Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Thalasemia

1. Definisi Thalasemia

Thalasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan gangguan


sintesis rantai globin, komponen utama molekul hemoglobin (Hb). Kerusakan
sel darah merah pada penderita thalasemia disebabkan oleh gangguan
struktural pembentukan hemoglobin dan gangguan jumlah rantai globin
sehingga umur eritrosit lebih pendek dari sel darah merah normal.
(Shivashankara et al., 2008).

Gangguan sintesis Hb disebabkan oleh mutasi atau delesi pada gen-gen


yang mensintesis rantai-rantai globin penyusun Hb. Jika kelainan tersebut
terjadi pada gen globin α maka disebut dengan thalasemia α, sedangkan jika
mutasi tersebut terjadi pada gen globin β, maka disebut thalasemia β. Semakin
banyak jenis mutasi yang terjadi mengakibatkan gen hilang atau mengalami
gangguan, maka semakin besar kelainan yang ditimbulkan. Kelainan ini
bersifat autosom resesif sehingga jika hanya salah satu gen yang terkena
(heterozigot), biasanya tidak menunjukkan gejala klinis. Hb varian merupakan
hemoglobinopati yang ditandai oleh adanya kelainan struktur Hb yang
disebabkan oleh mutasi yang menimbulkan substitusi asam amino. HbE
merupakan jenis thalasemia dan Hb varian yang paling banyak ditemukan di
Indonesia, disebabkan oleh adanya mutasi di kodon 26 gen globin beta dari
glutamin menjadi lisin (Lanni et al., 2008).

Berdasarkan genotipnya, thalasemia α diklasifikasikan menjadi thalasemia


α+ yaitu hilangnya satu gen globin α (-α) dan thalasemia α0 yaitu hilangnya
dua gen globin α (- -) pada satu kromosom. Thalasemia β diklasifikasikan
berdasarkan jenis mutasi pada gen globin β yang dapat menyebabkan
berkurangnya (β+) atau tidak disintesisnya (β0) rantai globin β (Thein, 2005).
Seperti diketahui, molekul Hb berfungsi untuk membawa dan menyebarkan
oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Adanya gangguan pada sintesis Hb yang
ditandai dengan ketidakseimbangan rantai globin seperti thalasemia
menyebabkan produksi tidak efektif dan penghancuran sel darah merah yang
dini. Kondisi tersebut mengakibatkan penurunan konsentrasi Hb sehingga
terjadi anemia, yang akan mengganggu pengiriman oksigen ke jaringan tubuh
(Thein, 2005).

Berdasarkan berat ringannya klinis, thalasemia dapat dibedakan mulai dari


tanpa gejala klinis pada pembawa sifat (thalasemia minor), gejala anemia
ringan sampai sedang (thalasemia intermedia), dan gejala anemia berat
sehingga bergantung pada transfusi (transfusion dependent thalassemia)
bahkan dapat menyebabkan kematian pada janin atau bayi baru lahir (hydrops
foetalis), pada thalasemia mayor. Derajat berat manifestasi klinis yang timbul
tergantung dari jenis mutasi pada gen globin dan genotipnya (Bell dan Sallah,
2005).

Penyakit thalasemia terdistribusi secara luas di seluruh dunia, tapi lebih


banyak terjadi pada populasi Mediterania, Timur tengah, dan Asia Tenggara.
Hal ini berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan tubuh individu
terhadap parasit Plasmodium falciparum yang menyebabkan penyakit malaria
yang endemis pada wilayah tertentu. Wilayah Asia, termasuk Indonesia
merupakan negara yang mempunyai penderita thalasemia cukup banyak,
dimana 50% dari total populasi karier thalasemia di dunia, berada di Asia,
sedangkan 10-13% lainnya berada di wilayah Eropa dan Amerika. Untuk
wilayah Indonesia, pembawa sifat thalasemia-β adalah 3-5%, bahkan di
beberapa daerah mencapai 10%. Frekuensi thalasemia-α0 sekitar 2.6-3.2%
dan frekuensi thalasemia-α+ sekitar 11% (Dacie dan Lewis, 1991).
Berdasarkan mutasi atau delesi pada gen-gen yang mensintesis rantai-rantai
globin penyusun Hb, thalasemia dibagi menjadi thalasemia α dan thalasemia β.
2. Klasifikasi Thalasemia

a. Thalasemia α

Thalasemia α disebabkan oleh berkurang atau tidak disintesisnya


rantai globin α. Berkurangnya produksi biasanya disebabkan oleh tidak
adanya gen globin α. Rantai globin α dikode oleh dua gen globin α yang
berada di kromosom 16 (Gambar 1). Tiap individu normal mempunyai empat
gen globin α, yaitu dua set pada masing-masing kromosom 16 (αα/αα)
(Muncie dan Campbell, 2009).

Gambar 1. Gen Globin Alpha (Manning et al., 2007)

Pada Gambar 1 terlihat bahwa gugus gen globin α di kromosom 16


terdiri atas satu gen globin embrionik dan dua gen globin α (α1 dan α2).
Masing-masing gen diekspresikan sesuai dengan masa perkembangan
individu (Manning et al., 2007).

