Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman

2.1.1. Pengertian Higiene

Ditinjau dari ilmu kesehatan lingkungan istilah higiene dan sanitasi mempunyai

perbedaan-perbedaan. Yang dimaksud dengan higiene adalah usaha kesehatan

masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan

manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan

tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin

pemeliharaan kesehatan. (Azwar, 1990).

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi

kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk

melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring,

membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara

keseluruhan (Depkes RI, 2004).

2.1.2. Pengertian Sanitasi

Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada

pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat

kesehatan manusia (Azwar, 1990).

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan

lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan

mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak

dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).


2.1.3. Pengertian Makanan dan Minuman

Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat

dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.

Adapun pengertian makanan yaitu semua substansi yang diperlukan tubuh, kecuali air

dan obat-obatan dan semua substansi-substansi yang dipergunakan untuk pengobatan

(Depkes RI, 1989).

Minuman adalah segala sesuatu yang diminum masuk ke dalam tubuh

seseorang yang juga merupakan salah satu intake makanan yang berfungsi untuk

membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberi tenaga, mengatur semua proses

di dalam tubuh (Tarwotjo, 1998).

Higiene sanitasi makanan dan minuman adalah upaya untuk mengendalikan

faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat

menimbulkan gangguan kesehatan dan keracunan makanan (Depkes RI, 2004).

2.2. Peranan Makanan Sebagai Media Penularan Penyakit

Menurut Sihite (2000), makanan dalam hubungannya dengan penyakit, akan

dapat berperan sebagai :

1. Agen

Makanan dapat berperan sebagai agent penyakit, contohnya : jamur seperti

Aspergillus yaitu spesies dari genus Aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan

hampir dapat tumbuh pada semua substrat, fungi ini akan tumbuh pada buah busuk,

sayuran, biji-bijian, roti dan bahan pangan lainnya.


2. Vehicle
3.

Makanan juga dapat sebagai pembawa (vehicle) penyebab penyakit, seperti :

bahan kimia atau parasit yang ikut termakan bersama makanan dan juga beberapa

mikroorganisme yang patogen, serta bahan radioaktif. Makanan tersebut dicemari oleh

zat-zat diatas atau zat-zat yang membahayakan kehidupan.

4. Media

Makanan sebagai media penyebab penyakit, misalnya kontaminasi yang

jumlahnya kecil, jika dibiarkan berada dalam makanan dengan suhu dan waktu yang

cukup, maka bisa menyebabkan wabah yang serius.

2.3. Penyehatan Makanan

Makanan merupakan suatu hal yang yang sangat penting di dalam kehidupan

manusia, makanan yang dimakan bukan saja memenuhi gizi dan mempunyai bentuk

menarik, akan tetapi harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan

bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit.

Menurut Depkes RI, (2000) Penyehatan makanan adalah upaya untuk

mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin

dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Ada dua faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi

manusia antara lain (Chandra, 2006) :

1. Kontaminasi

a. Parasit, misalnya : cacing dan amuba.

b. Golongan mikroorganisme, misalnya : salmonela dan shigella.

c. Zat kimia, misalnya : bahan pengawet dan pewarna.


d. Bahan-bahan radioaktif, misalnya : kobalt dan uranium.

e. Toksin atau racun yang dihasilkan mikroorganisme, misalnya : stafilokokus dan

clostridium botulinum.

2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap

dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan, dapat dibagi menjadi tiga golongan :

a. Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun,

misalnya singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang

mengandung unsur toksik tertentu (Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan

sistem saraf.

b. Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat

menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus

keracunan makanan akibat bakteri.

c. Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi

dikonsumsi manusia, didalam tubuh manusia agen penyakit pada makanan itu

memerlukan masa inkubasi untuk berkembangbiak dan setelah beberapa hari

dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit. Misalnya penyakit typhoid

abdominalis dan disentri basiler.

2.4. Prinsip Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman

Pengertian dari prinsip higiene sanitasi makanan dan minuman adalah

pengendalian terhadap empat faktor yaitu tempat/bangunan, peralatan, orang, dan

bahan makanan. Terdapat 6 (enam) prinsip higiene sanitasi makanan dan minuman

yaitu (Depkes RI, 2004) :


1. Pemilihan Bahan Makanan

2. Penyimpanan Bahan Makanan

3. Pengolahan Makanan

4. Penyimpanan Makanan Jadi

5. Pengangkutan Makanan

6. Penyajian Makanan

2.4.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Makanan

Kualitas bahan makanan yang baik dapat dilihat melalaui ciri-ciri fisik dan

mutunya dalam hal bentuk, warna, kesegaran, bau, dan lainnya. Bahan makanan yang

baik terbebas dari kerusakan dan pencemaran termasuk pencemaran oleh bahan kimia

seperti pestisida (Kusmayadi, 2008).

2.4.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Makanan

Bahan makanan yang digunakan dalam proses produksi, baik bahan baku,

bahan tambahan maupun bahan penolong, harus disimpan dengan cara penyimpanan

yang baik karena kesalahan dalam penyimpanan dapat berakibat penurunan mutu dan

keamanan makanan. (Depkes RI, 2004).

