Anda di halaman 1dari 9

STATUS RUMPUT LAUT INDONESIA

: PELUANG DAN TANTANGAN

Sebagai bagian dari Coral Triangel,


Indonesia memang disuguhi begitu
besar potensi perairan dengan
segenap sumberdaya
keanekaragaman hayati yang ada.
dan T ro p ica l s e as
Rumput laut salah satu komoditas
yang saat ini menjadi trend di pasar
perdagangan global pun mampu
tumbuh subur di perairan bumi
W H ERE KAPP
pertiwi ini. Sumber dari
SEAplant.net menyebutkan bahwa

G LO BAL
perairan Indonesia hampir
menguasai 65 % potensi perairan
coral tri angel yang potensial untuk
tumbuh kembangnya berbagai jenis
rumput laut khususnya jenis
Kappaphycus alvarezii, jauh mengungguli potensi negara-negara lainnya yaitu
E a s t A frica
berturut-turut Philipina sebesar 15%, Kepulauan Solomon 7%, Malaysia 5%,
P a cific O ce a n ia 3%
Papua Nugini 5% dan Timor Leste sebesar 1%. Berbagai jenis rumput laut
ekonomis tinggi dan telah berhasil dibudidayakan di Perairan Indonesia secara
W e s t A frica 4%
umum berasal dari jenis alga merah (Rhodophyceae) antara lain Eucheuma
cottonii / Kappaphycus alvarezii doty, E. Spinosum, dan Gracilaria sp; Ptylopora
dan Halymenia sp In d ia n 5%
O ce a n 3 %

L a tin s e a co a s t
A m e rica 14% w ith in 1o0
N / S la titu d e
118 ,0 43 K M

Dari aspek pasar menunjukan bahwa perkembangan pasar rumput laut di

C o ra l T ria n g
perdagangan global menunjukkan trend kenaikan yang cukup tinggi, seiiring
dengan peningkatan kebutuhan bahan baku industri baik untuk food grade,
pharmaeutical maupun industryal grade. Pertumbuhan penduduk dunia yang
semakin pesat dan Kompleksitas nilai guna rumput laut yang begitu besar71%
sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat dunia, maka tidak heran
memang jika saat ini rumput laut menjadi komoditas yang prospektif dan telah
menjadi bagian dari kebutuhan global. Betapa tidak sejak kita bangun tidur

Status Rumput Laut Indonesia S E A P lan t.n et 1


sampai pada saat melakukan aktivitas, sebenarnya kita telah terbiasa
menggunakan produk berbahan baku rumput laut.

Indonesia memanfaatkan peluang


Membangun sebuah cita-cita memang
harus bermula dari mimpi besar,
sejatinya itulah yang saat ini sudah
mulai dibangun Pemerintah Indonesia Cultivated s
dalam hal ini Kementrian Kelautan
dan Perikanan melalui penetapan Visi
menjadikan Indonesia sebagai
penghasil produk kelautan dan
perikanan terbesar dunia tahun 2015. global production is abo
Visi yang oleh beberapa kalangan
dianggap terlalu ambisius.
mungkin itu persepsi dari sebagian
Ya,
1.2 M dry tons/y
masyarakat awam yang
memandangnya sebagai sesuatu hal
Other 1% Eucheuma 2%
Posisi Indonesia dalam Industri
yang maustahil mampu dicapai. Namun Budidaya Rumput Laut Dunia
demikian, satu hal yang perlu dicatat,
bahwa sejak orientasi arah pembangunan saat ini mulai digerakan terhadap
pendekatan pembangunan wilayah kepulauan (islands
Gracilaria
development
approaches), maka sudah saatnya pembangunan berbasis Kelautan dan
Perikanan menjadi tumpuan utama dalam rangka membangun pergerakan
8% Undar
ekonomi nasional. Indonesai dengan segenap potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan, memang menjadi senjata ampuh dalam upaya pencapaian visi
tersebut. Dengan potensi pengembangan budidaya air laut sebesar 8,4 juta
hektar, bukan hal mustahil mimpi besar itu mampu dicapai jika semua elemen
bangsa mempunyai mimpi besar yang sama yang terimplementasi melalui Kappaphy
kerjasama sinergi dalam upaya memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada.

