Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

PENANGANAN EPISTAKSIS BERDASARKAN

FAKTOR RISIKO PADA ANAK

Pembimbing :

Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adjie, Sp. THT-KL

Diajukan Oleh :

Putri Andini, S.Ked. J510170079

Risya Nur Fadillah S, S.Ked. J510170071

Yuniana Nur Rezki, S.Ked. J510170029

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKT THT

RSUD KARANGANYAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
REFERAT

PENANGANAN EPISTAKSIS BERDASARKAN

FAKTOR RISIKO PADA ANAK

Diajukan Oleh:

Putri Andini, S.Ked. J510170079

Risya Nur Fadillah S, S.Ked. J510170071

Yuniana Nur Rezki, S.Ked. J510170029

Telah disetujui dan dipertahankan dihadapan dewan penguji kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok RSUD Karanganyar Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Pembimbing I
Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adjie, Sp. THT-KL

(…………………………………)

Ka. Program Profesi


dr. D. Dewi Nirlawati

(…………………………………)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Epistaksis atau perdarahan hidung adalah keadaan yang sering dijumpai dalam
kehidupan sehari - hari. Sebagian besar kasus epistaksis bersifat benigna, terjadi spontan
dan sembuh sendiri tetapi biasanya bisa terjadi berulang. Berdasarkan lokasinya, epistaksis
dibagi menjadi epistaksis anterior atau epistaksis posterior yang menentukan sumber
perdarahan (Punagi, 2017).
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir
90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, terutama terjadi
pada anak-anak dan usia lanjut. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia
dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas. Epistaksis jarang terjadi
pada bayi tanpa adanya suatu keadaan koagulopati atau patologis pada hidung (misalnya,
atresia koanal, neoplasma). Anak-anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki insiden
lebih jarang (Punagi, 2017).
Seringkali seorang anak dibawa berobat ke Unit Rawat Jalan dengan keluhan
perdarahan dari hidung yang berulang. Tidak bergantung pada tingkat keparahan
perdarahan, hal ini selalu menimbulkan kecemasan pada orang tua. Suatu penelitian cross-
sectional terhadap 1218 anak usia 11-14 tahun melaporkan bahwa 9% mengalami episode
epistaksis sering. Berdasarkan atas daerah asal perdarahan epistaksis dibagi atas dua
kategori, yaitu epistaksis anterior dan posterior. Daerah asal perdarahan yang paling sering
adalah pleksus Kiesselbach, yaitu daerah septum anterior tempat pembuluh darah yang
berasal dari arteri karotid internal dan karotid eksternal bertemu. Daerah ini memiliki
mukosa tipis sehingga rentan terhadap paparan udara dan trauma (Bidasari et al, 2007).
Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal
termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular, iatrogenik, kelainan
struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainan
hematologi, lingkungan (temperatur, kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh
antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya
hipertensi. Namun epistaksis merupakan alasan paling umum untuk rujukan anak ke bagian
rawat jalan THT di rumah sakit. Pendarahan biasanya berasal dari septum anterior, septum
deviasi, trauma digital, benda asing, kolonisasi S.aureus serta rhinosinusitis kronis yang
berulang telah disarankan sebagai faktor mimisan tertentu pada anak-anak (Bequignon et
al, 2016).
Epistaksis merupakan keadaan yang dapat mengancam nyawa. Pasien dengan
perdarahan aktif membutuhkan pemeriksaan lengkap dan resusitasi jika diperlukan. Tanda
vital harus diawasi secara teratur. Selama resusitasi, pada umumnya perdarahan dapat
dikendalikan dengan penekanan jari (Bidasari et al, 2007). Epistaksis adalah kondisi yang
sangat umum selama masa kanak-kanak. Selama masa studi 10 tahun, epistaksis
menyumbang sekitar 1 dari 200 kunjungan ED di Amerika Serikat, dengan usia awal (usia
<10 tahun). Pada anak-anak sampai usia 19 tahun, jumlah kunjungan ED yang disebabkan
oleh epistaksis adalah 1. 133 847 pasien. Setidaknya 75% anak-anak akan memiliki
setidaknya satu episode epistaksis. Biasanya sembuh secara spontan, hanya membutuhkan
suntikan hidung dan kompresi bidigital (Bequignon et al, 2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. HEMOSTASIS DAN PERDARAHAN