Thalasemia α diklasifikasikan berdasarkan genotipnya menjadi


thalasemia α+ yaitu hilangnya satu gen globin α (-α) dan thalasemia α0 yaitu
hilangnya dua gen globin α (- -). Menurut Muncie dan Campbell (2009),
berdasarkan fenotip dan gejala klinis yang timbul, thalasemia α dibedakan
menjadi empat, yaitu:
1. Pembawa sifat thalasemia α ringan atau silent carrier (thalasemia
heterozigot α+, -α/αα) yang tidak menampakkan gejala klinis dengan
gambaran sel darah merah normositik normokrom sampai mikrositik
hipokrom yang ringan.

2. Pembawa sifat thalasemia α minor, yaitu thalasemia heterozigot α0 (--


/αα), atau thalasemia homozigot α+ (-α/-α) mempunyai gejala anemia
ringan dengan gambaran sel darah merah mikrositik hipokrom.

3. HbH thalasemia, yaitu heterozigot ganda talasemia α0 dan α+ (--/-α)


dengan tiga gen α yang tidak aktif, mempunyai gejala anemia hemolitik
sedang, gambaran sel darah merah mikrositik hipokrom dan dapat
disertai pembesaran limpa yang dapat diperburuk dengan infeksi virus.
HbH mempunyai sifat tidak stabil dan mudah teroksidasi dan membentuk
endapan di dalam sel darah merah yang disebut dengan badan inklusi.
Endapan tersebut dapat dideteksi dengan pewarnaan Methylen Blue atau
Cresyl Blue.
4. Hb Bart’s hydrops foetalis, talasemia homozigot α0 (--/--), tidak adanya
keempat gen α, dengan gejala anemia hemolitik sejak di dalam
kandungan karena tidak disintesisnya rantai globin α. Sebagai
mekanisme kompensasi, kemudian disintesis lebih banyak jenis Hb Bart’s
(γ2). Hb Bart’s mempunyai kemampuan mengikat oksigen yang sangat
tinggi tetapi tidak disertai dengan kemampuan untuk melepaskan oksigen
ke tiap jaringan tubuh sehingga jaringan tubuh mudah kekurangan
oksigen (hipoksia). Kasus ini lebih banyak berujung pada kematian janin.

Rantai globin α merupakan komponen utama pada Hb janin (α2γ2)


dan dewasa (α2β2), sehingga thalasemia α akan berakibat pada
berlebihnya rantai globin γ dan rantai β yang akan terakumulasi di dalam
eritroblast dan membentuk Hb Bart (γ4) dan HbH (β4). Jenis Hb tersebut
tidak mampu mengantar oksigen ke jaringan tubuh, mempunyai sifat tidak
stabil dan dapat mengendap di dalam eritroblast dan sel darah merah
sehingga sel darah merah mudah dilisiskan (Muncie dan Campbell, 2009).
b. Thalasemia β

Thalasemia β disebabkan oleh berkurang atau tidak disintesisnya


rantai globin β karena adanya mutasi pada gen globin β. Rantai globin β
dikode oleh gen globin β pada kromosom 11, dan setiap individu normal
mempunyai dua gen globin β (Gambar 2).

Jenis mutasi pada gen globin β dapat menyebabkan berkurangnya


(β+) atau tidak disintesinya (β0) rantai globin β (Bakry et al., 2011)
Berdasarkan fenotip, thalasemia β dibagi menjadi empat yaitu :
1. Silent carrier (heterozigot), disebabkan oleh adanya mutasi pada gen
globin β, sehingga terjadi ketidakseimbangan sintesis rantai globin.
Individu dengan kelainan ini tidak menimbulkan gejala klinis.

2. Pembawa sifat thalasemia, thalasemia minor (talasemia β heterozigot),


tanpa gejala klinis sampai dengan gejala anemia ringan dan gambaran
sel darah merah mikrositik hipokrom. Konsentrasi HbA2 meningkat.

3. Thalasemia intermedia, biasanya disebabkan oleh mutasi homozigot atau


heterozigot ganda dan memerlukan penanganan medis. Mutasi pada dua
gen globin β menyebabkan penurunan rantai globin β yang sedang
sehingga mempunyai gejala anemia sedang dengan komplikasi
deformitas tulang sebagai hasil dari eritropoiesis yang berlebihan.
4. Thalasemia β mayor dengan jumlah sintesis rantai globin β yang sangat
menurun, sehingga rantai globin α yang tidak berpasangan akan
membentuk agregat yang kemudian akan membentuk badan inklusi yang
merusak membran sel darah merah sehingga terjadi penghancuran dini.
Individu dengan thalasemia β mayor hampir tidak menunjukkan gejala
klinis pada saat kelahiran, akan tetapi seiring dengan sintesis rantai
globin β yang meningkat sekitar usia 6 bulan, setelah itu gejala klinis baru
timbul yaitu anemia berat sehingga membutuhkan transfusi darah seumur
hidup. Jika penderita anak tidak mendapatkan terapi transfusi yang baik,
maka anak tersebut dapat meninggal pada usia 10 tahun.

3. Penanganan

Pengobatan thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan


dari hangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta
thalasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan
sedikit atau tanpa pengobatan. Terdepat tiga standar perawatan umum untuk
thalasemia tingkat menengah atau berat, yaoutu transfuse darah, terapi besi,
dan chelation, serta mengunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat
perawatan lainnya adalah dengan transplatasi sumsum tulang belakang.
Pendonoran darah tali pusat, dan HLA (Childres’s Hospital & Research Center
Oakland, 2005).

a. Transfusi Darah

Transfusi darah yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah.


