Anda di halaman 1dari 3

Metodologi Penelitian Filsafat

Ditulis pada April 4, 2012

Bakker, A dan Zubair, A.C. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Filsafat merefleksikan apa saja tanpa batas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya adalah
untuk memperoleh kebenaran yang mendasar, menemukan makna dan inti dari segala inti.
Sehingga filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakikat realitas yan gada dalam kehidupan
manusia .
Gaya edukatif adalah memberikan penjelasan teratur dan sistematis tentang seluruh bidang
filsafat atau tentang salah satu bagian sejauh sudah dihasilkan tentang topik-topiknya, pendapat
– pendapat, aliran-aliran. Sehingga bahan disajikan dalam bentuk objektifis statis. Sebaliknya
juga ada gaya emansipatoris atau konsientisasi yaitu secara sistematis metodis mendorong oran
guntuk menyusun pandangan hidup sendiri, dan memecahkan maslahnya sendiri. Karena filasat
sesungguhnya bersifat personal atau subjektifistis. Kemudian ada gaya inventif yaitu berusaha
memecahkan permasalahan yang belum diselesaikan selama ini setelah melakukan evaluasi
terhadap pengetahuan yang telah tersaji sebagai data.
Penelitian filsataf harus berpijak pada gaya inventif. Filsuf harus mempunyai pendapat pribadi
dan harus menyusun sistematika pribadi. Ia membutuhkan inspirasi, komunikasi, bahkan
konfrontasi dengan filsuf lain. Penelitian harus bersifat heuristik artinya aktualisasi pemikiran
terus menerus. Filsafat memerlukan ilmu lain sebagai sumper pengalaman yang otentik.
Pengetahuan rasional memiliki tiga tingkatan: pengetahuan biasa yaitu pengetahuan intuitif
spontan dan tidak perlu penalaran formal,dan diperoleh dalam pergaulan dengan sekitarnya,
pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang terorganisir dimana mencari hubungan-hubungan
tetap diantara gejala-gejala dengan menggunakan sistem dan metode, pengetahuan filsafat yaitu
mencari penjelasan terakhir dari gejala-gejala dan berusaha mempelajari asumsi-asumsi paling
dasar di dalamnya. Pengetahuan filsafat ini merupakan lanjutan dari dan refleksi atas objek
pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah empiris.
Metode ilmiah yang dipakai sangat tergantung dari objek formal ilmu yang bersangkutan.
Diperlukan hampiran yang tepat untuk setiap ilmu yang berbeda tarafnya. Pendekatan dalam
berbagai macam ilmupun juga berbeda menurut objek konkritnya.
Kenyataan dalam arti luas adalah dunia manusia (yang terdiri dari empat taraf: taraf pelikan atau
fisiko kimis, dunia hidup atau bios, dunia psikis atau persepsi, nafsu dan naluri, dunia human
(terdiri empat level atau lapisan: bidang ekonomis yang berupa barang milik, dunia sosiopolitis
yang berupa lembaga sosial , struktur sosial dan kekuasaan, dunia humanis yang berupa
hubungan antar pribadi, persahabatan dan pendidikan, dan dunia religius yang hubungan antar
umat religius).
Filsafat tidak hanya terbatas pada salah satu bidang atau lapisan kenyataan, melainkan meliputi
semua bidang dan semua dimensi yang diteliti oleh ilmu-ilmu lain dan membuat bidang itu
semua tanpa pengecualian menjdi objek langsung bagi penelitiannya. Semua bidang itu oleh
filsafat dipelajari menurut sebab-sebab yang mendasar; dalam hal inilah terletak objek formal
filsafat. Secara konkrit semua bidang oleh filsafat dipelajari, sejauh berkaitan dengan hakekat
manusia sendiri. Manusia harus dilihat dalam keutuhannya. Maka filsafat sebagai ilmu dicap
oleh objek formal ini: manusia sebagai manusia.
Kita akan membahas sifat hakiki objek formal filsafat. Manusia itu objek. Ia dapat dipelajari
menurut apa adanya; ia dapat diobservasi dan diselidiki dari jarak jauh. Ia tidak kalah dengan
objek ilmu-ilmu eksakta, bahkan ia lebih kaya dan lebih kompleks daripadanya. Namun manusia
juga subjek,. Dengan kesadaran ia menjalankan diri menjadi sumber sadar bagi kegiatannya
sendiri. Manusia mengekspresikan diri. Dengan demikian ia menjadi data yang dapat diobservasi
dan diukur; dalam dirinya, dalam tingkah laku dan bahasanya, dalam kegiatannya manusia
