Anda di halaman 1dari 26

ANDI YANG TIDAK SADAR

Andiusia 24 tahun kecelakaan lalu lintas. Tabreakan sepeda motor dengan


sepeda motordari arah berlawanan pada 24 januari 2014/20.30 wib/Medan dan di
bawa polisi ke IGD pada tanggal 24januari 2014/22.45 wib. Kesadaran GCS 7
(E2M4V1). Pupil anisokor, 4/3 mm RC +/- (Lambat). LOC (+), Trauma lain:
Tanda-tanda vital: TD: 140/90 mmHg, HR : 88/xi, RR: 24/xi

Terminologi Asing

1. Pupil Anisokor >> Anisokor, juga dikenal sebagai ukuran pupil tidak sama,
adalah suatu kondisi medis yg ditandai dgn ukuran pupil
(lubang hitam) yg berbeda-beda pada kedua mata

2. LOC (loss of consciousness) >>Pengukuran daya rangsang dan responsibilitas


terhadap rangsangan dari lngkuhan

3. GCS (Glasgow Coma Scale)>>Skala yang digunakan untuk menilai tingkat


kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau
tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan
yang diberikan.

PENJELASAN

1. Ciri-ciri Pupil Anisokor


 Perubahan bentuk yang ditandai dengan ukuran pupil yang berbeda
 Terjadi akibat :
 Tekanan darah yang meningkat
 Perdarahan Subaraknoid
 Cairan meningkat dikepala (Hidrosefalus)
 Subdural/Epidural Hematom
2. LOC
Yang diukur dari LOC adalah >> - Metakonsius
- Saadar
- Bingung
- Mengigau
- Mengantuk
- Obtunded
- Bodoh
3. GCS

SKEMA

ANDI (24TH)

KECELAKAAN
 GCS 7
 Pupil Anisokor
PEMERIKSAAN FISIK  RC -/+ (Lambat)
 LOC +
 Trauma lain (-)
 TD 140/90 mmHg
 HR 88x/menit
 RR 24x/menit

Diagnosis Sementara

CKB GCS 7 = Epidural Hematoma


LEARNING OBJECTIVE

1. Definisi Epidural Hematom


2. Epidemiologi Epidural Hematom
3. Etiologi Epidural Hematom
4. Patofisiologi Epidural Hematom
5. Manifestasi Klinis Epidural Hematom
6. Penegakan Diagnosis Epidural Hematom
7. Diagnosis Banding Epidural Hematom
a. Subdural Hematom
b. Perdarahan Subaraknoid
8. Penatalaksanaan Epidural Hematom
9. Komplikasi Epidural Hematom
10. Prognosis Epidural Hematom
EPIDURAL HEMATOM

1. DEFINISI
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena
fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater. Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera
kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural
paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea
media.

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang


paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan epidural
hematom (EDH).
EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan
dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial
hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang
temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan
arteri maka hematom akan cepat terjadi.

2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH
dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat.
Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah
berjalan dan sering jatuh.
60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi
pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat
pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
Tipe- tipe :
1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri
2. Subacute hematoma ( 31 % )
3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

3. ETIOLOGI
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur
duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma
kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau
fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun
fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).Pada
pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya
arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.

4. PATOFISIOLOGI
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respon motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar.

Sumber perdarahan :
 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica
Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara
duramater dan lamina interna tulang pelipis.
Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak terdorong kesisi
lain (4)
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala
yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,
harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.
5. GEJALA KLINIS
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus diobservasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :


 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susahbicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak.
Jika EDH di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas
tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

6. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.

a. Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan
sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang
yang memotong sulcus arteria meningea media.

b. Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling
sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis
fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang
akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Gambar: Epidural hematom


c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga
dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu
jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

d. Pemeriksaan Laboratorium
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit)
penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan
maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin
jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati
dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor
yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif. (1)
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan
yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi,
yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas
dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti.
Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik;
karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.

7. DIAGNOSIS BANDING
A. SUBDURAL HEMATOM
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater
dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan
hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma
hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak
mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak
penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
A.1 Definisi
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan
temporal.Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan
ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik
pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai
dengan distribusi “bridging vein”.

A.2 Etiologi
Pada subdural hematom, keadaan ini timbul setelah trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena
yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan
de akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-vena.Pada waktu
akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke
arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah
dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi
kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di
seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi
kontusio “contercoup”.
A.3 Patofisiologi
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus
dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif
kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid.
Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang
dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang
lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan
olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.
Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan
yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang
menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian
bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi-
kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari
bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan
protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang
yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.