Dalam upaya pencapaian Visi dan Misi tersebut, Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah menetapkan komoditas unggulan yang menjadi sasaran utama,

Laminaria 11%
dimana komoditas rumput laut menjadi salah satu ikon yang diharapkan mampu
mewujudkan mimpi besar Indonesia. Tahun ini Indonesia mampu menggeser
pesaing utamanya Philipina sebagai produsen rumput laut terbesar dunia
56%
dengan total produksi di Tahun 2010 mencapai 3.906.420 ton. Menurut data
base FAO dan SEAplant.net menyebutkan bahwa Indonesia menguasai sekitar
Porphyra
50% produk rumput laut hasil budidaya di dunia yaitu untuk jenis Eucheuma,
Gracilaria dan Kappaphycus. Sebuah keberhasilan tentunya yang diperlihatkan
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bicara peluang terhadap pasar perdagangan rumput laut dunia, Indonesia Based on FA
berada pada posisi yang mempunyai peluang besar dalam memasok kebutuhan
bahan baku rumput laut. Sebagai gambaran Tahun 2010 peluang kebutuhan
rumput laut Eucheuma cottonii dunia mencapai 274.100SEAPlant.net
ton, dimana Indonesia
mempunyai peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 80.000 ton atau
sekitar 29,19% , sedangkan peluang kebutuhan dunia akan rumput laut jenis
Gracilaria sp mencapai 116.000 ton, dimana Indonesia mempunyai peluang
kontribusi sebesar 57.500 atau sekitar 49,57% (sumber : BPPT dan ISS, 2006).

Status Rumput Laut Indonesia 2


Proyeksi dan pencapaian produksi rumput laut Indonesia
Jika mengacu pada visi dan
misi Kementerian Kelautan
dan Perikanan, maka hal
yang paling mungkin untuk
didorong peningkatannya
dalam upaya pencapaian
target tersebut adalah sub
sektor perikanan budidaya.
Inilah, yang saat ini menjadi
Pekerrjaan Rumah yang
besar bagi Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam upaya menopang
terwujudnya mimpi besar Indonesia sebagai penghasil produk perikanan
terbesar dunia. Ditjen Perikanan Budidaya telah menetapkan adanya target
pencaiapan produksi sebesar 353% sampai dengan tahun 2014 khususnya bagi
komoditas yang menjadi unggulan saat ini, dimana rumput laut menjadi
penyumbang besar target pencapaian produksi tersebut yaitu ditargetkan
peningkatannya sebesar 10 juta ton di Tahun 2014 .

Produksi rumput laut diproyeksikan rata-rata meningkat pertahun sebesar 32 %


(dari Tahun 2010-2014) atau meningkat sebesar 392% dari Tahun 2009 ke
Tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing berturut-turut Tahun 2009
diproyeksikan meningkat menjadi sebesar 2.574.000, Tahun 2010 sebesar
2.672.800 ton, Tahun 2011 sebesar 3.504.200 ton, Tahun 2012 sebesar
5.100.000 ton, tahun 2013 sebesar 7.500.000 ton dan Tahun 2014 sebesar 10
juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa Tahun 2010 produksi rumput laut
Nasional mencapai 3.906.420 ton
mengalami kenaikan rata-rata sebesar
29,96% per tahun. Nilai ini mampu
melampaui target/sasaran produksi Tahun
2010 sebesar 46 % dari target di Tahun
yang sama sebesar 2.672.800 ton. Nilai
tersebut tentunya menjadi salah satu
indikator bahwa langkah menuju target 10
juta ton di Tahun 2014 sangat optimis untuk
dicapai. Total produksi rumput nasional
tersebut didominasi oleh 5 (lima) besar
Provinsi utama penghasil rumput laut
berturut-turut Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, dan
Maluku.