Tujuan penyimpanan bahan makanan adalah agar bahan makanan tidak mudah

rusak dan kehilangan nilai gizinya. Semua bahan makanan dibersihkan terlebih dahulu

sebelum disimpan, yang dapat dilakukan dengan cara mencuci. Setelah dikeringkan

kemudian dibungkus dengan pembungkus yang bersih dan disimpan dalam ruangan

yang bersuhu rendah (Kusmayadi, 2008).

Syarat- syarat penyimpanan menurut Depkes RI (2004) adalah:

1. Tempat penyimpanan bahan makanan selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih
2. Penempatannya terpisah dari makanan jadi

3. Penyimpanan bahan makanan diperlukan untuk setiap jenis bahan makanan

- dalam suhu yang sesuai

- ketebalan bahan makanan padat tidak lebih dari 10 cm

- kelembaban penyimpanan dalam ruangan 80%-90%

4. Bila bahan makanan disimpan digudang, cara penyimpanannya tidak menempel

pada langit-langit, dengan ketentuan sebagai berikut:

- jarak makanan dengan lantai 15 cm

- jarak makanan dengan dinding 5 cm

- jarak makanan dengan langit-langit 60 cm

5. Bahan makanan disimpan dalam aturan sejenis, disusun dalam rak-rak sedemikian

rupa sehingga tidak mengakibatkan rusaknya bahan makanan. Bahan makanan

yang masuk lebih dahulu merupakan yang pertama keluar, sedangkan bahan

makanan yang masuknya belakangan terakhir dikeluarkan atau disebut dengan

sistem FIFO (First In First Out)

Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong sebaiknya disimpan dengan

sistem kartu dengan menyebutkan :

- Nama bahan

- Tanggal penerimaan

- Asal bahan

- Jumlah penerimaan digudang

- Sisa akhir didalam kemasan

- Tanggal pemeriksaan
- Hasil pemeriksaaan

Penyimpanan bahan makanan mentah dapat dilihat dalam table berikut ini:

Tabel 2.1 Penyimpanan Bahan Makanan Mentah


Jenis Bahan Lama Penggunaan
Makanan 3 hari atau kurang 1 minggu atau kurang 1 minggu atau lebih

Daging, ikan,
udang dan -5 0C sampai 0 0C -10 0C sampai 0 0C Kurang dari -10 0C
olahannya

Telur, susu
5 0C sampai 7 0C -5 0C sampai 0 0C Kurang dari -5 0C
dan olahannya

Sayur, buah
10 0C 10 0C 10 0C
dan minuman

Tepung dan
15 0C 25 0C 25 0C
biji-bijian

Sumber : Mukono, 2000

2.4.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan

Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah

menjadi makanan siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti

kaidah dari prinsip-prinsip higiene dan sanitasi. Semua kegiatan pengolahan makanan

harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh.

Perlindungan kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan jalan menggunakan

sarung tangan plastik, penjepit makanan (Arisman, 2009).

2.4.3.1. Tenaga Penjamah Makanan

Tenaga penjamah adalah seorang tenaga yang menjamah makanan mulai dari

mempersiapkan, mengolah, menyimpan, mengangkut maupun menyajikan makanan

(Sihite, 2000).
Syarat-syarat penjamah makanan yaitu (Depkes RI, 2004) :

1. Tidak menderita penyakit mudah menular, misal : batuk, pilek, influenza, diare,

penyakit perut sejenisnya

2. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul)

3. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian.

4. Memakai celemek dan tutup kepala

5. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan

6. Menjamah makanan harus memakai alat/perlengkapan atau dengan alas tangan

7. Tidak merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut dan bagian

lainnya)

8. Tidak batuk atau bersin dihadapan makanan dan atau tanpa menutup hidung atau

mulut

2.4.3.2. Cara Pengolahan Makanan

1. Tidak terjadi kerusakan-kerusakan makanan sebagai akibat cara pengolahan yang

salah

2. Tidak terjadi pengotoran atau kontaminasi makanan akibat dari kotorannya tangan

pengelola/penjamah

3. Proses pengolahan harus diatur sedemikian rupa sehingga mencegah masuknya

bahan-bahan kimia berbahaya dan bahan asing kedalam makanan

Syarat-syarat proses pengolahan sesuai dengan (Depkes RI, 2000) adalah :

a. Jenis bahan yang digunakan, baik bahan tambahan maupun bahan penolong serta

persyaratan mutunya

b. Jumlah bahan untuk satu kali pengolahan


c. Tahap-tahap proses pengolahan

d. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan selama proses pengolahan dengan

mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban, tekanan dan sebagainya, sehingga

tidak mengakibatkan pembusukan, kerusakan dan pencemaran.

2.4.3.3. Tempat Pengolahan Makanan

Tempat pengolahan makanan, dimana makanan diolah sehingga menjadi

makanan yang terolah ataupun makanan jadi yang biasanya disebut dapur. Dapur

merupakan tempat pengolahan makanan yang harus memenuhi syarat higiene dan

sanitasi, diantaranya konstruksi dan perlengkapan yang ada.

