Anda di halaman 1dari 5

Editorial

Penatalaksanaan Difteri

Fitriana, Harli Novriani

Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Balitbangkes,


Kemenkes RI, Jakarta, Indonesia

Pendahuluan
Kejadian epidemi atau peningkatan kasus difteri
Difteri adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh dapat terjadi pada suatu daerah yang sebelumnya sudah
Corynebacterium diphtheriae, yang dapat menghasilkan dinyatakan terbebas dari difteri. Faktor resiko yang dapat
eksotoksin bila diinsersi Corynephage yang membawa menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sebagai berikut:
gen diphtheria toxin (dtx). Corynebacterium ulcerans dan adanya penderita difteri atau carier yang datang dari
Corynebacterium pseudotuberculosis juga dapat daerah endemik difteri, terjadinya penurunan cakupan
menghasilkan eksotoksin dan menyebabkan penyakit imunisasi, dan terdapat perubahan virulensi bakteri. 7,8 Pada
yang mirip difteri (diphtheria - like diseases).1 saat epidemi, dapat ditemukan tingkat carier sebesar 25-
Manifestasi utama pada saluran nafas atas biasanya 40% dari penduduk dengan pola kuman C. diphtheriae
disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam dari tipe gravis. Pada saat tidak terjadi epidemi maka
yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Penyakit difteri ditemukan tingkat carrier sebesar 0,5-1,2% dari penduduk
juga dapat membentuk membran adheren pada nasofaring dengan pola kuman C. Diphtheriae dari tipe mitis.6
yang pada akhirnya bisa menyebabkan obstruksi saluran Strain C.diphtheriae non toksigenik muncul di Inggris
nafas. Efek sistermik berat yang ditimbulkan oleh eksotoksin sebagai patogen potensial dengan peningkatan tipe gravis dari
dari difteri dapat menyebabkan miokarditis, neuritis, dan 51 isolat pada tahun 1993 menjadi 178 isolat di tahun 1997.
kerusakan ginjal.1-3 Tahun 1998 dari 163 isolat non toksigenik, 147 isolat yang
Kelompok risiko tinggi penyakit difteri terutama adalah dominan adalah tipe gravis, dan 15 isolat dari tipe mitis
anak-anak (golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia. Dewasa (umumnya terdapat pada kasus infeksi kulit), serta 1 isolat
ini di era vaksinasi terjadi perubahan epidemiologi dimana dari tipe belfanti. Hal tersebut di atas menimbulkan per-
penyakit difteri juga dapat terjadi pada orang dewasa. 4-6 tanyaan apakah sebenarnya imunisasi memang secara selektif
menghambat pertumbuhan strain yang toksigenik atau
laboratorium yang ada mempunyai layanan yang semakin
Korespondensi: Fitriana baik dalam mengidentifikasikan corynebacteria pada penyakit
E-mail: fitri.litbang@gmail.com

J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 541
Penatalaksanaan Difteri

difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan, karena Manifestasi Klinis
diketahui bahwa strain difteri non toksikogenik ternyata Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas
sering ditemukan pada pasien yang telah diimunisasi. 1,3,9 dengan disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis,
Imunitas tubuh terhadap difteri dapat diperoleh dari demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran
paparan alami terhadap bakteri tersebut atau dari pemberian adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fa-tal
vaksinasi. Vaksinasi difteri mulai diberikan secara luas pada karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek
tahun 1940-an di negara maju, dan sejak saat itu kemudian kasus sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan
difteri mulai mengalami penurunan dan menjadi langka dalam ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain
beberapa dekade, sedangkan pada negara berkembang yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus
pemberian vaksin dimulai pada tahun 1970-an, dan sejak saat itu
pada orang dengan standar hegienis yang buruk (contoh peng-
jumlah kasus difteri juga mulai mengalami penurunan. Studi
guna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi
level imunitas difteri pada orang dewasa di USA menunjukan
(dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).3,7,8
bahwa sekitar 20-90% dari penduduk ternyata tidak memiliki
imunitas yang cukup kuat terhadap penyakit Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi
infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan/
ini. 3,4,13,20
respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal.
Corynebacterium diphtheriae sebagai penyebab difteri Difteri pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas
masih banyak tersebar di seluruh daerah di dunia, prevalensi yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan
yang masih tinggi terdapat pada daerah Asia Selatan (India, medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala
Nepal dan Banglades), Asia Tenggara (Indonesia, Filipina, difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita
Vietnam, Laos dan Papua New Guinea), Sub Sahara Afrika difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian
(Nigeria), Amerika Selatan (Brazil), dan Timur Tengah (Iraq atas dan bawah.13
dan Afganistan). Saat pelayanan kesehatan menurun dan atau
Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan
level vaksinasi menurun maka penyakit ini dapat kembali
adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori
seperti yang telah terjadi dibeberapa bagian dunia dalam
eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip
beberapa tahun terakhir.3,4,13,20 seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk
membran dijaringan antara lubang hidung dengan disertai
Patogenesis lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap
tubuh dapat berkembang biak pada mukosa saluran nafas, ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan
untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diph- infeksi kepada or-ang lain.13
theria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian Infeksi kulit C.diphtheriae relatif jarang terjadi di daerah
dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan yang secara ekonomi baik, paling sering dilaporkan pada tuna
peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas hingga wisma dan biasanya terjadi di daerah tropis. Difteri kulit
terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis biasanya berupa ruam kulit atau terjadinya ulkus kulit yang
sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan kronis (bentuk yang paling umum), biasanya co-infeksi
membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. dengan Staphylococcus dan Streptococcus dan dapat
Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang menginfeksi luka yang sudah ada sebelumnya. Awalnya,
membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin infeksi terjadi di daerah yang terbuka, seringkali kecil, trauma
sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya dapat menyebabkan warna kemerahan dan rasa sakit, sampai
pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring, akhirnya lesi terbuka. Dalam waktu singkat, luka terbuka
bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran berkembang menjadi satu inci atau lebih dan menimbulkan
palsu dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa rasa sakit selama beberapa minggu atau lebih. Dapat ditutupi
dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran oleh pseudomembrane abu-abu atau coklat. Setelah membran
nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan.9,10 lepas, luka menjadi luka terbuka yang berwarna merah
Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan dengan rembesan darah. Jaringan sekitarnya berubah warna
menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan dan sering ditemukan adanya cairan. Walaupun infeksi ber-
jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta langsung lama tetapi relatif lebih ringan dan dapat dengan
menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan mudah diobati.13
tersebut. Bila mengenai jantung akan mengakibatkan Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran
terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada pernapasan pada orang yang mengalami penurunan imunitas.
jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati. Kematian Orang yang terpapar difteri kulit dapat meningkatkan level
biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung imunitas alaminya terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin
dan gangguan pernafasan.9,11,12 pada difteri kulit yang masuk melalui luka ke dalam jaringan

542 J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014
Penatalaksanaan Difteri

dapat menimbulkan respon imun terhadap difteri, Penyakit sering menjadi berat pada orang yang tidak
walaupun level toksin biasanya tidak cukup tinggi untuk diimunisasi, bila telah mendapat imunisasi lengkap maka
menyebabkan kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat dapat menjadi carier asimptomatik atau hanya mengalami
menjelaskan mengapa wabah difteri biasanya terjadi di gejala sakit tenggorok yang ringan. Komplikasi yang dapat
daerah beriklim sedang, dimana kasus infeksi kulit jarang terjadi adalah miokarditis, neuritis, obstruksi jalan nafas, dan
terjadi sehingga level imunitas alami yang terbentuk juga kematian. Rate kasus kematian pada difteri sekitar 10%.9,10
rendah, hal ini terutama terjadi pada anak-anak.13
Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap, Definisi kasus 14,15
yaitu:14 Istilah definisi yang biasa digunakan pada waktu
investigasi wabah adalah sebagai berikut:
Early : - Terdapat pseudomembran - Stridor (difteri laringeal)
- Sakit tenggorokan (difteri - Blood-stained nasal
Kasus suspek : * Laringitis/nasofaringitis/tonsilitis
faringotonsilar) discharge (difteri nasal)
* Dengan pseudomembran
- Hoarseness (difteri lari- - Swollen tender cervical
Kasus probable/
ngeal) lymph nodes
konfirmasi : * Kasus suspect dengan salah salah
Severe : - Swelling dan eodema leher
satu:
(“bull neck”)-Petekie hae- - Kolaps toksik sirkulasi
morhagik submukosa atau - Insufiensi renal akut - Baru kontak (<2 minggu) - Kolaps toksik sirkulasi
dengan kasus yang telah - Insufisiensi renal akut
kulit
dikonfirmasi - Miokarditis dan/atau
Late : - Miokarditis - Paralisis bibir
- Terjadi epidemi difteri paralisis satu sampai
- Paralysis soft palatum - Paralisis diafragma
- Stridor 6 minggu setelah onset
- Blurred vision
- Swelling/ eodema leher - Kematian
- Petechial haemorrhagic
submucosal / kulit
* Orang yang tinggal dengan kasus probable, atau suami/
Pemeriksaan klinis difteri meliputi:14 istri atau yang sering berhubungan dengan kasus pro-
- Pengukuran tanda vital terutama suhu bable (pekerjaan, akademik, sosial).
- Palpasi lymph nodes Kasus Kasus probable, plus salah satu dari:-
Konfirmasi : * Isolasi strain C. diphtheriae toksigenik dari lokasi
- Inspeksi pada dinding faring, tonsil, uvula, antrum tipikal (hidung, tenggorok, ulkus kulit, luka, telinga,
na-sal untuk melihat membran; luka dan lesi kulit konjungtiva, vagina).
* Peningkatan titer antibodi difteri dalam serum 4 kali
atau lebih besar, bila sampel serum diambil sebelum
pemberian toksoid difteri atau antitoksin.