merupakan suatu data jasmani dan dimensional atau suatu physcical fact. Akan tetapi manusia
juga suatu human act. Ekspresinya diresapi oleh arti dan nilai dan maksud, oleh gaya dan intensi
rohani. Arti dan nilai itu berbeda dengan ilmu eksakta.
Dalam pelaksanaan segala macam penelitian seseorang peneliti akan berhadapan dengan
kenyataan. Dalam kenyataan terdapat tiga aspek yaitu bisa bebentuk fakta, berbentuk data dan
berbentuk gejala. Fakta adalah suatu perbuatan atau kejadian. Data adalah pemberian dalam
wujud hal atau peristiwa yang disajikan atau wujud sesuatu yang tercatat tentang hal, peristiwa,
atau kenyataan lain. Gejala adalah sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa atau
kejadian. Fakta ditangkap sebagai suatu ekspresi manusia entah dalam pribadi manusia sendiri
(bahasa, tarian, deklamasi dan kesopanan) atau dalam salah satu produk (puisi, sistem hukum,
karya seni, alat, struktur sosial).Pada dasarnya interpretasi berarti tercapai pemahaman benar
mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari.
Untuk memahami hakikat manusia tidak cukuphanya menyebut suatu deretan sifat-sifat yang
tidak berhubungan satu sama lain. Hanya ada pemahaman benar, jika semua unsur struktural
dilihat dalam satu struktur yang konsisten, sehingga benar-benar merupakan internal structures
atau internal relations. Dalam penelitian filsafat, subjek yang menjadi objek studi tidakhanya
dilihat secara atomistis yaitu secara terisolasi dari lingkungannya melainkan ditinjau dalam
interaksi dengan seluruh kenyataannya. Oleh karena itu baik dia sendiri, manupun ekspresinya,
bersama pula lingkup jamannya sendiri, harus dilihat menurut perkembangannya. Masing-
masing orang bergumul dalam antar relasi dengan dunianya, untuk membentukkan nasibnya dan
sekaligus dibentuk olehnya.
Hermeneutika bertitik pangkal dengan mempersoalkan pemahaman historis manusia. Subjek saat
sekarang ini menjelaskan objek penelitian yang lampau; tetapi sebaliknya yang lampau
menjelaskan situasi subjek bagi dirinya sendiri juga. Yang lama tetap berharga, tetapi mendapat
arti baru; yang baru hanya diketahui berdasarkan yang lama. Dalam refleksi atas objek dan
refleksi atas subjek yang diselidiki diusahakan mengkontruksikan suatu gambaran atau struktur
yang murni dan konsisten, dan yang dengan cara sempurna memperlihatkan ciri-ciri khas yang
berlaku bagi hakikat yang dilihat.
Model yang paling sederhana ialah model pertama yaitu penelitian historis faktual salah satu
tokoh model penelitian historis faktual mengenai naskah atau buku. Model kedua adalah
penelitian faktual suatu konsep sepanjang sejarah. Langkah berikutnya yang lebih kompleks
ialah model ketiga yaitu penelitian komparatif diantara totoh-tokoh, atau buku-buku atau
konsep-konsep. Ketiga model pertama itu pada dasarnya merupakan penelitian pustaka.
Model keempat langsung mengarahkan diri ke kenyataan yang hidup yaiu penelitian pandangan
filosofis di lapangan, tetapi kenyataan itu diambil menurut apa adanya, diusahakan dipahami,
dan dideskripsikan.. Model keenam (yang terakhir) merupakan model yang paling kompleks,
sebab dari satu pihak berangkat dari kenyataan konkret yaitu penelitian masalah aktual di
lapangan. Kemudian berakhir dengan refleksi pribadi yang otonom yaitu penelitian mengenai
teori ilmiah.
Refleksi tentang kenyataan sendiri tidak boleh absen dalam model mana saja, akan tetapi baru
model penelitian lapangan, model sistematis-reflektif, dan refleksi tentang masalah aktual,
memberikan bobot penuh pada unsur itu, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Dengan
demikian masing-masing model ditandai oleh salah satu aspek khusus yang mewarnai seluruh
arah penelitian. Masing-masing model itu dibicarakan semurni mungkin, dengan memberikan
segala tekanan pada aspek khusus itu. Akan tetapi dapat juga dibuat kombinasi beberapa model,
sehingga lebih dari satu segi diselidiki dengan mendalam.

http://nurmidacatherine.wordpress.com/2012/04/04/metodologi-penelitian-filsafat/

Anda mungkin juga menyukai