Terapi ini merupakan terapi utama bagi orang-orang yang menderita
thalasemia sedang atau berat. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh
darah vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal.
Untuk mempertahankan keadaan tersebut, ransfusi darah harus dilakukan
secara rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati
(Childres’s Hospital & Research Center Oakland, 2005).
Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan
reaksu pada pasien maka sebelum pemberian transfuse kepada pasien,
perlu dilakukan pemeriksaan pratransfusi yang dilakukan sebelum
ditransfusikan pada pasien (Makroo, 2009)

B. Pemeriksaan Pratransfusi

1. Uji Silang Serasi (Crossmatch)

Uji cocok serasi atau yang lebih sering disebut crossmacthing memiliki
beberapa sinonim antara lain uji silang serasi atau uji kompatibilitas.
Crossmacthing dilambangkan dengan XM. Istilah uji kompatibilitas sebenarnya
kurang tepat apabila disamakan dengan crossmacthing. Crossmacthing dan
uji kompatibilitas memang identik, tetapi memiliki pengertian yang berbeda.
Crossmacthing adalah suatu prosedur untuk mereaksisilangkan komponen
darah donor dan pasien. Uji kompatibilitas adalah semua tahapan yang harus
dilakukan sehingga diperoleh darah donor yang benar-benar tepat untuk
pasien. Uji kompatibilitas meliputi: identifikasi pasien dengan akurat,
pengambilan sampel darah pasien diikuti dengan pelabelan dan penanganan
sampel yang benar, mereview riwayat pemberian transfusi sebelumnya,
melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rhesus, melakukan
skrining dan identifikasi antibodi, melakukan crossmatching, mengecek
ketepatan dan kelayakan distribusi produk darah, melakukan reindentifikasi
pasien sebelum transfusi, dan memonitoring pasien sebelum, selama dan
setelah pemberian transfusi (Blaney and Howard, 2013). Dari pengertian
tersebut dapat dilihat bahwa uji kompatibilitas memiliki cakupan yang jauh
lebih luas dan crossmatching merupakan bagian dari uji kompatibilitas
(Makroo, 2009).
Berdasarkan standar dari American Association of Blood Bank (AABB),
crossmatching didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang menggunakan
metode yang mampu menunjukkan inkompatibilitas sistem ABO dan adanya
antibodi signifikan terhadap antigen eritrosit dan juga menyertakan
pemeriksaan antiglobulin. Kecuali tidak tersedia fasilitas, jika tidak ada antibodi
yang signifikan pada sampel pasien yang baru atau riwayat pemeriksaan
sebelumnya, immediate spin crossmatch dapat digunakan untuk mendeteksi
inkompatibilitas ABO (Blaney and Howard, 2013).
Tujuan utama crossmatching adalah untuk mencegah terjadinya reaksi
transfusi baik reaksi transfusi yang bersifat mengancam nyawa maupun reaksi
transfusi ringan atau sedang yang dapat mengganggu kenyamanan pasien.
Tujuan yang tidak kalah penting lainnya adalah memaksimalkan masa hidup in
vivo sel-sel darah yang ditransfusikan (Blaney and Howard, 2013).
Crossmatching dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak ada antibodi di
dalam serum pasien yang akan bereaksi dengan sel darah donor jika transfusi
dilakukan. Dua fungsi utama crossmatching yaitu:
a. Untuk Pengecekkan terakhir bahwa golongan darah ABO antara donor dan
pasien sudah sesuai,
b. Untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dalam serum pasien yang akan
bereaksi dengan antigen pada sel darah merah donor terutama pada kondisi
antibodi tidak terdeteksi dengan skrining antibodi karena tidak adanya
antigen yang sesuai pada panel sel skrining (Makroo, 2009).
Berdasarkan jenis komponen darah pasien dan donor yang direaksikan,
crossmatching memiliki dua tujuan, yaitu:
a. Mendeteksi Adanya antibodi dalam serum pasien (termasuk anti-A & anti-B)
yang dapat menghancurkan eritrosit yg ditransfusikan,
b. Mendeteksi antibodi dalam serum donor yang akan masuk ke dalam tubuh
pasien.
Kedua tujuan di atas berkaitan dengan jenis crossmatch mayor dan minor
(Blaney and Howard, 2013).

a. Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching)

Crossmatching dapat dilakukan secara serologik dan elektronik atau


komputerisasi. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, jenis
pemeriksaan crossmatch baru bisa dilakukan secara serologik Serologic
crossmatch dibedakan menjadi immediate-spin crossmatch dan antiglobulin
crossmatch. Antiglobulin crossmatch dapat dilakukan dengan cara tube test
maupun column agglutination. Berikut akan dibahas satu persatu jenis
pemeriksaan crossmatch.

