Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

Asuhan Keperawatan Trauma Thorax


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Gawat Darurat

Dosen Pengampu :
Andi Sutandi S. Kep. Ners

Disusun Oleh

- Ade Nurmanah - Praseptio Edi P


- Depi Permatasari - Riska
- Fuzy Mella S - Silvia Amalia R
- Kartika Fitrianingsih - Wasiq Fahmi Amirudin
- Maudy

S1 Keperawatan Reguler A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya lah sehingga kami mampu menyusun makalah yang kami kumpulkan dari berbagai
sumber ini, yang kemudian kami susun sedemikian rupa, hingga menjadi sebuah makalah dalam
Keperawatan Gawat Darurat dengan tema “Asuhan Keperawatan Trauma Thorax”.
Kami sangat mengharapkan makalah ini sekiranya dapat berguna melalui pembelajaran
mengenai waham yang sering terjadi pada masyarakat yang disertai cara pencegahan dan
penanganannya yang telah dijelaskan dalam makalah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan.
Semoga makalah ini dapat difahami bagi siapapun yang hendak membacanya
Atas perhatiannya, tidak lupa pula kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang
membantu hingga terciptanya makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pemerhati
demi kesempurnaan makalah ini.

Kuningan, 20 Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................................................. i
Daftar Isi ............................................................................................................................................. ii
BAB 1 Pendahuluan ......................................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang masalah ............................................................................................................... 1
1.2 Tujuan penulisan .......................................................................................................................... 2
1.3 Rumusan masalah........................................................................................................................ 2
1.4 Metode penulisan ........................................................................................................................ 2
1.5 Sistematika penulisan .................................................................................................................. 2
BAB II Tinjauan teoritis ..................................................................................................................... 4
2.1 Definisi .......................................................................................................................................... 4
2.2 Epidemologi ................................................................................................................................... 4
2.3 Anatomi fisiologi ........................................................................................................................... 5
2.4 Etiologi ........................................................................................................................................... 14
2.5 Manifestasi klinis ........................................................................................................................... 15
2.6 Klasifikasi....................................................................................................................................... 15
2.7 Patofisiologi ................................................................................................................................... 16
2.8 Mortalitas ....................................................................................................................................... 18
2.9 Pemeriksaan penunjang ................................................................................................................ 18
2.10 Penatalaksanaan medis .............................................................................................................. 19
2.11 Komplikasi ................................................................................................................................... 24
BAB III Pembahasan .......................................................................................................................... 26
3.1 Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Thorax Berbasis Teori ..................................................... 26
3.2 Telaah Jurnal terkait Trauma Thorax ............................................................................................. 39
BAB IV Penutup ................................................................................................................................ 50
4.1 kesimpulan .................................................................................................................................... 50
4.2 saran.............................................................................................................................................. 51
Daftar pustaka.................................................................................................................................... 52
Lampiran.............................................................................................................................................. 53

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut (Sudoyo, 2010).
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan diseluruh
kota besar didunia dan diperkiraan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang
disebabkan oleh trauma toraks di amerika. Sedangkan insiden penderita trauma toraks di
amerika serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang
disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25%.Dan hanya 10-15% penderita trauma
tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan
tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian (Sudoyo, 2010).
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma
pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Trauma
toraks dapat meningkatkan kematian akibat Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%,
kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Nugroho, 2015).
Pada trauma dada biasanya disebabkan oleh benda tajam, kecelakaan lalu lintas atau
luka tembak.Bila tidak mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga paru-paru.
Akibatnya, selain terjadi pendarahan dari rongga paru-paru, udara juga akan masuk ke
dalam rongga paru-paru. Oleh karena itu, pau-paru pada sisi yang luka akan mengempis.
Penderita Nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa sesak dan
gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang (Sudoyo, 2010)
Trauma tumpul thoraks sebanyak 96.3% dari seluruh trouma thoraks, sedangkan
sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul
thoraks masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan mortalitas
pada setiap trauma yang disertai dengan trauma thoraks lebih tinggi (15,7%) dari pada
yang tidak disertai trauma thoraks (12,8%) pengolahan trauma thoraks, apapun jenis dan
penyebabnya tetap harus menganut kaidah klasik dari pengolahan trauma pada umumnya
yakni pengolahan jalan nafas, pemberian pentilasi dan control hemodianamik (Patriani,
2012).
Jadi menurut kelompok trauma thorak adalah luka atau cedera fisik sehingga dapat
menyebabkan kematian utama pada anak-anak atau orang dewasa. Di dalam thoraks

1
terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan
jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Secara umum, pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui terkait
penyakit Asuhan Keperawatan Trauma Thorax.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu mengetahui konsep/materi dari Trauma Thorax
2. Mampu mengetahui asuhan keperawatan pada trauma thorax berbasis teori
3. Mampu menerapkan hasil penelitian untuk mengatasi masalah keperawatan
sesuai jurnal kasus trauma thorax
1.3 Rumusan Masalah
Penulisan makalah mengenai kasus Trauma Thorax, dimaksudkan untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang diagnosaTrauma Thorax. Berdasarkan hal tersebut, dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep/materi pada Trauma Thorax?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada kasus Trauma Thorax berbasis kasus?
3. Bagaimana menerapkan hasil penelitian untuk mengatasi masalah keperawatan
sesuai jurnal kasus Trauma Thorax?
1.4 Metode Penulisan
Metode yang di pakai dalam makalah ini adalah :
1. Metode Pustaka
Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka,
baik berupa buku maupun informasi di internet.
2. Diskusi
Yaitu mendapatkan data dengan cara bertanya secara langsung kepada teman-teman
yang mengetahui tentang informasi yang di perlukan dalam membuat materi.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang, identifikasi dan perumusan masalah, batasan/ruang lingkup
masalah, maksud dan tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis
BAB ini berisi teori-teori pendukung penganalisaan dan pengembangan dari materi Trauma
Thorax mengatasi klien dengan kondisi khusus
BAB III : Pembahasan

2
BAB ini menjelaskan secara analisis dari materi yang ada di tinjauan teoritis
BAB IV: Penutup
BAB ini berisi tentang kesimpulan hasil analisa materi komunikasi terapeutik mengatasi klien
dengan kondisi khususdalam rangka menjawab tujuan yang diajukan, serta saran-saran yang
penulis berikan.
Daftar Pustaka
Daftar pustaka ini berisi tentang judul-judul buku, artikel-artikel yang terkait dalam makalah ini

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Trauma Toraks
2.1.1 Definisi
Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang
mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun oleh sebab
trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan
dalam modalitas imaging yang lebih baru, pendekatan invasif yang minimal, dan terapi
farmakologis memberikan kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan cedera ini (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014; Lugo,, et al., 2015).
Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera
berat meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan Pneumotoraks
juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien trauma toraks.
Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama beberapa dekade terakhir. Hal
ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik imaging diagnostik dan peningkatan dalam
pemahaman patofisologi. Pemahaman ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma toraks sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat semakin
tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana transportasi diiringi oleh
peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Trauma toraks secara langsung
menyumbang 20% sampai 25% dari seluruh kematian akibat trauma, dan menghasilkan
lebih dari 16.000 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat begitu pula pada negara
berkembang. Di Amerika Serikat penyebab paling umum dari cedera yang menyebabkan
kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana kematian langsung terjadi sering disebabkan
oleh pecahnya dinding miokard atau aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama
sampai 3 jam) yang diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya
disebabkan oleh tension Pneumotoraks , tamponade jantung, sumbatan jalan napas, dan
perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya kasus trauma toraks reversibel
atau sementara tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan operasi, sangat
penting untuk dokter yang bertugas di unit gawat darurat mengetahui lebih banyak mengenai
patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis penanganan lebih lanjut (Saaiq, et al., 2010;
Eckstein & Handerson, 2014; V Shah & Solanki, 2015).

4
Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan mengalami
cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35% kasus utama, dan 5% flail
chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu menunjukkan tanda klinis yang jelas dan
sering dengan mudah saja diabaikan selama evaluasi awal (Eckstein & Handerson, 2014).
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma pada
toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Trauma toraks
dapat meningkatkan kematian akibat Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%, kontusio
pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Mefire, et al., 2010; Saaiq, et al., 2010).
Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% - 80% dari keseluruhan trauma
toraks dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera ekstratoraks. Trauma
tumpul pada toraks yang menyebabkan cedera biasanya disebabkan oleh salah satu dari
tiga mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada, cedera akibat penekanan, ataupun
cedera deselarasi (Saaiq, et al., 2010).
2.1.3 Anatomi Dinding Toraks
Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada bagian
bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada
bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan mediastinum. Mediastinum
adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru - paru. Di dalam rongga toraks
terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah.
Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung,
pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt, 2013). Tulang - tulang yang elastis dan otot -
otot pernapasan menyokong dan mengelilingi rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan
kompartemen ditempati oleh dua buah paru - paru dengan lima segmennya yang terhubung
oleh struktur vaskuler kearah pusat kompartemen kardiovaskuler. Sebagai tambahan, trakea
dan bronkus menghubungkan paru - paru dan pharynk, dan beberapa saraf di dalam rongga
toraks. ( Ombregt, 2013).
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari
sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di anterior dalam
segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang kosta berfungsi
melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien seperti gambar
2.1 dan gambar 2.2. ( Drake, et al., 2010; Hansen, 2014)
Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior disusun
oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh tulang costa ( masing –
masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot – otot datar yang membentang pada
ruang intercosta antara tulang osta yang berdeekatan, menggerakkan kosta dan

5
memberikan kekuatan pada ruang interkosta. Bagian depan dibatasi oleh sternum yang
terdiri dari manubrium sternum, body sternum dan processus xiphoideus. (Drake, et al.,
2010; Assi & Nazal, 2012; Hansen, 2014).

