Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Januari 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

PRURITUS KARENA KOLESTASIS

Oleh :
Lydia A Kainama
2017-84-039

Pembimbing :
dr. Fitri K. Bandjar, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
referat sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin
dengan judul “Pruritus karena Kolestasis”.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan referat ini telah banyak
pihak yang turut membantu sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dr. Fitri K. Bandjar, Sp.KK selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan
memberikan arahan bagi penulis selama penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
referat ini, untuk itu kritik dan saran penulis harapkan guna kesempurnaan referat
ini kedepannya. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Sekian dan terima kasih.

Ambon, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 3
II. 1. PRURITUS KOLESTASIS…........................................................ 3
II. 2.EPIDEMIOLOGI………………… ..…………………………… 4
II. 3.PATOGENESIS ……………………………………………….. 4
II.4. MANIFESTASI KLINIS………….. …………………………… 10
II.5.PENATALAKSANAAN………... .................................................. 11
II.6.KOLESTASIS KEHAMILAN………………………………….... 15
BABIII PENUTUP…………………………………………………… 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan kulit sangat erat kaitannya dengan kondisi psikis pasien. Apakah
berawal dari kelainan kulit yang menyebabkan penurunan percaya diri, depresi
dan fobia sosial, ataukah berawal dari gangguan psikiatri yang kemudian
menyebabkan manifestasi kulit, keduanya memerlukan penanganan yang adekuat
dan komprehensif. Sistem saraf dan sistem integumen sama-sama berasal dari
ektoderm dalam embriologi.Kulit juga merupakan organ yang sangat berespon
terhadap emosi. Kulit adalah salah satu organ persepsi yang paling besar yang
kemudian juga menerima afek dari persepsi tersebut. Sehingga tidak jarang
banyak orang melampiaskan impuls agresif, kecemasan, ataupun perilaku akibat
delusinya pada kulit dan menyebabkan manifestasi lesi kulit. Sebaliknya, pasien
dengan kelainan kulit yang mengganggu penampilan akan mengakibatkan rasa
depresi, malu, dan cemas berkaitan dengan penyakitnya.1,2
Bidang kedokteran psikokutaneus atau psikodermatologi adalah salah satu
cabang ilmu yang berfokus dalam menjembatani kondisi psikiatri dan kelainan
dermatologi. Penyakit psikodermatologi adalah kondisi penyakit yang mencakup
adanya interaksi antara pikiran dan kulit. Setelah diagnosis ditegakkan,
manajemen penyakit juga memerlukan pendekatan terpadu baik terhadap kelainan
kulitnya maupun kelainan psikologisnya. Penderita dengan kelainan
psikodermatologi seringkali juga menyangkal adanya gangguan psikis sehingga
menolak untuk dirujuk ke ahlikejiwaan.Penatalaksanaan kondisi psikodermatologi
ini tidak hanya memerlukan evaluasi kelainan kulitnya, tetapi juga masalah-
masalah sosial, keluarga, ataupun pekerjaan dari penderita yang mungkin
mendasari kelainan kulit yang terjadi.1
Hubungan antara kelainan kulit dan faktor psikologis sangatlah erat dan telah
lama menjadi topik yang menarik. Kelainan psikodermatologi atau dikenal dengan
istilah penyakit psikokutaneous merupakan kondisi yang tidak jarang ditemukan
pada praktek klinis. Sebanyak 30-40% pasien dengan manifestasi kulit memiliki
masalah psikologi. Secara umum penyakit psikokutaneous dibagi menjadi 2,

