TINJAUAN PUSTAKA
A. Thalasemia
1. Definisi Thalasemia
a. Thalasemia α
3. Penanganan
a. Transfusi Darah
B. Pemeriksaan Pratransfusi
Uji cocok serasi atau yang lebih sering disebut crossmacthing memiliki
beberapa sinonim antara lain uji silang serasi atau uji kompatibilitas.
Crossmacthing dilambangkan dengan XM. Istilah uji kompatibilitas sebenarnya
kurang tepat apabila disamakan dengan crossmacthing. Crossmacthing dan
uji kompatibilitas memang identik, tetapi memiliki pengertian yang berbeda.
Crossmacthing adalah suatu prosedur untuk mereaksisilangkan komponen
darah donor dan pasien. Uji kompatibilitas adalah semua tahapan yang harus
dilakukan sehingga diperoleh darah donor yang benar-benar tepat untuk
pasien. Uji kompatibilitas meliputi: identifikasi pasien dengan akurat,
pengambilan sampel darah pasien diikuti dengan pelabelan dan penanganan
sampel yang benar, mereview riwayat pemberian transfusi sebelumnya,
melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rhesus, melakukan
skrining dan identifikasi antibodi, melakukan crossmatching, mengecek
ketepatan dan kelayakan distribusi produk darah, melakukan reindentifikasi
pasien sebelum transfusi, dan memonitoring pasien sebelum, selama dan
setelah pemberian transfusi (Blaney and Howard, 2013). Dari pengertian
tersebut dapat dilihat bahwa uji kompatibilitas memiliki cakupan yang jauh
lebih luas dan crossmatching merupakan bagian dari uji kompatibilitas
(Makroo, 2009).
Berdasarkan standar dari American Association of Blood Bank (AABB),
crossmatching didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang menggunakan
metode yang mampu menunjukkan inkompatibilitas sistem ABO dan adanya
antibodi signifikan terhadap antigen eritrosit dan juga menyertakan
pemeriksaan antiglobulin. Kecuali tidak tersedia fasilitas, jika tidak ada antibodi
yang signifikan pada sampel pasien yang baru atau riwayat pemeriksaan
sebelumnya, immediate spin crossmatch dapat digunakan untuk mendeteksi
inkompatibilitas ABO (Blaney and Howard, 2013).
Tujuan utama crossmatching adalah untuk mencegah terjadinya reaksi
transfusi baik reaksi transfusi yang bersifat mengancam nyawa maupun reaksi
transfusi ringan atau sedang yang dapat mengganggu kenyamanan pasien.
Tujuan yang tidak kalah penting lainnya adalah memaksimalkan masa hidup in
vivo sel-sel darah yang ditransfusikan (Blaney and Howard, 2013).
Crossmatching dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak ada antibodi di
dalam serum pasien yang akan bereaksi dengan sel darah donor jika transfusi
dilakukan. Dua fungsi utama crossmatching yaitu:
a. Untuk Pengecekkan terakhir bahwa golongan darah ABO antara donor dan
pasien sudah sesuai,
b. Untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dalam serum pasien yang akan
bereaksi dengan antigen pada sel darah merah donor terutama pada kondisi
antibodi tidak terdeteksi dengan skrining antibodi karena tidak adanya
antigen yang sesuai pada panel sel skrining (Makroo, 2009).
Berdasarkan jenis komponen darah pasien dan donor yang direaksikan,
crossmatching memiliki dua tujuan, yaitu:
a. Mendeteksi Adanya antibodi dalam serum pasien (termasuk anti-A & anti-B)
yang dapat menghancurkan eritrosit yg ditransfusikan,
b. Mendeteksi antibodi dalam serum donor yang akan masuk ke dalam tubuh
pasien.
Kedua tujuan di atas berkaitan dengan jenis crossmatch mayor dan minor
(Blaney and Howard, 2013).
a. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dari pemeriksaan immediate-spin crossmatch adalah reaksi
antara antigen dan antibodi yang sesuai menghasilkan aglutinasi.
b. Metode Pemeriksaan
Immediate-spine crossmatch umumnya dilakukan dengan metode
tube test.
1. Siapkan tiga buah tabung gelas yang bersih dan kering, masing-
masing tabung berisi komponen berikut:
• tabung I (crossmatch mayor): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel donor 2-5%,
• tabung II(crossmatch minor): 2 tetes plasma donor + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%,
• tabung III (autokontrol): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%
2. Campur masing-masing tabung dan inkubasi selama 45-60
menit.