Peningkatan produksi rumput laut


Nasional diiringi pula oleh
peningkatan volume dan nilai
ekspor rumput laut Indonesia ke
berbagai negara tujuan utama
ekspor seperti China, Philipina,
Vietnam, Hongkong dan Korsel.
Perkembangan volume dan nilai
ekspor dalam kurun waktu Tahun

Status Rumput Laut Indonesia 3


2005 sampai dengan Tahun 2010 secara umum mengalami kenaikan. Tahun
2010 volume ekspor rumput laut Indonesia (rumput laut kering, karaginan dan
agar) mencapai 126.177.521 kg meningkat sebesar 34% dari tahun sebelumnya
yang mencapai angka 94.002.964 kg. Sedangkan nilai ekspor Tahun 2010
mencapai sebesar 155.619.562 US$ meningkat 77 % Jika dibandingkan dari total
nilai ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 87.773.297 US$ (Sumber : Statistik
Ekspor-Impor Produk Perikanan tahun 2010). Sebagai gambaran bahwa peluang
kebutuhan hydrokoloid dunia sampai dengan Tahun 2010 untuk produk
karaginan (RC) mencapai 31.800 ton sedangkan untuk agar mencapai 18.120
(Sumber: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2006). Nilai tersebut diprediksi
akan mengalami kenaikan secara signifikan seiring semakin pesatnya
pertumbuhan penduduk dunia yang sudah barang tentu diiringi oleh semakin
tingginya tuntutan kebutuhan hidup masyarakat.

Staregi dasar pencapaian peningkatan produksi rumput laut


Upaya pemanfaatan potensi sumberdaya rumput laut Indonesia sebagai bentuk
konkrit dalam rangka mewujudkan target pencapaian produksi, memang menjadi
pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan melalui kerjasama
sinergi antara stakeholders yang terlibat. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
dalam hal ini telah menetapkan strategi dasar sebagai upaya mengoptimalkan
pemanfaatan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut di
Indonesia.

Startegi dasar tersebut meliputi : 1). Kebijakan Ektensifikasi, diarahkan dalam


upaya memperluas dan mengembangkan jumlah unit lahan budidaya, khususnya
pada kawasan-kawasan startegis dan potensial untuk pengembangan rumput
laut di Indonesia; 2). Kebijakan Intensifikasi, diarahkan dalam upaya
mengembangkan input teknologi budidaya yang
secara langsung berdampak terhadap peningkatan
jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi; 3).
Kebijakan Diversifakasi, diarahkan dalam upaya
memperkenalkan dan mengembangkan jenis-jenis
rumput laut komersial yang mempunyai nilai
ekonomis dan peluang pasar yang luas. Melalui UPT
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, saat ini telah
Halymenia sp
mampu memperkenalkan dan membudidayakan jenis
rumput laut baru selain Kappaphycus alvarezii, antara
lain Ptylopora sebagai bahan baku kertas yang telah
berhasil dikembangkan di Bali dan Lombok,
Halymenia sp sebagai penghasil lamba karaginan dan
telah berhasil di budidayakan di Bali dan NTT
(Kabupaten Rote Ndao). Jenis baru ini diharapkan
akan mampu dikembangkan di Perairan lain di
Indonesia melalui alih terap teknologi budidaya
terhadap masyarakat pembudidaya.

Melihat rumput laut menjadi komoditas unggulan Ptylopora


nasional dan telah secara nyata mampu menggerakan
ekonomi lokal, regional dan nasional serta menjadi salah satu kegiatan usaha
yang mampu menyentuh peran pemberdayaan masyarakat secara luas, maka
kebijakan industrialisasi rumput laut saat ini telah menjadi issue penting dan
telah ditindak lanjuti melalui nota kesepahaman mengenai pengembangaan
kawasan budidaya dan industri rumput laut di 7 Propinsi yakni Propinsi NTT, NTB,
Status Rumput Laut Indonesia 4
Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi
Selatan. Nota kesepahamn tersebut dibangun dengan melibatkan 6
lembaga/kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
PDT, Kementeria Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Koperasi dan UMKM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Strategi pengembangan teknologi berbasis mutu dan keamanan


pangan (food safety)
Pencaiapan target peningkatan produksi rumput laut, bukan berarti dalam
perjalanannya tidak mengalami kendala, namun demikian pada kenyataanya
kendala tersebut seringkali muncul dan berpotensi menghambat proses
pengembangan rumput laut Indonesia. Permasalahan utama yang saat ini
dihadapi terkait : 1) permasalahan ketersediaan bibit bermutu dimana saat ini
mulai terjadi degradasi kualitas bibit pada beberapa kawasan budidaya; 2)
permasalahan jaminan mutu hasil produksi budidaya yang berpotensi
mengganggu rantai pasok (suplly chain) rumput laut; 3) Penerapan teknologi
belum yang sepenuhnya menerapkan terwujudnya quality assurance, apalagi
food safety, dan traceability ; 4) permasalahan terhadap pengendalian hama
penyakit maupun dampak lingkungan perairan yang fluktuatif.