Menurut Depkes RI (2004) syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Lantai

Lantai harus dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak licin, tahan lama

dan kedap air. Lantai harus dibuat dengan kemiringan 1-2% ke saluran pembuangan

air limbah.

2. Dinding dan langit-langit

Dinding harus dibuat kedap air sekurang-kurangnya satu meter dari lantai.

Bagian dinding yang kedap air tersebut dibuat halus, rata dan bewarna terang serta

dapat mudah dibersihkan. Demikian juga dengan langit- langit harus terbuat dari bahan

yang bewarna terang.

3. Pintu dan jendela

Pintu dan jendela harus dibuat sedemikian rupa sehingga terhindar dari lalu

lintas lalat dan serangga lainnya.dengan demikian harus diperhatikan pintu masuk dan

keluar harus selalu tertutup atau pintu yang harus bisa ditutup sendiri.
4. Ventilasi ruang dapur

Secara garis besarnya ventilasi terbagi atas dua macam yaitu ventilasi alam dan

buatan. Ventilasi alam terjadi secara alamiah dan disyaratkan 10% dari luas lantai dan

harus dilengkapi dengan perlindungan terhadap serangga dan tikus.

5. Pencahayaan

Pencahayaan yang cukup diperlukan pada tempat pengolahan makanan untuk

dapat melihat dengan jelas kotoran lemak yang tertimbun dan lain- lain. Pencahayaa

diruang dapur sekurang-kurangnya 20 fc, sebaikya dapat menerangi setiap permukaan

tempat pengolahan makanan dan pada tempat-tempat lain seperti tempat mencuci

peralatan, tempat cuci tangan, ruang pakaian, toilet, tempat penampungan sampah

disamping itu selama pembersihan harus disediakan pencahayaan yang cukup

memadai

6. Pembuangan asap

Dapur harus dilengkapi dengan pengumpul asap dan juga harus dilengkapi

dengan penyedot asap untuk mengeluarkan asap dari cerobongnya.

7. Penyediaan air bersih

Harus ada persediaan air bersih yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan.

Minimal syarat fisik yaitu tidak bewarna, tidak berasa, tidak berbau.

8. Penampungan dan pembuangan sampah

Sampah harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran

makanan dari tempat sampah harus dipisahkan antara sampah basah dan sampah

kering serta diusahakan pencegahan masuknya serangga ketempat pembuangan

sampah yang memenuhi syarat kesehatan antara lain:


a. terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah berkarat

b. mudah dibersihkan dan bagian dalam dibuat licin, serta bentuknya dibuat halus

c. mudah diangkat dan ditutup

d. kedap air, terutama menampung sampah basah

e. tahan terhadap benda tajam dan runcing

Disamping itu sampah harus dikeluarkan dari tempat pengolahan makanan

sekurang-kurangnya setiap hari. Segera setelah sampah dibuang, tempat sampah dan

peralatan lain yang kontak dengan sampah harus dibersihkan.

9. Pembuangan air limbah

Harus ada sistem pembuangan limbah yang memenuhi. syarat kesehatan. Bila

tersedia saluran pembuangan air limbah di kota, maka sistem drainase dapat

disambungkan dengan alur pembuangan tersebut harus didesain sedemikian rupa

sehingga air limbah segera terbawa keluar gedung dan mengurangi kontak air limbah

dengan lingkungan diluar sistem saluran.

10. Perlindungan dari serangga dan tikus

Serangga dan tikus sangat suka bersarang ataupun berkembang biak pada

tempat pengolahan makanan, oleh karena itu pengendaliannya harus secara rutin

karena binatang tersebut bisa sebagai pembawa penyakit dan sekaligus menimbulkan

kerugian ekonomi.

Karena kebisaan hidupnya, mereka dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Mereka dapat memindahkan kuman secara mekanis baik langsung kedalam

makanan/bahan makanan atau langsung mengkontaminasi peralatan pengolahan

makanan dan secara biologis dengan menjadi vektor beberapa penyakit tertentu.
Beberapa penyakit penting yang dapat ditularkan/disebarkan antara lain demam

berdarah, malaria, disentri, pest. Infestasi serangga tikus, tikus dapat pula

menimbulkan kerugian ekonomi karena mereka merusak bahan pangan dan peralatan

pengolahan makanan.