Gambar 2.1
Anatomi Organ Visceral pada Rongga Dada anterior view
(Hansen, 2014)

6
Gambar 2.2

Batas tulang pada dinding toraks (Drake, et al., 2010)


Gambar 2.3
Batas dinding toraks (Drake, et al., 2010)
Muskulatur dinding dada terdiri atas otot-otot yang mengisi dan menyokong
spatium interkostalis, otot-otot yang berada antara sternum dan tulang rusuk, dan otot-otot
yang melintang melewati beberapa tulang rusuk di antara perlekatan tulang kosta seperti
gambar 2.4 dan 2.5. Otot-otot dinding dada, bersama dengan otot-otot di antara vertebra
dan tulang rusuk secara posterior ( m.levatores costarum, m.serratus posterior superior, dan
m.serratus posterior inferior) merubah posisi tulang rusuk dan sternum sehingga merubah
volume torakal selama bernapas. Otot-otot ini juga memperkuat dinding thorakal seperti
gambar 2.4 (Drake, et al., 2010).
Muskulus interkostal merupakan tiga otot pipih yang terdapat pada tiap spatium
interkostalis yang berjalan di antara tulang rusuk yang bersebelahan. Setiap otot pada
kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi mereka masing- masing:
 m.interkostal eksternal merupakan yang paling superfisial
 m.interkostal internal terletak diantara m.interkostal eksternal dan profundal
Muskulus interkostal diinervasi oleh nervus interkostal terkait. Sebagai suatu
kelompok otot. Otot-otot interkostal menyediakan sokongan struktural untuk spatium

7
interkostalis selama respirasi. Mereka juga menggerakkan tulang rusuk. Sebelas pasang
m.interkostal eksternal memanjang dari tepi bawah tulang rusuk yang berada di atas hingga
tepi atas tulang rusuk di bawahnya. Otot-otot ini memanjang mengelilingi dinding toraks dari
regio tuberkel rusuk hingga kartilage kosta, dimana tiap lapisan berlanjut sebagai suatu
aponeurosis jaringan ikat tipis yang dinamai membrane interkostal eksternal. Muskulus
interkostal eksternal merupakan otot yang paling aktif saat inspirasi.
Sebelas pasang m.interkostal internal berjalan diantara tepi lateral terbawah
lekuk kosta tulang rusuk, hingga permukaan superior rusuk di bawahnya. Otot- otot ini
memanjang dari regio parasternal, dimana mereka berjalan diantara kartilage kosta yang
bersebelahan, menuju angulus rusuk di posterior. Lapisan ini berlanjut ke medial menuju
kolumna vertebralis, pada setiap spatium interkostalis, sebagai membrane interkostal
internal. Serabut otot ini berjalan kearah yang berlawanan dengan m.interkostal eksternal.
Muskulus interkostal internal merupakan otot yang paling aktif selama ekspirasi. (Drake, et
al., 2010)
Muskulus interkostal profunda memiliki serabut dengan orientasi yang sama
dengan muskulus interkostal internal. Otot ini paling tampak pada dinding toraks lateral.
Mereka melekat pada permukaan internal rusuk - rusuk yang bersebelahan sepanjang tepi
medial lekuk kosta. Satu hal yang penting disini, berkas neurovaskular yang terkait dengan
spatium interkostalis berjalan mengelilingi dinding toraks pada suatu bidang di antara
muskulus interkostal profunda dan internal.
Muskulus subkostal berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal
profunda, merentang diantara multiple rusuk, dan jumlahnya semakin banyak di regio bawah
dinding toraks posterior seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot - otot ini memanjang dari
permukaan interna satu rusuk sampai dengan permukaan interna rusuk kedua atau ketiga di
bawahnya. Serabut ototnya paralel terhadap jalur m.interkostal internal dan memanjang dari
angulus rusuk menuju posisi yang lebih medial pada rusuk di bawahnya. (Drake, et al.,
2010)
Muskulus torakal transversus terdapat pada permukaan dalam dinding toraks
anterior dan berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal profunda seperti gambar
2.4 dan 2.5. Muskulus torakal transversus muncul dari aspek posterior prosesus xiphoideus,
pars inferior badan sternum, dan kartilage kosta rusuk sejati di bawahnya. Otot - otot ini
berjalan secara superior dan lateral untuk memasuki tepi bawah kartilage kostal tulang rusuk
III hingga VI. Muskulus torakal transversus terletak di bawah pembuluh - pembuluh torakal
internal dan mengunci pembuluh ini ke dinding toraks.

8
Gambar 2.4 Musculature Dinding Toraks ( Putz,2006 )

Gambar 2.5 Otot Interkosta (Drake, et al., 2010)


Suplai arterial
Pembuluh-pembuluh darah yang memvaskularisasi dinding toraks terutama terdiri
dari arteri interkostal posterior dan anterior, yang berjalan mengelilingi dinding toraks dalam

9
spatium interkostalis di antara rusuk - rusuk yang bersebelahan seperti gambar 2.6. Arteri –
arteri ini berasal dari aorta dan arteri torakal internal, yang berbelok kemudian muncul dari
arteri subklavian pada dasar leher. Bersama - sama, arteri - arteri interkostal membentuk
pola seperti keranjang untuk vaskularisasi seluruh dinding dada.
Arteri interkostal posterior berasal dari pembuluh-pembuluh yang berhubungan
dengan dinding toraks posterior. Dua arteri interkostal posterior yang paling atas pada tiap
sisinya berasal dari arteri interkostal suprima, yang turun memasuki toraks sebagai
percabangan trunkus kostoservikal pada leher. Trunkus kostoservikal merupakan suatu
cabang posterior dari arteri subklavian. Sembilan pasang arteri interkostal posterior sisanya
berasal dari permukaan posterior aorta torakalis. Oleh karena aorta terletak pada sisi kiri
kolumna vertebralis, maka pembuluh-pembuluh interkostal posterior berjalan menuju sisi
kanan dinding toraks dengan menyeberang midline anterior dari badan vertebra, sehingga
pembuluh ini lebih panjang daripada pembuluh pada sisi kiri. Selain memiliki banyak
percabangan yang menyuplai berbagai komponen dinding toraks, arteri interkostal posterior
juga memiliki percabangan yang mengiringi cabang kutaneus lateral dari nervus interkostal
yang menuju area superfisial.
Arteri interkostal anterior berasal dari percabangan lateral arteri torakal internal,
baik secara direk maupun indirek. Setiap arteri interkostal anterior muncul sebagai suatu
cabang mayor dari arteri subkalvian pada leher. Arteri ini berjalan secara anterior melewati
kubah servikal pleura dan turun secara vertikal melalui apertura torakal superior dan
sepanjang aspek profunda dari dinding torakal anterior. Pada tiap sisi, arteri interkostal
anterior terletak posterior terhadap kartilage kostal dari enam rusuk teratas dan sekitar 1 cm
lateral terhadap sternum. Pada sekitar level spatium interkostalis keenam, arteri ini
bercabang menjadi dua cabang terminal:
 arteri epigastrik superior, yang lanjut berjalan secara inferior menuju dinding
abdomen anterior
 arteri muskuloprenikus, yang berjalan sepanjang tepi kostal, melewati diafragma,
dan berakhir di dekat spatium interkostal terakhir
 Arteri interkostal anterior yang menyuplai enam spatium interkostal teratas muncul
sebagai cabang lateral dari arteri torakal internal, sedangkan yang menyuplai
spatium yang lebih bawah berasal dari arteri muskuloprenikus.
 Pada tiap spatium interkostalis, biasanya terdapat dua arteri interkostal anterior:
 satu yang lewat di bawah tepi rusuk di atasnya;
 satu lagi yang lewat di atas tepi rusuk di bawahnya dan kemudian bertemu dengan
sebuah kolateral percabangan arteri interkostal posterior

10
 Distribusi pembuluh - pembuluh interkostal anterior dan posterior saling tumpang
tindih dan dapat berkembang menjadi hubungan anastomosis. Arteri interkostal
anterior pada umumnya berukuran lebih kecil dari pembuluh posterior
Gambar 2.6 Arteri Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)

Suplai Vena
Drainase vena dari dinding toraks pada umumnya paralel dengan pola suplai arterialnya.
Secara sentral, vena - vena interkostal pada akhirnya akan didrainase menuju sistem vena
atau ke dalam vena torakal internal, yang terhubung dengan vena brakhiosefalika dalam
leher. Vena - vena interkostal posterior pada sisi kiri akan bergabung dan membentuk vena
interkostal superior kiri, yang akan didrainase ke dalam vena brakhiosefalik kiri. Begitu pula
dengan vena-vena interkostal posterior di sisi kanan dapat bergabung dan membentuk vena
interkostal superior kanan, yang akan mengalir ke dalam vena azygos

11
Gambar 2.7 Vena Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)
Drainase Limfatik
Pembuluh limfatik pada dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi
yang berhubungan dengan arteri torakal internal (nodus parasternal), dengan kepala dan
leher rusuk (nodus interkostal), dan dengan diafragma (nodus diafrgamatikus). Nodus
diafragmatikus terletak posterior terhadap xiphoideus dan pada lokasi dimana nervus
phrenikus memasuki diafragma. Mereka juga ada pada region - regio dimana diafragma
melekat dengan kolumna vertebralis. Nodus parasternal didrainase ke dalam trunkus
bronkhomediastinal. Nodus interkostal pada toraks atas juga didrainase ke dalam trunkus
bronkhomediastinal, sedangkan nodus interkostal di toraks bawah didrainase ke dalam
duktus torakalis. Nodus yang berkaitan dengan diafragma terinterkoneksi dengan nodus
parasternal, prevertebral, juxtaesofageal, brakhioesefalik, dan aortik lateralis. Regio
superfisial dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi aksilaris pada nodus aksila
atau parasternal seperti gambar 2.8.
Innervasi
Innervasi dinding toraks terutama oleh nervus interkosta, yang merupakan ramus

12
anterior nervus spinalis T1 - T11 dan terletak pada spatium interkostalis di antara rusuk-
rusuk yang bersebelahan seperti gambar 2.9. Percabangan terbesarnya adalah cabang
kutaneus lateral, yang menembus dinding toraks lateral dan terbagi menjadi cabang anterior
dan cabang posterior yang menginervasi lapisan kulit di atasnya. Nervus interkostal berakhir
sebagai cabang kutaneus anterior, yang muncul baik secara parasternal, di antara kartilage
kosta yang bersebelahan, ataupun secra lateral terhadap midline, pada dinding abdomen
anterior, untuk menyuplai kulit pada toraks, nervus interkostal membawa :
 Inervasi somatik motorik kepada otot – otot dinding toraks ( intercostal, subcostal,
and transversus thoracis muscles )
 Innervasi somatik sensoris dari kulit dan pleura parietal;
 Serabut simpatis postganglionic ke perifer.
 Innervasi sensori dari kulit yang melapisi dinding toraks bagian atas disuplai oleh
cabang kutaneus, yang turun dari pleksus servikal di leher. Selain menginnervasi
dinding toraks, nervus interkosta juga menginnervasi area lainnya :
 Ramus anterior T1 berkontribusi ke pleksus brakhialis
 Cabang kutaneus lateral dari nervus interkostalis kedua berkontribusi kepada
innervasi kutaneus permukaan medial lengan atas
 Nervus interkostal bawah menyuplai otot, kulit, dan peritoneum dinding abdomen

13
Gambar 2.8 Sistem Limfatik Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)

Gambar 2.9 Inervasi Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)


2.1.4 Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan
trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering adalah
kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Dalam trauma akibat
kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping,
belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk
mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.
Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3
berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi
sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata militer.
Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru - paru
yang bisa menyebabkan Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam (Saaiq, et al.,
2010).
Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum,
rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi
tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera (Gallagher, 2014).

