Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Penyakit Tuberculosis (TB Paru)


1.1.1 Pengertian Tuberculosis (TB Paru)
Tuberculosis (TB Paru) merupakan penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB merupakan penyakit
yang mudah menular melalui udara dari sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif
pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarluaskan bakteri ke udara dalam bentuk
percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 bakteri (Kusrini, 2008).
1.1.2 Etiologi Tuberculosis (TB Paru)
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis bakteri
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Tergolong
dalam bakteri Mycobacterium tuberculosis complex antara lain Varian Asian, Varian
African I, Varian African II dan Mycobacterium Bovis.
Menurut HL. Blum, faktot-faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu,
kelompok dan masyarakat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: lingkungan (mencakup
lingkungan fisik, sosial budaya, politik, ekonomi dsb), perilaku, pelayanan kesehatan
dan keturunan. Keempat faktor tersebut dalam mempengaruhi kesehatan tidak berdiri
sendiri, namun masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor
lingkungan selain langsung mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi perilaku
dan begitupun sebaliknya (Salim, 2010).
1.1.3 Pathofisiologi Tuberculosis (TB Paru)
Tempat masuk bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama jenis bovin, yang
penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T)
adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini
disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat).
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami
nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
fibroblast, menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa
membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Gohn dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks
Gohn respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana
bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial.
Proses ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat
terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup
sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut bila peradangan mereda
lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat
perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat
mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan
perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini dapat
menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah
bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai
organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang
biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut
yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular
dan tersebar ke organ-organ tubuh.
1.1.4 Manifestasi Klinik
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan (Depkes, 2006).
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau
malah banyak pasien ditemikan Tb paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Gejala tambahan yang sering dijumpai (Asril Bahar, 2001):
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang dapat
mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari demam influenza ini.
2. Batuk Berdarah
Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada tiap penyakit tidaklah sama,
maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
Keadaan yang adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
5. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat pada malam hari
tanpa aktivitas. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul
secara tidak teratur.
1.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis TB menurut Depkes (2006):
1. Diagnosis TB Paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain
seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
e. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
2. Diagnosis TB Ekstra Paru
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lainlainnya.
b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan
lain-lain.
1.1.6 Penatalaksanaan
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
2. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI, 2006):
1. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
1.1.8 Penatalaksanaan Nutrisi Tuberculosis (TB Paru)
1. Tujuan Diet
a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah
dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh
b. menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal
2. Syarat Diet
a. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB
b. Protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB
c. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total
e. Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan kebutuhan tubuh
f. Makanan diberikan dalam bentuk mudah dicerna
3. Bahan Makanan Yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
a. Bahan makanan yang dianjurkan
 Sumber karbohidrat: nasi, mie, makaroni dan hasil olah tepung-tepungan
lain, seperti cake, tarcis, pudding dan pastri, dodol, ubi, karbohidrat
sederhana seperti gula pasir.
 Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil
olahan seperti keju dan yoghurt custard dan es krim.
 Sumber protein nabati: semua jenis kacang-kacangan dan hasil
olahannya, seperti tempe, tahu dan pindakas.
 Sayuran: semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis,
daun singkong, kacang panjang, labu siam dan wortel rebus, dikukus
ataupun ditumis.
 Buah-buahan: semua jenis buah segar, buah kaleng, buah kering dan jus
buah.
 Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega margarine, santan encer
dan salad dressing.
 Minuman: soft drink, madu, sirup, teh dan kopi encer.
 Bumbu: bumbu yang tidak berbau tajam, seperti bawang merah, bawang
putih, laos, daun salam dan kecap.
b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan
 Sumber protein hewani: dimasak dengan banyak minyak atau
kelapa/santan kental.
 Sumber protein nabati: dimasak dengan banyak minyak atau
kelapa/santan kental.
 Sayuran: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental.
 Lemak dan minyak: santan kental.
 Minuman: minuman rendah energi.
 Bumbu: bumbu yang berbau tajam, seperti cabe dan merica.

1.2 Penyakit Jantung Koroner (PJK)


1.2.1 Pengertian Jantung Koroner (PJK)
American heart association (AHA), mendefinisikan penyakit jantung koroner
adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat
menyebabkan serangan jantung.penumpukan plak pada arteri koroner ini disebut
dengan aterosklerosis (AHA, 2012).