2.4.4. Prinsip IV : Penyimpanan Makanan Jadi

Prinsip penyimpanan makanan terutama ditujukan kepada :

- Mencegah pertumbuhan dan perkembangan bakteri

- Mengawetkan makanan dan mengurangi pembusukan

- Mencegah timbulnya sarang hama

2.4.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan

Makanan yang berasal dari tempat pengolahan memerlukan pengangkutan

untuk disimpan, kemungkinan pengotoran makanan terjadi sepanjang pengangkutan,

bila cara pengangkutan kurang tepat dan alat angkutnya kurang baik dari segi

kualitasnya baik/buruknya pengangkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor :

- Tempat/alat pengangkut

- Tenaga pengangkut

- Tekhnik pengangkutan

Syarat- syarat pengangkutan makanan memenuhi aturan sanitasi :

- alat/tempat pengangkutan harus bersih

- cara pengangkutan makanan harus benar dan tidak terjadi kontaminasi selama

pengangkutan

- pengangkutan makanan yang melewati daerah kotor harus dihindari

- cara pengangkutan harus dilakukan dengan mengambil jalan singkat


2.4.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan

Penyajian makanan yang menarik akan memberikan nilai tambah dalam

menarik pelanggan. Teknis penyajian makanan untuk konsumen memiliki berbagai

cara asalkan memperhatikan kaidah sanitasi yang baik. Penggunaan pembungkus

seperti plastik, kertas, atau boks plastik harus dalam keadaan bersih dan tidak berasal

dari bahan-bahan yang menimbulkan racun.

2.5. Bahan Tambahan Pangan (BTP)

2.5.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam

makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan,

pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna,

bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan

merupakan bahan utama (Saparinto, 2006).

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

722/Menkes/Per/IX/1988 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan

sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan,

mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke

dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,

perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan peyimpanan (Cahyadi, 2009).

Defenisi lain mengatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang

tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan atau tidak dipakai sebagai campuran khusus

makanan, mungkin bergizi mungkin juga tidak (Fardiaz, 2007).


2.5.2. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau

mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih

mudah dihidangkan, serta memepermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009).

Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila

(Cahyadi, 2009) :

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dan pengolahan

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak

memenuhi persyaratan

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan

cara produksi yang baik untuk pangan

4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan

2.5.3. Jenis Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan

besar, yaitu sebagai berikut (Winarno, 1997) :

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan,

dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat

mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh

pengawet, pewarna, dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak

mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik

dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi,

pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau
kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan

mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang

akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah

residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida),

antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklis.

Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat berasal dari sumber

alamiah, seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini dapat juga disintetis

dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis,

baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya ß-karoten dan asam

askorbat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih

stabil, dan lebih murah. Tetapi adapula kelemahannya, yaitu sering terjadi

ketidaksempunaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi

kesehatan dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat meransang terjadinya

kanker pada hewan atau manusia (Cahyadi, 2009).

2.5.4. Bahan Tambahan Pangan Yang Diizinkan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988, golongan BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut

(Depkes RI, 1988) :

1. Bahan Tambahan Makanan yang terdiri dari golongan :

a. Antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau

menghambat oksidasi. Contohnya : asam askorbat dan asam eritrobat serta

garamnya untuk produk daging, ikan, dan buah-buahan kaleng. Butil hidroksi
anisol (BHA) atau butil hidroksi toluen (BHT) untuk lemak, minyak, dan

margarin.

b. Antikempal adalah tambahan makanan yang dapat mencegah mengempalnya

makanan yang berupa serbuk, tepung, atau bubuk. Contohnya : aluminium

silikat serta magnesium karbonat untuk susu bubuk dan krim bubuk

c. Pengatur keasaman adalah bahan tambahan makanan yang dapat

mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman makanan.

Contohnya : asam klorida untuk bir, dan asam fumarat untuk jeli.

d. Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan

rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.

Contohnya : sakarin dan siklamat.

e. Pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan makanan yang dapat

mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat

memperbaiki mutu pemanggangan. Contohnya : asam askorbat dan aseton

peroksida.

f. Pengemulasi, pemantap dan mengental adalah bahan tambahan makanan yang

dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang

homogen pada makanan. Contohnya : karagenan untuk pemantap dan

pengental produk susu, gelatin dan amonium alginat untuk pemantap es krim.

g. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat

fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan

oleh mikroorganisme. Contohnya : natrium benzoat untuk pengawet kecap dan

saus tomat, asam propionat untuk keju dan roti.


h. Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau

mencegah melunaknya makanan. Contohnya : aluminium amonium sulfat dan

aluminium kalium sulfat untuk acar ketimun dalam botol, kalsium sitrat untuk

apel kalengan dan sayur kalengan.

i. Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau

memberi warna pada makanan. Contohnya : karamel untuk warna coklat,

xanthon untuk warna kuning, dan klorofil untuk warna hijau.

j. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa adalah bahan tambahan makanan yang

dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Contohnya :

monosodium glutamat untuk menyedapkan rasa daging.

k. Sekuestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam

yang ada dalam makanan. Contohnya : asam fosfat dan asam sitrat.

2. Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu macam antioksidan,

maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas maksimum penggunaannya

jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.

3. Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu macam pengawet,

maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas maksimum penggunaannya

jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.

4. Batas menggunakan "secukupnya" adalah penggunaan yang sesuai dengan cara

produksi yang baik, yang maksudnya jumlah yang ditambahkan pada makanan

tidak melebihi jumlah wajar yang diperlukan sesuai dengan tujuan penggunaan

bahan tambahan makanan tersebut.


5. Pada bahan tambahan makanan golongan pengawet, batas maksimum penggunaan

garam benzoat dihitung sebagai asam benzoat, garam sorbat sebagai asam sorbat

dan senyawa sulfit sebagai SO2.

Selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada

beberapa BTP lainnya yang biasa digunakan dalam pangan, misalnya (Cahyadi, 2009)

1. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat

menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih

empuk, lebih larut, dan lain-lain.

2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan serupa asam amino, mineral, atau vitamin,

baik tunggal, maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan.

3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga

mempertahankan kadar air pangan.

2.5.5. Bahan Tambahan Pangan Yang Dilarang

BTP yang tidak diizinkan atau dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, diantaranya sebagai berikut

(Depkes RI, 1988) :

1. Natrium tetraborat (boraks)

2. Formalin (formaldehyd)

3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils)

4. Kloramfenikol (chlorampenicol)

5. Kalium klorat (pottasium chlorate)

6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC)


7. Nitrofuranzon (nitrofuranzone)

8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)

9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt)

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1168/Menkes/Per/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan kimia

yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna

kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan potasium bromat (pengeras).

2.6. Zat Pewarna

2.6.1. Pengertian Zat Pewarna

Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah

bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada

makanan.

Menurut Winarno (1997), yang dimaksud dengan zat pewarna makanan adalah

bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada

makanan. Penambahan warna pada makanan dimaksudkan untuk memperbaiki warna

makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk

memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik.

Kualitas bahan makanan ditentukan antara lain oleh cita rasa, warna, tekstur

dan nilai gizi. Akan tetapi sebagian besar konsumen sebelum mempertimbangkan cita

rasa dan nilai gizi akan lebih tertarik pada tampilan atau warna makanan serta

pengolahan bahan makanan (Saparinto, 2006).


2.6.2. Jenis Zat Pewarna

Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang

termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan yaitu (Hidayat, 2006) :

1. Pewarna Alami

Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat

digunakan sebagi pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut

menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, dan kobalamin), merupakan

bumbu (kunir dan paprika), atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya (Cahyadi,

2009).

Pewarna makanan tradisional menggunakan bahan alami, misalnya kunyit

untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau, dan daun jambu atau daun jati untuk

warna merah. Pewarna alami ini aman untuk dikonsumsi namun mempunyai

kelemahan, yakni ketersediaan bahannya yang terbatas dan warnanya tidak homogen

sehingga tidak cocok digunakan industri makanan dan minuman. Penggunaan bahan

alami untuk produk misal akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal dan lebih

sulit karena sifat pewarna alami tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna

yang stabil (Syah, 2005).

Umumnya pewarna alami aman untuk digunakan dalam jumlah yang besar

sekalipun, berbeda dengan pewarna sintetis yang demi keamanan penggunaannya

harus dibatasi (Yuliarti, 2007).


Tabel 2.2 Sifat-Sifat Bahan Pewarna Alami
Kelompok Warna Sumber Kelarutan Stabilitas
Karamel Cokelat Gula Air Stabil
dipanaskan
Anthosianin Jingga, Tanaman Air Peka terhadap
merah, biru panas dan pH
Flavonoid Tanpa kuning Tanaman Air Stabil terhadap
panas
Leucoanthosianin Tidak Tanaman Air Stabil terhadap
berwarna panas
Tannin Tidak Tanaman Air Stabil terhadap
berwarna panas
Batalain Kuning, merah Tanaman Air Sensitif
terhadap panas
Quinon Kuning-hitam Tanaman Air Stabil terhadap
bakteria lumut panas
Xanthon Kuning Tanaman Air Stabil terhadap
panas
Karotenoid Tanpa kuning- Tanaman/ Lipida Stabil terhadap
merah hewan panas
Klorofil Hijau, cokelat Tanaman Lipida dan Sensitif
air terhadap panas
Heme Merah, cokelat Hewan Air Sensitif
terhadap panas
Sumber : Tranggono, dkk., (1989)

2. Pewarna Sintetis

Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur

pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang

diizinkan penggunaannya dalam pangan disebut permitted color atau certified color.

Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur

penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi

pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut

(Yuliarti, 2007).
Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian

asam sulfat ataua sam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam

berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai

produk akhir, harus melalui suatu senyawa antara dulu yang kadang-kadang berbahya

dan seringkali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang

berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan

arsen tidak boleh lebih dari 0,0004 % dan timbal tidak boleh lebih dari 0,0001,

sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada (Cahyadi, 2009).

Menurut Walford (1984), beberapa keuntungan penggunaan zat pewarna

sintetis adalah :

a. Aman

b. Tersedia dalam jumlah yang memadai

c. Stabilitas bagus

d. Kekuatan mewarnai yang tinggi menjadikan zat pewarna sintetis

menguntungkan secara ekonomi

e. Daya larut bagus dalam air dan alkohol

f. Tidak berasa dan tidak berbau

g. Tersedia dalam berbagai bentuk

h. Bebas bakteri

Berdasarkan kelarutannya, pewarna sintetis terbagi atas dua golongan yaitu

(Cahyadi, 2009) :

a. Dyes, adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sehingga

larutannya menjadi berwarna dan dapat digunakan untuk mewarnai bahan.


Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propelin glikol, gliserin, atau

alkohol, sedangkan dalam semua jenis pelarut organik, dyes tidak dapat larut.

b. Lakes, adalah zat pewarna yang dibuat melalui proses pengendapan dan

absorpsi dyes pada radikal (Al atau Ca) yang dilapisi dengan aluminium hidrat

(alumina). Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lakes ini tidak

larut pada hampir semua pelarut.

2.6.3. Zat Pewarna yang Diizinkan

Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan

dilarang untuk pangan diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan.

Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia


Nomor Indeks Batas Maksimum
Pewarna
Warna (C.I.No.) Penggunaan
Amaran Amaranth : CI Food 16185 Secukupnya
red 9
Biru Berlian Brilliant blue FCF : 42090 Secukupnya
CI Food red 2
Eritrosin Erithrosin : CI Food 45430 Secukupnya
red 14 Fast
Hijau FCF Green FCF : CI Food 42053 Secukupnya
green 3
Hijau S Green S : CI Food 44090 Secukupnya
green 4
Indigotin Indigotin : CI Food 73015 Secukupnya
blue 1
Ponceau 4R Ponceau 4R : CI 16255 Secukupnya
Food red 7
Kuning Quineline yellow : CI 74005 Secukupnya
Kuinelin Food yellow 13
Kuning FCF Sunset yellow FCF : 15980 Secukupnya
CI Food yellow 3
Riboflavina Riboflavina - Secukupnya
Tartrazine Tartrazine 19140 Secukupnya
Sumber : Peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88
2.6.4. Dampak Zat Pewarna Terhadap Kesehatan

Pemakaian zat pewarna pangan sintetis dalam makanan walaupun mempunyai

dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu

makanan lebih menarik, meratakan warna makanan, dan mengembalikan warna dari

bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula

menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif

terhadap kesehatan manusia.

Menurut Cahyadi (2009), beberapa hal yang mungkin memberikan dampak

negatif tersebut terjadi apabila :

1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang.

2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama.

3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda yaitu tergantung

pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan

fisik.

4. Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis

secara berlebihan.

5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak

memenuhi persyaratan.
Tabel 2.4 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia
Bahan Pewarna Nomor Indeks Warna (C.I.No.)
Citrus red No.2 12156
Ponceau 3 R 16155
Ponceau SX 14700
Rhodamin B 45170
Guinea Green B 42085
Magenta 42510
Chrysoidine 11270
Butter Yellow 11020
Sudan I 12055
Methanil Yellow 13065
Auramine 41000
Oil Oranges SS 12100
Oil Orange XO 12140
Oil Yellow AB 11380
Oil Yellow OB 11390
Sumber : Peraturan Menkes RI, Nomor 722/Menkes/Per/IX/88

2.7. Rhodamin B

2.7.1. Pengertian Rhodamin B

Rhodamin B dalam dunia perdagangan sering dikenal dengan nama tetra ethyl

rhodamin, rheonine B, D dan Red no. 19, C.I. Basic violet 10, C.I. No. 45170

(Yuliarti, 2007).

Rhodamin B adalah zat warna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau

atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan dalam larutan berwarna merah terang

berfluorensi. Rhodamin B semula digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang

berkembang untuk berbagai keperluan seperti sebagai pewarna kertas dan tekstil.

Rhodamin B seringkali disalahgunakan untuk pewarna pangan dan pewarna kosmetik,

misalnya sirup, lipstik, pemerah pipi, dan lain-lain. Pewarna ini terbuat dari

dietillaminophenol dan phatalic anchidria dimana kedua bahan baku ini sangat toksik
bagi manusia. Biasanya pewarna ini digunakan untuk pewarna kertas, wol, dan sutra

(Djarismawati, 2004).

Rumus molekul dari rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul

sebesar 479.000. Sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-

biruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam

alkohol, HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut

digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th, dan titik

leburnya pada suhu 1650C (Devianti, 2009).

2.7.2. Karakteristik Rhodamin B

Zat pewarna berupa kristal-kristal hijau atau serbuk ungu kemerahan, sangat

larut dalam air dengan warna merah kebiruan dan sangat berfluorensi. Rhodamin B

dapat menghasilkan warna yang menarik dengan hasil warna yang dalam dan sangat

berpendar jika dilarutkan dalam air dan etanol (Rohman, 2007).

2.7.3. Penggunaan Rhodamin B

Rhodamin B digunakan sebagai reagen untuk antimony, bismuth, tantalum,

thallium, dan tungsten. Rhodamin B merupakan zat pewarna tekstil, sering digunakan

untuk pewarna kapas wol, kertas, sutera, jerami, kulit, bambu, dan dari bahan warna

dasar yang mempunyai warna terang sehingga banyak digunakan untuk bahan kertas

karbon, bolpoin, minyak/oli, cat dan tinta gambar.