Catatan: Penyakit yang disebabkan oleh C. ulcerans dan C. diphtheriae


non-toksigenik dikeluarkan dari definisi kasus ini.

Cara Penularan
Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama
terjadi karena kontak dekat dengan kasus atau carier.
Penularan dari manusia ke manusia secara langsung
umumnya terjadi melalui droplet (batuk, bersin, berbicara)
atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge
A. Difteri kulit
dari lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu,
baju, buku dan barang-barang yang terkontaminasi karena
bakteri cukup resisten terhadap udara panas, suhu dingin
dan kering.3,9,13,16,17

Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10


hari) 3 Periode Penularan3
- Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai
di atas hari ke-empat setelah terapi dengan antibiotik
yang efektif dimulai.
- Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui
saluran nafas dan lesi kulit masih dapat terjadi sampai
B. Difteri pernafasan 2-4 minggu setelah terinfeksi.
Gambar 1. Gambaran Klinis Difteri - Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan

J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 543
Penatalaksanaan Difteri

sampai enam bulan lebih setelah terinfeksi. membran yang telah meluas maka dapat diberikan ADS
sebanyak 100.000-120.000 unit intramuskular. 6
Identifikasi Sumber Infeksi
Mencari carier dari kultur hidung dan tenggorok Antibiotik
pada orang yang kontak dekat dengan penderita difteri Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin.
atau dari penyebab yang lain. Perlu ditanyakan adanya Rekomendasi pemberian adalah sebagai berikut: 3,14
potensi sumber infeksi pada 10 hari terakhir sebelum - Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada
onset terjadi, termasuk hal-hal di bawah ini: 3 anak-anak), 1,2 juta unit/dosis (pada orang dewasa).
- Perjalanan ke luar negeri, terutama dari daerah Pemberian intramuskular.
endemi difteri - Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2
- Kontak dengan orang yang berasal dari negara g/dosis, terbagi 4 dosis. Pemberian peroral dan parenteral
endemi difteri - Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular
- Pekerja atau sukarelawan tenaga kesehatan dan intravena
- Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari
Identifikasi Kontak Dekat
Identifikasi semua kontak dekat, khususnya anggota Manajemen Kasus3
keluarga dan orang lain yang secara langsung terkena
sekresi pernafasan dalam kasus, dan juga menentukan - Pasien rawat dengan konfirmasi difteri faring harus
status imunisasi mereka. 3 dirawat dengan standar pencegahan droplet sampai terapi
antimikroba dihentikan, dengan dua kultur yang diambil
Terapi minimal 24 jam terpisah dan minimal 24 jam setelah
terapi antimikroba dihentikan, dan hasil pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. laboratorium tidak ditemukan C. diphtheriae.
Jika diduga kuat difteri maka terapi spesifik dengan
- Pasien rawat dengan difteri kulit, harus dilakukan
antitoksin dan antibiotik harus segera diberikan tanpa tindakan pencegahan kontak sampai terapi antimikroba
menunggu hasil laboratorium, terutama pemberian dihentikan, dengan dua kultur yang diambil minimal
antitoksin difteri secepatnya. Terapi antimikroba 24 jam terpisah dan minimal 24 jam setelah terapi
diperlukan untuk meng-hentikan produksi toksin, dengan antimikroba dihentikan, serta hasil pemeriksaan
mengeradikasi mikroorganisme penyebab sehingga dapat laboratorium tidak ditemukan C. diphtheriae.
mencegah penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan suspek
difteri, harus dilakukan tindakan pencegahan paling - Pasien difteri harus dikonfirmasi untuk menghindari kontak
dekat dengan orang lain, sampai didapatkan dua kultur yang
sedikit dengan pemberian antibiotik selama 4 hari atau
diambil minimal 24 jam terpisah dan minimal 24 jam setelah
sampai diagnosis difteri dapat disingkirkan.3,14
terapi antimikroba dihentikan, dan hasil pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan C. diphtheriae.
Antitoksin Difteri
- Pasien yang terdiagnosis difteri harus divaksinasi dengan
Merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari toksoid difteri selama fase masa pemulihan, karena tidak
kuda. Antitoksin hanya menetralisir toksin yang berada selalu pada penderita tersebut terbentuk kekebalan.
dalam sirkulasi sebelum terikat dengan jaringan.
Pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko Manajemen Kontak3
miokarditis dan neuri-tis. Tes sensitivitas dapat dilakukan
sebelum pemberian antitoksin difteri.14 - Kontak dekat dengan simptom yang sesuai dengan
difteri, harus dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk
Bila membran hanya terbatas pada nasal atau per-mukaan
evaluasi segera.
saja maka Anti Difteri Serum (ADS) dapat diberikan 20.000 unit
intramuskular, bila sedang maka ADS dapat diberikan sebesar - Semua kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi
60.000 unit intramuskular, sedangkan pada difteri, harus dikultur dengan sampel yang diambil
dari hidung dan tenggorokan, tanpa melihat status
imunisasi mereka atau simptom yang ada.
Tabel 1. Rekomendasi WHO untuk Dosis Antitoksin pada
Tipe Difteri 14 - Setelah kultur dikumpulkan, kontak dekat harus menerima
Tipe Difteri Dosis (unit) Cara Pemberian dosis tunggal Penisilin benzatin (IM) (600.000 unit untuk
usia < 6 tahun, dan 1.2 juta unit untuk usia >6 tahun) atau
Hidung 10.000 -20.000 Intramuskular Eritromisin oral (40 mg/kg/dosis untuk anak-anak, dan 1
Tonsil 15.000 -25.000 Intramuskular/Intravena g/dosis untuk orang dewasa) selama 7-10 hari, tanpa melihat
Faring atau Laring 20.000 -40.000 Intramuskular/Intravena status imunisasi mereka. Kontak dekat yang mempunyai
Tipe campuran atau 40.000-60.000 Intravena
hasil kultur positif harus dilakukan kultur ulang setelah
Delayed diagnosis
selesai terapi, untuk memastikan eradikasi

