Anda di halaman 1dari 13

H I POG LIK E M IA

Sjafii Piliang

Divisi Endokrinologi-Metabolism
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU
Medan
2001

0
1
HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia adalah akibat dari relatif insulin berlebihan dalam darah dan mengakibatkan
penurunan kadar glukosa darah secara berlebihan. Kadar glukosa darah yang
memunculkan simtom hipoglikemia bervariasi dari orang ke orang pada keadaan berbeda.
Hipoglikemia biasanya terjadi secara bertahap dan umumnya berhubungan dengan simtom
peringatan tertentu, yang bisa vterdiri dari denyut jantung cepat, berkeringat, gemetar,
cemas, dan rasa lapar. Bila simtom muncul, tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan
memakan karbohidrat. Reaksi hipoglikemia biasanya tidak berhubungan dengan
kehilangan kesadaran. Jika tanda-tanda peringatan tidak ada atau terabaikan dan kadar
glukosa darah terus berlanjut menurun, hipoglikemia berat bisa menyebabkan perubahan
mental yang beralih menjadi kebingunan, stupor, dan akhirnya tidak sadar.
Hipoglikemia tidak terjadi pada penderita diabetes yang hanya membutuhkan terapi nutrisi
dan latihan jasmani dan jarang pada penderita yang diobati dengan inhibitor glukosidase,
biguanid, atau thiazolinidione
Pada orang tua atau individu menderita sakit kronik atau berpuasa jangka lama, terjadi
hipoglikemia berat bila tidak tepat dosis obat penurun glukosa oral digunakan untuk
mengendalikan glukosa darah.
Kebanyakan pasien mengenali tanda-tanda peringatan dini hipo-glikemia dan dapat secara
cepat mengatasinya dengan makan.

Homeostasis Glukosa
Pada keadaan normal, otak tergantung pada oksidasi glukosa untuk energi, kadar
glukosa yang beredar menurun, otak tak mampu untuk berfungsi dan terjadi simtom
hipoglikemia. Otak juga dapat menggunakan badan keton (β-hidroksibutirat dan
asetoaseton) untuk energi. Pada umumnya, ambilan badan keton oleh otak sebanding
dengan kadar material ini dalam darah. Selama pemberian makanan, kadar keton plasma
tidak cukup tinggi untuk memberikan kebutuhan energi otak, sehingga otak seluruhnya
tergantung pada glukosa untuk energi. Selama berpuasa, memerlukan berjam-jam untuk
meningkatkan kadar keton yang beredar agar cukup memberikan sumber energi alternative
untuk otak. Kecuali pada keadaan puasa, otak secara total tergantung pada glukosa untuk
sumber energi. Insulin menekan ketosis dengan menghambat lipolisis trigliserida (dengan
demikian mengurangi kadar asam lemak bebas beredar) dan meningkatkan penggunaan
keton di jaringan perifer seperti otot rangka. Pada bentuk hipoglikemia disebabkan insulin,
insulin tidak hanya menurunkan kadar glukosa yang beredar tetapi juga menurunkan
ketersediaan substrat alternative untuk otak. Sebaliknya, ketersediaan keton menerangkan,
pengamatan bahwa orang normal yang berpuasa mentoleransi kadar glukosa beredar
rendah (mis. kadar glukosa darah 25 mg/dl) tanpa menimbulkan simtom atau tanda-tanda
hipoglikemia.
Oleh karena ketergantungan otak pada glukosa pada banyak keadaan, tak
mengherankan bahwa sekumpulan mekanisme berlebihan telah menyusun untuk