14
2.1.5 Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala pada pasien trauma thorax menurut Hudak, (2009) yaitu :

1. Temponade jantung
a. Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus
jantung
b. Gelisah
c. Pucat, keringan dinginPeninggian TVJ (9Tekanan Vena Jugularis)
d. Pekak jantung melebar
e. Bunyi jantung melemah
f. Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure
g. ECG terdapat low Voltage seluruh lead
h. Perikardiosentesis kuluar darah (FKUI:2005)
2. Hematothorax
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b. Gangguan pernapasan (FKUI:2005)
3. Pneumothoraks
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas
b. Gagal pernapasan dengan sianosis
c. Kolaps sirkulasi
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas
yang terdapat jauh atau tidak terdengar sama sekali
e. Pada auskultasi terdengar bunyi klik
2.1.6 Klasifikasi
1. Trauma Tembus
a. Pneumothoraks terbuka
b. Hemothoraks
c. Trauma tracheobronkial
d. Contusi Paru
e. Ruptur diafragma
f. Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
a. Tension pneumothoraks
b. Trauma tracheobronkhial
c. Flail Chest
d. Ruptur diafragma

15
e. Trauma mediastinal
f. Fraktur kosta
2.1.7 Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot - otot
pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif dari
intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru selama inspirasi.
Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda dari dinding toraks dan
rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada, rongga pleura,
parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada dan
otot - otot yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat
terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru
termasuk paru - paru dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami
kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta /
pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara normal
toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner dalam menghantarkan
oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh. Gangguan pada aliran udara dan
darah, salah satunya maupun kombinasi keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks
(Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,, et al., 2015).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa faktor,
antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang terkait, dan
penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien trauma toraks cenderung
akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi respirasinya dan secara sekunder
akan berhubungan dengan disfungsi jantung. Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan
untuk mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan
mencegah sepsis (Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,, et al., 2015).
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai berat
tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang
ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang
lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks
dan kontusio pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah
besar dan trauma langsung pada jantung (Saaiq et al., 2010; Lugo, et al., 2015).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan sistem
respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya.

16
Gangguan faal respirasi dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan
gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks
adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (Saaiq, et al., 2010; Mattox, et al., 2013;
Lugo,, et al., 2015).
Phatway

17
2.1.8 Mortalitas
Trauma tumpul toraks meliputi 10% - 15% dari semua cedera trauma toraks dan
sekitar 25% dari seluruh kematian akibat trauma di seluruh dunia. Etiologi dan pola trauma
tumpul toraks bervariasi tergantung pada mekanisme cedera dan faktor sosio - ekonomi.
Kecelakaan kendaraan bermotor meliputi 60% - 70% dari total keseluruhan trauma toraks.
Angka mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks tergantung terutama pada keparahan
cedera dan adanya cedera terkait dengan sistem organ lainnya (Huber, et al., 2014; El-
Menyar, et al., 2016).
Pada suatu penelitian di daerah Timur Tengah Arab yang menilai presentasi klinis
dan mortalitas berbasis waktu dari trauma tumpul toraks berdasarkan mekanisme cedera,
didapatkan mayoritas dari korban kecelakaan lalu lintas adalah laki - laki muda. Pada
analisis ini, kontusio paru merupakan tipe trauma tumpul toraks yang paling umum, diikuti
oleh fraktur tulang rusuk, dimana hal ini konsisten dengan penelitian lainnya. Penelitian
sebelumnya melaporkan hemotoraks dan pneumotoraks sebagai lesi yang paling sering
pada trauma tumpul toraks. Penelitian ini telah mengobservasi suatu proporsi cedera
ekstratoraks yang lebih tinggi di antara pasien trauma tumpul toraks, dimana hal ini dapat
meningkatkan risiko komplikasi. Adanya trauma kepala dipertimbangkan sebagai prediktor
tunggal mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks. Cedera pada hepar dan lien juga
meningkatkan risiko mortalitas tiga kali lipat (Aleassa, et al., 2013; El-Menyar, et al., 2016).
Walaupun terjadi penurunan yang tajam pada angka mortalitas pneumonia dan
ARDS beberapa tahun terakhir ini, komplikasi ini masih menyumbang angka mortalitas
sebesar 20% - 43%. Kontusio pulmonum merupakan cedera intratoraks tersering yang
diasosiasikan dengan mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks, dimana cedera kepala
menjadi cedera ekstratoraks tersering yang dikaitkan dengan mortalitas pada pasien trauma
tumpul toraks. Puncak mortalitas didapatkan pada hari pertama pasca trauma,
merefleksikan tingkat keparahan cedera dan perawatan pre-rumah sakit, tanpa
menghiraukan mekanisme kecelakaan lalu lintas (El-Menyar, et al., 2016; Aleassa, et al.,
2013).

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


• Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
• Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
• Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
• Hemoglobin : mungkin menurun.
• Pa Co2 kadang-kadang menurun.

18
• Pa O2 normal / menurun.
• Saturasi O2 menurun (biasanya).
• Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
2.1.10 Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat
ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat
kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya selang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari
sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya
slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat
akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
 Penetapan selang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak
terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian
masuknya slang dapat dikurangi.
 Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil
dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut,
merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di
bawah lengan atas yang cedera.
Mendorong berkembangnya paru-paru.

19
 Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu
slang diklem.
 Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika
banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan
keadaan pernapasan.
e. Suction harus berjalan efektif :
 Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1
- 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
 Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka,
keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
 Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika
suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2
terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di
cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang
bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan
di dinding paru-paru.
f. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
 Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar
kalau ada dicatat.
 Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
 Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
 Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan
slang harus tetap steril.
 Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.
 Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal :
slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
g. Dinyatakan berhasil, bila :

20
 Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
 Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
 Tidak ada pus dari selang WSD.
3. Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
 Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap
simtomatik, observasi.
 Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum
pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues
suction unit.
 Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
 Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari
800 cc segera thorakotomi.
4. Terapi
 Antibiotika.
 Analgetika.
 Expectorant.

Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien
trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of cervical spine, B:
Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability assessment, dan E: Exposure
without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al., 2015).
a. Airway

Sumbatan saluran nafas merupakan keadaan darurat yang memerlukan respon


segera. Kecepatan membebaskan sumbatan jalan nafas adalah hal yang sangat penting.
Sumbatan jalan nafas dapat disebabkan oleh : Aspirasi darah, benda-benda asing atau
muntahan, serta lidah yang terdorong kebelakang. Hal ini dapat diatasi dengan
mengekstensikan leher dan memiringkan korban. Odim farings (tekak) atau larings
(pangkal tenggorokan) disebabkan karena menghirup udara panas asap pembakaran.
Bila hal ini terjadi, maka trachestomy perlu dilakukan.
Assessment :
Perhatikan patensi airway Dengar suara napas

21
Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
Management :
o Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh,
 lakukan head-till chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan
napas
 Re-posisi kepala, pasang collar-neck
 Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
b. Breathing
Bila sistem pernafasan berhenti akibat suatu trauma, maka hal penting yang harus
dilakukan ialah memperbaiki system ventilasi dengan segera. Bantuan pernafasan harus
diusahakan hingga pernafasan kembali normal.
Assesment:
 Periksa frekwensi napas
 Perhatikan gerakan respirasi
 Palpasi toraks
 Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
 Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
 Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open
pneumotoraks, hemotoraks, flail chest
c. Circulation
1. Jantung
Bila jantung berhenti berdenyut sebagai akibat tidak langsung dari cedera maka
harus segera dilakukan kompresi jantung luar.
2. Perdarahan
Pembalut atau bahan apa saja yang tersedia dapat digunakan untuk menekan
secara hati-hati pada luka dan tindakan ini biasanya akan menghentikan perdarahan.
bila dari dalam luka terlihat pembuluh darah yang masih terus berdarah maka
perdarahan dapat dihentikan secara langsung secara manual atau dengan
menggunakan klem arteri bila tersedia. Jangan melakukan klem secara buta.
Penekanan pada daerah diatas arteri dapat mengurangi perdarahan sampai dapat
dilakukan penghentian perdarahan.
Perdarahan dari vena dapat dikurangi dengan mengangkat bagian tubuh yang
terluka. Jarang diperlukan penggunaan turniket karena tindakan tersebut dapat
menyelamatkan nyawa tapi juga dapat membahayakan anggota gerak, kecuali bila

22
digunakan dengan benar, yaitu dikendurkan secara berkala setiap jam selama
beberapa menit dan dilepaskan bila tersedia fasilitas untuk menghentikan
perdarahan secara adekuat. Umumnya turniket hanya digunakan sebagai usaha
terakhir dengan segala risikonya. Perdarahan eksternal biasanya dapat dihentikan
dengan penekanan secara langsung. Perdarahan eksternal biasanya dapat
dihentikan dengan penekanan secara langsung. Perdarahan internal akibat luka
tembus tidak dapat dihentikan tanpa dilakukan pembedahan, dan oleh karena itu,
pasien ini merupakan prioritas pertama untuk dievakuasi.
Assesment :
 Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
 Periksa tekanan darah
 Pemeriksaan pulse oxymetri
 Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management :
 Resusitasi cairan dengan memasang 2 IV lines
 Torakotomi emergency bila diperlukan
 Operasi Eksplorasi vaskular emergency

Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus


dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang
mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension Pneumotoraks ,
pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail
chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani, maka
pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary
chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi
berikut: kontusio pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik,
disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015).
Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utama untuk
intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan terapi utama dalam
menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif merupakan salah satu hal yang
sangat penting pada pasien trauma toraks. Ventilator harus digunakan pada pasien dengan
hipoksemia, hiperkarbia, dan takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga
diindikasikan pada pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan
flail chest yang disertai dengan gangguan hemodinamik (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al.,
2015).