1
yaitu: (1) kelainan psikiatri primer, dimana kelainan psikiatri yang mendasari
adanya manifestasi kulit; dan (2) kelainan dermatologi primer yaitu adanya
penyakit kulit yang menyebabkan stres psikologis seperti depresi bahkan
keinginan bunuh diri. Dokter kulit yang umumnya menerima pasien untuk
pertama kali diharapkan memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
mengidentifikasi penyakit psikokutaneous ini. Dokter kulit juga diharapkan dapat
melakukan pendekatan yang simpatik dan menjadi jembatan bagi pasien untuk
berkonsultasi dengan psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan
yang komprehensif.1,3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Bidang kedokteran psikokutaneus atau psikodermatologi adalah salah
satu cabang ilmu yang berfokus dalam menjembatani kondisi psikiatri dan
kelainan dermatologi. Penyakit psikodermatologi adalah kondisi penyakit
yang mencakup adanya interaksi antara pikiran dan kulit.1,3
Penyakit psikodermatologi atau psychocutaneousdisordersberdasarkan
C. Koblenzer dibagi menjadi dua kategori, yaitu:1) kelainan psikiatri primer
dan 2) kelainan dermatologiprimer. Kelainan psikiatri primer merujuk pada
kelainan psikitriyang mendasari adanya manifestasi kulit yang dipicu
olehpenderita sendiri (self induced skin manifestation), seperticontohnya
trikotilomania dan delusional parasitosis. Kelainandermatologi primer
merujuk pada kelainan kulit yangmenyebabkan gangguan
penampilan/disfigurement sehinggamenyebabkan masalah psikiatri seperti
depresi dan antisosial. Beberapa literatur juga menyebutkan adanya kelainan
psikofisiologis, yaitu merujuk pada kelainan kulit yang dapat dipengaruhi
atau diperburuk oleh stres emosional. Beberapa penyakit yang tergolong
pada kelompok ini antara lain akne, alopesia areata, dermatitis atopi,
psoriasis, purpurapsikogenik, rosasea, dermatitis seboroik, dan urtikaria.
Klasifikasi dan penyakit-penyakit psikodermatologi dapat dilihat pada tabel
1.1,3

Tabel 1. Klasifikasi dan Contoh Penyakit Psikodermatologi4,5


Kategori Contoh
Primary Psychiatric Disorders Bromidrofobia
Delusional parasitosis
Dismorfofobia
Dermatitis artefakta

3
Ekskoriasi neurotik
Trikotilomania
Primary Dermatologic Alopesia areata
Disorders Akne kistik
Hemangioma
Iktiosis
Sarkoma Kaposi
Psoriasis
Vitiligo

II.2. KELAINAN PSIKIATRI PRIMER


Kelainan psikiatri primer mengenai sekitar 5% dari seluruh pasien
dermatologi. Biasanya pasien pada kelompok ini memiliki tilikan yang
bervariasi, tetapi sebagian besar pasien memiliki tilikan buruk. Lesi
umumnya diinduksi oleh pasien sendiri dan jika tidak diobati memiliki
prognosis yang buruk. Terdapat klasifikasi umum mengenai penyakit-
penyakit yang tergolong dalam kelompok ini. Beberapa penyakit kadang
dapat tumpang tindih antar kelompok. Klasifikasi kelompok penyakit
psikiatri primer dapat dilihat pada tabel 2.3

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Psikiatri Primer3


Kategori Contoh
Delusional Delusional parasitosis
Body odor delusion/bromidrofobia
Sindrom hipokondrial
Factitious Body Dismorphic Disorder (BDD)
Sindrom dermatitis para-artefakta
Sindrom dermatitis artefakta
Malingering
Somatoform BDD