Dalam upaya menjawab permasalahan teknologi budidaya di atas, Ditjen


Perikanan Budidaya telah melakukan langkah kebijakan konkrit yang secara
langsung menopang terhadap peningkatan produksi rumput laut, antara lain:

Pertama, penerapan teknologi budidaya berkelanjutan melalui penerapan


prinsip-prinsip Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) pasa setiap proses produksi.
Direktorat Produksi Tahun 2010 telah membuat acuan penerapan pelaksanaan
CBIB serta petunjuk teknis penilaian sertifikasi CBIB budidaya rumput laut,
sehingga diharapkan ke depan telah mulai berkembang unit usaha budidaya
rumput laut yang tersertifikasi.

Kedua, Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas, melalui pengembangan


kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut serta kebijakan
alokasi subsidi bibit rumput laut.

Ketiga, Pembinaan intensif secara berkelanjutan baik teknis maupun non teknis.
Upaya tersebut dalam bentuk monitoring, evaluasi, kegiatan temu lapang, serta
kegiatan lain yang secara langsung mendukung aktivitas usaha budidaya;

Ke-empat, Dukungan dana penguatan modal, upaya tersebut melalui alokasi


DPM, Paket Wirausaha, subsidi benih ,PUMP, , peluncuran skame kredit semisal
KUR dan KPPE. Dimana upaya tersebut dalam rangka memberikan stimulan yang
secara langsung mendukung peningkatan kapasitas usaha Pokdakan rumput
laut;

Ke-lima, Pengembangan kawasan pembudidayaan secara bertahap , yaitu


melalui pengembangan kawasan minapolitan budidaya, membangun
pendekatan akuabisnis serta mendorong terbangunya pola kemitraan usaha
yang berkelanjutan. Ditjen Perikanan Budidaya telah menetapkan 24
Kabupaten/Kota sebagai sasaran percontohan minapolitan budidaya, dimana
sebanyaak 6 Kabupaten Kota diarahkan untuk pengembangan rumput laut yakni
Kabupaten Serang (Banten), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kabupaten

Status Rumput Laut Indonesia 5


Sumbawa (NTB), Kabupaten Sumba Timur (NTT), Kabupaten Morowali (Sulawesi
Tengah), Kabupaten Pahuwato (Gorontalo)

Ke-enam, membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan


tanggungjawab bersama antara seluruh stakeholders dalam upaya
pengembangan rumput laut nasional melalui kegiatan Forum Budidaya Rumput
laut. Direktorat Produksi telah menetapkan kegiatan “Forum Rumput Laut
Nasional” sebagai agenda tahunan. Dimana hasil rumusan kegiatan tersebut
diharapkan akan menjadi bahan acuan dan rekomendasi dalam menentukan
langkah kebijakan strategis bagi pengembangan rumput laut Nasional. Tahun
2010 telah diselenggarakan Forum Rumput Laut di Propinsi Bali dengan fokus
terhadap upaya pengembangan jenis rumput laut Halymenia sp, sedangkan
Tahun 2012 Forum Rumput Laut Nasional direncanakan dilaksanakan di Propinsi
NTB dimana diharapkan akan mampu menjawab peluang, tantangan dan
permasalahan bisnis perumput lautan Indonesia.

Produksi VS rantai pasok (suplly chain)


Pencapaian produksi yang menjadi kinerja Ditjen Perikanan Budidaya, ternyata
belum sepenuhnya diimbangi oleh mulusnya perputaran rantai pasok pada
sebagian kawasan pengembangan. Kondisi rantai pasok hasil produksi rumput
laut masih menjadi permasalahan yang berpotensi menghambat jalannya siklus
aquabisnis rumput laut. Kondisi ini secara umum masih terjadi di beberapa
kawasan sentral produksi rumput laut. Masih adanya Inkonsistensi yang
mencakup Jaminan kontinyuitas penyerapan produksi, stabilitas harga dan
jaminan kualitas produksi masih menjadi penghambat mata rantai produksi,
dimana fenomena ini terjadi karena masih munculnya permasalahan pasar di
level zona I (pembudidaya) dan zona II (pengepul). Beberapa industri nasional
mengaku bahwa saat ini seringkali terjadi kompetisi pasar yang tidak sehat,
dimana saat ini harga pasar masih dikendalikan pihak eksportir yang lebih parah
dengan masuknya para spekulan yang masuk dan melakukan pembelian
langsung di tingkat pembudidaya. Kondisi ini berpotensi industri nasional akan
sulit bersaing dalam melakukan penyerapan produk dari hulu.