1. Immediate-Spin (IS) Crossmatch

Immediate-spin crossmatch sangat baik untuk mengeksklusi adanya


kesalahan golongan darah ABO, tetapi kurang adekuat untuk
mendeteksi jenis IgG antibodi yang bermakna secara klinis. Immediate-
spin crossmatch juga kurang baik khususnya bila skrining antibodi tidak
dilakukan sebelumnya (Makroo, 2009).

a. Prinsip pemeriksaan
Prinsip dari pemeriksaan immediate-spin crossmatch adalah reaksi
antara antigen dan antibodi yang sesuai menghasilkan aglutinasi.

b. Metode Pemeriksaan
Immediate-spine crossmatch umumnya dilakukan dengan metode
tube test.

c. Alat dan Bahan


Peralatan yang dibutuhkan antara lain: tabung reaksi, sentrifus, dan
pipet tetes. Bahan yang dibutuhkan adalah sel darah merah donor,
serum atau plasma pasien. Sampel donor diambil langsung dari
kantong darah atau salah satu segmen dari selang yang terhubung
dengan kantong darah. Nomor kantong darah harus selalu dicatat
untuk melakukan identifikasi dengan benar (Mehdi, 2013).
d. Prosedur pemeriksaan

Ada pun tahapan pemeriksaan immediate-spine crossmatch adalah


sebagai berikut:
1. Siapkan suspensi sel darah merah donor 2-5% yang disuspensi
dalam larutan normal salin atau Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
(EDTA) salin. Beberapa ahli serologi menggunakan sampel serum
yang direaksikan dengan sel darah merah donor yang disuspensi
dalam larutan EDTA salin karena titer anti-A atau anti-B yang
tinggi dapat menginisiasi pelapisan komplemen sehingga
menghalangi aglutinasi. Penggunaan sampel pasien yang
ditampung dalam tabung EDTA dapat digunakan sebagai alternatif
untuk mencegah fenomena tersebut,
2. label tabung untuk masing-masing suspensi sel darah merah donor
yang akan dites dengan serum pasien,
3. tambahkan 2 tetes serum atau plasma pasien ke dalam masing-
masing tabung,
4. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah donor pada tabung
sesuai dengan label,
5. campur isi tabung dan lakukan sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 1 menit,
6. baca ada tidakya hemolisis, resuspensi endapan eritrosit pada
bagian bawah tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi, lakukan
interpretasi dan catat hasil pemeriksaan (Levitt, 2014; Downes,
2014)

e. Interpretasi Hasil Immediate-Spine Crossmatch


Adanya aglutinasi atau hemolisis mengindikasikan hasil positif
(inkompatibel). Hasil negatif ditunjukkan oleh suspensi halus sel-sel
eritrosit setelah dilakukan resuspensi eritrosit yang mengendap pada
bagian bawah tabung atau tidak adanya aglutinasi atau hemolisis.
Hasil yang negatif juga disebut kompatibel (Levitt, 2014; Downes,
2014).
2. Crossmacthing dengan Tube Test
Crossmacthing dengan tes tabung dapat dikerjakan untuk crossmatch
mayor maupun crossmatch minor. Crossmatch mayor adalah reaksi
antara sel darah merah donor dengan serum atau plasma pasien,
sedangkan crossmatch minor adalah reaksi antara sel darah merah
pasien dengan plasma donor. Di Negara-negara yang sudah maju,
crossmatch minor sudah tidak dikerjakan lagi karena sampel darah donor
sudah dilakukan skrining antibodi sebelumnya untuk mendeteksi adanya
antibodi ireguler (Makroo, 2009). Di Indonesia, crossmatch minor masih
dikerjakan secara rutin hampir disemua unit Bank Darah Rumah Sakit
(BDRS) atau Unit Transfusi Darah (UTD).
a. Prosedur pemeriksaan crossmatch mayor dan minor

Pada setiap pemeriksaan crossmatch mayor dan minor selalu


sertakan autokontrol. Pemeriksaan tersebut terdiri dari 3 fase, yaitu:

Fase I. Medium salin (salin room temperature technique)

1. Siapkan tiga buah tabung gelas yang bersih dan kering, masing-
masing tabung berisi komponen berikut:
• tabung I (crossmatch mayor): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel donor 2-5%,
• tabung II(crossmatch minor): 2 tetes plasma donor + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%,
• tabung III (autokontrol): 2 tetes serum pasien + 1 tetes
suspensi sel pasien 2-5%
2. Campur masing-masing tabung dan inkubasi selama 45-60
menit.
3. Lakukan sentrifugasi selama satu menit pada kecepatan 1000
rpm.

4. Amati adanya aglutinasi atau hemolisis pada tabung.


5. Jika terjadi hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah satu
tabung pada tahap ini, maka hasil croosmatch dinyatakan tidak
cocok atau incompatible dan fase berikutnya tidak perlu dilanjutkan.
Bila reaksi negatif atau kompatibel, lanjutkan ke fase II (Mehdi,
2013).
Fase II. Fase albumin
1. Tambahkan 2 tetes bovin albumin 22% ke dalam semua tabung
pada fase I yang memberikan hasil negatif.
2. Inkubasi semua tabung pada suhu 37 oC selama 30 menit.
3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit.
4. Baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi (Mehdi, 2013).
Hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah satu tabung
menandakan hasil positif atau inkompatibel dan pemeriksaan tidak
perlu dilanjutkan ke fase III. Apabila hasil negatif pada semua
tabung, lanjutkan ke fase III.
Fase III. Fase Anti Human Globulin (AHG) atau fase Indirect
Antiglobulin Test (IAT)