23
Pasien dengan tanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani
dekompresi dengan torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi tube. Foto toraks
harus dihindari pada pasien - pasien ini karena diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan
pemeriksaan x - ray hanya akan menunda pelaksanaan tindakan medis yang harus segera
dilakukan. Luka menghisap pada dada harus segera dioklusi untuk mencegah
berkembangnya tension Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube,
torakotomi, dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Saaiq, et al.,
2010; Lugo, et al., 2015).
2.1.11 Komplikasi
Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,
pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum 20%. Dimana
50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan menjadi ARDS. Walaupun
angka kematian ARDS menurun dalam dekade terakhir, ARDS masih merupakan salah satu
komplikasi trauma toraks yang sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et
al., 2011; Lugo, et al., 2015 ; El-Menyar, et al., 2016).
Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang paling
sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks, perdarahan masif dapat
terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah
interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena
jumlah darah yang cenderung sedikit ( Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015 ).
Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun tidak
langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks. Karakteristik dari
trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding dada (Saaiq, et al., 2010;
Milisavljevic, et al., 2012). Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang
meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan
berusaha mencegah daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal
ini meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia (Novakov, et al., 2014 ; Feng Lin, et al.,
2015 ; Lugo, et al., 2015).
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan
patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. Angka kejadian
dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab yang paling sering.
Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan
Toraks (Wanek & Mayberry, 2004; Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015).
Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali
disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai pada

24
pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium (dengan nyeri prekordium
dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan dari pemeriksaan fisik, adanya edema,
deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic, et al., 2012).
Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling
umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada dinding
dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim, edema interstitial dan
perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru. Kontusio juga dapat
menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah besar didalam paru
terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara
gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada
parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al.,
2015).
Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks sangat
berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis. Robekan dari
pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan Pneumotoraks, sedangkan
robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis.
Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi
dada tiba - tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat
menyebabkan ruptur alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis
ke mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema mediastinum. Selain itu
Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan tracheobronchial tree,
dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada
bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang,
sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al.,
2015).
Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk ke
rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau mediastinum.
Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus berhubungan dengan
pneumotoraks (hemopneumotoraks ) bahkan dapat terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al.,
2012; Lugo, et al., 2015). Terjadinya hemotoraks yang massive dengan drainage sekitar
1000 mililiter ataupun 100 mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut
mengindikasikan untuk dilakukan thoracotomy emergency karena sangat beresiko
mengancam nyawa bahkan kematian (Cobanoglu, et al., 2012).

25
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Asuhan Keperawatan Trauma Thorax Berbasis Teori


3.1.1 Pengkajian
Pengumpulan informasi merupakan tahap awal dalam proses
keperawatan. Dari informasi yang terumpul, didapatkan data dasar tentang
masalah-masalah yang dihadapi klien. Selanjutnya data dasar tersebut digunaan
untuk menentuan diagnosis keperawatan, merencanakan asuhan keperawatan,
serta tindaan keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah klien. Tahap ini
terbagi menjadi:
A. Data Subjectif
Merupakan data yang diperoleh dari keluhan-keluhan yang disampaikan
oleh klien, misalnya Nyeri pada tempat trauma, Batuk mengeluarkan
sputum bercak darah, Dyspnea, takipnea.
a. Wawancara
1. Biodata
 Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, nomor register, diagnostik
medik, alamat.
 Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk
memudahkan dan jadi penanggung jawab selama
perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klien dan alamat.
2. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang
dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya
keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri pada
dada dan gangguan bernafas.

26
 Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama
melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P)
yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas
(Q) yaitu bagaimana (nyeri yang dirasakan klien,
Regional (R) yaitu penyebaran nyeri, safety (S) yaitu
posisi yang sesuai untuk mengurangi nyeri dan
dapat membuat klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri.
 Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit
sama atau pernah terdapat riwayat sebelumnya.
B. Data Obyektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis).
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Pemeriksaan Persistem:
1. Sistem pernafasan
 Sesak napas
 Nyeri, batuk-batuk.
 Terdapat retraksi klavikula/dada.
 Pengambangan paru tidak simetris.
 Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang
lain.
 Pada perkusi ditemukan adanya suara

27
sonor/hipersonor/timpani, hematotraks
 Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas
yang berkurang/menghilang.
 Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
 Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
2. Sistem Kardiovaskuler :
 Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan
batuk.
 Takhikardia, lemah
 Pucat, Hb turun /normal.
 Hipotensi.
3. Sistem Persyarafan :
 Tidak ada kelainan.
4. Sistem Perkemihan.
 Tidak ada kelainan
5. Sistem Pencernaan :
 Tidak ada kelainan
6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
 Kemampuan sendi terbatas.
 Ada luka bekas tusukan benda tajam.
 Terdapat kelemahan.
 Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya
kripitasi sub kutan.
7. Sistem Endokrin :
 Terjadi peningkatan metabolisme.
 Kelemahan.
8. Sistem Sosial / Interaksi.
 Tidak ada hambatan.
9. Spiritual :
 Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

28
C. Pemeriksaan Diagnostik :
 Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area
pleural.
 Pa Co2 kadang-kadang menurun.
 Pa O2 normal / menurun.
 Saturasi O2 menurun (biasanya).
 Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
 Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidakmaksimal karena akumulasi cairan/udara
2. ketidakefektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
sekresi sekret dan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
3. Nyeri akut berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal
4. Kerusakan integritas kulit berhubngan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage
5. Resiko infeksi berhubungan tempat masuknya infeksi sekunder terhadap
trauma
3.1.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Pola Nafas tidak efektif NOC: NIC:
berhubungan dengan :  Respiratory status :  Membuka jalan napas
 Hiperventilasi Ventilation  Memposisikan pasien untuk mendaptkan
 Penurunan  Respiratory status : Airway ventilasi maksimal
energi/kelelahan patency  Mengeluarkan sekret dengan batuk
 Perusakan/pelemahan  Vital sign Status efektif atau suction
muskulo-skeletal Setelah dilakukan tindakan  Mengajarkan batuk efektif
 Kelelahan otot keperawatan selama  Auskultasi suara napas
pernafasan ………..pasien menunjukkan  Memonitor status respiratori daan
 Hipoventilasi keefektifan pola nafas, dibuktikan oksigenasi
sindrom dengan kriteria hasil:  Terapi oksigen

29
 Nyeri  Mendemonstrasikan batuk  Memebersihkan sekresi pada mulut,
 Kecemasan efektif dan suara nafas yang hidung dan trakea
 Disfungsi bersih, tidak ada sianosis dan  Memelihara kepatenan jalan napas
Neuromuskuler dyspneu (mampu  Memberikan suplemen oksigen
 Obesitas mengeluarkan sputum, mampu  Memonitor aliran oksigen
 Injuri tulang belakang bernafas dg mudah, tidakada  Memonitor kemampuan pasien dalam
pursed lips) memelihara oksigen
 Menunjukkan jalan nafas yang  Mengobservasi tanda terjadinya
paten (klien tidak merasa hipoventilasi
tercekik, irama nafas, frekuensi  Memonitor kecemasan pasien
pernafasan dalam rentang  Mngajarkan pada pasoen dan keluarga
normal, tidak ada suara nafas bagaimana menggunakan oksigen
abnormal) dirumah
 Tanda Tanda vital dalam  Posisikan pasien untuk memaksimalkan
rentang normal (tekanan darah, ventilasi
nadi, pernafasan)  Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
 Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
 Berikan bronkodilator :
-…………………..
…………………….
 Berikan pelembab udara Kassa basah
NaCl Lembab
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status O2
 Bersihkan mulut, hidung dan secret
trakea
 Pertahankan jalan nafas yang paten
 Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi

30
 Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
 Monitor vital sign
 Informasikan pada pasien dan keluarga
tentang tehnik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas
 Ajarkan bagaimana batuk efektif
 Monitor pola nafas

31
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
2 Bersihan Jalan Nafas tidak NOC: NIC: Bantuan ventilasi
efektif berhubungan dengan:  Respiratory status : Ventilation Aktivitas:
 Infeksi, disfungsi  Respiratory status : Airway  Memelihara kepatenan jalan nafas
neuromuskular, hiperplasia patency  Memonitor eek perubahan
dinding bronkus, alergi jalan  Aspiration Control oksigenasi
nafas, asma, trauma Setelah dilakukan tindakan  Membantu bernafas dalam
 Obstruksi jalan nafas : keperawatan selama  Mengauskultasi suara nafas
spasme jalan nafas, sekresi …………..pasien menunjukkan  Mengajarkan teknik bernafas
tertahan, banyaknya mukus, keefektifan jalan nafas lewat mulut
adanya jalan nafas buatan, dibuktikan dengan kriteria hasil :  Mengajarkan teknik bernafas
sekresi bronkus, adanya  Mendemonstrasikan batuk dengan baik
eksudat di alveolus, efektif dan suara nafas yang  Memonitor kelemahan otot
adanya benda asing di jalan bersih, tidak ada sianosis dan respirasi
nafas. dyspneu (mampu mengeluarkan  Pastikan kebutuhan oral / tracheal
sputum, bernafas dengan suctioning.
mudah, tidak ada pursed lips)  Berikan O2 ……l/mnt,
 Menunjukkan jalan nafas yang metode………
paten (klien tidak merasa  Anjurkan pasien untuk istirahat
tercekik, irama nafas, frekuensi dan napas dalam
pernafasan dalam rentang  Posisikan pasien untuk
normal, tidak ada suara nafas memaksimalkan ventilasi
abnormal)  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Mampu mengidentifikasikan dan  Keluarkan sekret dengan batuk
mencegah faktor yang atau suction
penyebab.  Auskultasi suara nafas, catat
 Saturasi O2 dalam batas normal adanya suara tambahan
 Foto thorak dalam batas normal  Berikan bronkodilator :
- ………………………
- ……………………….
- ………………………
 Monitor status hemodinamik
 Berikan pelembab udara Kassa

32
basah NaCl Lembab
 Berikan antibiotik :
…………………….
…………………….
 Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status O2
 Pertahankan hidrasi yang adekuat
untuk mengencerkan sekret
 Jelaskan pada pasien dan
keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.

