, Maktabah Syamilah, tth., jil. Ke 27
Al-Qardhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan al-qur’an. Jakarta : Gema Insani.
Anshori. 2014. Ulumul Qur’an; kaidah-kaidah memahami firman Tuhan. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Husnim, Munawir. 2015. Studi Keilmuan Al-qur’an. Yogyakarta: Binafsi Publisher.
Mustaqim, Abdul. 2011. Studi Al-qur’an teori dan Metodologi. Yogyakarta: Idea Press.

10

Anda mungkin juga menyukai