Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI I
“Uji Aktivitas Stimulan”

Disusun oleh:
Kelompok 7

Amalia Setiawati P17335118006 Nabila Putri P17335118042


Jihan Fajriah I P17335118032 Aishy Ash Shidiq P17335118066

Kelas : 2B

Tanggal Praktikum :
9 September 2019

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


PROGRAM STUDI D-III FARMASI
BANDUNG
2019
I. Judul Praktikum
Uji aktivitas Stimulan dari obat stimulan yang ada di pasaran.

II. Tujuan Praktikum


Mengetahui gambaran aktivitas stimulan terhadap hewan coba.

III. Dasar Teori


Sel saraf merupakan adalah serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri terutama dalam jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem
saraf, lingkungan internal dan stimuls eksternal dipantau dan diatur oleh kemampuan
khusus seperti iritabilitas, atau sensitifitas terhadap stimulus, dan konduktifitas atau
kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus, diatur oleh sistem saraf
dalam tiga cara utama (Sloane, 2013). Sistem saraf pusat merupakan bagian dari system
syarat, yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SSP mempunyai fungsi
mengkoordinasi segala aktivitas bagian tubuh manusia (Tjay, 2007).
Obat yang termasuk golongan obat stimulansia pada umumnya ada dua
mekanisme yaitu: memblokade sistem penghambatan dan meninggikan perangsangan
sinaps. Sensasi yang ditimbulkan akan membuat otak lebih jernih dan bisa berpikir lebih
fokus. Otak menjadi lebih bertenaga untuk berpikir berat dan bekerja keras, namun akan
muncul kondisi arogan yang tanpa sengaja muncul akibat penggunaan zat ini. Pupil akan
berdilatasi (melebar), nafsu makan akan sangat ditekan, hasrat ingin pipis juga akan
ditekan. Tekanan darah bertendensi untuk naik secara signifikan. Secara mental,
pengguna akan mempunyai rasa percaya diri yang berlebih dan merasa lebih senang.
(Sunaryo, 1995)
Obat stimulansia ini bekerja pada sistem saraf dengan meningkatkan transmisi
yang menuju atau meninggalkan otak. Stimulan dapat meningkatkan denyut jantung,
suhu tubuh dan tekanan darah. Pengaruh fisik lainnya adalah menurunkan nafsu makan,
pupil dilatasi, banyak bicara, agitasi dan gangguan tidur. Bila pemberian stimulan
berlebihan dapat menyebabkan kegelisahan, panik, sakit kepala, kejang perut, agresif,
dan paranoid. Bila pemberian berlanjut dan dalam waktu lama dapat terjadi gejala
tersebut diatas dalam waktu lama pula. Hal tersebut dapat menghambat kerja obat
depresan seperti alkohol, sehingga sangat menyulitkan penggunaan obat tersebut.
Stimulan sususan saraf pusat memiliki dua golongan obat yang bekerja terutama
pada susunan saraf pusat (SSP). Golongan pertama yaitu stimulan psikomotor,
menimbulkan eksitasi dan euforia, mengurangi perasaan lelah dan meningkatkan
aktivitas motorik. Kelompok kedua, obat-obat psikotomimetik atau halusinogen,
menimbulkan perubahan mendasar dalam pola pemikiran dan perasaan, dan sedikit
berpengaruh pada sambungan otak dan sumsum tulang belakang. Sebagai suatu
kesatuan, stimulant susunan saraf pusat (SSP) sedikit sekali digunakan dalam klinik
tetapi penting dalam masalah penyalahgunaan obat, selain obat depresan SSP dan
narkotik (Mycek,2013).
Stimulant atau sebagai vitamin adalah zat-zat kimia organis dengan komposisi
beranekaragam yang dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk
memelihara metabolism, pertumbuhan dan pemeliharaan normal. Fungsi dari vitamin
itu sendiri sangat bervriasi, banyak vitamin yang secara biologis tidak aktif tetapi
membutuhkan pengubahan kimia dalam tubuh misalnya vitamin B1, B2, B3 dan B6.
akibat dari defisiensi vitamin yang menimbulkan gejala khas seperti buta malam
(Vitamin A), beri-beri (Vitamin B), radang lidah dan bibir (Tjay, 2007).
Stimulan bekerja mempercepat aktivitas dalam sistem saraf pusat. Obat yang
termasuk kelompok ini antara lain : Kafein, kokain, amfetamion, dan hidroklorida
metamfetamin. Dalam dosis sedang, kelompok obat stimulant menghasilkan perasaan
senang, percaya diri, dan kegembiraan atau euphoria. Dalam dosis besar, obat-obat ini
membuat seseorang merasa cemas dan gugup. Dalam dosis yang sangat besar, obat-obat
ini dapat menyebabkan kejang-kejang, gagal jantung dan kematian (Wade, 2008).
Stimulan ganglion, stimulant ini mempunyai kerja yang sangat luas karena
menstimulasi reseptor nikotinik pada kedua neuron ganglion parasimpatis dan simpatis.
Efek simpatis meliputi vasokonstriksi, takikardia, dan hipertensi. Efek parasimpatis
meliputi peningkatan motilitas usus dan peningkatan sekresi kelenjar saliva dan bronkus
(Neal, 2006).
Amfetamin adalah obat sintetis yang dikonsumsi dalam bentuk pil, disuntik,
dihisap, atau dihirup. Metamfetamin secara struktur mirip dengan amfetamin dan
dikonsumsi dengan cara yang sama pula; Memfetamin diedarkan dalam dua bentuk,
bubuk (crank, speed) atay dalam bentuk yang lebih murni, Kristal padat. Kokain adalah
obat alamiah yang lebih murni yang dihasilkan dari daun tumbuhan koka. Amfetamin
dan kokain membuat para penggunanya merasa segar tapi tidak meningkatkan cadangan
energy dalam bentuk tubuh, rasa lelah, perasaan mudah terganggu, dan depresi akan
muncul ketika efek obat-obat ini hilang (Wade, 2008).
Kafein salah satu contoh obat golongan stimulan ringan, adalah obat psikoaktif
yang paling banyak digunakan di dunia. Ini hadir dalam minuman ringan, kopi, teh,
coklat, coklat, dan banyak resep dan over-counter narkoba. Ini sedikit meningkatkan
pelepasan NE (norepinefrin) dan DA (dopamin) dan meningkatkan aktivitas saraf dalam
banyak area otak. Kafein diserap dari saluran pencernaan dan didistribusikan dengan
cepat ke semua jaringan dan dengan mudah melewati penghalang plasenta. Banyak efek
kafein diyakini terjadi melalui persaingan antagonisme pada reseptor adenosin.
Adenosine adalah neuromodulator yang memengaruhi sejumlah fungsi di SSP. Efek
penenang yang ringan terjadi ketika adenosin mengaktifkan subtipe reseptor adenosin
tertentu dimusuhi oleh kafein. Toleransi terjadi dengan cepat terhadap efek stimulasi
kafein. Jadi, sindrom penarikan ringan telah diproduksi dalam studi terkontrol dengan
penghentian tiba-tiba hanya 1-2 cangkir kopi per hari. Penarikan kafein terdiri dari
perasaan lelah dan sedasi. Dengan dosis yang lebih tinggi, sakit kepala dan mual telah
dilaporkan selama penarikan; muntah jarang terjadi. Meskipun penarikan Sindrom dapat
ditunjukkan, beberapa pengguna kafein melaporkan hilangnya kontrol asupan kafein
atau kesulitan yang signifikan dalam mengurangi atau menghentikan kafein, jika
diinginkan. Jadi, kafein tidak terdaftar dalam kategori stimulan adiktif. Meskipun
demikian, ada kekhawatiran bahwa minuman dipasarkan kepada kaum muda dan aktif
sedikit lebih banyak dari sistem pengiriman kafein rasa (mis., air berkafein) (Goodman
and Gilman, 2008).
IV. Alat dan Bahan

