Anda di halaman 1dari 5

C.

Kebijakan Fiskal Dalam Ekononomi Islam


1. Kebiakan Fiskal Pada Masa Rasulullah
Sebagai seorang perintis sebuah keberadaan negara Islam tentunya
Rasulullah Shallaallahu Alaihi Wasallam memulai segala sesuatunya dari serba nol.
Mulai dari tatanan politik, kondisi ekonomi, sosial maupun budaya semuanya ditata dari
awal. Dari kondisi nol tersebut membutuhkan jiwa seorang pejuang dan jiwa seorang
yang ikhlas dalam menata sebuah rumah tangga pemerintahan, menyatukan kelompok-
kelpompok masyarakat yang sebelumnya terkenal dengan perpecahan yang mana
masing-masing kelompok menonjolkan karakter dan budayanya. Di sisi lain Rasulullah
harus mengendalikan depresi yang dialami oleh kaum muslimin melaui strategi
dakwahnya agar ummat muslim mempunyai keteguhan hati (beriman) dalam berjuang,
mentata perekonomian yang carut marut dengan menyuruh kaum muslimin bekerja
tanpa pamrih dan lain sebagainya.
Upaya Rasulullah dalam mencegah terjadinya perpecahan di kalangan kaum
muslimin maka beliau mempersatukan kaum Anhsor (sebagai tuan rumah) dengan
kaum Muhajirin (sebagai kelompok pendatang). Rasulullah menganjurkan agar kaum
Anshor yang notabene memiliki kekayaan dapat membantu saudara-saudaranya dari
kaum Muhajirin. Maka hasil dari upaya tersebut terjadilah akulturasi budaya antara
kaum Anshor dengan kaum Muhajirin sehingga kekuatan kaum Muslim bertambah.
Untuk mengantisipasi kondisi keamanan yang selalu mengancam maka Rasulullah
mengeluarkan kebijakan bahwa daerah Madinah dipimpim oleh beliau sendiri dengan
sebuah sistem pemerintahan ala-Rasul. Dari kepemimpinan beliau maka lahirlah
berbagai macam kreativitas kebijakan yang dapat menguntungkan bagi kaum muslim.
Kebijakan utama beliau adalah membangun masjid sebagai pusat aktivitas kaum
muslimin.
Setelah perjuangan dalam tataran ideologi sudah dibenahi, maka
Rasulullah melangkah pada tahap berikutnya yaitu dengan mereformasi bidang
ekonomi dengan berbagai macam kebijakan beliau. Seperti diulas panjang di atas bahwa
kondisi ekonomi dalam keadaan nol. Kas negara kosong, kondisi gegrafis tidak
menguntungkan dan aktivitas ekonomi berlajan secara tradisional. Melihat kondisi yang
tidak menentu seperti ini maka Rasulullah s.a.w. melakukan upaya-upaya yang terkenal
dengan Kebijakan Fiskal beliau sebagai pemimpin di Madinah yaitu dengan meletakkan
dasar-dasar ekonomi (Sirojuddin, 2013: 1).
Diantara kebijakan Rasulullah tersebut seperti yang diungkapkan Karnaen A
Perwataatmajda (2006: 14) adalah:
a. Memfungsikan Baitul Mal
Baitul maal sengaja dibentuk oleh Rasulullah s.a.w sebagai tempat pengumpulan
dana atau pusat pengumpulan kekayaan negara Islam yang digunakan untuk
pengeluaran tertentu. Karena pada awal pemerintahan Islam sumber utama
pendapatannya adalah Khums, zakat, kharaj, dan jizya (bagian ini akan dijelaskan secara
mendetail pada bagian komponen-komponen penerimaan negara Islam).
b. Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
Salah satu kebijakan Rasulullah dalam pengaturan perekonomian yaitu
peningkatan pendaptan dan kesempatan kerja dengan mempekerjakan kaum Muhajirin
dan Anshor.Upaya tersebut tentu saja menimbulkan mekanisme distrubusi pendapatan
dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaan agregat terhadap output yang akan
diproduksi. Disi lain Rasullah membagikan tanah sebagai modal kerja. Kebijakan beliau
sesuai dengan teori basis, yaitu bahwa jika suatu negara atau daerah ingin ekonominya
maju maka jangan melupakan potensi basis yang ada di negara atau daerah tersebut.
c. Kebijakan Pajak.
Kebijakan pajak ini adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah muslim
berdasarkan atas jenis dan jumlahnya (pajak proposional). Misalnya jika terkait dengan
pajak tanah, maka tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bisa
didasarkan atas zonenya.
d. Kebijakan Fiskal Berimbang
Untuk kasus ini pada masa pemerintahan Rasulullah dengan metode hanya
mengalami sekali defisit neraca Anggaran Belanja yaitu setelah terjadinya “Fathul
Makkah”, namun kemudian kembali membaik (surplus) setelah perang Hunain.
e. Kebijakan Fiskal Khusus
Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair (sukarela) dengan cara meminta
bantuan Muslim kaya. Jalan yang ditempuh yaitu dengan memberikan pijaman kepada
orang-orang tertentu yang baru masuk Islam serta menerapkan kebijakan
insentif (Sirojuddin, 2013: 1).