54 4 J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014


Penatalaksanaan Difteri

terjadi. 4. McCluney NA, McKerrow WS. Should We Concerned About Diph-


theria in the UK. Surg JR Coll Surg Edinb Irel. 2004;2(4):234-235.
- Kontak yang sebelumnya pernah diimunisasi, harus
mendapat booster toksoid difteri bila sudah lebih dari 5 5. Galazkaa A. The Changing Epidemiology of Diphtheria in the
tahun sejak dosis terakhir. Kontak yang tidak Vaccine Era. The Journal of Infectious Diseases 2000;181(Suppl
diimunisasi harus memulai seri primer imunisasi segera. 1):S2–9.
6. Ditjen PP&PL Kemenkes RI. Buku Pedoman Penyelidikan dan
- Kontak dekat harus memperhatikan adanya gejala difteri Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan
yang akan timbul dalam 7-10 hari setelah terpapar Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit). Edisi revisi.
penderita difteri terutama bila tidak diimunisasi. 2011.
7. Markina SS, Maksimova NM, Vitek CR, Bogatyreva EY, Monisov
- Kontak dekat yang dalam pekerjaannya berhubungan
AA. Diphtheria in the Russian Federation in the 1990s. The Journal
dengan makanan atau anak-anak sekolah, maka harus of Infectious Diseases 2000;181(Suppl 1):S27-34.
diberhentikan untuk sementara waktu sampai terbukti 8. Golaz A, Hardy IR, Strebel P, Bisgard KM, Vitek C, Popovic T,
pemeriksaan bakteriologis bukan penderita carier, karena Wharton M. Epidemic Diphtheria in the Newly Independent States
transmisi difteri pernah dilaporkan melalui susu mentah. of the Former Soviet Union: Implications for Diphtheria Control in
the United States. The Journal of Infectious Diseases
2000;181(Suppl 1):S237–43.
Prognosis 9. Acang N. Difteri. Dalam: Noer HMS, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 Ed. ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996.
Prognosis dapat tergantung pada virulensi dari bakteri yang
10. Lumio J. Studies on the Epidemiology and Clinical Characteris-tics of
menyerang, lokasi dan perluasan membran, status imunitas, serta Diphteria during the Russian Epidemic of the 1990s (dis-sertation).
kecepatan dalam mendapat pengobatan dan perawatan. Dari Finlandia: University of Tampere; 2003.
virulensi bakteri, biotipe gravis mempunyai prognosis yang 11. De Zoysa A, Efstratieu A. Corynebacterium spp. In: Gillespie SH
& Hawkey PM. Editor. Principles and Practice of Clinical bacte-
paling buruk, sedangkan lokasi difteri pada laring dapat
riology 2nd ed. 2006. USA:John Wiley & Son, Ltd.
menyebabkan meningkatnya persentasi kematian karena difteri 12. Johnson VG, Nichols PJ, Habig WH, Youle RJ. The Role of Pro-line
akibat terjadinya obstruksi saluran nafas. Pada status imunitas, 345 in Diphtheria Toxin Translocation. JBC. 1993;268(5): 3514-
prognosis akan menjadi lebih berat pada pasien yang tidak 3519.
13. Ditjen PP&PL Kemenkes RI. Gambaran KLB Diphteri Th 2000-
diimunisasi, sedangkan penderita yang semakin cepat mendapat
2010 di Jawa Timur. 2010.
pengobatan dan perawatan maka prognosis lebih baik, untuk itu 14. Begg N. The Expanded Programme on Immunization in the Eu-
maka perlu juga ketepatan dalam penegakkan diagnosis, karena ropean Region of WHO – Manual for the Management and Con-trol
keterlambatan dalam pengobatan dapat meningkatkan kematian of Diphtheria in the European Region. Copenhagen 1994.
15. Saikia L, Nath R, Jyoti Saikia N, et al. A Diphtheria Outbreak in
hingga 20 kali.9,18
Assam, India. Southeast Asian J Trop Med Public Health. May
Kematian kasus (CFR/cases fatality rate) akibat difteri 2010. Vol. 41, no.3.
di dunia masih cukup tinggi yaitu sekitar 3–10%. Kematian 16. Talsania N, Chauhan J, Nayak H, Shaha C, Modi K, Devaliya J.
kasus di Indonesia berdasarkan laporan kasus difteri dalam Investigation of an Outbreak of Diphtheria in Dabela Village of
Amirgagh Taluka and CHC, Banaskantha, Gujarat (Current Sce-
beberapa tahun terakhir adalah 5,6-27%, 3,13,17 untuk tahun nario). National Journal of Community Medicine. 2 July-Sept 2011.
2001 kematian kasus sebesar 11,7-31,9 %.19 Vol. 2.
17. Oram DM, Avdalovic A, Holmes RK. Construction and Charac-
Daftar Pustaka terization of Transposon Insertion Mutations in Corynebacte-rium
diphtheriae That Affect Expression of the Diphtheria Toxin
1. Efstratiou A, George RC. Laboratory Guidelines for the Diagno-sis Repressor (DtxR). J.Bacteriol. 2002;184(20): 5723–5732.
of Infections Caused by Corynebacterium diphtheriae and C.
18. Holmes KR. Diphtheria. In: Fauci AS, et al. Editor. Harrison’s
ulcerans. Commun Dis Public Health. 1999:2:250-7.
Principles of Internal Medicine 17th ed. 2008. USA: McGrow-Hills.
2. Versalovic A, Carroll KC, Jorgensen JH, et al. Manual of Clinical
Microbiology. 10th ed. Volume 1. ASM Press, Washington, DC. 19. http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912
2011. Section II, chapter 26, page 413.
20. Soriano F, Zapardiel J, Nieto E. Antimicrobial Susceptibilities of
3. Kartno B, Purwana R, Djaja IM. Hubungan Lingkungan Rumah Corynebacterium Species and Other Non-Spore-Forming Gram-
dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Positive Bacilli to 18 Antimicrobial Agents. Antimicrobial Agents
Tasikmalaya (2005-2006) dan Garut Januari 2007, Jawa Barat. and Chemotherapy. Jan 1995. Vol.3, Np.1, P.208-214.
Makara Kesehatan. 2008;12:8-12.

J Indon Med Assoc, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014 545

Anda mungkin juga menyukai