Hemostasis adalah proses fisiologis multistep yang menjaga integritas vaskular
dengan menyeimbangkan proses yang menjaga darah dalam keadaan cairan dan
Mencegah pendarahan yang berlebihan setelah cedera. Hemostasis melibatkan trombosit,
faktor pembekuan plasma, antikoagulan secara alami dan sel endotel yang melapisi
pembuluh darah. Dalam rangka untuk mengubah darah menjadi sem isolid bekuan dengan
eritrosit terjebak dalam meshwork fibrin nya. Proses hemostasis dimulai saat hilangnya
integritas endotel sehingga plat membiarkan aktivasi Setelah aktivasi. Pelat
memungkinkan pelepasan granula adhesi. dan agregasi untuk membentuk sumbat
trombosit primer. Pembentukan steker hemostatik sekunder. Semen memasang steker
trombosit, membentuk yang tidak larut. Untuk terjadi, pembentukan bekuan definitif
memerlukan aktivasi kaskade koagulasi, yang mengakhiri s dengan trombin mengubah
fibrinogen menjadi fibrin yang tidak larut. Langkah terakhir dari proses ini melibatkan
pembelahan fibrinolisis atau kluks, yang melibatkan tindakan plasm untuk melarutkan
bekuan dan Memungkinkan aliran darah untuk dibangun kembali dan penyembuhan
jaringan berlangsung

SPASME PEMB. DARAH


spasme pembuluh darah
yang Cedera di pembuluh
darah menyebabkan otot
polos pembuluh darah
masuk ke dinding pembuluh
darah sehingga berkontraksi
dan seketika mengurangi
aliran darah. Kedua refleks
neural lokal dan faktor
humoral lokal seperti
tromboksan A2 (TXA yang
dilepaskan dari trombosit,
berkontribusi pada
vasokonstriksi
Pembentukan Platelet Plug.
Deteksi setelah cedera pembuluh
darah, faktor von Willebrand
dilepaskan dari endotelium,
mengikat reseptor trombosit ,
Menyebabkan adhesi trombosit pada
serabut kolagen yang terpapar
(inset). Karena trombosit menempel
pada serat kolagen pada dinding
pembuluh yang rusak, mereka
menjadi aktif dan melepaskan
adenosine difosfat (ADP) dan
TXA2. ADP dan TXA2 menarik
trombosit tambahan. Menyebabkan
agregasi trombosit

Koagulasi darah
Koagulasi darah adalah proses kompleks
yang melibatkan aktivasi sekuensial
berbagai faktor dalam darah. Ada dua
jalur koagulasi: (1) jalur intrinsik yang
dimulai dalam sirkulasi dan dimulai
dengan aktivasi faktor sirkulasi XII, dan
(2) jalur ekstrinsik yang diaktifkan oleh
lipoprotein seluler yang disebut faktor
jaringan yang menjadi Terpapar saat
jaringan terluka. Kedua jalur mengarah
pada aktivasi faktor X, konversi
protrombin (II) menjadi trombin IIa), dan
konversi fibrinogen ke benang fibrin (la)
yang tidak larut yang mempertajam
gumpalan itu bersama-sama