Alat : Bahan :
1. Spuit injeksi dan jarum suntik 1. Hewan uji (mencit)
2. Timbangan 2. Air kran
3. Stopwatch 3. Larutan CMC-Na
4. Kawat gelantung 4. Larutan Kafein 2,5 mg, 1,25 mg, dan 0,625 mg
5. Kertas

V. Prosedur Kerja
1. Disiapkan 4 ekor mencit
2. Dilakukan pre test dengan menggantungkan mencit ke kawat gelantung, dihitung
lamanya waktu mencit dapat bertahan menggelantung di kawat hingga jatuh.
3. Setiap mencit diberi nomor sesuai dengan keterangan obat yang akan diberikan
(1 = Kafein 2,5 mg, 2 = Kafein 1,25 mg, 3 = Kafein 0,625 mg, 4 = CMC-Na
(kontrol)).
4. Masing-masing mencit diberikan obat dengan rute intraperitoneal.
5. Mencit didiamkan selama 60 menit.
6. Dilakukan post test dengan menggantungkan mencit ke kawat gelantung, dihitung
lamanya waktu mencit dapat bertahan menggelantung di kawat hingga jatuh.
7. Dihitung rasio aktivitas lokomotor setiap mencit

VI. Hasil Pengamatan


Volume pemberian : 0,25 mL/20g bb mencit (kecuali mencit 1 : 0,125 mL/20g bb)
35 g
1) Mencit 1 ∶ x 0,125 mL = 0,22 mL
20 g
33 g
2) Mencit 2 ∶ x 0,25 mL = 0,41 mL
20 g
40 g
3) Mencit 3 ∶ x 0,25 mL = 0,5 mL
20 g
33 g
4) Mencit 4 ∶ x 0,25 mL = 0,41 mL
20 g
Tabel waktu gelantung mencit pada kawat
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Kontrol
Stimulansia
Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
Waktu (detik) 15 11 19 9 15 8 19 8