2
mempertahankan kadar glukosa yang beredar dalam batas normal dan mencegah
hipoglikemia. Homeostasis glukosa melibatkan keseimbangan antara produksi glukosa dan
pemakaian glukosa. Hipoglikemia terjadi apabila produksi glukosa berkurang dan/ atau
penggunaan glukosa meningkat. Kedua-duanya produksi glukosa dan penggunaan glukosa
membutuhkan saling mempengaruhi yang kompleks dari hormon dan proses metabolic.
Disfungsi organ yang terlibat pada homeostasis glukosa dan gangguan pada sekresi atau
kerja hormon yang mengatur proses ini dapat mengakibatkan hipoglikemia.
Normal, glukosa memasuki sirkulasi pada tiga jalur : bisa dicerna sebagai
karbohidrat sederhana atau kompleks, dapat diperoleh dari glikogen hati dengan proses
glikogenolisis, atau bisa dihasilkan di hati (dan pada korteks ginjal selama berpuasa lama)
dari precursor nonglukosa (asam amino, gliserol, dan laktat) oleh proses glukoneogenesis.
Absorpsi karbohidrat yuang dicerna membutuhkan adanya enzim yang mencerna
karbohidrat kompleks di lumen usus, adanya saluran cerna yang utuh dengan mekanis
berfungsi normal untuk hidrolisis oligosakarida, transport glukosa dan galaktosa aktif, dan
kemudahan difusa fruktosa dari lumen kedalam sel epitel usus halus.
Glikogenolisis hati bergantung pada ketersediaan glikogen cadangan. Hati dewasa
normal mengandung sampai 70 g glikogen setelah makan. Selama berpuasa pemecahan
glikogen hati dapat memberikan glukosa ke sirkulasi dewasa kira-kira 24 – 48 jam. Proses
ini dirangsang oleh glukagon yang disekresi oleh sel-α pp Langerhan pancreas dan oleh
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang disekresi oleh sistem entero-chromaffin.
Selama berpuasa, glikogen hati secara bertahap menurun selama 24-48 jam, setelah
itu pemeliharaan kadar glukosa yang beredar secara penuh bergantung pada
glukoneogenesis. Glukoneogenesis membutuhkan ketersediaan substrat yang cukup, hatu
yang utuh (dan korteks ginjal) untuk merubah substrat menjadi glukosa, dan l;ingkungan
hormonal yang meningkatkan perubahan ini. Secara kuantitatif, asam amino adalah
substrat utama untuk glukoneogenesis hati. Diantara asam amino, alanin adalah by far
terpenting. Selama berpuasa, glukoneogenesis hati bergantung pada ketersediaan alanin
dan asam amino lain berasal dari otot rangka. Laktat berasal dari otot rangka dan sumber
lain dan gliserol berasal dari lipolisis trigleserida di jaringan adipose ada tambahan lagi
substrat untuk glukoneogenesis hati. Glutamin adalah substrat utama untuk glukoneo-
genesis di korteks ginjal. Kecepatan glukoneogenesis ditingkatkan oleh glukagon dan
kortisol. Glukoneogenesis membutuhkan sekresi hormon adrenocortikotropik (ACTH)
oleh hipofisa anterion dan kortisol oleh korteks adrenal. Kortisol meningkatkan
pemeliharaan kadar glukosa yang beredar normal dengan banyak mekanisme. Ia
meningkatkan pelepasan substrat asam amino dari otot rangka, meningkatkan aktifitas rate-
limiting enzyme glukoneogenesis di hati, meningkatkan sekresi glukagon, dan mengindus
resistensi terhadap kerja insulin.
Perubahan pada kecepatan penggunaan glukosa bisa merubah kadar glukosa yang
beredar. Insulin meningkatkan penggunaan glukosa oleh kerjanya di otot rangka dan
jaringan adipose. Sintesis glikogen di otot rangka adalah jalur utama pembuangan
(disposal) glukosa diantara-insulin pada orang normal dan pasien dengan diabetes mellitus

3
tak tergantung insulin. Perubahan pada sekresi insulin atau kerja insulin pada tingkat
reseptor atau bisa merubahan penggunaan glukosa. Penggunaan glukosa meningkat selama
latihan jasmani, selama menyusukan, dan bila tersedia substrat berasal dari lemak (asam
lemak bebas dan keton) untuk jaringan perifer berkurang.
Disamping beberapa kelebihan dari mekanisme ini yang mempertahankan kadar
glykosa yang beredar dan menjamin ketersediaan glukosa untuk otak, hipoglikemia dapat
terjadi bila proses penyakit melibatkan setiap proses (nutrient, absorpsi, penyimpanan, atau
pelepasan), organ (saluran gastrointestinal, otot rangka, hati, hipofisa, korteks adrenal),
atau hormone (insulin, glukagon, kortisol, katekolamin, hormon pertumbuhan, hormon
tiroid) terlibat pada sistem pengaturan ini. Hipoglikemia dapat juga terjadi bila material
eksogen seperti etanol atau obat-obat tertentu turut campur dengan fungsi normal dari
proses ini, organ, dan hormon. Kelebihan mekanisme pertahanan ini memberikan dasar
untuk perbedaan penyakit yang menyebabkan hipoglikemia.