Clot Retraction.
Dalam beberapa menit setelah bekuan
terbentuk, aktin dan myosin di trombosit
yang terjebak dalam gumpalan mulai
berkontraksi dengan cara yang serupa
dengan otot. Hasil dari. gumpalan Helai
fibrin ditarik ke arah trombosit,
sehingga memeras serum (plasma tanpa
fibrino- gen) dari bekuan dan
menyebabkannya mengecil.
Pembubutan pembubuhan atau lisis.
Pembubukan pembubaran dimulai segera
setelah bekuan terbentuk. Ini dimulai
dengan aktivasi plasminogen, prekursor
enzim proteolitik yang tidak aktif,
plasmin. Saat gumpalan terbentuk.
Sejumlah besar plasminogen terjebak
dalam gumpalan darah. Pelepasan yang
lambat dari jaringan yang terluka dan
endotel vaskular veteran aktuator yang
sangat kuat yang disebut aktivator
plasminogen jaringan (t-PA) mengubah
plasminogen menjadi plasmin, yang
mencerna hem fibrin, menyebabkan
gumpalan pembubuhan.

2. INFEKSI
a. Infeksi Virus Dengue Dan Perdarahan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Di dalam tubuh
manusia, virus berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial, dengan target utama
virus dengue adalah APC ( Antigen Presenting Cells ) di mana pada umumnya berupa
monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Virus
bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel
limfosit T.
infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain)
karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi
IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan
reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan
(enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang
beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag
mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF
alpha dan juga “Platelet Activating Faktor” (PAF).
TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi
antigen antibodi kompleks, menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh disebabkan kerusakan endothel pembuluh
darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan
mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan
merangsang komplemen. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Trombositopenia terjadi akibat peningkatan destruksi trombosit oleh sistem
retikulositendotelial, agregasi trombosit oleh endotel vaskular yang rusak, serta trombosit
menurun oleh sumsum tulang.
Dalam keadaan normal, trombosit dalam sirkulasi tidak melekat pada sel-sel endotel
resting, tetapi jika terjadi injury vaskular, trombosit akan melekat dan menstimulasi ke
sel-sel endotel, peristiwa tersebut berperan dalam terjadinya trombosis dan hematosis.
Jejas endotel menyebabkan munculnya berbagai molekul adesif. Proses apoptosis pada sel
endotel dengan TNFα sebagai fas ligand menyebabkan sel endotel leas dari ikatan
subendotel dimana terdapat molekul Von Wildbrand Factor yang muncul pada permukaan
muara pada agregasi trombosit lalu melekat pada dinding vaskular. Jejas pada endotel
diikuti dengan penurunan aktivitas antikoagulan.

Terbentuknya kompleks antigen-antibody menyebabkan proses trombositopenia dan


mengaktifkan sistem koagulasi. Proses ini dimulai dari aktivasi faktor XII (Hagemen)
membentuk XIIa yang aktif, selanjunya faktor XIIa akan mengaktifkan faktor koagulasi
mengikuti cascade sehingga terbentuk fibrin. Aktivasi faktor XII menggiatkan sistem
kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Faktor XIIa mengaktifkan
fibrinolisis melalui enzimatis sehingga terjadi perubahan plasminogen menjadi plasmin,
plasmin yang bersifat proteolitik dengan sasaran khususnya adalah fibrin. Aktivasi sistem
kogulasi dan fibrinolisis berkepanjangan berakibat menurunkan faktor koagulasi seperti
fibrinogen II, V, VII, VIII, IX dan X serta plasminogen. Keadaan ini semakin
memperberat perdarahan pada pasien DBD ditambah dengan trombositopenia
mengakibatkan masa trombin dan masa perdarahan memanjang, penurunan kadar faktor
pembekuan II, V, VII, VIII, IX dan X bersama dengan hipefibrinogemia dan peningkatan
produk pemecahan fibrin (FDP).