3. Lakukan sentrifugasi selama satu menit pada kecepatan 1000
rpm.
a. Prinsip pemeriksaan
c. Prosedur pemeriksaan
1. Siapkan 2 buah tabung ukuran 12x75 mm dan berikan label.
2. Tabung pertama diisi 5 µL sel darah merah donor dan ditambahkan
500 µL LISS.
3. Tabung kedua 5 µL sel darah merah pasien dan tambahkan 500 µL
LISS.
4. Beri label pada plastic card (identitas pasien dan nomor donor) serta
berikan tanda pada microtube mana reaksi mayor, minor dan
autokontrol.
5. Suspensi sel dari tabung 1 diambil 50 µL kemudian dimasukkan ke
dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (mayor).
6. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan ke
dalam microtube dan tambahkan plasma donor sebanyak 25 µL
(minor).
7. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan ke
dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (autokontrol).
Ada dua jenis Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test (DAT) atau
Direct Coomb’s test (DCT) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect
Coomb’s test (ICT).
DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500 per
eritrosit dan 400-1.100 molekul C3d per eritrosit. Jumlah molekul IgG yang
mensensitisasi eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Rasio serum dan sel
Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan sensitivitas
pemeriksaan. Umumnya, rasio minimum adalah 40:1 yang bisa didapat
dengan menambahkan 2 tetes serum dan 1 tetes suspensi sel eritrosit
5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi dalam salin, maka dapat
meningkatkan rasio serum dan sel yang memiliki kemampuan
mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes serum dengan 1 tetes suspensi
sel 3% akan memberikan rasio 133:1) (Green and Klostermann, 2012).
2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain albumin, LISS
dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan Macllroy melaporkan
peningkatan sensitivittas ICT jika albumin digunakan sebagai medium
reaksi. Campuran reaksi yang terdiri atas 2 tetes serum, 2 tetes bovin
albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5% menunjukkan sensitivitas
yang sama pada inkubasi 30 menit dibandingkan inkubasi 60 menit pada
medium salin. Namun, salah satu kelemahan albumin yang dilaporkan
oleh Pezt dan Coworkers adalah tidak mampu mendeteksi beberapa
jenis antibodi yang bermakna secara klinis sehingga albumin jarang
digunakan sebagai media ICT secara rutin (Green and Klostermann,
2012).
Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan oleh Low
dan Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi dan
memperpendek waktu inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15 menit.
Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison yang
menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari penggunaan 2
tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium LISS (Green and
Klostermann, 2012).
Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan digunakan
sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi. Mekanisme
kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang mengelilingi eritrosit
(the water of hydration theory) sehingga efektif untuk meningkatkan
konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah membandingkan
penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi dalam pemeriksaan
antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa PEG dapat
meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna secara klinis dan
menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna secara klinik (Green
and Klostermann, 2012).
3. Temperatur
Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal pada
suhu 37 oC (Green and Klostermann, 2012).
4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi
mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara klinis
akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS atau PEG,
waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit. Dengan waktu
yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan inkubasi pada suhu
30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS diperpanjang (misal 40
menit) maka antibodi akan terelusi dari eritrosit dan sensitivitas akan
menurun (Green and Klostermann, 2012).
5. Pencucian eritrosit
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci dengan
salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen AHG.
Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak berikatan.
Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil negatif palsu
karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin serum yang tidak
berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian pada pemeriksaan
DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting. Proses pencucian
sebaiknya segera dilakukan setelah proses inkubasi. Semua sisa salin
setelah pencucian terakhir harus dihilangkan karena dapat
mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan sensitivitas
pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).
6. Salin untuk pencucian
Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar dan
mempunyai pH 7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam wadah
plastik menunjukkan penurunan pH sehingga meningkatkan kecepatan
elusi antibodi selama proses pencucian dan memberikan efek hasil
negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga pernah
dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam memberikan hasil positif
palsu (Green and Klostermann, 2012).
7. Penambahan AHG
Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses pencucian
untuk mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada netralisasis
reagen AHG. Jumlah AHG yang ditambahkan disesuaikan dengan
ketentuan perusahaan reagen (Green and Klostermann, 2012).
8. Sentrifugasi untuk pembacaan
Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi
merupakan langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi yang
direkomendasikan adalah 1000 Relative Centrifugal Forces (RCFs)
selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang tidak standar dapat
memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi inadekuat dan
dapat memberikan hasil negatif palsu karena resuspensi terlalu kuat
(Green and Klostermann, 2012).
1. Compatibility testing,
Thalasemia
Kompatibel Inkompatibel
DCT
Gambaran hasil
pemeriksaan DCT
berdasarkan presentasinya
E. Pertanyaan Penelitian