4
Disestesia kutaneus
Sindrom somatisasi
Kompulsif Cuci tangan kompulsif
Liken simpleks kronikus
BDD
Berikut akan dijabarkan beberapa kelainan psikiatri primer dengan
manifestasi kulit yang umum ditemukan.
1. Delusional Parasitosis
Delusional parasitosis masuk ke dalam kelompok kelainan yang disebut
dengan ‘monosymptomatic hypochondriacal psychosis’. Pasien pada
kelompok ini mengalami delusi terbatas. Delusional parasitosis adalah
keluhan yang paling umum dari kelompok ini. Secara epidemiologi
delusional parasitosis predominan pada wanita usia pertengahan dan
usia tua. Pada delusional parasitosis, pasien meyakini dengan kuat
bahwa di kulitnya telah terinfestasi oleh suatu organisme. Karena delusi
yang terjadi terbatas, kelainan ini dibedakan dengan skizofrenia,
dimana terdapat defisit fungsional yang multipel. Penyakit yang lebih
jarang pada kelompok ini antara lain adalah hipokondriakal dimana
pasien percaya bahwa dia telah terkena suatu penyakit tertentu seperti
HIV, kanker, dll; serta bromidrofobia dimana pasien memiliki delusi
bahwa badannya berbau. Pasien juga memiliki pemahaman mengenai
bagaimana organisme ini bereproduksi, bergerak di dalam kulit dan
kadang keluar. Pasien biasanya datang dengan apa yang dikenal Pada
delusional parasitosis, pasien meyakini sebagai ‘matchbox sign’ yaitu
dimana pasien datang membawa spesimen berupa debris, sedikit bagian
kulit yang terekskoriasi, atau bagian serangga yang tidak berhubungan
di dalam kotak korek api (matchbox) atau kontainer lainnya sebagai
bukti adanya infestasi. Lesi kulit bervariasi dari ekskoriasi ringan
sampai dengan ulkus yang luas. Karena delusi bersifat terbatas, pasien
memiliki organisasi pikir yang normal dan tampak meyakinkan dari
penampilan luar sehingga lingkungannya akan mempercayai benar

5
adanya infestasi tersebut. Beberapa gangguan psikiatri yang harus
dibedakan dengan kelompok ‘monosymptomatic hypochondriacal
psychosis’ ini antara lain skizofrenia, depresi dengan gejala psikosis,
dan psikosis yang diinduksi obat.3,6,7,8
Penanganan pemilihan untuk mengatasi delusi tentang parasitosis
adalah dengan suatu pengobatan antipsikotik yang disebut dengan
Pimozide (Oral). Phnozide sama dengan Haloperidol (Haldol ) dan
struktur kimia dan potensinya serta telah terbukti secara unik efektif
untuk mengobati keadaan ini terutania untuk mengurangi formikasi.
Pengobatan ini telah dilabel oleh U.S. Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan Sindrom Toureffers ini digunakan juga dalam
pengobatan delusi akibat parasitosis. Dosis Pimozide untuk pengobatan
delusi parasitosis lebih rendah daripada yang digunakan untuk
Skizofrenia kronis. Terapi Pimozide pada awalnya dipakai dosis
serendah mungkin, yaitu setengah dan tablet 2 mg (ie. 1 mg) perhari
dan ditingkatkan 1 mg perrninggu. Pada saat tercapai dosis biasa
perhari 4-6 mg (ie. 2-3 tablet kebanyakan pasien mengalami penurunan
sensasi digigit dan sensasi hewan merangkak/merayap di atas kulit
mereka.7,8

2. Ekskoriasi Neurotik dan Dermatitis Artefakta


Dermatitis artefakta secara umum merujuk pada kondisi dimana pasien
secara sengaja menyebabkan lesi kulit pada dirinya sendiri. Pasien
biasanya menggunakan alat untuk menggaruk dan menghilangkan gatal
seperti instrumen tajam, rokok yang menyala, atau bahan-bahan kimia.
Berbeda dengan pasien malingering yang melakukan hal serupa untuk
mendapat imbalan sekunder dari sekitarnya seperti perhatian, uang, dan
kebebasan tanggung jawab, pasien dengan dermatitis artefakta
menyebabkan lesi kulit untuk mendapat imbalan primer dari dirinya
sendiri berupa keuntungan emosional dan psikologis. Kelainan ini
umumnya ditemukan pada wanita terutama dewasa muda hingga