1. Cuci sel sebanyak 3 kali dengan menggunakan salin pada semua


tabung yang memberikan hasil negatif pada fase II.
2. Buang seluruh supernatan bekas pencucian.
3. Tambahkan 2 tetes reagen AHG.
4. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit.
5. Resuspensi dengan lembut endapan sel pada bagian bawah tabung.
6. Lihat dan catat ada tidaknya aglutinasi (Mehdi, 2013).
Bila aglutinasi atau hemolisis positif hasil crossmath dinyatakan
inkompatibel. Bila aglutinasi atau hemolisis negatif pada semua
tabung, hasil dinyatakan negatif atau kompatibel dan lanjutkan
dengan penambahan coombs control cells (CCC) sebanyak 1 tetes
dan dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan
1000 rpm. Penambahan CCC akan memberikan hasil positif pada
semua hasil negatif yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid. Bila
dengan penambahan CCC reaksi tetap negatif, maka pemeriksaan
dinyatakan invalid dan harus dilakukan pengulangan (Depkes RI,
2008).

3. Crossmacthing dengan Column Agglutination Test


Saat ini metode column agglutination test atau yang lebih umum
disebut gel test telah digunakan secara luas menggantikan metode manual
atau tube test. Metode gel test memiliki banyak kelebihan dibandingkan
metode tabung. Selain menghemat waktu pemeriksaan, prosedur tes juga
lebih sederhana dan pembacaan hasil lebih mudah dilakukan. Tidak ada
proses pencucian dan penambahan CCC. Berikut akan dibahas salah satu
prosedur pemeriksaan gel test yang banyak digunakan.

a. Prinsip pemeriksaan

Sejumlah volume suspensi sel darah merah dan serum atau


plasma dari donor dan pasien dimasukkan ke dalam microtube diikuti
oleh proses inkubasi dan sentrifugasi. Tahap inkubasi akan memberi
kesempatan antigen pada permukaan sel darah merah berikatan
dengan antibodi pada serum atau plasma sehingga membentuk
aglutinasi. Pada tahap sentrifugasi, sel yang beraglutinasi kuat akan
tertangkap pada bagian atas matrik gel sedangkan sel yang
beraglutinasi lemah akan pindah ke bagian bawah matrik gel. Bila
aglutinasi tidak terjadi maka semua sel akan mengendap ke bagian
bawah matrik gel (McCullough, 2012; Walker and Harmening, 2012 ).
b. Alat dan Bahan
Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan crossmatch
dengan metode gel, antara lain:
1. Micropipet Volume 5 µl,
2. Dispenser 500 µl,
3. Tabung reaksi ukuran 12x75 mm dengan raknya,
4. Sentrifus yang sesuai dengan ukuran plastic card
5. Inkubator dengan suhu 37 oc yang sesuai dengan ukuran plastic
card

Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah sampel darah pasien maupun


donor, Low Ionic Strength Solution (LISS), plastic card yang terdiri atas
6 microtube yang mengandung gel di dalamnya.

c. Prosedur pemeriksaan
1. Siapkan 2 buah tabung ukuran 12x75 mm dan berikan label.
2. Tabung pertama diisi 5 µL sel darah merah donor dan ditambahkan
500 µL LISS.
3. Tabung kedua 5 µL sel darah merah pasien dan tambahkan 500 µL
LISS.
4. Beri label pada plastic card (identitas pasien dan nomor donor) serta
berikan tanda pada microtube mana reaksi mayor, minor dan
autokontrol.
5. Suspensi sel dari tabung 1 diambil 50 µL kemudian dimasukkan ke
dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (mayor).
6. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan ke
dalam microtube dan tambahkan plasma donor sebanyak 25 µL
(minor).
7. Suspensi sel dari tabung 2 diambil 50 µL kemudian dimasukkan ke
dalam microtube dan tambahkan serum atau plasma pasien
sebanyak 25 µL (autokontrol).

8. Sampel dimasukkan ke dalam microtube dengan posisi miring.


Suspensi sel darah merah dan serum atau plasma dimasukkan
tepat pada reaction chamber dalam microtube.
9. Plastic card diinkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit

10. Plastic card disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 1000


rpm.
11. Baca dan catat hasil reaksi yang terjadi.

Derajat aglutinasi pada gel tes dinilai dari 1+ sampai 4+ dan


reaksi mixed-field. Aglutinasi 4+ ditandai oleh mengelompoknya
seluruh sel darah merah pada permukaan microtube dan tidak ada
eritrosit disepanjang microtube atau di bagian bawahnya. Reaksi 3+
ditunjukkan oleh sebagian besar sel darah merah berada pada
permukaan gel dan beberapa mulai turun ke bagian bawah gel. Reaksi
2+, eritrosit terdistribusi disepanjang microtube. Reaksi 1+, mayoritas
eritrosit mengendap pada dasar gel dan sebagian kecil naik ke bagian
atas gel. Pada reaksi negatif seluruh eritrosit berada pada bagian
bawah gel. Pada reaksi yang mixed field, sebagian eritrosit ada
dipermukaan gel dan sebagian mengendap pada dasar gel. Eritrosit
yang ada dipermukaan gel adalah eritrosit yang mengalami aglutinasi,
sedangkan eritrosit yang mengendap di dasar gel adalah eritrosit yang
tidak mengalami aglutinasi (Walker and Harmening, 2012).

