1.1.1 Pengertian Tuberculosis (TB Paru) Tuberculosis (TB Paru) merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB merupakan penyakit yang mudah menular melalui udara dari sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarluaskan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 bakteri (Kusrini, 2008). 1.1.2 Etiologi Tuberculosis (TB Paru) Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Tergolong dalam bakteri Mycobacterium tuberculosis complex antara lain Varian Asian, Varian African I, Varian African II dan Mycobacterium Bovis. Menurut HL. Blum, faktot-faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu, kelompok dan masyarakat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: lingkungan (mencakup lingkungan fisik, sosial budaya, politik, ekonomi dsb), perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Keempat faktor tersebut dalam mempengaruhi kesehatan tidak berdiri sendiri, namun masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor lingkungan selain langsung mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi perilaku dan begitupun sebaliknya (Salim, 2010). 1.1.3 Pathofisiologi Tuberculosis (TB Paru) Tempat masuk bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama jenis bovin, yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat). Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Gohn respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh. 1.1.4 Manifestasi Klinik Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2006). Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemikan Tb paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala tambahan yang sering dijumpai (Asril Bahar, 2001): 1. Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari demam influenza ini. 2. Batuk Berdarah Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk- produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada tiap penyakit tidaklah sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Keadaan yang adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. 3. Sesak Nafas Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 4. Nyeri Dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. 5. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat pada malam hari tanpa aktivitas. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. 1.1.5 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis TB menurut Depkes (2006): 1. Diagnosis TB Paru a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. e. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru. 2. Diagnosis TB Ekstra Paru a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya. b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain. 1.1.6 Penatalaksanaan 1. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. 2. Prinsip Pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1.1.7 Komplikasi Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI, 2006): 1. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru. 4. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. 5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya. 6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency). 1.1.8 Penatalaksanaan Nutrisi Tuberculosis (TB Paru) 1. Tujuan Diet a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh b. menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal 2. Syarat Diet a. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB b. Protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB c. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total e. Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan kebutuhan tubuh f. Makanan diberikan dalam bentuk mudah dicerna 3. Bahan Makanan Yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan a. Bahan makanan yang dianjurkan Sumber karbohidrat: nasi, mie, makaroni dan hasil olah tepung-tepungan lain, seperti cake, tarcis, pudding dan pastri, dodol, ubi, karbohidrat sederhana seperti gula pasir. Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahan seperti keju dan yoghurt custard dan es krim. Sumber protein nabati: semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu dan pindakas. Sayuran: semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis, daun singkong, kacang panjang, labu siam dan wortel rebus, dikukus ataupun ditumis. Buah-buahan: semua jenis buah segar, buah kaleng, buah kering dan jus buah. Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega margarine, santan encer dan salad dressing. Minuman: soft drink, madu, sirup, teh dan kopi encer. Bumbu: bumbu yang tidak berbau tajam, seperti bawang merah, bawang putih, laos, daun salam dan kecap. b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan Sumber protein hewani: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental. Sumber protein nabati: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental. Sayuran: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental. Lemak dan minyak: santan kental. Minuman: minuman rendah energi. Bumbu: bumbu yang berbau tajam, seperti cabe dan merica.
1.2 Penyakit Jantung Koroner (PJK)
1.2.1 Pengertian Jantung Koroner (PJK) American heart association (AHA), mendefinisikan penyakit jantung koroner adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung.penumpukan plak pada arteri koroner ini disebut dengan aterosklerosis (AHA, 2012). Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan plak pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat.arteri koroner merupakan arteri yang menyuplai darah otot jantung dengan membawa oksigen yang banyak.terdapat beberapa factor memicu penyakit ini, yaitu: gaya hidup, factor genetik, usia dan penyakit pentyerta yang lain (Norhasimah, 2010). 1.2.2 Etiologi Jantung Koroner (PJK) Penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan nyeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan berakhir dengan kematian (Hermawatirisa, 2014). Penyempitan dan penyumbatan arteri koroner disebabkan zat lemak kolesterol dan trigliserida yang semakin lama semakin banyak dan menumpuk di bawah lapisan terdalam endothelium dari dinding pembuluh arteri. Hal ini dapat menyebabkan aliran darah ke otot jantung menjadi berkurang ataupun berhenti, sehingga mengganggu kerja jantung sebagai pemompa darah. Efek dominan dari jantung koroner adalah kehilangan oksigen dan nutrient ke jantung karena aliran darah ke jantung berkurang. Pembentukan plak lemak dalam arteri memengaruhi pembentukan bekuan aliran darah yang akan mendorong terjadinya serangan jantung. Proses pembentukan plak yang menyebabkan pergeseran arteri tersebut dinamakan arteriosklerosis (Hermawatirisa, 2014). 1.2.3 Pathofisiologi Jantung Koroner (PJK) Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal (Ariesty, 2011). Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah (Ariesty, 2011). Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun, termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi, menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel- sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima (Ariesty, 2011). Selain itu kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri. Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner zat masuk arteri Arteri Proinflamatori Permeabelitas Reaksi inflamasi Cedera sel endotel Sel darah putih menempel di arteri imigrasi keruang interstisial pembuluh kaku & sempit Aliran darah Pembentukan Trombus monosit. 1.2.4 Manifestasi Klinik Gejala penyakit jantung koroner (Hermawatirisa, 2014): 1. Timbulnya rasa nyeri di dada (Angina Pectoris) 2. Sesak nafas (Dispnea) 3. Keanehan pada iram denyut jantung 4. Pusing 5. Rasa lelah berkepanjangan 6. Sakit perut, mual dan muntah Penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda- beda. Untuk menentukan manifestasi klinisnya perlu melakukan pemeriksaan yang seksama. Dengan memperhatikan klinis penderita, riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi saat istirahat, foto dada, pemeriksaan enzim jantung dapat membedakan subset klinis PJK. 1.2.5 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG tidak dapat mendeteksi adanya sumbatan koroner secara langsung namun dapat mendeteksi adanya gangguan aktifitas listrik jantung yang terjadi akibat adanya sumbatan di arteri koroner jantung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendiagnosis klinis pada mereka yang mengeluh ‘angina’, disertai dengan adanya faktor risiko PJK/Serangan Jantung. Pemeriksaan ini dapat menghasilkan suatu ‘negatif palsu’, pada orang yang saat diperiksa tidak mempunyai keluhan. 2. Pemeriksaan EKG Treadmill Pemeriksaan treadmill merupakan pemeriksaan EKG dengan uji beban/uji latih jantung. Aktifitas listrik jantung direkam ketika aktifitas jantung meningkat akibat latihan (berjalan di atas papan treadmill). Pemeriksaan ini dilakukan bila hasil EKG adalah ‘negatif-palsu’. Bila aktifitas treadmill tidak dapat dilakukan oleh karena sesuatu sebab (misal penderita juga mempunyai radang/nyeri lutut), maka dilakukan uji beban dengan menginjeksikan obat yang dapat meningkatkan aktifitas jantung. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium seperti memeriksa profil kolesterol dilakukan untuk menilai besarnya risiko seseorang, dan bukan dilakukan untuk mendiagnosis adanya Penyakit Jantung Koroner. Pemeriksaan kadar kolesterol-LDL untuk menilai keberhasilan target terapi kadar kolesterol tinggi. Pemeriksaan gula darah untuk penapisan diabetes melitus. Bila mempunyai diabetes melitus, pemeriksaan HbA1c dilakukan untuk menilai kendali gula darah dalam 3 bulan terakhir. 4. Pemeriksaan Pencitraan Sumbatan koroner dapat terdeteksi dengan pemeriksaan pencitraan. Yang dimaksud dengan pemeriksaan pencitraan adalah pemeriksaan yang memperlihat citra (gambar) anatomis dari suatu organ. Berbagai pemeriksaan pencitraan mempunyai keunggulan dan kekurangan. Saat ini pemeriksaan angiografi koroner merupakan ‘gold standar’ yang akurasinya tinggi dalam mendeteksi adanya sumbatan koroner, namun merupakan pemeriksaan invasif dan paparan radiasi sinar X yang ditimbulkannya cukup tinggi. 5. Pemeriksaan Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi merupakan pemeriksaan pencitraan dengan alat ekokardiogram. Pemeriksaan ini dilakukan bukan untuk tujuan melihat adanya sumbatan koroner secara langsung. Otot-otot jantung yang tidak cukup mendapatkan pasokan darah akan mengalami gangguan kontraksi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila dokter ingin mengamati struktur jantung: a. Katup jantung b. Otot jantung, seperti penebalan otot jantung, c. Sekat jantung (yang membagi jantung menjadi 4 ruangan jantung), serta d. Kantung jantung e. Selain itu, pemeriksaan ekokardiogram dilakukan. 6. Angiografi Koroner Pemeriksaan angiografi koroner sering disebut juga sebagai pemeriksaan kateterisasi jantung, sebab pada pemeriksaan ini suatu kateter akan dimasukkan melalui pembuluh darah di lipat paha atau lengan hingga menuju jantung. Ketika ujung kateter telah mencapai arteri koroner jantung, suatu zat kontras di injeksikan sehingga gambaran sumbatan di pembuluh darah pada hasil foto Rontgent akan tampak dengan jelas. Pemeriksaan angiografi merupakan ‘gold standar’ atau pemeriksaan baku emas yang sangat akurat untuk mendiagnosis adanya sumbatan di arteri koroner jantung. 1.2.6 Penatalaksanaan 1. Nitrogliserin subligual dosis tinggi. 2. Untuk frokfikaksis dapat dipakai pasta nitrogliserin, nitrat dosis tinggi ataupun antagonis kalsium. 3. Bila terdapat bersama aterosklerosis berat, maka diberikan kombinasi nitrat, antagonis kalsium dan penghambat Beta. 4. Percutanous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) atau Coronary By Pass Graff Surgery (CBGS). 1.2.7 Komplikasi Komplikasi penyakit jantung koroner (Karikaturijo, 2010): 1. Disfungsi ventricular 2. Aritmia pasca STEMI 3. Gangguan hemodinamik 4. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel 5. Syok kardiogenik 6. Gagal jantung kongestif 7. Perikarditis 8. Kematian mendadak 1.2.8 Penatalaksanaan Nutrisi Jantung Koroner (PJK) 1. Tujuan Diet Memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan jantung Menurunkan berat badan bila terlalu gemuk Mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air 2. Syarat Diet Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Protein cukup, yaitu 0,8 g/kg BB. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari lemak jenuh dan 10-15% dari lemak tidak jenuh. Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia. Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium, kalsium dan magnesium jika tidak dibutuhkan. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika disertai dengan hipertensi atau edema. Makanan mudah dicerna dan tidak menimbulkan gas. Serat cukup untuk mrnghindari konstipasi. Cairan cukup, ± 2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberikan dalam porsi kecil. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral atau suplemen gizi. 3. Bahan Makanan Yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan a. Bahan makanan yang dianjurkan Sumber karbohidrat: beras ditim atau disaring,roti, mie, kentang, makaroni, biskuit, tepung beras/terigu/sagu aren/sagu ambon, gula pasir, gula merah, madu dan sirup. Sumber protein hewani: daging sapi, ayam dengan lemak rendah, ikan, telur, susu rendah lemak dalam jumlah yang telah ditentukan. Sumber protein nabati: kacang-kacangan kering, seperti kacang kedelai dan hasil olahannya tahu dan tempe. Sayuran: sayuran yang tidak mengandung gas, seperti bayam, kangkung, kacang buncis, kacang panjang, wortel, tomat, labu siam dan tauge. Buah-buahan: semua buah-buahan segar, seperti pisang, pepaya, jeruk, apel, melon, semangka dan sawo. Lemak: minyak jagung, minyak kedelai, margarine, mentega dalam jumlah terbatas dan tidak untuk menggoreng tetapi untuk menumis, kelapa atau santan encer dalam jumlah terbatas. Minuman: teh encer, coklat dan sirup. Bumbu: semua bumbu selain bumbu yang berbau tajam dan berjumlah terbatas. b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan Sumber karbohidrat: makanan yang mengandung gas atau alkohol, seperti ubi, singkong, tape, singkong dan tape ketan. Sumber protein nabati: daging sapi dan ayam yang berlemak, sosis, ham, hati, limfa, babat, otak, kepiting dan kerang-kerangan, keju dan susu penuh. Sumber protein hewani: kacang-kacangan kering yang mengandung lemak cukup tinggi seperti kacang tanah, kacang mete dan kacang bogor. Sayuran: semua sayuran yang mengandung gas seperti kol, kembang kol, lobak, sawi dan nangka muda. Buah-buahan: buah-buahan segar yang mengandung alkohol dan gas, seperti durian dan nangka matang. Lemak: minyak kelapa dan minyak kelapa sawit, santan kental. Minuman: teh/kopi kental, minuman yang mengandung soda dan alkohol, seperti bir dan wiskhi. Bumbu: lombok, cabe rawit dan bumbu lainnya yang berbau tajam.
1.3 Penyakit Anemia
1.3.1 Pengertian Anemia Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit atau hitung eritrosit (Red Cell Count) berakibat pada penurunan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah. Tetapi harus diingat terdapat keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut, dan kehamilan. Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidak cukup hanya sampai pada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut (Sudoyo, 2009). Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr% (Wiknjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II (Saifuddin, 2002). Dapat disimpulkan bahwa anemia adalah penurunan kadar sel darah merah (Hb) dibawah rentang normal. 1.3.2 Etiologi Anemia Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi (Saifuddin, 2002). Penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1. Kurang gizi (malnutrisi). 2. Kurang zat besi dalam diet. 3. Malabsorpsi. 4. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dll. 5. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dll. 1.3.3 Pathofisiologi Anemia Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera. Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sudoyo, 2009). 1.3.4 Manifestasi Klinik 1. Riwayat a. Mentruasi berlebihan b Kehilangan darah kronik c. Riwayat keluarga d. Diet yang tidak adekuat e. Jarak kehamilan yang terlalu dekat f. Anemia pada kehamilan sebelumnya g. Pika (nafsu makan terhadap bahan bukan makanan) 2. Tanda dan Gejala . a. Keletihan, malaise, atau mudah megantuk b. Pusing atau kelemahan c. Sakit kepala d. Lesi pada mulut dan lidah e. Aneroksia,mual, atau muntah f. Kulit pucat g. Mukosa membrane atau kunjung tiva pucat h. Dasar kuku pucat, dll 1.3.5 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti menggunakan metode Hb Sachli, yang dilakukan minimal 2 kali. 2. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: a. Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl. b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai norma l 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%. 3. Pemeriksaan Darah Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilak ukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag. 4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide=RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %. 5. Pemeriksaan Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang. 6. Pemeriksaaan Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik. 7. Pemeriksaan Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan. 8. Pemeriksaan Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma. 9. Pemeriksaan Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa). 1.3.6 Penatalaksanaan 1. Terapi oral ialah dengan pemberian : fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat. 2. Bila Hb <10 g/dl dan Ht <30%, lakukan tindakan berikut: a. Berikan konseling gizi. b. Tinjau diet pasien. c. Diskusikan sumber-sumber zat besi dalam diet. d. Berikan kepada pasien selebaran mengenai makanan tinggi zat besi. e. Rujuk ke ahli gizi. 1.3.7 Komplikasi 1. Gagal ginjal Dengan berkurangnya asokan oksigen ke jaringan misalnya pada ginjal akan terjadi kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan gagal ginjal. 2. Hipoksia Penurunan pemasokan oksigen ke jaringan sampai di tingkat fisiologik. Hb berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Jika terjadi penurunan Hb maka akan terjadi hipoksia bahkan dapat menyebabkan kematian. 3. Anemia Pada Kehamilan Seorang wanita hamil yang menderita anemia gizi besi kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang mempunyai persediaan zat besi sedikit atau tidak mempunyai persediaan zat besi sama sekali di dalam tubuhnya. Jika setelah lahir bayi tersebut tidak mendapatkan asupan zat besi yang mencukupi, bayi akan beresiko menderita anemia. Anemia berat yang tidak diobati dalam kehamilan muda dapat dapat menyebabkan abortus dan dalam kehamilan tua dapat menyebabkan partus lama, perdarahan postpartum. Selain itu, anemia pada ibu hamil juga dapat mengakibatkan daya tahan ibu menjadi rendah terhadap infeksi. Anemia gizi besi pada wanita hamil mengakibatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu, peningkatan angka kesakitan dan kematian janin dan peningkatan risiko bayi dengan berat badan lahir rendah. 1.3.8 Penatalaksanaan Nutrisi Anemia 1. Tujuan Diet a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh b. menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal 2. Syarat Diet a. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB b. Protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB c. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total e. Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan kebutuhan tubuh f. Makanan diberikan dalam bentuk mudah dicerna 3. Bahan Makanan Yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan a. Bahan makanan yang dianjurkan Sumber karbohidrat: nasi, mie, makaroni dan hasil olah tepung-tepungan lain, seperti cake, tarcis, pudding dan pastri, dodol, ubi, karbohidrat sederhana seperti gula pasir. Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahan seperti keju dan yoghurt custard dan es krim. Sumber protein nabati: semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu dan pindakas. Sayuran: semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis, daun singkong, kacang panjang, labu siam dan wortel rebus, dikukus ataupun ditumis. Buah-buahan: semua jenis buah segar, buah kaleng, buah kering dan jus buah. Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega margarine, santan encer dan salad dressing. Minuman: soft drink, madu, sirup, teh dan kopi encer. Bumbu: bumbu yang tidak berbau tajam, seperti bawang merah, bawang putih, laos, daun salam dan kecap. b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan Sumber protein hewani: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental. Sumber protein nabati: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental. Sayuran: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental. Lemak dan minyak: santan kental. Minuman: minuman rendah energi. Bumbu: bumbu yang berbau tajam, seperti cabe dan merica.