2.7.4. Makanan Mengandung Rhodamin B

Ciri-ciri makanan yang mengandung rhodamin B (Devianti, 2009) :

1. Warna kelihatan cerah (kemerahan atau merah terang), sehingga tampak menarik

2. Ada sedikit rasa pahit


3. Muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya.

4. Baunya tidak alami sesuai makanannya

2.7.5. Dampak Rhodamin B Terhadap Kesehatan

Dalam analisis dengan metode destruksi dan metode spektrofometri, didapat

informasi bahwa sifat racun yang terdapat dalam rhodamin B tidak hanya saja

disebabkan oleh senyawa organiknya saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang

terdapat dalam rhodamin B itu sendiri. Bahkan jika rhodamin B terkontaminasi oleh

senyawa anorganik lain seperti timbal dan arsen (Subandi, 1999). Dengan

terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menjadikan pewarna ini

berbahaya jika digunakan dalam makanan.

Beberapa sifat berbahaya dari rhodamin B seperti menyebabkan iritasi bila

terkena mata, menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila terkena kulit hampir mirip

dengan sifat dari klorin yang berikatan dalam struktur rhodamin B. Penyebab lain

senyawa ini begitu berbahaya jika dikonsumsi adalah senyawa tersebut adalah

senyawa yang radikal. Senyawa radikal adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam

struktur rhodamin kita ketahui mengandung klorin (senyawa halogen), sifat halogen

adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan demikian

senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan berusaha mencapai

kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan senyawa-senyawa dalam tubuh kita

sehingga pada akhirnya akan memicu kanker pada manusia (Devianti, 2009).

2.7.5.1. Dampak Akut

Bila terpapar rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan

terjadi gejala akut keracunan rhodamin B yaitu (Yuliarti, 2007) :


- Jika tertelan melalui makanan akan mengakibatkan iritasi pada saluran

pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang

berwarna merah ataupun merah muda.

- Jika terhirup dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan dengan

gejala seperti batuk, sakit tenggorokan, sulit bernapas, dan sakit dada.

- Jika mengenai kulit maka kulit pun akan mengalami iritasi.

- Jika terkena mata juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata

kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata.

2.7.5.2. Dampak Kronis

Bahaya utama terhadap kesehatan pemakaian dalam waktu lama (kronis) dapat

menyebabkan radang kulit dan alergi. Penggunaan rhodamin B pada makanan dalam

waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker

(Yuliarti, 2007).

2.8. Terasi

2.8.1. Pengertian Terasi

Terasi adalah salah satu produk olahan dari hasil perikanan sebagai usaha

pemanfaatan ikan atau udang yang berkualitas rendah. Terasi merupakan produk

perikanan yang berbentuk pasta. Umumnya terasi digunakan untuk campuran

membuat sambal, adakalanya digunakan pula untuk campuran pada masakan lain

(Adawyah, 2008).

Terasi atau belacan adalah bumbu masak yang dibuat dari ikan atau udang

renik yang difermentasikan, berbentuk seperti pasta dan berwarna hitam-coklat,


kadang ditambah dengan bahan pewarna sehingga menjadi kemerahan. Terasi

memiliki bau yang tajam dan biasanya digunakan untuk membuat sambal terasi, tapi

juga ditemukan dalam berbagai resep tradisional Indonesia (Wikipedia).

2.8.2. Jenis Terasi

Terasi yang banyak diperdagangkan dipasar, secara umum dapat dibedakan

menjadi dua macam berdasarkan bahan bakunya, yaitu terasi udang dan terasi ikan.

Terasi udang biasanya memiliki warna cokelat kemerahan, sedangkan terasi ikan

berwarna kehitaman. Terasi udang umumnya memiliki harga yang lebih tinggi

dibandingkan dengan terasi ikan (Anonimous, 2009).

2.8.3. Pembuatan Terasi

1. Pemilihan Bahan Baku

a. Terasi Ikan

Beberapa jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan

terasi ikan adalah ikan selar gatel, badar/teri dan sebagainya. Kepala ikan harus

dibuang terlebih dahulu sebelum diproses lebih lanjut (Adawyah, 2008).

b. Terasi Udang

Adapun bahan baku yang digunakan dalam pembuatan terasi udang adalah

berupa rebon atau udang kecil dengan ukuran panjang berkisar antara 1 cm – 2,1 cm

(membujur), lebar 0,3 cm dengan warna keputihan (Adawyah, 2008).

2. Bahan Tambahan

a. Garam

Pada pembuatan terasi, garam memiliki fungsi ganda yaitu sebagai berikut

(Anonimous, 2009) :
- Untuk memantapkan cita rasa terasi yang dihasilkan.

- Pada konsentrasi 20% (200 g/kg bahan baku), garam mampu berperan sebagai

bahan pengawet, namun dalam konsentrasi lebih dari 20% justru akan

menggangu proses fermentasi.

b. Pewarna

Warna terasi yang alami adalah hitam kecoklatan. Warna tersebut dapat berasal

dari pigmen yang dimiliki oleh udang atau ikan. Selain pigmen heme, pada ikan

maupun udang juga mengandung karotenoid, yaitu sekelompok pigmen yang

memberikan warna kuning, jingga atau merah. Tunaxantin merupakan pigmen ikan

laut yang karateristik, sedangkan astaxantin merupakan pigmen terpenting yang

terdapat pada udang (Suprapti, 2002).