6
dewasa. Pasien pada kelompok ini umumnya menyangkal bahwa pasien
sendiri yang menyebabkan lesi kulit namun seringkali kebingungan
menjelaskan bagaimana lesi bisa terjadi.4
Istilah ekskoriasi neurotik atau ekskoriasi psikologis digunakan saat
pasien sendiri menyebabkan ekskoriasi (scratch marks) secara repetitif
dan kompulsif. Namun tidak seperti pasien pada dermatitis artefakta,
pasien pada kondisi ini mengakui bahwa diri mereka sendiri yang
menyebabkan adanya lesi kulit. Kelainan ini adalah kelainan
psikokutaneous yang paling umum ditemukan, mencapai 2% dari
keseluruhan pasien dermatologi, dan biasanya ditemukan pada wanita
usia pertengahan.8
Secara klinis, lesi dermatitis artefakta dapat dtemukan di seluruh tubuh
dengan bentuk lesi dapat menyerupai banyak dermatosis. Beberapa
tanda yang dapat mengarahkan kelainan ini antara lain lesi umumnya
terdapat pada area yang mudah dijangkau, dengan pola geometris dan
tepi bersudut dan dikelilingi kulit yang normal. Morfologi lesi tampak
aneh dan tidak memenuhi kriteria diagnosis dermatosis lainnya.3
Pasien ekskoriasi neurotik umumnya menunjukkan adanya rasa gatal
yang hebat yang kemudian menyebabkan garukan persisten sehingga
menyebabkan siklus gatal garuk. Lesi klinis tampak berupa ekskoriasi
dalam berbagai tahap dan penyembuhan terutama di bagian ekstensor
ekstrimitas, punggung atas, dan wajah. Pasien sering pula tampak
dengan ekskoriasi yang berlebihan dari dermatosis yang sudah ada
sebelumnya seperti folikulitis dan akne.8

3. Trikotilomania
Trikotilomania dari sudut pandang dermatologi adalah suatu kondisi
dimana seseorang mencabut rambutnya sendiri. Sedangkan dari sudut
pandang psikiatri trikotilomania harus mencakup sifat impulsif dalam
pencabutan rambut mereka.Kelainan psikiatri yang mendasari
umumnya adalah gangguan obsesi kompulsi, namun kelainan lain yang

7
dapat mendasari adalah simple habit disorder, reaksi terhadap situasi
stres, retardasi mental, depresi dan kecemasan, serta delusi yang
meyakinkan pasien bahwa ada sesuatu pada akar rambut yang harus
dicabut. Kondisi terakhir ini dikenal dengan trikofobia. Beberapa
diagnosis banding dari trikotilomania antara lain alopesia aerata, sifilis,
dan tinea kapitis.1,3,6
Diagnosis trikotilomania dapat ditunjang oleh pemeriksaan
histopatologi, dimana akar rambut mengalami perubahan yang dikenal
sebagai trikomalasia yang hanya terjadi pada kondisi trikotilomania.
Pemeriksaan ini dapat digunakan jika pasien menyangkal telah
mencabut rambutnya.1

4. Body Dismorphic Disorder


Body dismorphic disorder atau dismorfofobia adalah suatu kondisi
kronis yang ditandai dengan adanya perhatian dan fokus yang
berlebihan terhadap defek yang diasumsikan ada pada penampilan fisik,
walaupun sebenarnya penampilan tampak sepenuhnya normal. Kelainan
psikologis ini menyebabkan gangguan fungsi sosial, kualitas hidup
yang rendah, dan respon terhadap pengobatan yang rendah. Keluhan
mengenai penampilan penderita biasanya berpusat pada 3 area yaitu
wajah, kepala, dan kelamin.Pada wanita, keluhan terkait dengan wajah,
payudara, rambut, hidung, dan perut, sementara pria keluhan terkait
rambut, hidung, telinga, alat kelamin, dan pembentukan tubuh.Kelainan
ini diperkirakan terjadi pada 0,7% - 2,4% dari populasi umum dan
hingga 12% dari pasien dermatologi. Kelainan ini umunya dihubungkan
dengan gangguan mood seperti depresi (37%), fobia sosial (33%%), dan
gangguan obsesi-kompulsi (26%). 3,6
Keluhan pasien BDD dapat berupa defek pada wajah seperti
kemerahan, skar, pori-pori yang besar, rambut halus, dan adanya
asimetri pada wajah. Keluhan seperti kerontokan rambut, skrotum
berwarna merah, dan adanya duh tubuh juga pernah dilaporkan.1,6