4
Tanda Pengenal
Tanda-tanda klinik
Manifestasi klinik hipoglikemia terdiri atas fase hiperepinefrinemik, yang terjadi
penurunan mendadak glukosa darah, dan fase serebral, yang menyertai penurunan glukosa
darah tetapi berlangsung lebih lambat. Keparahan manifestasi klinik berkaitan erat dengan
tingkat dan lama hipoglikemia. Serangan hipoglikemia berat berulang bisa menyebabkan
sindroma otak organik.

Manifestasi klinik fase hiperepinefrinemik terdiri dari :


- berkeringat banyak
- lemah
- rasa lapar
- tremor/gemetar
- takhikardia

Manifestasi klinik hipoglikemia serebral adalah :


- sakit kepala
- diplopia
- penglihatan kabur
- bicara tidak teratur
- kekacauan mental
- tingkah laku yang ganjil
- koma
- kejang-kejang
- mati

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kedaruratan hipoglikemia yaitu dengan melakukan langkah-langkah
berikut :
1. ambil contoh darah untuk pemeriksaan glukosa dan sisa serum disimpan untuk
pemeriksaan insulin (bila memungkinkan).
2. Pasang infus larutan dekstrose 5 – 10 % intravena
3. Berikan infus 50 ml larutan glukosa 40 % intravena selama 5 menit. Sebagai
alternatif, 1 mg glukagon disuntikkan intramuskular.
4. Periksa kadar glukosa darah setiap 1-2 jam sampai diperoleh riwayat pencetus
hipoglikemia. Jika diperoleh riwayat pemakaian insulin, lamanya follow-up
bergantung pada tipe insulin yang digunakan. Jika meminum obat hipoglikemik
oral, follow-up bergantung pada tipe obat dan half-life biologiknya.
5. Ambil EKG

5
6. teliti faktor yang mendasari dan pencetus.

Faktor Penyebab atau Pencetus


Faktor yang mencetuskan serangan hipoglikemia berkaitan dengan proses yang
mendasarinya. Contoh, hipoglikemia yang dijumpai pada insulinoma bisa terjadi spontan
atau setelah latihan jasmani. Serangan hipoglikemia bisa bergantung pada makan, pada
keadaan emosi, atau tingkat aktifitas. Penderita dengan terapi insulin atau sulfonilurea bisa
mengalami simtom hipoglikemia jika mengalami gastroenteritis yang menghalangi
penyerapan makanan. Meminum obat-obat tertentu secara bersamaan bisa mencetuskan
serangan hipoglikemia berat. Contoh, obat yang menghambat atau mengganti ikatan
sulfonilurea dari tempat ikatan pada protein serum, misalnya pada penggunaan
fenilbutason bisa mencetuskan efek hipoglikemia pada pemakai sulfonilurea. Perubahan
kebiasaan makan bisa juga menjadi penyebab tercetusnya hipoglikemia.

Klasifikasi dan Etiologi Hipoglikemia


Hipoglikemia secara umum terbagi atas Fasting Hypoglycemia dan Non-Fasting
Hypoglycemia, didasarkan atas penyakit yang mendasarinya.