3. Hubungan Trauma dengan Epistaksis

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih
hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek
hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior.
Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma
pembedahan.
Penanganan epistaksis pada pasien ini awalnya dengan memencet hidung (ala nasi ke
septum) selama 10 menit, fungsinya sebagai tampon pada pembuluh darah pada bagian
anterior septum. Evaluasi sumber perdarahan tidak jelas terlihat, perdarahan berhenti. Hal
ini menunjukkan tampon anterior cukup efektif untuk menghentikan perdarahan.
Pemasangan tampon anterior dapat menghentikan perdarahan hidung pada 60-80% kasus.
Hussain dkk menemukan tampon anterior adalah prosedur yang efektif untuk
menghentikan perdarahan pada 98,2% kasus. Tampon anterior harus dilapisi dengan
antibiotika topikal, dan pasien juga diberi antibiotika sistemik selain untuk mencegah
infeksi juga untuk mencegah toxic shock syndrome.
4. Hubungan Septum Spina dengan Epistaksis

Spina septum merupakan salah satu bentuk dari deviasi sptum yakni dengan bentuk
ujung septum meruncing. Deviasi septum dapat mengganggu aliran udara hidung normal
(adanya turbulensi udara) sehingga menyebabkan mukosa kering dan menyebabkan adanya
krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti
mengosok-gosok hidung (Bestari et al, 2013).
Penangan untuk spina septum dilakukannya septoplasty. Septoplasty bertujuan untuk
mengoreksi deformitas septum, sehingga akan meminimalisir kejadian turbulensi udara
dan juga dapat mengurangi vaskularisasi septum nasi dengan terbentuknya jaringan parut
pada jaringan yang berdarah (Bestari et al, 2013).

5. Hubungan Benda Asing dengan Epistaksis

Benda asing sebagai penyebab sumbatan hidung hamper selalu ditemukan pada
anak-anak. Anak-anak cenderung memasukkan benda-benda kecil ke dalam hidung seperti
manik-manik kelereng, kacang polong, batu dll. Gejala yang lazim adalah obstruksi
unilateral dan sekt yang berbau. Benda asing umumnya ditemukan di bagian anterior
vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar hidung (Adams et al,2015).
Anak-anak jauh lebih rentan daripada orang dewasa yang memiliki penyebab
perdarahan tertentu seperti epistaksis sekunder oleh benda asing. Epistaksis kemudian
karena peradangan lokal dengan pembentukan granuloma yang bisa menutupi benda asing.
Dalam kasus ini, epistaksis sering dikaitkan dengan penyumbatan hidung unilateral dan
rhinorrhea purulen. Setelah pengangkatan benda asing, granuloma akan hilang secara
spontan tanpa terulangnya epistaksis (Adams et al,2015).

6. Hubungan Kolonisasi Staphylococcus Aureus dengan Epistaksis


Studi terbaru menunjukkan bahwa kolonisasi Staphylococcus aureus pada rongga
hidung menyebabkan epistaksis berulang pada anak-anak. Dalam sebuah penelitian yang
menganalisis sampel rongga hidung anterior, kultur positif untuk S. aureus dilaporkan pada
68% anak-anak di kelompok epistaksis dan 20% rata-rata pada kelompok kontrol tanpa
epistaksis (Bequignon et al, 2016).
Peradangan kronis yang disebabkan oleh infeksi menginduksi neovaskularisasi,
menginduksi krusta , yang pada gilirannya menginduksi pruritus, menyebabkan sebagian
besar pasien, termasuk anak-anak, untuk memanipulasi ruang anterior dalam upaya untuk
mengekstrak krusta, sehingga akan memperburuk peradangan dan infeksi lokal (Bequignon
et al, 2016).
Analisis sampel biopsi arteriol berdinding tipis dan kapiler pleksus pada lima anak
yang menjalani kauterisasi di bawah anestesi umum menemukan infiltrasi inflamasi tanpa
varises vena dari arterial mikroaneurism; Epistaksis sekunder dapat terjadi akibat
neovaskularisasi dan mikrotrauma akibat peradangan kronis (Bequignon et al, 2016).