2. Kebijakan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin


Berkaitan dengan kebijakan fiskal masa kekhalifahan Abu Bakar yaitu
melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Hanya ada
beberapa kebijakan fiskal beliau yang cukup dominan dibandingkan yang lain yaitu
pemberlakuan kembali kewajiaban zakat setelah banyak yang membangkangnya.
Kebijakan berikutnya adalah selektif dan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat
sehingga tidak ditemukan penyimpangan di dalam pengelolaannya.
Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab adalah dengan
cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan. Khalifah
adalah penanggung jawab rakyat, sedangkan rakyat adalah sumber pemasukan kekayaan
negara yang manfaatnya kembali kepada mereka dalam bentuk jasa dan fasilitas umum
yang diberikan negara.
Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan
kebijakan ekonominya yang berkaitan dengan fiskal yang akan dijalankannya. Dari
pidato yang beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai sebagai dasar-dasar beliau
dalam menjalankan kepemimpinannya yang terkenal dengan sebutan 3 dasar sebagai
berikut:
a. Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak
mengambil hasil dari kharaj atau harta fa’i yang diberikan Allah kecuali dengan
mekanisme yang benar.
b. Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran
kecuali sesuai dengan haknya; dan negara menambahkan subsidi serta menutup
hutang.
c. Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang
penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak
yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia
membutuhkan maka dia memakai dengan jalan yang benar.
Pada masa Usman tidak ada perubahan yang signifikan pada kondisi ekonomi
secara keseluruhan. Kebanyakan kebijakan ekonomi mengikuti khalifah sebelumnya
yang kebanyakan pakar mengatakan bahwa khalifah sebelumnya (Umar) adalah sang
reformis dalam bidang ekonomi.
Sayyidina Ali pada awal-awal kepemimpinan mengawali dengan sebuah
kebijakan, yaitu membersihkan kalangan pejabat yang korup yang dilakukan
sebelumnya. Maka tidak sedikit pejabat sebelumnya yang dijebloskan ke dalam penjara.
Salah satu yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara adalah Gubernur Ray dengan
tuduhan penggelapan uang. Mengenai kebijakan fiskalnya,Sayyidina Ali tetap mengacu
pada khalifah sebelumnya. Bahkan kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Umar banyak
diteruskan olehSayyidina Ali, bukan Ustman (Sirojuddin, 2013: 1).

3. Kebijakan Fiskal Dalam Islam


Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang
didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai
material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam
ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensioanl. Hal ini disebabkan antara lain
sebagai berikut:
a. Peranan moneter relatif lebih terbatas dalam ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi
konvensioanal yang tidak bebas bunga.
b. Dalam ekonomi Islam, pemerintah harus memungut zakat dari setiap muslim yang
memiliki kekayaan melebihi jumlah tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan-tujuan
sebagaimana tercantum dalam QS Al-Taubah: 60.
c. Ada perbedaaan substansial antara ekonomi Islam dan non-Islam dalam peranan
pengelolaan utang publik. Hal ini karena utang dalam Islam adalah bebas bunga,
sebagian besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau berdasarkan atas bagi
hasil. Dengan demikian, ukuran utang publik jauh lebih sedikit dalam ekonomi Islam
dibanding ekonomi konvensioanal (Istanto, 2013: 1).
Menurut Metwally, setidaknya ada 3 tujuan yang hendak dicapai kebijakan fiskal
dalam ekonomi islam.
a. Islam mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi dan demokrasi yang lebih tinggi, ada
prinsip bahwa “ kekayaan seharusnya tidak boleh hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja. “ Prinsip ini menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat
memperoleh akses yang sama terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang
jujur.
b. Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman. Hal ini berarti
bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi tingkat suku bunga untuk mencapai
keseimbangan (equiblirium) dalam pasar uang (yaitu anatara penawaran dan permintaan
terhadap uang). Dengan demikian, pemerintahan harus menemukan alat alternatif untuk
mencapai equilibrium ini.
c. Ekonomi Islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang
kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin.
Oleh karena itu, sebagaian dari pengeluaran pemerintah seharusnya digunakan untuk
berbagai aktivitas yang mempromosikan Islam dan meningkatkan kesejahtaraan muslim
di negara-negara yang kurang berkembang (Istanto, 2013: 1).
Jika melihat praktek kebijakan fiskal yang pernah diterapakn oleh Rasulullahndan
Khulafaurrasyidin, maka kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dapat dibagi dalam 3
hal, yaitu:
a. Kebijakan pemasukan dari kaum Muslimin, yaitu:
1) Zakat, yaitu salah satu dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan
di dalam suatu pemerintahan Islam pada periode klasik.
2) Ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya
hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih
dari 200 dirham. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan
semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam
perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin
menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari
bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang.
3) Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan
karena Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
4) Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli
waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5) Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum
muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat
dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
6) Khumus adalah harta karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
7) Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara
keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang
muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil
dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai
penggantinya (Sirojuddin, 2013: 1).
b. Kebijakan pemasukan dari kaum non muslim, yaitu:
1) Jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang
non muslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah,
bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
2) Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari
kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim
dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai
pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara.
Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber
pendapatan yang penting.
3) ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali
dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham
(Sirojuddin, 2013: 1).
c. Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima
pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah
S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan)
budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan
delapan ashnaf. Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T
sehingga tidak ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an
terhadap orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci
dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara umum di-
inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).

Anda mungkin juga menyukai