4. Computer (Electronic) Crossmatch


Evolusi terkini dalam tahapan compatibility testing untuk
mengkonfirmasi kompatibilitas ABO dengan metode lain selain
pemeriksaan laboratorium adalah menggunakan computer crossmatch.
Pada computer crossmatch, data hasil pemeriksaan laboratorium pasien
dan donor telah tersimpan dalam komputer. Beberapa opini tentang
computer crossmatch menyatakan bahwa computer crossmatch sama
amannya dengan immediated spin test untuk mendeteksi inkompatibilitas
ABO. Pendapat lain menyatakan bahwa computer crossmatch lebih aman
dari immediated spin karena adanya integritas dari software komputer
untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO antara sampel pasien dan donor.
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa angka kegagalan dari
penggunaan computer crossmatch ini adalah 1: 257.400, artinya dari
257.400 unit darah yang dicrossmatch hanya 1 unit yang menimbulkan
kesalahan transfusi (McCullough, 2017).
Computer crossmatch menggunakan komputer untuk pengecekan
terakhir ada tidaknya inkompatibilitas ABO dan menseleksi unit darah
yang sesuai untuk ditransfusikan pada pasien. Program komputer harus
mampu memberikan peringatan apakah pasien layak atau tidak dilakukan
computer crossmatch (Blaney and Howard, 2013).

Beberapa keuntungan dari computer crossmatch antara lain


menghemat waktu dan biaya pemeriksaan, mengurangi kebutuhan
sampel, mengurangi kontak dengan bahan biologis, dan mengurangi hasil
positif palsu (Zundel, 2012; Downes and Shulman, 2014). Keuntungan
lain dari computer crossmatch adalah signifikan mengurangi volume
sampah medis dan beban kerja laboratorium serta sangat potensial
dilakukan secara sentralisasi di Unit Transfusi Darah (UTD) (Blaney and
Howard, 2013; Klein and Anstee, 2014).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan
computer crossmatch, antara lain:
a. Komputer harus divalidasi pada saat akan digunakan dan harus ada
jaminan bahwa inkompatibilitas sistem ABO terdeteksi sehingga darah
yang inkompatibel tidak sampai keluar,
b. sistem golongan darah ABO sudah ditentukan dengan sampel yang
benar, sesuai dengan identitas pasien dan juga sudah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan pada sampel kedua atau konfirmasi dengan data
sebelumnya (data hasil pemeriksaan pasien sebelumnya mudah
diakses dan datanya valid) atau golongan darah ABO sudah diperiksa
oleh 2 analis atau 2 sampel harus dikumpulkan dalam waktu yang
berbeda,
c. komputer harus berisi data golongan darah ABO, Rhesus, dan hasil
pemeriksaan skrining antibodi pasien,
d. sistem komputer harus mencantumkan informasi donor yang meliputi:
jenis produk darah, nomor donor, golongan darah ABO dan Rhesus
serta hasil pemeriksaan konfirmasi golongan darah,
e. sistem komputer harus dilengkapi metode untuk memverifikasi
ketepatan data yang dimasukkan sebelum produk darah dikeluarkan,
f. komputer dilengkapi dengan sistem alarm atau peringatan bila terdapat
inkompatibilitas antara donor dan pasien dan antara label unit darah
dan pemeriksaan konfirmasi ABO (McClelland, 2007; Stoe, 2011;
Blaney and Howard, 2013).