A.4 Gejala Klinis


Gejala yang timbul pada subdural :
1. Subdural Hematoma Akut
 Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma
sampai dengan hari ke tiga
 Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya
sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya

 Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas


 Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi
 pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit

2. Subdural Hematoma Subakut


 Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 –
minggu ke 3 sesudah trauma
 Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula
di sekitarnya
 adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
 Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda
status neurologik yang memburuk.
 Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.
 Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan
tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

3. Subdural Hematoma Kronis


 Biasanya terjadi setelah minggu ketiga
 SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua
 Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk
kapsul, saat tersebut gejala yang terasa Cuma pusing.
 Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.

 Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan


mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi
desak ruang.

Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >>


menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai
suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya
pelo atau lumpuh tiba-tiba.
A.5 Dagnosis
 CT- Scan

Gambar: Subdural hematom

 MRI

Gambar: Subdural hematom

A. 6 Tata laksana

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien


SDH, tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan
radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi, perhatiaan hendaknya
ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk menurunkan
peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25
gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan.
Tidakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada
gejala- gejala yang progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil kepetusan untuk
tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway, breathing, dan
circulatioan.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau
pergeseran midline shift >5 mm pada CT-Scan

B. PERDARAHAN SUBARAKHNOID
B.1 Definisi
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah
pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis.
Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke
rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan
lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang
membungkus otak (meninges).

B.2 Etiologi
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid
adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya
malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang
dapat terbentuk di arteri otak seperti :
1. Aneurisma sakuler (berry)

Gambar: Aneurisma sakular (berry)


Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial.
Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%),
bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri
karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri
komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat
menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya
bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans
posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf
kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).

2. Aneurisma fusiformis

Gambar: Aneurisma fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang


disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada
segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media,
dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh
aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada
arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam
aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intra-
aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak dapat
ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh
darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti
aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.

3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di
otak. Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan
hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang
mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan
subarachnoid.
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang
terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena
terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan
langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya.
Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang
langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena
langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri.
pPembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah
sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.9 MAV dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat
thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.

B.3 Patofisiologi
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri
serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi
anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang
paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri
communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi
posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri
basilar ke arterie otak posterior.
Gambar: Lokasi aneurisma
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi
orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma
intrakranial dan rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa
aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik
pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil.
Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi
menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya
lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya,
aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari
dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko
rupture menjadi rendah.
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan
kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur.
Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada
aneurisma yang tidak rupture.
Aneurisma yang pecah
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien
berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat
dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari,
dan aktivitas berat.
Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis
pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3
minggu sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan
berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari
berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture
dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian
pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%.

B.4 Gejala Klinis


Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar,
meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,
2. Hilangnya kesadaran,
3. Fotofobia
4. Meningismus,
5. Mual dan muntah.

B.5 Diagnosis
 CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah
serangan.
Gambar 4. CT scan Perdarahan Subarakhnoid

skor Fisher juga bisa digunakan untuk mengklasifikasikan


perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada
pemeriksaan CT scan.

Tabel Skor Fisher


Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala
1 Tidak terdeteksi adanya darah
2 Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah
ukuran<1 mm, tidak ada jendalan
3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah
tebal dengan ukuran >1 mm
4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler
secara difus atau tidak ada darah
8. PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
 Dekompresi dengan trepanasi sederhana
 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.

2. Mengurangi edema otak


Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100
mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk
“menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang
dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu
singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an
bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan
efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah
beberapa jam atau keesokan harinya.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan
bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan
sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang
diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd
10 mg.
d . Barbiturat
Digunakan untuk mem”bius” pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
e.Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500--
2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang
menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30°
akan menurunkan tekanan intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama,
ialah: kepala dan leher diangkat 30°. sendi lutut diganjal, membentuk sudut
150°. telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai
bawah
3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang
dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta
fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari
lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifat-nya asam
sehingga mengiritasi vena.
b. Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA – suatu
neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari
intravena.
c. Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin
sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam
otak. Diberikan dalam dosis 10Q-500 mg/hari intravena.

Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
 Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 5 mm
 fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman
>1 cm
 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang
 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan
untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka
operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di
sebabkan oleh lesi desak ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
 > 25 cc à desak ruang supra tentorial
 > 10 cc à desak ruang infratentorial
 > 5 cc à desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
 Penurunan klinis
 Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
 Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

9. KOMPLIKASI
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana
keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
2. Kompresi batang otak.

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan


yang mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak
menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin
tersumbat, menyebabkan infark serebral. (1)
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam
batang otak, paling sering di pons. (1)
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral,
yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan
dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil,
dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah. (1)
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista
leptomeningeal atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi
dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah
robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal
biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

10. PROGNOSIS
Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :
 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara
7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.

Anda mungkin juga menyukai