Untuk memperbaiki penampilan maka sering dilakukan penambahan bahan

pewarna buatan dalam terasi. Ke dalam terasi udang sering ditambahkan warna coklat

atau merah, sedangkan ke dalam terasi ikan sering ditambahkan warna kehitaman

(campuan antara warna merah dan hijau). Adapun konsentrasi pewarna yang

digunakan, disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk menjamin keselamatan konsumen,

sebaiknya digunakan bahan pewarna yang diizinkan penggunaannya oleh pemerintah

(Anonimous, 2009).

c. Kain Saring atau Daun Pisang

Pada pelaksanaan fermentasi, adonan terasi perlu dibagi dalam beberapa bagian

kecil dan kemudian dibungkus dengan kain saring atau daun pisang yang diiris di

beberapa tempat, sehingga adonan tersebut terlindung dari cemaran debu dan air,

sementara aerasi udara tetap dapat berjalan lancar (Anonimous, 2009).


3. Cara Pembuatan

Udang rebon atau ikan teri dicuci bersih, kemudian dijemur sampai kering di

bawah sinar matahari selama 1-2 hari. Bahan tersebut kemudian dicampur dengan

garam sebanyak 13% atau lebih dan tepung, dihancurkan dengan diremas-remas.

Kedalam campuran ini ditambahkan sedikit air dan diaduk terus menerus sampai

adonan menggumpal. Adonan ini kemudian dijemur dalam bentuk gumpalan-

gumpalan kecil selama 3-4 hari. Setelah selesai masa penjemuran, gumpalan-gumpalan

tadi ditumbuk halus dan diberi sedikit air sampai membentuk gumpalan yang kokoh.

Gumpalan ini dibungkus dengan daun pisang kering, kemudian diperam (fermentasi).

Fermetasi dilakukan pada suhu 20-300C selama 1-4 minggu (Adawyah, 2008).

Cara pembuatan terasi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

Udang kecil / Pencucian Penjemuran 1-


ikan kecil 2 hari

Pembentukan gumpalan- Penghancuran dan


gumpalan penggaraman 13% atau lebih

Penjemuran dan Penggumpalan


penghancuran 3-4 hari

Fermentasi Pembungkusan dengan daun


20-300C, 1-4 minggu pisang

Terasi
4. Hasil Proses Fermentasi

Selama fermentasi, protein akan terhidrolisis menjadi turunannya oleh enzim

proteolitik yang terdapat dalam daging atau jeroan ikan atau oleh enzim yang

dihasilkan mikroba. Penggunaan jeroan ikan menjadi penting dalam pembuatan terasi,

sebab enzim yang dihasilkannya dapat memecah protein lebih baik, dibandingkan

enzim pada bagian dagingnya (Suprapti, 2002).

Pemeraman atau proses fermentasi untuk terasi dapat menghasilkan aroma

yang khas. Komponen aroma tersebut merupakan senyawa yang mudah menguap.

Persenyawaan tersebut akan menghasilkan bau amonia, asam, busuk, gurih, dan bau

khas lainnya (Adawyah, 2008).

2.8.4. Karakteristik Terasi

1. Warna

Warna awal bahan udang adalah putih kebuan dan berubah warnanya menjadi

kemerahan. Udang memiliki pigmen astaksantin yang termasuk golongan karotenoid.

Krustasea (udang-udangan) mengandung karotenoid yang terikat pada protein dengan

akibat warna menjadi biru atau abu-abu biru. Jika mengalami pemanasan, protein

terdenaturasi dan mengakibatkan ikatan karotenoid-protein putus sehingga

membebaskan warna karotenoid merah jingga (Anonimous, 2009).

2. Bau

Selain warna, juga terjadi perubahan pada aroma dan bau. Bau udang yang

awalnya amis menjadi bau khas terasi. Dalam pembuatan terasi terjadi pembusukan

udang. Selama proses tersebut, protein-protein dan lemak dapat diubah menjadi
komponen volatil berbau. Pengeringan yang terjadi mengakibatkan reaksi Maillard

yang menghasilkan flavor (Adawyah, 2008).

3. Rasa

Hasil akhir fermentasi terasi menghasilkan rasa khas udang atau ikan. Hal itu

tergantung dari seberapa banyak campuran udang atau ikan yang dipakai dalam proses

pengolahan (Adawyah, 2008).


2.9. Kerangka Konsep

Higiene sanitasi
berdasarkan 6 prinsip :
1. Pemilihan bahan baku
terasi Memenuhi syarat
2. Penyimpanan bahan
baku terasi Kepmenkes RI No.
3. Pengolahan terasi 942/Menkes/SK/VII/2003
Tidak memenuhi
4. Penyimpanan terasi
5. Pengangkutan terasi syarat
6. Penyajian terasi

Ada rhodamin B
Terasi berbagai Pemeriksaan
merek Laboratorium
Tidak ada
rhodamin B

Karakteristik Terasi :
- warna
- bau
- rasa

Anda mungkin juga menyukai