A. Fasting Hypoglycemia
1. Tumor sel pulau Langerhans pankreas (insulinogenic betacytoma) : Adenoma, single
atau multiple; karsinoma dengan metastase; sehubungan dengan adenoma kelenjar
endokrin lain
2. Epitheloid tumor dari foregut anlage; tumor pankreas pada pulau-pulau yang
menghasilkan insulin dan hormon peptida lain; tumor carcinoid yang menghasilkan
insulin
3. Neoplasma ekstrapankreatik masif : mesothelioma; adrenocortical carcinoma;
hepatocellular carcinoma; gastrointestinal carcinoma
4. Diffuse liver disease
5. Hipofungsi hipofisa anterior
6. Hipofungsi adrenocortical : Kegagalan primer; sekunder terhadap kegagalan
hipothalamic-pituitary; biosynthetic defect
7. Insufisiensi ginjal
8. Hipoglukagonemia
9. Glycogenosis I (Gierke’s), III (Cori’s), dan VI (Hers’)
10. Etanol dan nutrisi jelek
11. Hipoglikemia ketotik kanak-kanak
12. Hipersensitif leusin
13. Hipoglikemia neonatus (sementara) pada bayi dari ibu diabetik
14. Erythroblastosis fetalis

6
15. Hipoglikemia idopatik kanak-kanak
16. Hipoglikemia yang diinduksi obat : pemberian insulin; obat hipoglikemik oral

B. Nonfasting hypoglycemia
1. Hiperinsulinemia alimenter
2. Reactive hypoglycemia of early diabetes mellitus
3. Functional (reactive) hypoglycemia
4. Intoleransi Fruktosa herediter (defisiensi fruktose-1-P aldolase)
5. Galaktosemia (defisiensi galaktose-1-P uridiltransferase)
6. Maple syrup urine disease (Branched Chain Ketoaciduria = deficiency of branched-
chain -ketoacid decarboxylase)
7. Intoleransi Fruktosa dan Galaktosa Familier.

Mekanisme Hipoglikemia dan Rasional Penanggulangan


Mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentangan normal 60 – 110 mg/dl bergantung
pada beberapa faktor. Banyak faktor terlibat dalam kontrol homeostatik ini. Penurunan
kadar glukosa darah bisa akibat peningkatan insulin atau insulin-like effect. Efek insulin
terhadap kadar glukosa darah merupakan gambaran dari proses : translokasi glukosa ke
intrasel, fosforilasi glukosa oleh reaksi heksokinase, penggunaan glukosa-6-phosphate,
Embden Meyerhof pathway, hexose monophosphate shunt (pentose phosphate pathway),
dan penggunaan glukosa untuk sintesis glikogen. Penurunan kadar glukosa darah bisa juga
akibat dari penurunan glikogenolisis, suatu proses yang tergantung pada katekolamin dan
glukagon, sama seperti pada penyimpanan glikogen jaringan. Penurunan glukoneogenesis
merupakan mekanisme hipoglikemia utama. Penurunan proses glukoneogenesis bisa akibat
dari ketidakcukupan kortisol (atau glukokortikoid lain), yang merangsang sintesis enzim
glukoneogenik tertentu dan kadar glukagon yang tidak adekwat. Insufisiensi hipofisa
anterior menyebabkan hipoglikemia oleh karena berkurang atau tidak ada hormon
pertumbuhan, yang mempunyai kerja anti-insulin, oleh karena berkurangnya perangsangan
adrenokortikotropin terhadap korteks adrenal. Insufisiensi hormon tiroid menurunkan
kadar glukosa oleh karena menurun absorpsi gastrointestinal pada hipotiroidi.
Insufisiensi ginjal sering menjadi dasar penurunan glukosa darah, terutama pada pasien
diabetes. Renal glukoneogenesis secara bermakna meningkat pada penderita diabetes, dan
ini memberikan kontribusi secara bermakna terhadap kadar glukosa darah. Dengan muncul
insufisiensi ginjal pada pasien-pasien ini, peningkatan komponen glukoneogenesis ini
berkurang atau tidak ada sama sekali. Kebutuhan insulin pada diabetisi dengan insufisiensi
ginjal bisa berkurang. Pasien menjadi lebih sensitif terhadap efek hipoglikemik
sulfonilurea.
Meminum alkohol bersama dengan pengurangan asupan makanan atau berpuasa diikuti
dengan penurunan glukoneogenesis oleh karena beberapa faktor yang dibutuhkan pada