7. Hubungan Rhinosinusitis Kronis dengan Epistaksis

Rhinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu.
Rhinosinusitis kronis dan berulang bisa menyebabkan epistaksis. Meskipun bukan sebagai
penyebab epistaksis yang terbanyak, beberapa institusi melaporkan adanya rinosinusitis
kronis sebagai penyebab epistaksis. Data dari Sokoto, Nigeria menunjukkan dari 72 kasus
pasien epistaksis, ditemukan 8 orang (11,1%) disebabkan oleh rinosinusitis kronis. Studi di
Tanzania menunjukkan rinosinusitis kronis sebagai penyebab epistaksis keempat setelah
trauma, idiopatik, dan hipertensi (Bestari et al, 2013).
Rinosinusitis kronis dapat merusak mukosa yang menyebabkan meningkatnya
bakteri virulen dan terjadi epistaksis. Epistaksis pada penderita sinusitis kronis, bisa
disebabkan karena meningkatnya proses inflamasi, menghembuskan hidung untuk
mengeluarkan ingus atau adanya trauma (Bestari et al, 2013).
Untuk mencegah terulangnya perdarahan pada pasien ini, dilakukan operasi
eksplorasi dengan endoskopi. Pada pasien ditemukan adanya sinusitis maksilaris sinistra
dengan prosesus uncinatus dan bulla ethmoid yang membesar pada hidung kiri, sehingga
dilakukan uncinektomi dan ethmoidektomi. Mukosa hidung yang sudah rusak pada
penderita sinusitis dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Dengan dilakukannya bedah
sinus endoskopi ini diharapkan dapat memperbaiki fungsi mukosa hidung, dan mencegah
kambuhnya sinusitis dan epistaksis (Bestari et al, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN

Epistaksis atau perdarahan hidung adalah keadaan yang sering dijumpai dalam
kehidupan sehari - hari. Sebagian besar kasus epistaksis bersifat benigna, terjadi spontan dan
sembuh sendiri tetapi biasanya bisa terjadi berulang. Berdasarkan lokasinya, epistaksis dibagi
menjadi epistaksis anterior atau epistaksis posterior yang menentukan sumber perdarahan.
BAB IV
KESIMPULAN

Bermacam-macam cara mengatasi epistaksis tergantung dari asal perdarahan dan berat
ringannya perdarahan telah dikemukakan. Namun dalam penatalaksanaannya, pertu pula
dicari faktor penyebab sistemik jika dicurigai keberadaannya melalui berbagai pemeriksaan
termasuk konsultasi ke ahli penyakit dalam. Pasien/orang tua pasien biasanya dalam keadaan
panik sehingga terapi suportif juga penting untuk dilaksanakan.
Jika penyebabnya suatu tumor, diagnosis dini merupakan suatu tindakan yang harus
dilaksanakan agar perluasan tumor dapat dihindarkan, namun tindakan ini dapat berbahaya
jika tumor tersebut merupakan tumor pembuluh darah. Umumnya semua tindakan harus
dilaksanakan dengan cermat, cepat dan tepat dengan memikirkan semua kemungkinan
penyebab epistaksis.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L, Boies, Lowewnce, Higler, Peter A., Alih Bahasa Wijaya Caroline, Effendi
Harjanto, Santoso, RA Kuswidayati. BOEIS: Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:EGC
Bestari Jaka Budiman, Yolazenia., 2013. Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik,
Spina pada Septum dan Telangiektasis. Padang: FK Unand
Bequignon E, Teissier N, Gauthier A, Brugel L, Kermadec De L, Coste A, Pruliere-Escabasse
V., 2016. Emergency Department Care of Childhood Epistaxis. Paris: Emerg Med J
2016;0:1–6.
Bidasari Lubis, Rina A C Saragih,. 2007. Tatalaksana Epistaksis Berulang pada Anak.
Medan: FK USU Vol. 9, No 2.
FK UI (2012) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: Badan
Penerbit FK UI.
Punagi, Abdul Qadar., 2017. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini.
Makasar:Digi Pustaka

Anda mungkin juga menyukai