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi
penimbunan plak pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan arteri koroner
menyempit atau tersumbat.arteri koroner merupakan arteri yang menyuplai darah otot
jantung dengan membawa oksigen yang banyak.terdapat beberapa factor memicu
penyakit ini, yaitu: gaya hidup, factor genetik, usia dan penyakit pentyerta yang lain
(Norhasimah, 2010).
1.2.2 Etiologi Jantung Koroner (PJK)
Penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan, penyumbatan, atau
kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah
tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan
nyeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa darah dapat hilang.
Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan berakhir
dengan kematian (Hermawatirisa, 2014).
Penyempitan dan penyumbatan arteri koroner disebabkan zat lemak kolesterol
dan trigliserida yang semakin lama semakin banyak dan menumpuk di bawah lapisan
terdalam endothelium dari dinding pembuluh arteri. Hal ini dapat menyebabkan aliran
darah ke otot jantung menjadi berkurang ataupun berhenti, sehingga mengganggu
kerja jantung sebagai pemompa darah. Efek dominan dari jantung koroner adalah
kehilangan oksigen dan nutrient ke jantung karena aliran darah ke jantung berkurang.
Pembentukan plak lemak dalam arteri memengaruhi pembentukan bekuan aliran darah
yang akan mendorong terjadinya serangan jantung. Proses pembentukan plak yang
menyebabkan pergeseran arteri tersebut dinamakan arteriosklerosis (Hermawatirisa,
2014).
1.2.3 Pathofisiologi Jantung Koroner (PJK)
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan
kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan
makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke
tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri
koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal (Ariesty, 2011).
Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi
lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel
atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap
berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat ini
dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas
yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah (Ariesty, 2011).
Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun,
termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke
area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian
memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi,
menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa
kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang mengaktifkan siklus
inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah putih
akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti
velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah putih, pada saat
menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-
sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit yang matang menjadi
makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus
inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel otot polos yang
mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima (Ariesty, 2011).
Selain itu kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena
permeabilitas lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat
lapisan lemak diarteri. Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit
meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh
diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah,
hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan
parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos
sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini
dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi
iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga
menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses
pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam
laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan
dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot
jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah
kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark. Patofisiologi Penyakit
Jantung Koroner zat masuk arteri Arteri Proinflamatori Permeabelitas Reaksi inflamasi
Cedera sel endotel Sel darah putih menempel di arteri imigrasi keruang interstisial
pembuluh kaku & sempit Aliran darah Pembentukan Trombus monosit.
1.2.4 Manifestasi Klinik
Gejala penyakit jantung koroner (Hermawatirisa, 2014):
1. Timbulnya rasa nyeri di dada (Angina Pectoris)
2. Sesak nafas (Dispnea)
3. Keanehan pada iram denyut jantung
4. Pusing
5. Rasa lelah berkepanjangan
6. Sakit perut, mual dan muntah
Penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda-
beda. Untuk menentukan manifestasi klinisnya perlu melakukan pemeriksaan yang
seksama. Dengan memperhatikan klinis penderita, riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan fisik, elektrokardiografi saat istirahat, foto dada, pemeriksaan enzim
jantung dapat membedakan subset klinis PJK.
1.2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG tidak dapat mendeteksi adanya sumbatan koroner secara
langsung namun dapat mendeteksi adanya gangguan aktifitas listrik jantung yang
terjadi akibat adanya sumbatan di arteri koroner jantung. Pemeriksaan ini bermanfaat
untuk mendiagnosis klinis pada mereka yang mengeluh ‘angina’, disertai dengan
adanya faktor risiko PJK/Serangan Jantung. Pemeriksaan ini dapat menghasilkan
suatu ‘negatif palsu’, pada orang yang saat diperiksa tidak mempunyai keluhan.
2. Pemeriksaan EKG Treadmill
Pemeriksaan treadmill merupakan pemeriksaan EKG dengan uji beban/uji
latih jantung. Aktifitas listrik jantung direkam ketika aktifitas jantung meningkat akibat
latihan (berjalan di atas papan treadmill). Pemeriksaan ini dilakukan bila hasil EKG
adalah ‘negatif-palsu’. Bila aktifitas treadmill tidak dapat dilakukan oleh karena sesuatu
sebab (misal penderita juga mempunyai radang/nyeri lutut), maka dilakukan uji beban
dengan menginjeksikan obat yang dapat meningkatkan aktifitas jantung.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium seperti memeriksa profil kolesterol dilakukan untuk
menilai besarnya risiko seseorang, dan bukan dilakukan untuk mendiagnosis adanya
Penyakit Jantung Koroner. Pemeriksaan kadar kolesterol-LDL untuk menilai
keberhasilan target terapi kadar kolesterol tinggi. Pemeriksaan gula darah untuk
penapisan diabetes melitus. Bila mempunyai diabetes melitus, pemeriksaan HbA1c
dilakukan untuk menilai kendali gula darah dalam 3 bulan terakhir.
4. Pemeriksaan Pencitraan
Sumbatan koroner dapat terdeteksi dengan pemeriksaan pencitraan. Yang
dimaksud dengan pemeriksaan pencitraan adalah pemeriksaan yang memperlihat citra
(gambar) anatomis dari suatu organ. Berbagai pemeriksaan pencitraan mempunyai
keunggulan dan kekurangan. Saat ini pemeriksaan angiografi koroner merupakan ‘gold
standar’ yang akurasinya tinggi dalam mendeteksi adanya sumbatan koroner, namun
merupakan pemeriksaan invasif dan paparan radiasi sinar X yang ditimbulkannya
cukup tinggi.
5. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan pemeriksaan pencitraan dengan alat
ekokardiogram. Pemeriksaan ini dilakukan bukan untuk tujuan melihat adanya
sumbatan koroner secara langsung. Otot-otot jantung yang tidak cukup mendapatkan
pasokan darah akan mengalami gangguan kontraksi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
bila dokter ingin mengamati struktur jantung:
a. Katup jantung
b. Otot jantung, seperti penebalan otot jantung,
c. Sekat jantung (yang membagi jantung menjadi 4 ruangan jantung), serta
d. Kantung jantung
e. Selain itu, pemeriksaan ekokardiogram dilakukan.
6. Angiografi Koroner
Pemeriksaan angiografi koroner sering disebut juga sebagai pemeriksaan
kateterisasi jantung, sebab pada pemeriksaan ini suatu kateter akan dimasukkan
melalui pembuluh darah di lipat paha atau lengan hingga menuju jantung. Ketika ujung
kateter telah mencapai arteri koroner jantung, suatu zat kontras di injeksikan sehingga
gambaran sumbatan di pembuluh darah pada hasil foto Rontgent akan tampak dengan
jelas. Pemeriksaan angiografi merupakan ‘gold standar’ atau pemeriksaan baku emas
yang sangat akurat untuk mendiagnosis adanya sumbatan di arteri koroner jantung.
1.2.6 Penatalaksanaan
1. Nitrogliserin subligual dosis tinggi.
2. Untuk frokfikaksis dapat dipakai pasta nitrogliserin, nitrat dosis tinggi ataupun
antagonis kalsium.
3. Bila terdapat bersama aterosklerosis berat, maka diberikan kombinasi nitrat,
antagonis kalsium dan penghambat Beta.
4. Percutanous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) atau Coronary By Pass
Graff Surgery (CBGS).
1.2.7 Komplikasi
Komplikasi penyakit jantung koroner (Karikaturijo, 2010):
1. Disfungsi ventricular
2. Aritmia pasca STEMI
3. Gangguan hemodinamik
4. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
5. Syok kardiogenik
6. Gagal jantung kongestif
7. Perikarditis
8. Kematian mendadak
1.2.8 Penatalaksanaan Nutrisi Jantung Koroner (PJK)
1. Tujuan Diet
 Memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan jantung
 Menurunkan berat badan bila terlalu gemuk
 Mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air
2. Syarat Diet
 Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
 Protein cukup, yaitu 0,8 g/kg BB.
 Lemak sedang, yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari
lemak jenuh dan 10-15% dari lemak tidak jenuh.
 Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia.
 Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium, kalsium
dan magnesium jika tidak dibutuhkan.
 Garam rendah, 2-3 g/hari, jika disertai dengan hipertensi atau edema.
 Makanan mudah dicerna dan tidak menimbulkan gas.
 Serat cukup untuk mrnghindari konstipasi.
 Cairan cukup, ± 2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan.
 Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberikan dalam
porsi kecil.
 Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan
tambahan berupa makanan enteral, parenteral atau suplemen gizi.
3. Bahan Makanan Yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
a. Bahan makanan yang dianjurkan
 Sumber karbohidrat: beras ditim atau disaring,roti, mie, kentang,
makaroni, biskuit, tepung beras/terigu/sagu aren/sagu ambon, gula pasir,
gula merah, madu dan sirup.
 Sumber protein hewani: daging sapi, ayam dengan lemak rendah, ikan,
telur, susu rendah lemak dalam jumlah yang telah ditentukan.
 Sumber protein nabati: kacang-kacangan kering, seperti kacang kedelai
dan hasil olahannya tahu dan tempe.
 Sayuran: sayuran yang tidak mengandung gas, seperti bayam, kangkung,
kacang buncis, kacang panjang, wortel, tomat, labu siam dan tauge.
 Buah-buahan: semua buah-buahan segar, seperti pisang, pepaya, jeruk,
apel, melon, semangka dan sawo.
 Lemak: minyak jagung, minyak kedelai, margarine, mentega dalam
jumlah terbatas dan tidak untuk menggoreng tetapi untuk menumis,
kelapa atau santan encer dalam jumlah terbatas.
 Minuman: teh encer, coklat dan sirup.
 Bumbu: semua bumbu selain bumbu yang berbau tajam dan berjumlah
terbatas.
b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan
 Sumber karbohidrat: makanan yang mengandung gas atau alkohol,
seperti ubi, singkong, tape, singkong dan tape ketan.
 Sumber protein nabati: daging sapi dan ayam yang berlemak, sosis, ham,
hati, limfa, babat, otak, kepiting dan kerang-kerangan, keju dan susu
penuh.
 Sumber protein hewani: kacang-kacangan kering yang mengandung
lemak cukup tinggi seperti kacang tanah, kacang mete dan kacang bogor.
 Sayuran: semua sayuran yang mengandung gas seperti kol, kembang
kol, lobak, sawi dan nangka muda.
 Buah-buahan: buah-buahan segar yang mengandung alkohol dan gas,
seperti durian dan nangka matang.
 Lemak: minyak kelapa dan minyak kelapa sawit, santan kental.
 Minuman: teh/kopi kental, minuman yang mengandung soda dan alkohol,
seperti bir dan wiskhi.
 Bumbu: lombok, cabe rawit dan bumbu lainnya yang berbau tajam.

1.3 Penyakit Anemia


1.3.1 Pengertian Anemia
Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit atau hitung
eritrosit (Red Cell Count) berakibat pada penurunan kapasitas pengangkutan oksigen
oleh darah. Tetapi harus diingat terdapat keadaan tertentu dimana ketiga parameter
tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut,
dan kehamilan. Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidak cukup hanya sampai
pada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut (Sudoyo, 2009).
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya
kurang dari 12 gr% (Wiknjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah
kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau
kadar <10,5 gr% pada trimester II (Saifuddin, 2002). Dapat disimpulkan bahwa anemia
adalah penurunan kadar sel darah merah (Hb) dibawah rentang normal.
1.3.2 Etiologi Anemia
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi (Saifuddin, 2002).
Penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Kurang gizi (malnutrisi).
2. Kurang zat besi dalam diet.
3. Malabsorpsi.
4. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dll.
5. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dll.
1.3.3 Pathofisiologi Anemia
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau
kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang
dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan
akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui
perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah
dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah
merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan
destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau
dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping
proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran
darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan
dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ;
kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa
makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan
oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting,
Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang,
maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan
kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sudoyo, 2009).
1.3.4 Manifestasi Klinik
1. Riwayat
a. Mentruasi berlebihan
b Kehilangan darah kronik
c. Riwayat keluarga
d. Diet yang tidak adekuat
e. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
f. Anemia pada kehamilan sebelumnya
g. Pika (nafsu makan terhadap bahan bukan makanan)
2. Tanda dan Gejala
. a. Keletihan, malaise, atau mudah megantuk
b. Pusing atau kelemahan
c. Sakit kepala
d. Lesi pada mulut dan lidah
e. Aneroksia,mual, atau muntah
f. Kulit pucat
g. Mukosa membrane atau kunjung tiva pucat
h. Dasar kuku pucat, dll
1.3.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sederhana seperti menggunakan metode Hb Sachli, yang dilakukan minimal 2 kali.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan
zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan
indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit
kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah
merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai norma l 27-31 pg,
mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Darah Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilak ukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah
dapat dilihat pada kolom morfology flag.
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide=RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat
klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi
tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW
adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan
eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
5. Pemeriksaan Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan
beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik
pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan
kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas.
EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih
jarang.
6. Pemeriksaaan Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi
dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
7. Pemeriksaan Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan
besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.
8. Pemeriksaan Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan
jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada
penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang
disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun
dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh
transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh
plasma.
9. Pemeriksaan Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk
kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat
dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin
menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya
kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari
serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk
usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita
dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria
meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia
65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat
sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh
secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga
meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum
feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),
Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
1.3.6 Penatalaksanaan
1. Terapi oral ialah dengan pemberian : fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat.
2. Bila Hb <10 g/dl dan Ht <30%, lakukan tindakan berikut:
a. Berikan konseling gizi.
b. Tinjau diet pasien.
c. Diskusikan sumber-sumber zat besi dalam diet.
d. Berikan kepada pasien selebaran mengenai makanan tinggi zat besi.
e. Rujuk ke ahli gizi.
1.3.7 Komplikasi
1. Gagal ginjal
Dengan berkurangnya asokan oksigen ke jaringan misalnya pada ginjal akan
terjadi kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Hipoksia
Penurunan pemasokan oksigen ke jaringan sampai di tingkat fisiologik. Hb
berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Jika terjadi penurunan Hb
maka akan terjadi hipoksia bahkan dapat menyebabkan kematian.
3. Anemia Pada Kehamilan
Seorang wanita hamil yang menderita anemia gizi besi kemungkinan besar
akan melahirkan bayi yang mempunyai persediaan zat besi sedikit atau tidak
mempunyai persediaan zat besi sama sekali di dalam tubuhnya. Jika setelah lahir bayi
tersebut tidak mendapatkan asupan zat besi yang mencukupi, bayi akan beresiko
menderita anemia. Anemia berat yang tidak diobati dalam kehamilan muda dapat
dapat menyebabkan abortus dan dalam kehamilan tua dapat menyebabkan partus
lama, perdarahan postpartum. Selain itu, anemia pada ibu hamil juga dapat
mengakibatkan daya tahan ibu menjadi rendah terhadap infeksi. Anemia gizi besi pada
wanita hamil mengakibatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu,
peningkatan angka kesakitan dan kematian janin dan peningkatan risiko bayi dengan
berat badan lahir rendah.
1.3.8 Penatalaksanaan Nutrisi Anemia
1. Tujuan Diet
a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan jaringan tubuh
b. menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal
2. Syarat Diet
a. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB
b. Protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB
c. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total
e. Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan kebutuhan tubuh
f. Makanan diberikan dalam bentuk mudah dicerna
3. Bahan Makanan Yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
a. Bahan makanan yang dianjurkan
 Sumber karbohidrat: nasi, mie, makaroni dan hasil olah tepung-tepungan
lain, seperti cake, tarcis, pudding dan pastri, dodol, ubi, karbohidrat
sederhana seperti gula pasir.
 Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil
olahan seperti keju dan yoghurt custard dan es krim.
 Sumber protein nabati: semua jenis kacang-kacangan dan hasil
olahannya, seperti tempe, tahu dan pindakas.
 Sayuran: semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis,
daun singkong, kacang panjang, labu siam dan wortel rebus, dikukus
ataupun ditumis.
 Buah-buahan: semua jenis buah segar, buah kaleng, buah kering dan jus
buah.
 Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega margarine, santan encer
dan salad dressing.
 Minuman: soft drink, madu, sirup, teh dan kopi encer.
 Bumbu: bumbu yang tidak berbau tajam, seperti bawang merah, bawang
putih, laos, daun salam dan kecap.
b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan
 Sumber protein hewani: dimasak dengan banyak minyak atau
kelapa/santan kental.
 Sumber protein nabati: dimasak dengan banyak minyak atau
kelapa/santan kental.
 Sayuran: dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental.
 Lemak dan minyak: santan kental.
 Minuman: minuman rendah energi.
 Bumbu: bumbu yang berbau tajam, seperti cabe dan merica.

Anda mungkin juga menyukai