b. Penyebab dan Penanganan Inkompatibilitas pada Hasil Crossmatching


Hasil crossmatcing yang dianggap aman untuk pasien dan transfusi bisa
dilakukan adalah mayor, minor dan autokontrol semuanya negatif. Pada
kondisi tersebut, darah donor dinyatakan kompatibel dengan darah
pasien. Bila hasil crossmatcing salah satu atau lebih dari satu atau semuanya
positif, darah donor dinyatakan inkompatibel dengan pasien. Tujuan utama
dari crossmatcing adalah mendeteksi adanya antibodi dalam serum pasien,
termasuk anti-A dan anti-B yang dapat menghancurkan eritrosit donor.
Hasil crossmatching yang positif membutuhkan penjelasan dan pasien
seharusnya tidak ditransfusi sampai penyebab inkompatibilitas dapat
ditentukan. Secara garis besar, penyebab inkompatibilitas pada hasil
crossmatching ada 3, yaitu masalah klerikal, masalah teknis dan masalah
pada kondisi pasien atau donor.
Beberapa penyebab hasil positif pada crossmatch mayor antara lain:
1. Kesalahan golongan darah ABO pada pasien atau donor Pada kondisi ini,
pemeriksaan golongan darah harus segera diulang, khususnya jika hasil
menunjukkan reaksi kuat dan dijumpai setelah immediate spin.
Pengulangan pemeriksaan dilakukan menggunakan sampel pasien yang
sama dengan pemeriksaan pertama dan sampel donor diambil langsung
dari kantong darahnya.
2. Adanya alloantibodi pada serum pasien yang bereaksi dengan antigen
yang terdapat pada sel darah merah donor.
a. Jika sel darah merah donor yang dites inkompatibel dengan serum
pasien dan antibodi skrining juga positif, mengindikasikan adanya
antibodi yang mengaglutinasi antigen dari insiden yang tinggi atau
antibodi multipel.
b. Jika skrining antibodi negatif dan hanya satu unit donor yang
inkompatibel, mengindikasikan adanya antibodi pada serum pasien
yang mengaglutinasi antigen sel darah merah donor dengan insiden
yang rendah.
c. Jika skrining antibodi negatif, tetapi serum pasien kemungkinan
menggandung antibodi misal anti A1, periksa kembali serum grouping
pasien dan konfirmasi ada tidaknya anti A1 dengan menggunakan sel
yang sudah diketahui mengandung antigen A1.
3. Adanya autoantibodi pada serum pasien yang bereaksi dengan antigen
sel darah donor. Pada kasus ini autokontrol akan positif. Skrining
antibodi pada serum pasien akan menunjukkan hasil positif. Salah satu
teknik yang bisa ditempuh untuk menghilangkan autoantibodi pada serum
pasien adalah teknik autoadsorpsion. Pemeriksaan crossmatch dilakukan
setelah teknik autoadsorpsion.
4. Sel darah merah donor di coated dengan protein yang dapat memberikan
hasil crossmatch yang inkompatibel.
5. Terdapat masalah pada serum pasien, misalnya pada pasien dengan
multiple myeloma dan makroglobulinemia dapat menghasilkan rouleaux
formation. Rouleaux biasanya akan bertambah kuat pada inkubasi 37 oC
dan tidak bertahan setelah pencucian sebelum penambahan Anti Human
Globulin (AHG). Rouleaux dapat ditangani dengan salin replacement
technique.
6. Adanya kontaminasi dalam sistem pemeriksaan. Kontaminasi dapat
berasal dari tabung gelas yang kotor, kontaminasi bakteri pada sampel,
kontaminasi salin oleh bahan kimia atau bahan lain dan adanya bekuan
fibrin pada sampel (Makroo, 2009; Zundel, 2012.

2. Antiglobulin Test (Coomb’s Test)

Antiglobulin test yang popular disebut dengan Coomb’s test, ditemukan


pertama kali oleh Coombs, Mourant dan Race pada tahun 1945 untuk
mendeteksi antibodi yang tidak beraglutinasi dalam serum (Makroo, 2009;
Green and Klostermann, 2012). Coomb’s test menjadi sangat penting karena
dapat mendeteksi antibodi IgG dan komplemen yang menghancurkan sel
darah merah baik secara in vivo maupun in vitro tanpa menunjukkan adanya
aglutinasi. Jadi definisi Coomb’s test adalah suatu pemeriksaan yang
digunakan untuk mendeteksi antibodi yang mengikat sel darah merah baik
secara in vivo maupun in vitro (Blaney and Howard, 2013).

Metode konvensional untuk pemeriksaan coomb’s test adalah


menggunakan metode tabung (tube test). Beberapa metode modifikasi lain
yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic Polybrene
technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT), solid phase
technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

Ada dua jenis Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test (DAT) atau
Direct Coomb’s test (DCT) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect
Coomb’s test (ICT).

a. Direct Coomb’s test (DCT)

Direct Coomb’s test (DCT) digunakan untuk mencari adanya antibodi


tak lengkap yang telah menempel pada permukaan sel darah merah
dimana sensitisasi telah terjadi secara in vivo (kokasih, N dan Kokasih, S,
2008).

Prinsipnya adalah eritrosit dipisahkan dengan plasma sehingga


antibodi yang terikat dari eritrosit ( keadaan normal). Antibodi yang tidak
beraglutinasi ditambahkan sehingga terjadi ikatan dengan antigen di
permukaan eritrosit. Erirosit dicuci untuk menghilangkan antibodi bebas
kemudian kemudian antibodi kelinci terhadap immunoglobuin manusia
ditambahkan. Antibodi kelinci ini akan berikatan dengan immunoglobulin
manusia yang telah berikatan dengan antigen di permukaan eritrosit, jalinan
ikatan ini menyebabkan eritrosit beraglutinasi.
Pemeriksaan DCT sering digunakan untuk membantu diagnosis
kasus-kasus berikut:
1. Hemolytic disease of new born (HDN),

2. Auto immune hemolytic anemia (AIHA),

3. Pemeriksaan adanya sensitisasi sel darah merah yang diinduksi oleh


obat-obatan,

4. Pemeriksaan kasus hemolitik yang disebabkan oleh reaksi transfusi


(Makroo, 2009).

Bila terjadi aglutinasi sel darah merah dinyatakan sebagai hasil


positif. Hasil DCT positif dapat mengakibatkan daya hidup sel darah merah
memendek atau tidak. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan DCT
positif yaitu:
1. Adanya alloantibodi pada antigen sel darah merah
2. Alloantibodi pada sirkulasi resipien yang bereaksi pada sel darah donor
3. Alloantibodi pada plasma donor yang akan bereaksi dengan sel darah
merah pasien
4. Antibodi yang langsung melawan obat-obatan.
Bila tidak terjadi aglutinasi hasil negatif, diindikasikan tidak adanya human
igG.

DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500 per
eritrosit dan 400-1.100 molekul C3d per eritrosit. Jumlah molekul IgG yang
mensensitisasi eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Rasio serum dan sel
Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan sensitivitas
pemeriksaan. Umumnya, rasio minimum adalah 40:1 yang bisa didapat
dengan menambahkan 2 tetes serum dan 1 tetes suspensi sel eritrosit
5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi dalam salin, maka dapat
meningkatkan rasio serum dan sel yang memiliki kemampuan
mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes serum dengan 1 tetes suspensi
sel 3% akan memberikan rasio 133:1) (Green and Klostermann, 2012).
2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain albumin, LISS
dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan Macllroy melaporkan
peningkatan sensitivittas ICT jika albumin digunakan sebagai medium
reaksi. Campuran reaksi yang terdiri atas 2 tetes serum, 2 tetes bovin
albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5% menunjukkan sensitivitas
yang sama pada inkubasi 30 menit dibandingkan inkubasi 60 menit pada
medium salin. Namun, salah satu kelemahan albumin yang dilaporkan
oleh Pezt dan Coworkers adalah tidak mampu mendeteksi beberapa
jenis antibodi yang bermakna secara klinis sehingga albumin jarang
digunakan sebagai media ICT secara rutin (Green and Klostermann,
2012).
Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan oleh Low
dan Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi dan
memperpendek waktu inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15 menit.
Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison yang
menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari penggunaan 2
tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium LISS (Green and
Klostermann, 2012).
Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan digunakan
sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi. Mekanisme
kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang mengelilingi eritrosit
(the water of hydration theory) sehingga efektif untuk meningkatkan
konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah membandingkan
penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi dalam pemeriksaan
antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa PEG dapat
meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna secara klinis dan
menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna secara klinik (Green
and Klostermann, 2012).

3. Temperatur
Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal pada
suhu 37 oC (Green and Klostermann, 2012).
4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi
mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara klinis
akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS atau PEG,
waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit. Dengan waktu
yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan inkubasi pada suhu
30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS diperpanjang (misal 40
menit) maka antibodi akan terelusi dari eritrosit dan sensitivitas akan
menurun (Green and Klostermann, 2012).
5. Pencucian eritrosit
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci dengan
salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen AHG.
Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak berikatan.
Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil negatif palsu
karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin serum yang tidak
berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian pada pemeriksaan
DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting. Proses pencucian
sebaiknya segera dilakukan setelah proses inkubasi. Semua sisa salin
setelah pencucian terakhir harus dihilangkan karena dapat
mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan sensitivitas
pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).
6. Salin untuk pencucian
Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar dan
mempunyai pH 7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam wadah
plastik menunjukkan penurunan pH sehingga meningkatkan kecepatan
elusi antibodi selama proses pencucian dan memberikan efek hasil
negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga pernah
dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam memberikan hasil positif
palsu (Green and Klostermann, 2012).

7. Penambahan AHG
Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses pencucian
untuk mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada netralisasis
reagen AHG. Jumlah AHG yang ditambahkan disesuaikan dengan
ketentuan perusahaan reagen (Green and Klostermann, 2012).
8. Sentrifugasi untuk pembacaan
Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi
merupakan langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi yang
direkomendasikan adalah 1000 Relative Centrifugal Forces (RCFs)
selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang tidak standar dapat
memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi inadekuat dan
dapat memberikan hasil negatif palsu karena resuspensi terlalu kuat
(Green and Klostermann, 2012).

b. Indirect Coomb’s test (ICT)


Indirect Coomb’s test (ICT) digunakan untuk mendeteksi antibodi
yang telah melapisi eritrosit secara in vitro. Aglutinasi menunjukan bahwa
serum asal mengandung antibodi yang telah melapisi eritrosit secara in
vitro. Uji ini digunakan sebagai bagian dari pelapisan antibodi rutin pada
serum resipien sebelum transfusi dan untuk mendeteksi golongan antibodi
golongan darah pada wanita hamil (Hoffabrand,2005).

Pemeriksaan ICT digunakan untuk kasus-kasus berikut:

1. Compatibility testing,

2. Skrining Dan identifikasi antibodi yang tidak diharapkan dalam serum,


3. Mendeteksi antigen sel darah merah menggunakan antibodi spesifik
yang hanya bereaksi dengan antiglobulin seperti Fya, Fyb, JKa, Jkb dan
lain-lain (Makroo, 2009).
C. Kerangka Teori

Thalasemia

Transfusi darah berulang

Uji silang serasi

Kompatibel Inkompatibel

Mayor positif, Mayor positif, Mayor negatif, Mayor negatif,


minor positif, minor positif, minor positif, minor positif,
Autokontrol autokontrol autokontrol autokontrol
positif negatif positif negatif

Goldar DCT, skrining DCT Mayor negatif,


ulang,subgrup, dan identifikasi minor positif,
skrining dan antibodi autokontrol
identifikasi negatif

DCT ≥ minor dan DCT ≤ minor dan


autokontrol autokontrol

DARAH DARAH TIDAK


DITRANSFUSIKAN DAPAT
DITRANSFUSIKAN
D. Kerangka Konsep

DCT

Negatif Positif Positif 1 Positif 2 Positif 3 Positif 4


1

Gambaran hasil
pemeriksaan DCT
berdasarkan presentasinya

E. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan DCT (Direct Coomb’s Test) pada


pasien thalasemia DI RSUD Sleman Tahun 2019 berdasarkan presentasinya
(%)?

Anda mungkin juga menyukai