8
Pasien BDD umumnya akan datang kepada banyak ahli dermatologi
atau ahli bedah plastik berkaitan dengan pengobatan dari defek yang
dirasakan dan senang berpindah-pindah dokter. Namun, jika pasien
menerima pengobatan dan kemudian tidak menunjukkan perbaikan,
pasien seringkali merasa kecewa, dan mengalami perburukan secara
psikologi.3,6

II.3. KELAINAN DERMATOLOGIS PRIMER


Kategori ini termasuk pasien yang memiliki masalah emosional akibat
penyakit kulit. Penyakit kulit pada pasien-pasien ini mungkin lebih parah
daripada gejala-gejala psikiatrik, dan, bahkan jika tidak mengancam jiwa,
itu mungkin dianggap “menghancurkan hidup”.
1. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kulit kronis yang menyerang sekitar 2-3%
populasi dunia, dengan onsetnya pada ekade kehidupan kedua atau
ketiga. Gangguan ini cocok dengan model etiologi biopsikososial
dan disebabkan oleh interaksi faktor genetik (pewarisan poligenik),
lingkungan dan psikologis. Stres psikologis diketahui memperburuk
kondisi dan umumnya dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan
somatisasi. Namun, tingkat keparahan gejala kejiwaan mungkin
tidak
selalu sebanding dengan keparahan klinis psoriasis.9
2. Alopesia Aerata
Alopecia areata adalah penyakit umum yang melibatkan rambut
rontok yang terlokalisasi di daerah bulat atau oval, tanpa radang kulit
yang terlihat di daerah penahan rambut. Alopecia areata adalah jenis
rambut rontok yang tidak hilang pada area penahan rambut di tubuh.
Kecemasan dan depresi tetap merupakan gangguan kejiwaan yang
paling umum pada pasien ini.9
Pengaruh faktor psikologis dalam pengembangan, evolusi, dan
manajemen terapi alopecia areata didokumentasikan dengan baik.

9
Stres emosional akut dapat memicu alopecia areata, mungkin dengan
aktivasi reseptor hormon pelepas hormon kortikotropin tipe 2 yang
diekspresikan secara berlebihan di sekitar folikel rambut,
danmenyebabkan peradangan lokal yang intens.4

3. Vitiligo
Vitiligo adalah jenis spesifik leukoderma yang ditandai oleh
depigmentasi epidermis. Ini dikaitkan dengan lebih banyak rasa
malu psikososial daripada kondisi kulit lainnya. Dalam beberapa
penelitian, pasien dengan vitiligo ditemukan memiliki peristiwa
kehidupan yang jauh lebih stres dibandingkan dengan kontrol,
menunjukkan bahwa tekanan psikologis dapat berkontribusi pada
onset.Kualitas hidup pada pasien vitiligo terhambat, terutama pada
pasien wanita. Kualitas psikologis dan lingkungan hidup dipengaruhi
secara negatif karena dampak psikososial dari gangguan tersebut.4,9

II.4. KELAINAN PSIKIATRI SEKUNDER


Penyakit kulit jarang mengancam jiwa namun dihubungkan dengan
morbiditas yang signifikan dan sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Kelainan psikiatri sekunder mencakup sekitar 30% dari seluruh pasien
dermatologi. Penyakit kulit yang bersifat kronis dan mengenai area yang
terbuka seperti pada psoriasis dan vitiligo akan menggangu penampilan fisik
dan menyebabkan rasa malu, depresi, kecemasan, citra diri yang buruk, rasa
percaya diri kurang dan bahkan memicu keinginan bunuh diri. Seringkali
pasien juga menerima diskriminasi dan isolasi sosial sehingga menambah
beban pasien secara psikologis.1,2

II.5. KELAINAN PSIKOFISIOLOGIS


Kelainan psikofisiologis adalah kondisi kelainan kulit yang seringkali
dipengaruhi atau diperberat oleh stres emosional. Kelainan pada kelompok
ini biasanya bersifat multifaktorial, dimana stres ataupun kondisi psikologis

10
tidak secara langsung sebagai penyebab dari kelainan kulit yang terjadi
namun, merupakan salah satu faktor pemicu atau faktor yang memperberat.
Pada banyak dermatosis kronis, stres emosional dapat memicu siklus gatal-
garuk, sehingga terapi terhadap pasien yang rekalsitran harus disertai
dengan tatalaksana terhadap stres sebagai faktor yang memperberat. Pasien
biasanya merasa malu mengakui masalah psikologis yang dihadapi,
sehingga diperlukan pendekatan secara perlahan. Kursus manajemen stres,
teknik-teknik relaksasi, musik, atau latihan dapat membantu menangani
masalah pada pasien dalam kondisi seperti ini. Jika terdapat masalah
psikososial atau pekerjaan yang spesifik, terapi dan konseling yang terkait
mungkin dapat membantu.2,3

II.6. PENGOBATAN PSIKOTROPIKA YANG DIGUNAKAN DI BIDANG


DERMATOLOGI
Pengobatan psikotropika umum digunakanpada kondisi-kondisi penyakit
psikokutaneus. Pengobatan ini digolongkan sesuai dengan kegunaan
klinisnya seperti (antidepresan atau antipsikotik), namun kemudian juga
digolongkan berdasarkan struktur kimia dan/atau mekanisme kerjanya.
Beberapa pengobatan yang umum digunakan pada kondisi ini adalah
golongan antidpresan, anticemas, dan antipsikotik. Beberapa obat
psikotropika yang umum digunakan di Bidang Dermatologi dapat dilihat
pada tabel 3.6

Tabel 3. Obat-obatan yang Umum Digunakan pada Kelainan


Psikokutaneus6
Kategori Obat Dosis Efek Samping Keterangan
Umum
Anti Depresan
SSRIs
Fluoxetine 20 mg/hari Mual muntah, Lebih sering

11
dapat dispepsia, nyeri menyebabkan
ditinggkatkan abdomen, diare, ansietas dan
dengan agitasi, insomnia, insomnia
interval 3-4 hiponatremia dibandingkan
minggu SSRis lainnya
sampai dosis
maks 60
mg/hari
Sertraline 50-200 Sama dengan discontinuation
mg/hari diatas syndrome jika
dihentikan tiba-
Escitalopram 10 mg sekali Sama dengan di tiba mencakup
sehari atas sakit kepala,
maksimal 20 ansietas,
mg/hari parestesia, flu-like
syndrome,
gangguan tidur

SNRI Venlafaxine 75-150 mg Gastrointestinal, Dihentikan jika


XL sekali sehari palpitasi, nausea, tidak berespon
berkeringat, dalam 8-12
tekanan darah minggu
meningkat

Mulai pada Sama dengan Sedasi kuat, baik


Duloxetine dosis 30 mg diatas, nausea untuk keluhan
sekali sehari sangat sering pruritus nocturnal
maks 120
mg/hari
NaSSa Mirtazapine 15 mg sekali Peningkatan
(malam hari), nafsu makan dan

12
naikkan berat badan,
dalam 2-4 edema, sedasi
minggu,
maks 45
mg/hari
TCA dan yang Amitriptyline 75 mg sekali Prolong QT Overdosis TCA
berkaitan sehari malam interval, dapat berakibat
hari sampai peningkatan BB, fatal. Perhatian
150-200/hari hipotensi pada pasien
ortostatik, efek dengan riwayat
samping kejang dan manik-
kolinergik depresif karena
Imipramine 75 mg/hari dapat menurunkan
dapat ambang kejang
ditingkatkan dan memicu
sampai episode manik
dengan 150- serta memicu
200 mg/hari bunuh diri.
Mulai
Doxephine dengan dosis
25 mg saat
malam dan
dititrasi
menjadi 75
mg/hari
Anti-psikotik Risperidon Mulai Sedasi, cemas, Aman pada lansia,
dengan dosis dizziness, rinitis, karena memiliki
0.25-0.5 mg fatifue, gangguan efek antikolinergik
saat malam akomodasi, (mulut kering,
hari dan prolong QT mata kabur,

13
ditingkatkan interval konstipasi, urinary
sampai 4 hesitation) yang
mg/hari minimal.
Olanzapine Mulai Sedasi, efek Sangat efektif
dengan dosis antikolinergik, pada parasitosis
5-10 mg/hari, peningkatan berat delusional tetapi
titrasi hingga badan, sindrom tidak menjadi
10-15 metabolik, DM pilihan utama
mg/hari tipe II, dan karena profil efek
hiperlipidemia samping yang
Aripiprazole 10 mg/hari Efek buruk
ekstrapiramidal,
sindrom
metabolik dan
peningkatan berat
badan lebih
jarang, tidak
memiliki efek
antikolinergik
Benzodiazepine Lorazepam, 0,5-2 mg/hari Sedasi Batasi penggunaan
Diazepam 15-30 ketergantungan hanya 3-4 minggu,
mg/hari jangan stop
dalam dosis langsung tanpa
terbagi dititrasi untuk
menghindari
rebound
phenomenon

Antihistamin Hydroxyzine 5-100 Mengantuk,


mg/hari stimulasi
paradoksikal,

14
sakit kepala,
gangguan
psikomotor, efek
antimuskarinik
seperti retensi
urin dan mulut
kering.
Antiepilepsi Gabapentin Mulai Onset lebih lambat
dengan 300 dari
mg malam benzodiazepine
hari selama 1 tetapi lebih jarang
minggu, menyebabkan
titrasi ketergantungan
menjadi 300
mg 2 kali
dalam
seminggu
Pregabalin 200-450 Mulut kering, Hindari
mg/hari dosis konstipasi, mual, penghentian
maksimal muntah, flatulen, mendadak,
600 mg/hari edema, dizziness, perhatian pada
mengantuk, pasien dengan
gangguan gagal jantung
memori, kadang kongestif,
dapat gangguan ginjal
menyebabkan dan kehamilan
Sindrom Stevens-
Johnson dan gatal

Pengobatan Non Farmakologi

15
Dokter kulit perlu melakukan konsultasi dan rujukan kepada bagian Psikiatri
segerasetelah memungkinkan bagi pasien. Beberapa pilihan terapi non
farmakologi yang umumnya digunakan terhadap pasien dengan kelainan
psikokutaneous antara lain terapi kognitif-perilaku, psikoterapi fokus pada tilikan,
hipnosis, mindfullness-based cognitive therapy, biofeedback, dan terapi keluarga.
Tidak terdapat terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya karena setiap
terapi bersifat individual bergantung pada kondisi dan diagnosis pasien.3,6
Peranan Dokter Kulit
Sekitar 20-40% pasien yang datang ke dengan keluhan kulit juga mengalami
gangguan psikiatri dan atau gangguan psikologi yang berhubungan dengan
kelainan kulitnya. Sebagai dokter kulit yang pertama kali menerima pasien dalam
kondisi seperti ini diharapkan memiliki kewaspadaan dan pengetahuan mengenai
diagnosis yang umum, manifestasi klinis baik secara dermatogi maupun psikiatri,
serta dasar-dasar pengobatan yang diperlukan. Dokter kulit diharapkan dapat
mengidentifikasi kelainan psikiatri primer dengan manifestasi kulit, menilai
sejauh mana peranan stres pada kelainan psikofisiologis, dan seberapa besar
beban psikologis pada pasien dengan kelainan dermatologis primer. Dokter kulit
juga diharapkan dapat memulai terapi non farmakologis serta terapi farmakologis
dasar pada kelainan psikokutaneous dan harus mengetahui kapan waktu yang
ideal untuk melakukan rujukan ke ahli jiwa. Dokter kulit hendaknya dapat
melakukan pendekatan yang simpatik dan dapat menjadi jembatan bagi pasien
untuk berkonsultasi dengan psikiater maupun psikolog untuk mendapatkan
penangan yang komprehensif.3,10

16
BAB III
PENUTUP

III.1. KESIMPULAN
Psikodermatologi adalah salah satu cabang ilmu yang berfokus dalam
menjembatani kondisi psikiatri dan kelainan dermatologi. Penyakit
psikodermatologi atau psychocutaneous disorders berdasarkan C. Koblenzer
dibagi menjadi dua kategori, yaitu:1) kelainan psikiatri primer dan 2)
kelainan dermatologi primer. Kelainan psikiatri primer merujuk pada
kelainan psikitri yang mendasari adanya manifestasi kulit yang dipicu oleh
penderita sendiri. Sedangkan, kelainan dermatologi sekunder adalah
kelainan yang secara signifikan memiliki masalah psikologi yaitu terjadi
pententangan antara rasa percaya diri dengan penampilan.
Pengobatan psikotropika umum digunakanpada kondisi-kondisi penyakit
psikokutaneus. Pengobatan ini digolongkan sesuai dengan kegunaan
klinisnya seperti (antidepresan atau antipsikotik), namun kemudian juga
digolongkan berdasarkan struktur kimia dan/atau mekanisme kerjanya.
Beberapa pilihan terapi non farmakologi yang umumnya digunakan
terhadap pasien dengan kelainan psikokutaneous antara lain terapi kognitif-
perilaku, psikoterapi fokus pada tilikan, hipnosis, mindfullness-based
cognitive therapy, biofeedback, dan terapi keluarga.
Dokter kulit diharapkan dapat mengidentifikasi kelainan psikiatri primer
dengan manifestasi kulit, menilai sejauh mana peranan stres pada kelainan

17
psikofisiologis, dan seberapa besar beban psikologis pada pasien dengan
kelainan dermatologis primer. Dokter kulit juga diharapkan dapat memulai
terapi non farmakologis serta terapi farmakologis dasar pada kelainan
psikokutaneous dan harus mengetahui kapan waktu yang ideal untuk
melakukan rujukan ke ahli jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiguna MS. Skin disease related to psychiatric disorder. 2016. National


Symposium & Workshop: Psychoneuroimmunology in Dermatology.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
2. Rodriguez-Cerdeira C, Pera-Grasa JT, Molares A, Isa-Isa R, Arenas-
Guzman R. Psychodermatology: Past, Present and Future. Open Dermatol
J 2011;5:21-7.
3. Rieder E, Tausk FA. Psychocutaneous Skin Disease. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012, p. 1158-65.
4. Jafferany M. Psychodermatology: A Guide to Understanding Common
Psychocutaneous Disorders. J Clin Psychiatry 2007; 9(3): 203-13.
5. Torales J, Martino B. Psychodermatology: mind the skin. Telangana
Journal Of Psychiatry 2016;2(1):5-7.
6. Yadav S, Narang T, Kumaran S. Psychodermatology: A Compregensive
Review. IJDVL 2013; 79(2): 176-92.
7. Wardhana M. Psikodermatologi: hubungan antara pikiran dan penyakit
kulit. Psikodermatol Medicina 2012.
8. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. 3rd ed. Australia:
Blackwell Publishing;2002, p.294-299

18
9. Jaiswal SV, Sinha D. Psychodermatology: the overlap of skin and psyche.
JOJ Nurse Health Care 2017;2(2):1-4
10. Bewlwy A. Psychodermatology and Psychocutaneous Medicine. Dermatol
Nurs 2011; 10(3): 28-31.

19

Anda mungkin juga menyukai