3. Nyeri akut NOC NIC


Batasan Karakteristik :  Pain Level, Pain Management
 Perubahan selera makan  Pain control  Lakukan pengkajian nyeri secara
 Perubahan tekanan darah  Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
 Perubahan frekwensi Setelah dilakukan tindakan karakteristik, durasi frekuensi,
jantung keperawatan selama kualitas dan faktor presipitasi
 Perubahan frekwensi ………..pasien menunjukkan  Observasi reaksi nonverbal dan
pernapasan tidak ada nyeri, dibuktikan ketidaknyamanan
 Laporan isyarat dengan kriteria hasil:  Gunakan teknik komunikasi
 Diaforesis  Mampu mengontrol nyeri terapeutik untuk mengetahui
 Perilaku distraksi (tahu penyebab nyeri, pengalaman nyeri pasien
(mis,berjaIan mondar-mandir mampu menggunakan tehnik  Kaji kultur yang mempengaruhi
mencari orang lain dan atau nonfarmakologi untuk respon nyeri
aktivitas lain, aktivitas yang mengurangi nyeri, mencari  Evaluasi pengalaman nyeri masa
berulang) bantuan) lampau
 Mengekspresikan perilaku  Melaporkan bahwa nyeri  Evaluasi bersama pasien dan tim
(mis, gelisah, merengek, berkurang dengan kesehatan lain tentang
menangis) menggunakan manajemen ketidakefektifan kontrol nyeri masa
 Masker wajah (mis, mata nyeri Iampau
kurang bercahaya, tampak  Mampu mengenali nyeri  Bantu pasierl dan keluarga untuk
kacau, gerakan mata (skala, intensitas, frekuensi mencari dan menemukan dukungan

33
berpencar atau tetap pada dan tanda nyeri)  Kontrol lingkungan yang dapat
satu fokus meringis)  Menyatakan rasa nyaman mempengaruhi nyeri seperti suhu
 Sikap melindungi area nyeri setelah nyeri berkurang ruangan, pencahayaan dan
 Fokus menyempit (mis, kebisingan
gangguan persepsi nyeri,  Kurangi faktor presipitasi nyeri
hambatan proses berfikir,  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
penurunan interaksi dengan (farmakologi, non farmakologi dan
orang dan lingkungan) inter personal)
 Indikasi nyeri yang dapat  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
diamati menentukan intervensi
 Perubahan posisi untuk  Ajarkan tentang teknik non
menghindari nyeri farmakologi
 Sikap tubuh melindungi  Berikan anaIgetik untuk mengurangi
 Dilatasi pupil nyeri
 Melaporkan nyeri secara  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
verbal  Tingkatkan istirahat
 Gangguan tidur  Kolaborasikan dengan dokter jika
Faktor Yang ada keluhan dan tindakan nyeri
Berhubungan : tidak berhasil
· Agen cedera (mis, biologis, zat  Monitor penerimaan pasien tentang
kimia, fisik, psikologis manajemen nyeri
Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan
atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute

34
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala

4. Kerusakan Integritas Kulit NOC NIC


Batasan Karakteristik :  Tissue Integrity : Skin and Pressure Management
 Kerusakan lapisan kulit Mucous Membranes  Anjurkan pasien untuk
(dermis)  Hemodyalis akses menggunakan pakaian yang
 Gangguan permukaan kulit Setelah dilakukan tindakan longgar
(epidermis) keperawatan selama  Hindari kerutan pada tempat tidur
 Invasi struktur tubuh ………..pasien menunjukkan kulit  Jaga kebersihan kulit agar tetap
tidak mengalami kerusakan, bersih dan kering
Faktor Yang Berhubungan : dibuktikan dengan kriteria hasil:  Mobilisasi pasien (ubah posisi
Eksternal :  Integritas kulit yang baik bisa pasien) setiap dua jam sekali
 Zat kimia, Radiasi dipertahankan (sensasi,  Monitor kulit akan adanya
 Usia yang ekstrim elastisitas, temperatur, kemerahan
 Kelembapan hidrasi, pigmentasi)  Oleskan lotion atau minyak/baby oil
 Hipertermia, Hipotermia  Tidak ada luka/lesi pada kulit pada daerah yang tertekan
 Faktor mekanik (mis..gaya  Perfusi jaringan baik  Monitor aktivitas dan mobilisasi
gunting [shearing forces])  Menunjukkan pemahaman pasien
 Medikasi dalam proses perbaikan kulit  Monitor status nutrisi pasien
 Lembab dan mencegah terjadinya  Memandikan pasien dengan sabun
 Imobilitasi fisik cedera berulang dan air hangat
Internal:  Mampu melindungi kulit dan Insision site care
 Perubahan status cairan mempertahankan  Membersihkan, memantau dan
 Perubahan pigmentasi kelembaban kulit dan meningkatkan proses

35
 Perubahan turgor perawatan alami penyembuhan pada luka yang
 Faktor perkembangan ditutup dengan jahitan, klip atau
 Kondisi ketidakseimbangan straples
nutrisi (mis.obesitas,  Monitor proses kesembuhan area
emasiasi) insisi
 Penurunan imunologis  Monitor tanda dan gejala infeksi
 Penurunan sirkulasi pada area insisi

 Kondisi gangguan metabolik  Bersihkan area sekitar jahitan atau


 Gangguan sensasi staples, menggunakan lidi kapas

 Tonjolan tulang steril


 Gunakan preparat antiseptic, sesuai
program
 Ganti balutan pada interval waktu
yang sesuai atau biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut) sesuai
program
Dialysis Acces Maintenance

5. Resiko Infeksi NOC NIC


Faktor Resiko :  Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
Penyakit kronis.  Knowledge : Infection control  Bersihkan lingkungan setelah
 Diabetes melitus  Risk control dipakai pasien lain
 Obesitas Setelah dilakukan tindakan  Pertahankan teknik isolasi
Pengetahuan yang tidak cukup keperawatan selama  Batasi pengunjung bila perlu
untuk ………..pasien menunjukkan tidak  Instruksikan pada pengunjung untuk
menghindari pemanjanan ada infeksi, dibuktikan dengan mencuci tangan saat berkunjung
patogen. kriteria hasil: dan setelah berkunjung
Pertahanan tubuh primer yang  Klien bebas dari tanda dan meninggalkan pasien
tidak adekuat. gejala infeksi  Gunakan sabun antimikrobia untuk
 Gangguan peritalsis  Mendeskripsikan proses cuci tangan
 Kerusakan integritas kulit penularan penyakit, faktor  Cuci tangan setiap sebelum dan
(pemasangan kateter yang mempengaruhi sesudah tindakan keperawatan
intravena, prosedur invasif) penularan serta  Gunakan baju, sarung tangan
 Perubahan sekresi pH penatalaksanaannya sebagai alat pelindung

36
 Penurunan kerja siliaris  Menunjukkan kemampuan  Pertahankan lingkungan aseptik
 Pecah ketuban dini untuk mencegah timbulnya selama pemasangan alat
 Pecah ketuban lama infeksi  Ganti letak IV perifer dan line
 Merokok  Jumlah leukosit dalam batas central dan dressing sesuai dengan
 Stasis cairan tubuh normal petunjuk umum
 Trauma jaringan (mis,  Menunjukkan perilaku hidup  Gunakan kateter intermiten untuk
trauma destruksi jaringan) sehat menurunkan infeksi kandung
Ketidakadekuatan pertahanan kencing
sekunder  Tingktkan intake nutrisi
 Penurunan hemoglobin  Berikan terapi antibiotik bila perlu
 Imunosupresi (mis, imunitas  Infection Protection (proteksi
didapat tidak adekuat, agen terhadap infeksi)
farmaseutikal termasuk  Monitor tanda dan gejala infeksi
imunosupresan, steroid, sistemik dan lokal
antibodi monoklonal,  Monitor hitung granulosit, WBC
imunomudulator)  Monitor kerentangan terhadap
 Supresi respon inflamasi infeksi
Vaksinasi tidak adekuat  Batasi pengunjung
Pemajanan terhadap patogen  Sering pengunjung terhadap
lingkungan meningkat penyakit menular
· Wabah  Pertahankan teknik aspesis pada
Prosedur invasif pasien yang beresiko
Malnutrisi  Pertahankan teknik isolasi k/p
 Berikan perawatan kulit pada area
epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas,
drainase
 Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk minum

37
antibiotik sesuai resep
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif

3.1.4 Implementasi Keperawatan


Dilakukan sesuai dengan intervensi
3.1.5 Evaluasi
1. Menunjukkan ketidakefektifan pola pernapasan
2. menunjukkan inefektif bersihan jalan napas
3. Adanya perubahan kenyamanan : Nyeri akut
4. Tidak adanya gangguan mobilitas fisik
5. Tidak adanya kerusakan integritas kulit
3.1.6 Dischange Planning
1. Hilangkan nyeri interkosta yang mungkin terjadi dengan menggunakan
pemanasan lokal dan nalgesia oral
2. Selingi berjalan dan aktivitas lain dengan periode istirahat yang sering. Sadari
bahwa kelemahan dan keletihan adalah umum untuk 3 minggu pertama.
3. Praktikkanlah latihan pernapasan beberapa kali sehari selama beberapa
minggu pertama di rumah
4. Hindari mengangkat beban lebih dari 10 kg sampai terjadi penyembuhan
sempurna; otot-otot dada dan insisi mungkin lebih lemah dari normal selama
3 sampai 6 bulan setelah operasi
5. Berjalan dengan jarak sedan, secara bertahap tingkatkan waktu dan jarak
berjalan. Jaga tetap persisten.
6. Dengan segera hentikan semua ktifitas yang dapat menyebabkan keletihan,
peningkatan sesak nafas, atau nyeri dada
7. Hindari iritan bronkhial (merokok, asap, polusi udara, semprot aerosol)
8. Cegah kedinginan atau infeksi paru

38
9. Dapatkan vaksin influenza tahunan. Juga bahas vaksinasi terhadap
pneumonia dengan dokter
10. Melapor untuk tindak lanjut perawatan oleh ahli bedah atau kllinik sesuai
kebutuhan
3.2 Analisis Jurnal Trauma Thorax
1. Jurnal I
Judul : Thorax Trauma Severity Score sebagai Prediktor Acute Respiratory
Distress Syndrome pada Trauma Tumpul Toraks
Analisis Jurnal:
Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang signifikan.
Kesulitan penanganan pasien dengan trauma tumpul toraks disebabkan keterlambatan
terdeteksinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Thorax trauma severity score
(TTSS) yang diperkenalkan oleh Pape dkk pada tahun 2000 mencakup usia, parameter
fisiologik, dan penilaian radiologik toraks. Penelitian ini bertujuan untuk menilai
kemampuan TTSS dalam memrediksi kejadian ARDS pada pasien dengan trauma tumpul
toraks.
Prosedur penelitian diawali dengan pemeriksaan klinis, foto polos toraks AP
tegak, dan analisis gas darah (AGD). Pemeriksaan foto polos toraks AP tegak dilakukan
untuk menilai adanya kelain ananatomi pada toraks, seperti fraktur kosta, kelainan pleura
(hematotoraks, pneumo-toraks), dan kontusio paru. Pemeriksaan AGD dilakukan untuk
menilai adanya kelainan fisiologik. Selanjutnya dilakukan penilaian TTSS dan observasi
selama 7 hari terhadap tanda-tanda terjadinya ARDS.
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada bulan
Agustus 2016 s/d Juli 2017 didapatkan sampel 50 pasien yang memenuhi kriteria inklusi,
terdiri dari 45 orang laki-laki (90%) dan 5 orang perempuan (10%) dengan rentang usia
18-73 tahun (rerata 39,02 tahun).

Tabel 1. Data pasien trauma tumpul toraks


Variabel Hasil
Usia 39,02 tahun*
Jenis kelamin
laki-laki 45(90%)
perempuan 5(10%)
ARDS 12 kasus

39
TTSS 5,38*
Kontusio paru 9 kasus (18%)
Fraktur kosta 20 kasus (40%)
Hematotoraks 25 kasus (50%)
Pneumotoraks 6 kasus (12%)
Hipoksemia 5 kasus (10%)
BAHASAN
Sebagian besar sampel dalam peneli-tian ini berjenis kelamin laki-laki (90%).
Rerata usia sampel ialah 39,02 tahun yang merupakan usia produktif dimana sebagian
besar orang memiliki mobilitas tinggi dengan kendaraan bermotor. Hal ini sesuai dengan
penyebab trauma tumpul toraks kebanyakan disebabkan oleh KLL. Laki-laki sebagian
besar beraktivitas di luar rumah sehingga kemungkinan untuk mengalami kecelakaan lalu
lintas juga lebih tinggi.
Pada penelitian ini didapatkan kejadian ARDS sebanyak 12 pasien (24%) dan
nilai rerata TTSS sebesar 5,38. Hal ini membuk-tikan sebagian besar cedera trauma
tumpul toraks tergolong kategori ringan; hanya sebagian kecil yang berkembang menjadi
ARDS.
Dari data yang didapatkan, fraktur kosta ditemukan pada 20 pasien (40%). ARDS
terjadi pada pasien dengan fraktur kosta (>4 kosta) sebanyak 12 dari 13 pasien ARDS
(92,3%). Banyaknya fraktur kosta berkorelasi juga dengan banyaknya media-tor pro
inflamasi yang dilepaskan, sehingga bepeluang untuk berkembang menjadi ARDS.
Hasil yang diperoleh memperlihatkan pada 25 pasien (50%) terdapat hemato-
toraks dan pada 6 pasien (12%) terdapat pneumotoraks. Sebanyak 6 pasien (12%)
hematotoraks dan 1 pasien (2%) pneumo-toraks berkembang menjadi ARDS. Dapat
disimpulkan baik hematotoraks maupun pneumotoraks jarang merupakan penyebab
utama terjadinya ARDS. Diperlukan trauma pada organ lain seperti kosta dan paru untuk
memperburuk keadaan menjadi ARDS.
Pada penelitian ini, dari 50 pasien terdapat 9 (18%) yang mengalami kontusio
paru. ARDS terjadi pada 100% kasus kontusio paru setelah selang waktu 24-48 jam. Hal
ini dikarenakan produksi dan pelepasan mediator pro inflamasi yang paling banyak pada
fase awal trauma. Peningkatan pelepasan mediator proinfla-masi kemudian menginduksi
infiltrasi neutrofil ke paru-paru yang nantinya menyebabkan ARDS, yang sangat terkait
dengan peningkatan morbiditas dan morta-litas pada trauma tumpul toraks.
Pengelolaan pasien trauma tumpul toraks dengan kontusio paru menjadi
tantangan karena biasanya pada evaluasi awal pasien datang dengan kondisi klinis yang

40
masih baik dan tanpa hipoksemia tetapi memburuk pada 24-48 jam pasca trauma dan
berkembang menjadi ARDS yaitu sekitar 15,5%.
Mommsen et al.12 melakukan peneli-tian dengan memakai TTSS untuk mende-
teksi adanya komplikasi pernafasan pada pasien multi trauma, namun dengan akurasi
yang tidak terlalu baik, yaitu sensitivitas 63% dan spefisitas 74% pada cut-off point 8.
Casas et al. menilai pemakaian TTSS untuk mendeteksi komplikasi pernafasan pada
trauma toraks tajam maupun tumpul. Hasil akurasi yang diperoleh kurang memuaskan,
yaitu sensitivitas 63% dan spesifisitas 94% dengan cut-off point 8. Elbaih et al.
menggunakan TTSS untuk mendeteksi mortalitas pada trauma tumpul toraks dan
mendapatkan akurasi yang tinggi yaitu sensitivitas 100% dan spesifitas 100% dengan cut-
off point 7.
Keunggulan TTSS sebagai skor yang dapat memprediksi ARDS pada trauma
tumpul toraks disebabkan sistem penilaian yang meliputi penilaian anatomis (pleura, paru,
dan kosta), penilaian parameter fisiologik (PaO2/FiO2) dan juga karakteris-tik pasien
(usia) dipertimbangkan. Skor ini juga mudah dilakukan oleh klinisi sebagai skirining awal
pada pasien trauma tumpul toraks.1,2,4,12-15 Dianjurkan untuk menggu-nakan TTSS
sebagai alat diagnostik awal dalam memrediksi ARDS pada kasus trauma tumpul toraks.
Deteksi dini risiko ARDS merupakan penentu untuk dijadikan pemandu manajemen awal
dan keperluan ventilasi mekanik.
2. Jurnal II
Judul : Pola trauma tembus toraks di Instalasi Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Juli 2013 – Juni 2015
Analisis Jurnal:
Trauma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia
karena dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik di negara maju dan
berkembang. Trauma tembus toraks merupakan masalah umum dan menantang, baik
oleh tembakan atau non-tembakan-kecelakanaan (tikaman, kecelakaan lalu lintas). Pada
kenyataannya, trauma ialah kejadian yang bersifat holistik dan menyebabkan hilang-nya
produktivitas seseorang.
Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan. Trauma yang
terkait dengan trauma toraks mencapai 30- 40% dari yang diterima rumah sakit dan 20-
25% dari trauma dikaitkan dengan kematian. Trauma tembus toraks mencapai 1-13%
dari jumlah total trauma ini. Pada laporan studi yang dipublikasikan, 85% dari trauma ini
dapat dikelola, baik dengan observasi atau drainase pleura, sementara hanya 15-30%

41
kasus yang memerlukan intervensi bedah untuk trauma pada organ yang mungkin
berakibat fatal.
Di wilayah Los Angeles dan Medical Center University of Southern California,
yang merupakan pusat trauma terbesar di wilayah tersebut dengan sekitar 7000 trauma
yang diterima per tahun, trauma tembus toraks di laporkan sekitar 7% dari seluruh trauma
yang diterima atau sekitar 16% dari trauma tembus yang diterima.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data
rekam medik pasien trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Juli 2013 sampai Juni 2015 diperoleh sebanyak 31 pasien trauma tembus toraks
dari total 108 pasien trauma toraks.
Dari total 31 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 didapatkan pada tahun 2013 sebanyak 5
orang (16,10%), tahun 2014 sebanyak 15 orang (48,14%), dan tahun 2015 sebanyak 11
orang (35,49%).
Distribusi trauma tembus berdasarkan usia didapatkan kelompok usia terbanyak
ialah 16-30 tahun sebanyak 18 orang (58,05%) dan kedua terbanyak ialah 31-45 tahun
sebanyak 9 orang (29,01%) (Tabel 2). Hal ini ditunjang sesuai data kepustakaan yang
menyatakan bahwa trauma merupakan penyebab kematian
utama pada kelompok usia di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan
penyebab kematian nomor 4, tetapi pada kelompok usia 15-25 tahun, merupakan
penyebab kematian utama.
Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan jenis kelamin dari total 31 orang
pasien didapatkan laki-laki sebanyak 30 orang (96,80%) dan perempuan sebanyak 1
orang (3,20%). Seringkali saat di bawah pengaruh alkohol laki-laki tidak dapat mengontrol
prilaku sehingga terjadi tindakan kriminal menggunakan senjata tajam yang dapat
menyebabkan trauma tembus toraks. Berdasarkan Riskesdas 2013, menurut jenis
kelamin, maka prevalensi peminum alkohol lebih besar pada laki-laki dibandingkan
perempuan.
Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan faktor penyebab dari total 31 orang
pasien trauma tembus toraks didapatkan penyebab trauma karena tusukan/tikaman
sebanyak 25 orang (80,64%), tembakan/panah sebanyak 5 orang (16,12%), dan KLL
sebanyak 1 orang (3,24%). Faktor penyebab trauma tembus terbanyak karena
tusukan/tikaman mungkin karena semakin meningkatnya angka kriminalitas yang
menggunakan senjata tajam dibawah pengaruh alkohol.

42
SIMPULAN
Dari hasil penelitian terhadap 108 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 dapat disimpulkan
bahwa trauma tembus toraks terbanyak terjadi pada tahun 2014 dan yang paling sedikit
terjadi pada tahun 2013. Mayoritas pasien trauma tembus toraks ialah jenis kelamin laki-
laki, usia 16-30 tahun, dengan penyebab luka tusukan/ tikaman.
3. Jurnal III
Judul : Pola trauma tumpul toraks non penetrans, penanganan, dan hasil akhir di Instalasi
Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni
2016
Analisis Jurnal:
Trauma dilaporkan menjadi penyebab utama kematian, perawatan di rumah
sakit dan kecacatan jangka panjang. Trauma tumpul toraks merupakan masalah umum
bagi masyarakat, yang bisa disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,
benturan, dan lain-lain.
Secara garis besar, trauma toraks diklasifikasikan menjadi dua, yaitu trauma
tumpul toraks dan trauma tembus toraks. Trauma tumpul toraks biasanya disebabkan
oleh karena kecelakaan lalu lintas, sedangkan trauma tembus toraks disebabkan oleh
karena trauma tajam (tusukan benda tajam), trauma tembak (akibat tembakan), dan
trauma tumpul tembus dada.
Trauma tumpul toraks merupakan masalah yang cukup penting di Indonesia yang harus
disikapi dengan serius mengingat akan bahayanya efek penekanan pada struktur-struktur
sekitar yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan resiko kematian apabila
trauma tersebut berkembang menjadi kanker.
Di Asia memiliki angka kematian trauma tertinggi di seluruh dunia, berdasarkan
World Health Organization (WHO) angka kematian pada tahun 2008 mencapai 90% dari
seluruh kematian di dunia disebabkan oleh trauma toraks. Trauma toraks semakin
meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Data yang akurat mengenai trauma toraks di Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian
Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai
trauma toraks.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara mengambil data
sekunder (rekam medik) pasien trauma tumpul toraks penetrans di IRDB RSU Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado periode Januari 2014 sampai Juni 2016 diperoleh jumlah pasien

43
sebanyak 35 pasien trauma tumpul toraks non penetrans dari total 120 pasien trauma
toraks.
Distribusi trauma tumpul toraks non penetrans berdasarkan tahun
Dari total 35 pasien trauma tumpul toraks di IRDB RSU Prof. DR. R. D. Kandou
Manado periode Januari 2014 sampai Juni 2016, didapatkan pada tahun 2014 sebanyak
13 orang (37,1 %), tahun 2015 sebanyak 9 orang (25,7 %), dan tahun 2016 sebanyak 13
orang (37,1 %).
Distribusi trauma tumpul toraks non penetrans berdasarkan kelompok usia
Berdasarkan usia dari total 35 pasien, didapatkan kelompok usia antara 0-10
tahun sebanyak 1 orang (2,8 %), antara 11- 20 tahun sebanyak 9 orang (25,7 %), antara
21-30 tahun sebanyak 10 orang (28,5 %), antara 31-40 tahun sebanyak 3 orang (8,5%),
antara 41-50 sebanyak 5 orang (14,2 %), dan 50 tahun ke atas sebanyak 7 orang (20 %).
Distribusi trauma tumpul toraks non penetrans berdasarkan gender
Dari total 35 pasien, terdapat sebanyak 30 orang laki-laki (86%) dan 5 orang
perempuan (14%).
Distribusi trauma tumpul toraks non penetrans berdasarkan penanganan yang diberikan
Berdasarkan penanganan yang diberi-kan di RSUP Prof DR. R. D. Kandou
Manado dari total 35 pasien didapatkan penanganan konservatif sebanyak 33 orang
(77,1%), dan penanganan operatif sebanyak 5 orang (22,8%).
Distribusi trauma tumpul toraks non penetrans berdasarkan hasil akhir yang didapat
Berdasarkan hasil akhir yang didapat di RSUP Prof DR. R. D. Kandou Manado
dari total 35 pasien ditemukan hasil akhir setelah perawatan, 4 pasien (11,4%) mengalami
fraktur iga, 2 pasien (5,7%) mengalami hemotoraks, dan 2 pasien (5,7%) meninggal,
sedangkan 27 pasien (77,1%) lainnya tidak mengalami komplikasi.
SIMPULAN
Data pasien trauma tumpul toraks non-penetrans di IRDB RSU Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Januari 2014 sampai Juni 2016 yang terbanyak pada tahun 2014
dan 2016 (37,1%) dan yang paling sedikit tahun 2015 (25,7%). Mayoritas pasien berusia
21-30 tahun, berjenis kelamin laki-laki dengan penyebab kecelakaan lalu lintas dan
diberikan penanganan konservatif. Hasil akhir perawatan terbanyak trauma tumpul toraks
non penetrans yang didapat di RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado yaitu tanpa
komplikasi.

44
4. Jurnal IV
Judul : POLA CEDERA TORAKS PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENYEBABKAN KEMATIAN DI BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RSUP PROF.
Dr. R.D. KANDOU
Analisis Jurnal :
Toraks adalah daerah pada tubuh manusia yang berada diantara leher dan perut
(abdomen). Toraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh
thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet, dengan batas luar adalah dinding toraks
yang disusun oleh tulang-tulang vertebra torakal, kosta, dan sternum, serta otot dan
jaringan ikat. Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan mediastinum. Mediastinum
dibagi menjadi 3 bagian: superior, anterior, dan posterior. Mediastinum terletak di antara
paru-paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-organ penting toraks selain
paru-paru, yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena kava, esofagus, trakea.
Cedera toraks adalah luka atau cedera akibat benda tajam atau tumpul yang
mengenai rongga toraks dan dapat menyebabkan kerusakan baik dinding toraks maupun
isi kavum toraks yang berlanjut sebagai keadaan gawat toraks akut.
Cedera toraks dapat meluas dari benjolan dan goresan yang relatif kecil menjadi
cedera yang dapat menghancur-kan jaringan dan organ di bawahnya atau terjadi trauma
penetrasi. Cedera dapat berupa penetrasi atau tanpa penetrasi (tumpul). Cedera tersebut
dapat menyebabkan kerusakan serius bagi paru-paru, kavum pleura dan struktur toraks
lainnya sehinggamembatasi kemampuan jantung untuk memompa darah atau
kemampuan paru untuk pertukaran udara dan oksigen darah.
PATOFISIOLOGI CEDERA TORAKS
Patofisiologi cedera toraks meliputi:
1. Perdarahan.
2. Kerusakan alveoli/jalan napas/ pleura sehingga udara keluar dari jalan napas.
3. Patah tulang iga: timbul rasa nyeri sehingga penderita tidak mau bernapas
(terjadi gangguan ventilasi) dan tidak mau batuk (sekret/dahak terkumpul/ tidak
bisa keluar). Selain itu dapat terjadi flail chest bila patah tulang iga jamak dan
segmental (lebih dari 1 tempat).
4. Kompresi pada toraks dapat mengaki-batkan terjadinya asfiksia traumatika.
5. Luka ”menghisap” pada dinding dada yang menyebabkan paru mengempis/
kolaps.

45
Mekanisme trauma toraks meliputi:
1. Akselerasi: Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab
trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan
(akselerasi) sesuai dengan hukum Newton II. Kerusakan yang terjadi juga
bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma
tersebut.
2. Deselerasi: Kerusakan terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.
Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma organ-organ dalam keadaan
masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding
toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ
tersebut.
3. Torsio dan rotasi: Gaya torsio dan rotasi yang terjadi umumnya diakibat-kan oleh
adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki
jaringan pengikat/terfiksasi.
4. Blast injury: Kerusakan jaringan terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan
penyebab trauma, sebagai contoh: ledakan kendaraan saat terjadi kecelakaan
lalu lintas (KLL). Gaya merusak di terima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi.
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
Data yang diperoleh di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof. Dr. Kandou
Manado memperlihatkan jumlah kasus dan kematian akibat KLL pada periode Januari
2013-Januari 2014 ialah 85 kasus. Persentase per bulan berkisar 2,35- 15,29% dengan
rerata per bulan 7,69%. Kasus terbanyak terjadi pada bulan Mei 2013 dan yang paling
sedikit pada bulan Desember 2013.
Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa pola luka yang paling sering terjadi ialah
luka terbuka khususnya luka lecet, luka memar dan patah tulang. Ketiga pola luka
tersebut dapat menyebabkan kematian pada korban KLL, yang juga dipengaruhi oleh
faktor pengemudi, lingkungan jalan, serta posisi saat terjadinya kecelakaan.
Korban meninggal akibat KLL terbanyak ialah laki-laki (Tabel 3). Hal ini mungkin
disebabkan karena populasi laki-laki yang mengendarai lebih besar dari perempuan.
Selain itu, laki-laki dewasa dituntut untuk bekerja keras mencari nafkah diluar tempat
tinggal sehingga laki-laki merupakan objek terbanyak dalam menggunakan jalan raya,
mengendarai kendaraan bermotor, serta khususnya dalam berlalu lintas. KLL juga dapat
terjadi karena dewasa ini banyak pengendara yang kurang berkonsentrasi, menggunakan

46
telepon genggam, atau dalam keadaan mabuk. Hal-hal tersebut di atas dapat mendukung
mengapa jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko yang cukup tinggi untuk terjadinya KLL
yang dapat menyebabkan kematian.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cedera toraks pada kecelaka-an lalu
lintas yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof. Dr.
Kandou Manado periode Januari 2013-Januari 2014 terbanyak ditemukan pada jenis
kelamin laki-laki, usia 17 hingga 25 tahun, dengan pola luka terbuka yaitu luka lecet dan
luka memar. Peran korban tersering sebagai pengemudi mobil atau pengendara sepeda
motor.
5. Jurnal V
Judul : GAMBARAN RADIOLOGIS PADA OCCULT PNEUMOTHORAKS
Analisis Jurnal:
Pneumothoraks adalah penyebab kematian terbanyak pada trauma dinding
dada. Pemeriksaan radiologi menjadi kunci utama untuk menegakkan adanya suatu
pneumothoraks. Occult pneumothoraks merupakan pneumothoraks yang tidak
terdiagnosis secara klinis maupun dengan x-ray thoraks, dapat ditoleransi dibandingkan
tindakan kegawat daruratan lainnya. Occult pneumothoraks dapat terdeteksi dengan
menggunakan CT (computed tomography). Occult pneumothoraks dapat berkembang
menjadi pneumothoraks tension dalam keadaan tertentu. Kelalaian dalam mendiagnosis
suatu occult pneumothoraks akan dapat menyebabkan kematian terhadap seseorang.
Trauma tumpul pada dada memberikan kontribusi sebesar 25% dari semua jenis
trauma yang menyebabkan kematian. Pemeriksaan radiologi bermanfaat untuk diagnosis
dan penanganan secara tepat adanya suatu trauma pada thoraks. Occult pneumothoraks
yang tidak dapat terdiagnosa dengan menggunakan x-ray thoraks dapat dideteksi dengan
menggunakan CT-Scan thoraks. Occult pneumothoraks lebih sering terdeteksi karena
peningkatan penggunaan CT-Scan dalam memeriksa pasien trauma.1-3 USG dan CT-
Scan dapat mendeteksi kelainan kecil yang tidak dapat ditemukan pada x-ray thoraks.
DEFINISI
Occult pneumothoraks adalah suatu pneumothoraks yang tidak ditemukan
secara klinis ataupun tidak ditemukan pada x-ray polos, akan tetapi dapat diidentifikasi
pada pemeriksaan CT-Scan.4 Awalnya occult pneumothoraks ditemukan pada
pemeriksaan CT-Scan abdominal dan sebelumnya tidak tampak pada pemeriksaan x-ray
thoraks posisi antero-posterior. Meskipun x-ray posisi tegak lebih baik dibandingkan posisi
antero-posterior untuk mendeteksi adanya pneumothoraks (sensitivitas 92% dan 50%),

47
hal tersebut tidak mungkin dilakukan pada pasien dengan cedera tumpul ataupun luka
tembus.
Pemeriksaan x-ray thoraks dilakukan terlebih dahulu sebelum tes definitif (USG
dan CT-Scan thoraks), oleh karena itu diagnosis pneumothoraks harus ditegakkan secara
klinis. Dengan meningkatnya penggunaan CT-Scan dan USG sebagai tes skrining awal
pada trauma dada dan abdomen, occult pneumothoraks lebih sering ditemukan.
INSIDEN
Insiden occult pneumothoraks tetap konstan selama 5 tahun terakhir. Dilaporkan
kejadian occult pneumothoraks bervariasi antara 3,7% pada anak-anak yang terluka di
UGD hingga 64% pada pasien multi trauma yang diintubasi, dengan insiden rata-rata 5%
pada semua pasien trauma. Insiden occult pneumothoraks pada pasien trauma tumpul
berkisar 2%-15% tergantung pada apakah semua pasien terdaftar, atau hanya pasien
yang melakukan CT-Scan. Angka tersebut dapat meningkat secara signifikan ketika
interpretasi dilakukan oleh ahli radiologi.
Data tersebut memperlihatkan ketidakmampuan x-ray thoraks posisi antero-
posterior dibandingkan dengan CT dada dalam mendeteksi adanya suatu pneumothoraks.
Insiden tergantung pada tipe trauma, apakah tumpul atau tembus. Dalam sebuah
penelitian retrospektif pasien yang mengalami trauma tumpul sebanyak 307 orang dan 68
merupakan occult (22%). Frekuensi occult pneumothoraks pada pasien dengan luka
tembus mencapai 17%. Hal ini dijelaskan pada penelitian tingkat-III dari 5552 pasien di
Rumah Sakit Grady Memorial.
Selain itu, dilaporkan proporsi occult pneumothoraks dibandingkan dengan yang
biasanya ada pada x-ray thoraks antero-posterior sangat bervariasi dan berkisar antara
29-72%. Variabilitas ini didapat dalam beberapa penelitian dimana tidak selalu ahli
radiologi berpengalaman dan bersertifikat bertanggung jawab dalam menegakkan
diagnosis yang merupakan cara tepat untuk mengidentifikasi kejadian sebenarnya.
ULTRASONOGRAFI THORAKS UNTUK DETEKSI DINI
Pemeriksaaan ultrasonografi, merupakan bagian dari pemeriksaan extended
focused assessment with sonography for trauma (eFAST) untuk pasien trauma.
Ultrasonografi paru telah muncul dalam dekade terakhir sebagai teknik baru dan sensitif
dalam evaluasi penyakit pernapasan. Dengan sensitivitas untuk mendeteksi
pneumothoraks berkisar 92% sampai 100% pada pasien dengan trauma tumpul.
Keuntungan lainnya termasuk fakta bahwa ultrasonografi paru-paru mudah dan cepat
dilakukan di samping tempat tidur oleh seorang sonographers. Untuk itu evaluasi
menggunakan ultrasound thoraks harus dilakukan selama pemeriksaan primer sebagai

48
bagian dari pemeriksaan eFAST untuk pasien trauma. Hal ini dapat mengidentifikasi
jumlah pasti dari radio-occult pneumothoraks dan menjalani pemeriksaan dengan bantuan
sonar tanpa membiarkan pasien yang belum stabil mendapatkan pelayanan transportasi
yang buruk dan terkena paparan radiasi.
PENATALAKSANAAN
Pedoman penanganan pneumothoraks biasanya dapat diobati dengan
pengamatan jika pasien asimtomatik dan pneumothoraks yang kecil (<3cm dari apex
paru-paru menuju ke cupola ipsilateral thoraks).
Occult pneumothoraks yang tidak terlihat pada x-ray thoraks, harus diobservasi
jika pasien stabil dan diberikan ventilasi bertekanan positif. Pada pasien dengan occult
pneumothoraks sistem penilaian atau scoring tidak akurat dalam memprediksi mana
pasien yang membutuhkan thorakostomi untuk pemasangan chest tube dan peningkatan
kebocoran udara pada paru yang terus-menerus pada hari ke-3 setelah trauma harus
dilakukan evaluasi Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dan pikirkan
pemasangan chest tube.
Pneumothorak dapat berubah secara progresif menjadi pneumothorak tension
dan dilakukannya pencegahan berupa pemasangan chest tube pada pasien-pasien occult
pneumothoraks dan ventilasi bertekanan positif dirasa penting. Dan bila ukuran awal dari
occult pneumothorak tidak dapat diprediksi serta dapat berkembang secara progresif
menjadi pneumothoraks tension, maka hal itu tidak bisa digunakan sebagai penuntun
untuk pemasangan chest tube.

49
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang
mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun oleh sebab
trauma tajam.
Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada bagian
bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada
bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan mediastinum. Mediastinum
adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru - paru. Di dalam rongga toraks
terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah.
Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung,
pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt, 2013).
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan
trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering adalah
kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Klasifikasinya terdiri dari
trauma tumpul dan trauma tembus.
Pemeriksaan penunjang dengan : Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan
lateral), Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun, Torasentesis : menyatakan
darah/cairan serosanguinosa, Hemoglobin : mungkin menurun, Pa Co2 kadang-kadang
menurun, Pa O2 normal / menurun, Saturasi O2 menurun (biasanya), Toraksentesis :
menyatakan darah/cairan.
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien
trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of cervical spine, B:
Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability assessment, dan E: Exposure
without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al., 2015).
Adapun tanda dan gejala pada pasien trauma thorax menurut Hudak, (2009) yaitu :
1) Temponade jantung
2) Hematothorax
3) Pneumothoraks
Diagnosa keperawatan yang terjadi pada trauma thorax:
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidakmaksimal
karena akumulasi cairan/udara

50
2) ketidakefektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
3) Nyeri akut berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal
4) Kerusakan integritas kulit berhubngan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage
5) Resiko infeksi berhubungan tempat masuknya infeksi sekunder terhadap trauma
4.2 Saran
Dalam melakukan asuhan keperawatan khususnya dengan gangguan sistem pernafasan
trauma toraks hendaknya mengetahui terlebih dahulu gambaran keadaan pasien dan rencana
asuhan keperawatan yang tepat untuk penanganan yang lebih.

51
DAFTAR PUSTAKA

 Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.


 Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah. Jakarta :
Pusdiknakes.
 Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan.
Jakarta : EGC.
 Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
 Nugroho, T. Putri, B.T, & Kirana, D.P. (2015). Teori asuhan keperawatana gawat darurat.
Padang : Medical book
 Nurarif, A.H, dan Kusuma, H. (2015). APLIKASI Asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis & NANDA NIC-NOC , jilid 1. jogjakarta : penerbit buka Mediaction.
 Patriani. (2012). Asuhan Keperawatan pada pasien trauma dada. http://asuhan-
keperawatan-patriani.pdf.com/2008/07/askep-trauma-dada.html. Diakses pada tanggal 15
Desember 2019
 Rendy , M.C, & Th, M. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah penyakit dalam .
yogjakarta : Nuha medika
 Trauma Thoraks dalam
http://nurse87.wordpress.com/2009/04/28/asuhan-keperawatan-trauma-dada/ diakses
tanggan 15 Desember 2019
 Kegawatdaruratan Trauma Dada dalam
http://ruslanpinrang.blogspot.com/2008/03/trauma-thorax-trauma-dada-bagian-i.html
diakses tanggal 15 Desember 2019
 Brunner & Suddarth .2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Edisi 8 Volume
3.Jakarta : EGC.
 Smeltzer, Suzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 1. EGC. Jakarta .

52
LAMPIRAN

53

Anda mungkin juga menyukai