Kebijakan pembatasan ekspor rumput laut dalam bentuk raw material


merupakan langkah baik, namun demikian sejatinya pembatasan ekspor rumput
laut tersebut hendaknya diimbangi oleh kemampuan penyerapan bahan baku
oleh Industri Nasional. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan
melakukan pemetaan kebutuhan bahan baku rumput laut serta
jumlah/kemampuan industri nasional dalam melakukan penyerapan produksi
dari pembudidaya. Upaya tersebut dalam rangka menjamin keseimbangan
antara produksi yang dihasilkan pembudidaya (hulu) dengan jaminan
penyerapan produksi yang ada di hilir (industri). Disamping itu Industri Nasional
perlu didorong agar pro aktif melakukan kontrol langsung terhadap spesifikasi
mutu yang dihasilkan pembudidaya. Konsep iPasar yang diharapkan mampu
menjawab permasalahan rantai pasok rumput laut Indonesia perlu segera
diiplementasikan terutama di sentra-sentra produksi rumput laut, langkah awal
yang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara menyeluruh terhadap
stakeholders terkait mekanisme dan konsep iPasar sehingga diharapkan akan
terbangun persamaan persepsi guna menghindari image negatif di kalangan
pelaku usaha terkait peran iPasar.

Pentingnya Kelembagaan dalam aquabisnis rumput laut

Status Rumput Laut Indonesia 6


Kenapa Kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya
dengan siklus aquabisnis ? Menurut Hermanto dan Subowo, 2006 membedakan
bahwa secara empiris kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1)
kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga yang mendukung
penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan
pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan,
kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang
merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi,
usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Kelembagaan sendiri
mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah
laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Nah, ke-dua jenis kelembagaan
inilah sesungguhnya yang harus menjadi isyu penting dalam upaya
menggerakan siklus aquabisnis rumput laut yang berkelanjutan, jika
kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan
yang saat ini masih mendera tidak lagi menjadi penghambat bagi
keberlangsungan usaha dari para pelaku.

Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi koordinasi


dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik,
membangun kontrak melalui pola kemitraan yang berkelanjutan,
informasi pasar dan teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan.
Pelaku yang tergabung dalam kelembagaan yang kuat sudah sejatinya akan
mempunyai pola pikir yang maju (visioner) serta mampu beradaptasi dalam
menghadapi proses dinamika kelompok.

Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kelembagaan yang baik


akan mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan
pembangunan secara umum. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aquabisnis
rumput laut yang dikelola dengan baik telah memberikan kontribusi yang sangat
besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sebagai modal ekonomi
(economic capital) khususnya dalam penyediaan kebutuhan hidup, modal alam
(natural capital) dalam penyediaan produk-produk primer, modal finansial
(financial capital) pemenuhan kebutuhan akan keuangan, dan modal sosial
(social capital) sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir.
Ke-lima modal diatas tentunya akan mampu dicapai melalui kerjasama sinergi
yang didasarkan oleh rasa tanggungjawab (responsibility), komitmen, kesamaan
kebutuhan dan kepercayaan (trust).

Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional


pada kawasan pengembangan budidaya rumput laut akan menjamin pergerakan
rantai pasok (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara
langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi
jalannya siklus aquabisnis rumput. Pada akhirnya satu-satunya jalan untuk
mewadahi hal tersebut di atas adalah melalui pengembangan kelembagaan,
sehingga kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam
pengembangan aquabisnis rumput laut yang berkelanjutan. Sejatinya sebuah
kelembagaan penunjang menjadi unsur penting dalam menjamin perputaran
mata rantai siklus aquabisnis rumput laut. Koperasi sebagai bentuk demokrasi
ekonomi Indonesia telah terbukti mampu menumbuhkembangkan pergerakan
ekomoni masyarakat. Sayangnya, koperasi dibeberapa daerah masih belum
mewakili kebutuhan/kepentingan anggota, artinya Ruh koperasi belum tertanam
dalam wadah organisasi tersebut. Koperasi yang dikelola secara profesional akan
menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan oleh anggota karena secara

Status Rumput Laut Indonesia 7


langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan bargaining position hasil
produksi, jaminan kualitas, jaminan pasar dan stabilitas harga. Gerakan
Masyarakat Sadar Koperasi yang dicanangkan oleh Kementerian Koperasi
dan UMKM sangat positif dan perlu diterapkan kuhsusnya pada kawasan
pengembangan perikanan budidaya.

Membangun kemitraan usaha yang berkelanjutan


Dalam hal ini penulis perlu menekankan bagaimana kelembagaan menjadi
faktor penting dalam membuka peluang membangun kemitraan usaha yang
bersifat luas. Karena dalam aquabisnis sendiri interaksi antara subsistem/unit
usaha akan berjalan efektif jika pola kemitraan tersebut mampu dibangun secara
kuat dan berkelajutan. Dalam siklus aquabisnis peran kemitraan sendiri
diibaratkan sebagai “Bahan bakar” yang tentunya akan mempengaruhi
pergerakan semua sistem yang ada. Lalu kemitraan yang bagaimana yang akan
mampu menggerakan jalannya siklus tersebut,.? Menurut Suwandi, 1995
mendefinisikan bahwa Kemitraan Agrobisnis adalah hubungan bisnis usaha
sektor pertanian yang melibatkan satu atau sekelompok orang atau badan
hukum dengan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dimana masing-
masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling
berkaitan dengan tujuan terciptanya Pola CSR kerjasama Pemda Kab. Pulau
keseimbangan, keselarasan, dan Morotai dengan Bank Indonesia
keterpaduan yang didasari rasa saling
menguntungkan, memerlukan dan saling
melaksanakan etika bisnis. Jika penulis
kaitkan dengan aquabisnis rumput laut,
maka sejatinya kemitraan usaha
tersebut adalah hubungan antara
perusahaan mitra dengan pelaku utama
(pembudidaya) dalam meningkatkan
efektifitas, efesiensi dan produktifitas
diseluruh subsistem aquabisnis rumput
laut sehingga tercipta nilai tambah dan
daya saing produk rumput laut yang
dihasilkan.

Bentuk kemitraan usaha yang seringkali dibangun misalnya melalui pola inti
plasma maupun CSR (Coorporate Social Responsibility ). CSR sebagai
manifestasi peran pihak perusahaan dalam upaya pemberdayaan masyarakat
local memang menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk tanggung jawab moral
yang harus secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pola CSR
dianggap mempunyai dampak yang cukup signifikan dalam upaya
mengembangkan potensi suatu daerah. Sehingga perlu adanya upaya dalam
mendorong konsep ini agar mampu berjalan terutama pada kawasan-kawasan
pengembangan budidaya rumput laut. Sebagai gambaran, Kabupaten Penajam
Paser Utara yang nota bene merupakan kawasan pengembangan baru, namun
pada kenyataannya telah mampu menunjukkan proses pengembangan kawasan
rumput laut yang relatif cepat, dimana kondisi ini tidak terlepas dari pola CSR
yang dibangun antara Kelompok dengan perusahaan migas dalam hal ini PT.
Cevron. Pola-pola kemitraan serupa hendaknya sudah mulai dikembangkan di
sentra kawasan pengembangan budidaya rumput laut. Peran pendampingan dan
penyuluhan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan
yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung
permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu

Status Rumput Laut Indonesia 8


menjadi, mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran
advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah
kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Jika ke-semua langkah kebijakan di atas mampu dibangun dalam rangka


menjamin keberlangsungan siklus aquabisnis rumput laut yaitu melalui
kerjasama yang efektif dan bertanggung jawab antar seluruh stakeholders, maka
sudah dipastikan akan mampu mewujudkan mimpi besar Indonesia bukan hanya
sekedar pemasok bahan baku rumput laut saja, namun mampu menjadikan
Indonesia sebagai kiblat industri rumput laut dunia. Semoga,...!!!

Penulis :

Cocon, S.Pi
Direktorat Produksi

Status Rumput Laut Indonesia 9

Anda mungkin juga menyukai