7
pemecahan etanol dialihkan dari proses glukoneogenesis. Pada glikogenolisis I (Gerke’s
disease) terjadi penurunan atau tidak ada phosphatase yang memecah glucose-6-phosphate
menjadi glukosa dan fosfat inorganik. Tipe III (penyakit Cori) dan tipe VI (penyakit Hers)
mengakibatkan penurunan kadar glukosa oleh karena defek pada reaksi fosforilase.
Hipoglikemia ketotik anak-anak diduga disebabkan oleh defisiensi alanin asam amino
glukoneogenik. Hipoglikemia sensitif leusin disebabkan oleh pelepasan insulin berlebihan
oleh perangsangan leusin. Hipoglikemia sementara pada bayi dari ibu diabetes dijumpai
bila ibu diabetes tidak terkontrol baik. Ibu hiperglikemia menyebabkan hiperglikemia pada
kompartmen janin, yang menyebabkan hiperplasia sel- pada pankreas janin. Setelah lahir,
atau setelah bayi keluar dari milieu ibu, pelepasan insulin dari sel- hiperplastik ini
menyebabkan hipoglikemia sementara. Hipoglikemia sehubungan dengan eritroblastosis
fetalis dianggap berasal dari peningkatan sekresi insulin sel- yang disebabkan oleh
kekurangan insulin temporer sekunder terhadap pengrusakan yang cepat oleh sel-sel
hemolisis.
Sindroma hipoglikemia yang diindus obat, yang tersering dijumpai disebabkan oleh
kelebihan insulin dan pemakaian OHO, terutama glibenklamid. Dosis insulin yang tidak
bijaksana pada diabetisi, sama seperti penggunaan insulin tanpa setahu dokter, terutama
oleh personal medik, bisa mengindus hipoglikemia berat. Keadaan diatas, serangan
berulang-ulang bisa mengakibatkan kerusakan otak permanen. Indikasi yang baik
pemberian insulin eksogen adalah deteksi antibodi insulin dalam plasma. Obat
hipoglikemik oral (OHO) bisa menjadi penyebab hipoglikemia berat dan berkepanjangan,
terutama pasien dewasa yang sakit atau berpuasa namun terus minum obat.
Diantara hipoglikemik non fasting, mungkin tersering adalah reactive hypoglycemia dari
diabetes mellitus awal. Penurunan yang lambat pada tes toleransi glukosa darah, atau
setelah makan, adalah akibat dari perlambatan pelepasan insulin setelah stimulus,
mengakibatkan terjadi hipoglikemia sekitar 3-4 jam setelah makan. Reactive hypoglycemia
(functional hyperinsulinemia) yang terjadi 90-120 menit setelah makan adalah paling
prevalen pada penyakit syaraf dan orang penggugup dan dapat dianggap akibat pelepasan
insulin hiperresponsif terhadap stimulus kalori. Hipoglikemia sehubungan dengan
“tachyalimentation (lintas makanan yang cepat)” terjadi 2-3 jam setelah makan. Gangguan
ini dijumpai pada kira-kira 10 % pasien yang menjalani gastrektomi total,
gastrojejunostomi, atau piloroplasti. Pemindahan gumpalan makanan yang cepat ke dalam
usus bagian atas menyebabkan hiperglikemia yang merangsang pankreas normal
melepaskan jumlah insulin yang besar, dengan akibat hipoglikemia. Manifestasi klinik
kelainan ini berupa fase hiperepinefrinemik.
Intoleransi fruktosa herediter muncul sebagai autosomal recessive disorder yang ditandai
dengan defisiensi hepatic fructose-1-phosphate (F-1-P) aldolase. Ini mengakibatkan
penumpukan F-1-P aldolase, yang menghambat fructose-1,6-diphosphate aldolase dan
meyela aliran substrat untuk glukoneogenesis. Galaktosemia yang disebabkan oleh
galactose-1-phosphate uridyltransferase deficiency adalah penyakit autosomal recessive
dimana defisiensi enzim menyebabkan penumpukan galactose-1-phosphate dan galaktikol.