Grafik uji gelantung mencit

Uji Gelantung
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Kontrol

Pre Post

Rasio aktivitas lokomotor mencit


11
1. Obat 1 = = 0,733
15
19
2. Obat 2 = = 2,111
9
15
3. Obat 3 = = 1,875
8
19
4. Kontrol = = 2,375
8
VII. Pembahasan
Pada pratikum kali ini, praktikan melakukan uji aktivitas stimulan. Praktikum ini
bertujuan untuk melihat dan mengetahui gambaran aktivitas obat stimulan terhadap
hewan percobaan. Adapun hewan coba yang di pakai pada percobaan ini adalah mencit
(Mus musculus), alasan digunakannya karena hewan yang digunakan haruslah memiliki
kesamaan struktur dan sistem organ dengan manusia, salah satunya yaitu hewan mencit
(Mus musculus). Selain itu haruslah juga memperhatikan variasi biologik (usia, jenis
kelamin) ras, sifat genetik, status kesehatan, nutrisi, bobot dan luas permukaan tubuh,
serta keadaan lingkungan fisiologik. Juga karena mencit (Mus musculus) juga memiliki
komponen darah yang dapat mewakili mamalia lainnya khususnya manusia, dan juga
mencit (Mus Musculus) mempunyai organ terlengkap sebagai hewan mamalia.
Stimulan sistem saraf pusat adalah obat yang dapat menimbulkan rangsangan
tidak selektif pada sistem saraf pusat, yaitu dengan merangsang serebrum medula dan
sumsum tulang belakang. Stimulasi pada daerah korteks otak depan oleh senyawa
stimulan SSP akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran, dan
semangat bertambah. Contoh senyawa yang merupakan stimulan SSP adalah kafein dan
amfetamin.
Percobaan stimulan menggunakan kafein. Obat ini termasuk dalam kelompok
perangsang motoris dalam golongan perangsang SSP. Mekanisme kerjanya adalah
translokasi kalsium ekstraseluler. Peningkatan adenosine monofosfat siklik dan
guanosin monofosfat siklik sebagai hambatan fosfodiesterase, dan penghambatan
reseptor adenosine. Efeknya adalah inotropic dan kronptropik pada jantung
meningkatkan keluaran natrium, clorida, kalium dalam urin. Juga meragsang sekresi
asam hidroklorat dari mukosa lambung.
Kafein digunakan sebagai stimulan SSP ringan melalui oral yaitu pada dosis 50
sampai 100 mg, meskipun dosis dampai 200 mg masih dapat digunakan. Kafein dalam
dosis rendah menghasilkan efek stimulasi SSP ringan, dengan mengurangi kelelahan
dan meningkatkan konsentrasi serta kewaspadaan. Efek fisiologis yang ditimbulkan
yaitu berupa peningkatan metabolisme, denyut jantung, dan produksi urin. Dalam dosis
sedang, kelompok obat stimulan ini menghasilkan perasaan senang, percaya diri, dan
kegembiraan atau euphoria. Namun dalam dosis besar, obat ini membuat seseorang
merasa cemas dan gugup, sedangkan dalam dosis yang sangat besar, obat ini dapat
menyebabkan kejang-kejang, gagal jantung, hingga kematian (Wade, 2008).
Pengujian aktivitas stimulan SSP dapat dilakukan dengan berbagai metode,
diantaranya uji bolak-balik, uji gelantung, uji hole board, uji berenang, uji evasi, uji
induksi tidur, uji discrimination maze, dan uji Rotarod. Seluruh uji ini memiliki tujuan
yang sama, yaitu untuk melihat aktivitas stimulan dari obat yang diberikan kepada
mencit. Namun, perbedaannya ialah terletak pada parameter yang diamati. Dalam uji-
uji tersebut dapat diamati parameter ketahanan mencit (endurance), kekuatan otot,
aktivitas motorik, rasa ingin tahu, kewaspadaan mencit, dan sebagainya. Pada praktikum
ini, metode yang diujikan dalam satu kelas ialah uji bolak-balik, uji gelantung, uji hole
board, serta dan berenang. Namun, kelompok praktikan hanya melakukan satu metode
uji, yaitu uji gelantung.
Metode bolak-balik ialah salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji
aktivitas obat-obatan stimulan terhadap aktivitas motorik mencit. Pengujian ini
dilakukan dengan mengamati gerakan bolak-balik mencit pada platform pengamatan.
Jumlah gerakan bolak-balik mencit yang banyak menunjukkan adanya aktivitas stimulan
yang memengaruhi aktivitas motorik mencit sehingga mencit lebih aktif bergerak di atas
