Anda di halaman 1dari 3

4.

Utang Luar Negeri

4.1 Krisis Utang pada Dekade 1980-an

Pada proses pelaksanaan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang, akumulasi


utang luar negeri merupakan satu gejala umum yang wajar, di mana tabungan dalam negeri rendah,
deficit neraca pembayaran sangat tinggi, dan impor modal juga sangat dibutuhkan untuk
menambah sumber daya domestic. Sebelum tahu 1970an, total utang negara-negara berkembang
relative kecil, dan pada umumnya utang tersebut merupakan utang resmi yag bersumber dari
pemerintah negara-negara asing serta lembaga-lembaga keuangan pemerintah. Pada akhir decade
1970an sampai awal 1980an, bank-bank komersial internasional, dengan memutar surplus dana
OPEC berupa “petrol dolar” serta menyalurkan berbagai pinjaman serbaguna kepada negara-
negara berkembang untuk menunjang penyelesaian deficit neraca pembayaran dan pengembangan
sektor ekspor.

Meskipun pinjaman itu bermanfaat, namun pinjaman tersebut jelas juga ada biayanya.
Sekitar tahun 2000an bagi banyak negara berkembang, biaya tersebut telah jauh melebihi
keuntungan atau manfaatnya. Apabila utang terus membesar atau tingkat suku bunganya
meningkat, maka dengan sendirinya pembayaran angsuran utang juga meningkat. Padahal
angsuran tersebut harus dilakukan dengan menggunakan devisa. Ini merupakan pengalaman buruk
yang dirasakan oleh sebagian besar negara berkembang yang banyak memiliki utang luar negeri
pada tahun 1999 sehingga rasionya terhadap penghasilan ekspor sangat tinggi. Negara tersebut
dihadapkan pada tuntutan utang dan pelunasan utang luar negeri yang terlanjur tinggi, yang
diperparah lagi dengan kenyataan bahwa utang mereka berjangka waktu pendek. Faktor lain yang
memberatkan mereka adalah mengalirnya modal domestic ke luar negeri yang dikenal dengan
fenomena pelarian modal.

4.2 Utang Luar Negeri Indonesia

Dalam kasus Indonesia, perkembangan utang luar negerinya menunjukkan seakan-akan


ada korelasi positif antara peningkatan atau laju pertumbuhan PDB riil dan peningkatan jumlah
bantuan dan utang luar negeri atau antara peningkatan pendapatan rata-rata per kapita dan
peningkatan jumlah bantuan dan utang luar negeri. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata
per tahun sejak akhir 1970 selalu positif dan tingkat pendapatan per kapita meningkat terus, tetapi
jumlah utang luar negeri Indonesia juga bertambah terus setiap tahunnya.

Indonesia termasuk negara pengutang besar di Asia bersama-sama dengan Cina dan Korea
Selatan, yang pada tahun 1998 utang luar negerinya mencapai di atas 100 miliar dolar AS. Selama
periode 1980-1998 jumlah utang luar negeri Indonesia naik terus dengan laju pertumbuhan rata-
rata sekitar 11 persen per tahun.

Utang luar negeri Indonesia terdiri dari utang jangka panjang pemerintah dan utang jangka
panjang swasta yang dijamin maupun tidak oleh pemeritah, utang jangka pendek, dan kredit dari
IMF. Proporsi pinjaman dari IMF di dalam total utang luar negeri Indonesia mengalami
peningkatan yang cukup besar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Dan untuk pertama kalinya
dalam sejarah lembaga keuangan dunia tersebut, yakni dalam kasus Indonesia sejak krisis, IMF
terlibat dalam pembiayaan satu negara yang mengalami deficit keuagan yang sifatnya bukan lagi
jangka pendek. Pada tahun 1970, Indonesia baru memulai pembangunan ekonominya, pinjman
IMF yang diterima berjumlah hampir 64 juta SDR.

Laporan Bank Indonesia tahun 2000 menunjukkan bahwa utang luar negeri Indonesia
sampai dengan Oktober 2000 tercatat sebesar US$ 140 miliar atau menurun 5,5 persen dari posisi
utang akhir tahun 1999 sebesar US$ 148,1 miliar. Penurunan tersebut bersumber dari penurunan
posisi utang swasta maupun pemerintah.
Untuk tahun 2005 sampai dengan Desember 2007, utang luar negeri Indonesia tetap berada
pada kisaran 150 miliar dolar pada tahun 1999, dan hanya turun secara sangat marginal pada
Desember 2007 pada posisi 136 miliar dolar AS.

Anda mungkin juga menyukai