8
Galactose-1-phosphate menekan glukoneogenesis melalui penghambatan enzim
phosphoglucomutase Penumpukan produk antara galaktose bisa mengakibatkan
pembentukan katarak, hemolisis, penyakit hepatoselular, ikterus, dan asites.
Defek pada dekarboksilasi oksidatif dari valine, leucine, dan isoleusin pada bayi (-
ketoacid oxidase deficiency) bertanggungjawab terhadap hipoglikemia pada pasien tertentu
yang mencerna gumpalan makanan yang mengandung asam amino. Penyakit ini dianggap
berasal dari perangsangan leusin yang meningkatkan pelepasan insulin. Pengurangan
glukoneogenesis yang dapat berasal dari pengurangan ketersediaan prekursornya juga
merupakan kemungkinan mekanisme. Penyakit ini sering disebut maple syrup urine
disease atau branched chain ketoaciduria (BCKA), adalah suatu autosomal recessive.
Karakteristik ini dilaporkan pada 1 dari 300.000 kelahiran hidup. Manifestasi klinik
termasuk gangguan pertumbuhan, muntah, hipertonisitas, lemah, apnea, dan kejang-kejang.
Gangguan neurologik berasal dari penumpukan metabolite pada sistem syaraf dari pada
terhadap defek enzim per se. Pembatasan makanan yang mengandung asam amino yang
tidak sesuai bisa memperlambat penyakit ini, tetapi pemberian diet tidak praktis.
Tipe hipoglikemia nonfasting dijumpai pada intoleransi fruktose herediter, suatu penyakit
resesif autosomal yang diturunkan. Stadium akut ditandai dengan nausea dan muntah.
Intoleransi fruktosa khronik ditandai dengan gangguan pertumbuhan, muntah, ikterus,
hepatomegali dengan aminasedemia, dan albuminuria. Penyakit ini akibat dari difisit
fructose-1-phosphate aldolase, menyebabkan penumpukan fructose-1-phosphate dengan
penurunan substrat glukoneogenik. Menghindari diet fruktosa adalah pengobatan pilihan.
Oleh karena penulisan ini ditujukan untuk penanggulangan kedaruratan metabolik dan
endokrin, pertimbangan mendalam mengenai penegakan diagnostik dari berbagai tipe
hipoglikemia adalah kurang tepat. Terpenting memperoleh informasi historis dari pasien
berkaitan dengan waktu kejadian serangan hipoglikemia. Ini bisa membedakan tipe fasting
dan nonfasting.
Diagnosis insulinoma atau tumor sel pp. Langerhans diduga kuat dengan adanya
peninggian kadar insulin yang tidak sesuai dengan kadar glukosa darah. Kebanyakan
pasien dengan tumor yang menghasilkan insulin menunjukkan kadar glukosa darah
dibawah 45 mg/dl dalam 14 jam, dan dibawah 35 mg/dl dalam 24 jam. Bila tidak dijumpai
hipoglikemia dalam interval waktu ini, masa berpuasa dilanjutkan menjadi 70 jam. Tanda
klinik hipoglikemia akan muncul, dan glukosa plasma menurun dibawah 35 mg/dl pada
pasien dengan tumor yang menghasilkan insulin. Pasien dengan insulinoma bisa
menunjukkan sedikit peningkatan glukosa plasma setelah periode latihan jasmani.
Pengambilan plasma untuk pemeriksaan glukosa pada semua interval waktu, digunakan
juga untuk pemerikssaan insulin imunoreaktif. Contoh plasma yang menunjukkan
penurunan kadar glukosa darah diperiksa untuk insulin imunoreaktif. Kemungkin ada
ketidak-sesuaian kadar insulin dengan kadar glukosa. Beberapa penulis memakai rasio
insulin/glukosa pada evaluasi ini. Rasio Insulin (sebagai U/ml) terhadap glukosa (sebagai
mg/dl) (rasio I/G) ini pada orang normal sekitar 0,3; pada pasien dengan hiperinsulinemia

9
yang tidak sesuai kemungkinan lebih tinggi. Rasio insulin/glukosa dihitung sebagai berikut
:

Insulin Plasma (U/ml) x 100


Rasio I/G = 
Glukosa Plasma (mg/dl) - 30
Rasional penurunan glukosa plasma 30 mg/dl adalah bahwa penurunan glukosa ini akan
menyebabkan penurunan plasma insulin 0 sampai 1 U/ml. Pada orang sehat berpuasa
sepanjang malam, rasio I/G sekitar 49, dan setelah 72 jam berpuasa sekitar 50. Pada pasien
insulinoma, rasio ini meningkat (nilai 100 – 140) dengan hipoglikemia yang diindus puasa.
Dianjurkan bahwa lebih dari satu tes harus dilakukan untuk memastikan nilai abnormal.
Tes lain untuk menentukan sekresi insulin autonom melibatkan penetuan jumlah
connecting peptide (C-peptida) dalam plasma setelah menginduksi hipoglikemia dengan
insulin eksogen. Kegagalan menekan peningkatan kadar C-peptida pada hipoglikemia yang
diinduksi merupakan bukti adanya produksi insulin autonom.
Kadar proinsulin plasma juga digunakan pada diagnosis tumor sel Langerhans. Fajans dan
Floyd melaporkan bahwa komponen proinsulin meningkat pada 85 % pasien dan ada
kelebihan 25 % insulin imunoreaktif total puasa.
Prosedur untuk membangkitkan sekresi insulin berlebihan kadang-kadang perlu untuk
memastikan diagnosis hipoglikemia. Pada tes tantangan tolbutamid, pasien puasa diberikan
1 gram sodium tolbutamid intravena. Darah diambil untuk kadar glukosa dan insulin
plasma pada jam 0, 10, 30, 60, 120, dan 180 menit setelah infus. Keputusan untuk
menentukan kadar insulin plasma akan bergantung pada apakah ada atau tidak penurunan
kadar glukosa yang bermakna. Penurunan glukosa darah yang jelas pada 30 menit setelah
pemberian tolbutamid, tanpa kembali ke kadar normoglikemik selama tes berlangsung,
dijumpai pada pasien dengan tumor yang menghasilkan insulin. Kadar insulin plasma
meningkat. Plasma insulin mencapai kadar maksimal 100 U/ml pada 10-30 menit pada
orang normal, kemudian menurun. Pada pasien dengan insulinoma, sering dijumpai nilai
berkisar 150 – 500 U/ml. Modifikasi tes tolbutamid intravena adalah penggunaan
tolbutamid (2 g) yang diberikan peroral dengan 2 g bikarbonat natrium.
Tes glukagon mungkin lebih aman dari tantangan dengan tolbutamid oleh karena ia
menghindari kemungkinan induksi hipoglikemia berat. Kadar insulin plasma secara
bermakna meningkat pada orang normal yang menerima 1 mg glukagon intramuskular
(mis. kadar mencapai 200 U/ml pada 5-10 menit), tetapi nilai yang dicapai pasien dengan
insulinoma lebih besar. Tes glukagon dan tolbutamid lebih berguna dari pada tantangan
leusin dalam menegakkan diagnosis insulinoma.
Tes toleransi glukosa tidak berguna pada diagnosis banding fasting hypoglycemia, tetapi
amat membantu dalam membedakan beberapa tipe nonfasting (reactive) hypoglycemia.
Pada penanggulangan kedaruratan seperti diutarakan diatas, pendekatan terbaik adalah
memberikan glukosa intravena. Pada beberapa kasus pemberian glukagon intramuskular
membantu jika tersedia glikogen cadangan.

10
11
Kepustakaan
1. ADA : Hypoglycemia and Employment/Licensure. Diabetes Care, vol24, supll.1, 2001

2. Axelroad L and Levitsky LL : Hypoglycemia, in Joslin’s Diabetes Mellitus edit. by


Khan CR and Weir GC, 13th edition. Lea & Febiger 1994. 976 – 1000
3. Jaap AJ, Jones GC, McCrimmon RJ, Deary IJ, Frier BM : Perceived symptoms of
Hypoglycaemia in Elderly Type 2 Diabetic Patients Treated with Insulin. Diabetic
Medicine, 1998, 15 : 398-401.
4. Valenta LJ, Afrasiabi MA : Handbook of Endocrine & Metabolic Emergencies. Toppan
Company(ss) PTE.LTD. Singapore 1981. 62 – 114

12

Anda mungkin juga menyukai