platform bila dibandingkan dengan kontrol negatif.
Metode uji gelantung adalah uji aktivitas stimulan SSP yang dilakukan dengan
mengamati kemampuan mencit dalam menggelantung pada kawat gelantung dengan
lebar kurang lebih 30 cm yang dipasang pada ketinggian 20 cm secara horizontal di atas
permukaan meja. Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan mencit pada kawat
gelantung pada saat sebelum dan setelah mencit diberikan obat stimulan. Dihitung
berapa detik lamanya mencit berhasil bergelantungan dengan menggunakan dan
mengaitkan kakinya pada kawat, yang kemudian dibandingkan dengan kontrol. Metode
uji gelantung ini spesifik dilakukan untuk mengamati ketahanan dan kekuatan otot
mencit setelah pemberian stimulansia.
Metode uji berenang pada pengujian aktivitas stimulan dilakukan dengan
menghitung waktu bertahan berenang mencit yang dilakukan semenjak mencit
dimasukkan ke dalam aquarium berisi air yang diberi arus, hingga mencit menunjukkan
kelelahan. Tenggelamnya kepala mencit selama 4-5 detik merupakan penanda
kelelahannya. Meningkatnya waktu bertahan hewan uji sesudan diberikan obat
menggambarkan munculnya efek stimulan. Tujuan pengamatan dengan metode uji
berenang ini ialah melihat ketahanan (endurance) mencit setelah diberi stimulansia. Uji
metode ketahanan berenang ini merupakan metode skrining farmakologi yang dilakukan
untuk mengetahui efek obat yang bekerja pada koordinasi gerak, yaitu pengujian
terhadap peningkatan kontrol saraf pusat. Metode ketahanan berenang menggunakan
alat yang berupa tangki air/kotak kaca yang berbentuk balok. Pada pengisian air ke
dalam balok kaca, ketinggian air diatur agar tidak terlalu tinggi yang menyebabkan
mencit dapat keluar dari balok kaca ataupun terlalu pendek yang menyebabkan mencit
dapat menyentuh dasar balok sehingga sulit untuk diamati (Turner, 1965).
Metode hole board adalah metode pengujian aktivitas stimulan yang dilakukan
dengan cara mengamati jumlah gerakan spontan dari mencit, yaitu memasukkan kepala
hingga kedua telinganya juga ikut masuk pada lubang-lubang papan secara berulang
yang mengindikasikan suatu perilaku eksplorasi (File dan Wardril, 1975). Pengujian ini
dilakukan untuk melihat aktivitas motorik dan rasa ingin tahu setelah mencit diberikan
obat stimulan SSP. Pada metode ini, dihitung jumlah jengukan mencit ke dalam lubang
pada papan selama 5 menit pada sebelum dan sesudah mencit diberikan obat stimulansia.
Pengujian dengan metode uji gelantung dilakukan dengan cara pre test dan post
test. Sebelum dilakukan pemberian stimulansia, mencit dihitung ketahanan ototnya
untuk dapat menggelantung di kawat gelantung. Setelah itu, mencit diberikan obat
stimulan SSP yaitu kafein dengan rute intrapeitoneal. Rute intraperitoneal dipilih agar
obat dapat diabsorpsi lebih cepat daripada bila dilakukan rute per oral. Dosis kafein yang
diberikan berbeda-beda untuk setiap mencit, yaitu 2,5 mg/20g bb untuk mencit 1; 1,25
mg/20g bb untuk mencit 2, dan 0,625 mg/20g bb untuk mencit 3. Sedangkan untuk
mencit 4 sebagai kontrol diberikan CMC-Na. Kemudian mencit didiamkan selama 60
menit agar obat dapat mencapai onset time. Onset time yang dimiliki oleh kafein yaitu
1 jam (Bolton, 1981). Setelah 60 menit, dilakukan post test dengan menggantungkan
kembali mencit pada kawat gelantung dan dihitung berapa lama mencit dapat bertahan
di atas kawat tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, hasil pre test-post test dan menunjukkan waktu
bertahan pada kawat gelantung untuk mencit 1 yaitu 15-11, mencit 2 yaitu 19-9, mencit
3 yaitu 15-8, dan mencit 4 (kontrol) yaitu 19-8. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung
bahwa rasio aktivitas lokomotor mencit 1 adalah 0,73 ; mencit 2 yaitu 0,47 ; mencit 3
yaitu 0,53 ; dan mencit 4 yaitu 0,42. Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi
penurunan waktu bertahan mencit dari sebelum pemberian obat dengan setelah
pemberian obat. Seharusnya, mencit setelah diberikan stimulansia dapat bertahan untuk
menggelantung lebih lama daripada sebelum diberi stimulansia. Selain itu pula, mencit
yang merupakan kontrol seharusnya memiliki waktu bertahan yang sama pada sebelum
dan sesudah pemberian CMC-Na, karena pada mencit kontrol tidak ada senyawa yang
dapat merangsang kekuatan ototnya.
Bila dilihat dari dosis kafein yang diberikan, mencit 1 yang diberikan kafein
dengan dosis paling tinggi, yaitu 2,5 mg/20g bb, memiliki rasio aktivitas lokomotor yang
paling besar, artinya efektivitas obat sangat baik dalam menstimulasi sistem saraf pusat
mencit. Namun, pada mencit 2 yang diberi kafein dengan dosis 1,25 mg/20g bb, hasil
yang didapat tidak sesuai. Seharusnya rasio aktivitas lokomotor mencit 2 lebih tinggi
daripada mencit 3 karena dosis kafein yang diberikan 2 kali lebih besar. Namun pada
hasil pengamatan, rasio mencit 2 lebih kecil.
Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan literatur dapat disebabkan oleh
kesalahan dalam penyuntikan obat melalui intraperitoneal, dimana obat tidak seluruhnya
masuk ke dalam peritoneal mencit sehingga memengaruhi kadar obat yang terabsorbsi
ke dalam darah. Selain itu, ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena kondisi fisik
mencit yang berbeda-beda, kekuatan otot kaki tiap mencit berbeda satu sama lain,
sehingga memengaruhi ketahanan masing-masing mencit dalam menggelantung di atas
kawat gelantung.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
bahwa semakin besar dosis stimulansia yang diberikan kepada mencit, maka rasio
aktivitas lokomotor yang dimiliki mencit semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa
ketahanan dan kekuatan otot mencit semakin besar. Sedangkan pada kontrol, tidak ada
aktivitas stimulan yang dapat merangsang sistem saraf pusat mencit dan meningkatkan
ketahanannya, sehingga tidak ada perubahan waktu bertahan mencit di atas kawat
gelantung pada sesudah dan sebelum pemberian obat stimulan.
VIII. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Stimulan memiliki aktivitas merangsang sistem saraf pusat sehingga dapat
meningkatkan kewaspadaan, aktivitas, ketahanan, dan pengurangan kelelahan.
2. Kafein dapat meningkatkan aktivitas motorik, ketahanan, kekuatan otot, serta rasa
ingin tahu mencit yang ditandai dengan lebih banyaknya gerakan dan lebih lamanya
waktu bertahan mencit daripada kontrol.
3. Semakin tinggi dosis kafein yang diberikan, lamanya waktu bertahan mencit pada
kawat gelantung semakin besar. Sehingga, rasio aktivitas lokomotor mencit semakin
tinggi yang artinya efektivitas stimulan pada obat semakin baik.
IX. Daftar Pustaka
Bolton, S., Null G. 1981. Caffeine : Psychological Effects, Use, and Abuse. Orthomolecular
Psychiatry.
File, S.E. dan Wardril A.G. 1975. Validity of Head Dipping As A Measure of Exploration
in A Modified Hole-Board. Psychopharmacol, 44, 53-59.
Goodman and Gilman, 2008. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
Katzung, Bertram G. , Susan B Masters, dan Anthony J. Trevor. 2012. Basic & Clinical
Pharmacology. Edisi XII. New York: McGraw-Hill Companies Inc..
Mycek, M.J. 2013. Farmakologi : Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta : Penerbit Widya
Medika.
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga
Sloane E. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sunaryo, Wilmana. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit FK UI
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke-6. 262, 269-271. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo.
Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York : Academic Press, Inc.
Wade, C & Travis, C. 2008. Psikologi. Edisi Kesembilan. Jilid 2. (terjemahan : Padang
Mursalin dan Dinastuti). Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai