Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN HIPERBILIRUBIN

A. PENGERTIAN
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah
berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998).
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah
yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus
ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi
Smith, G, 1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia)
yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne
C. Smeltzer, 2002).
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek
pathologis. (Markum, 1991:314).
Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa
akibat akumulasi bilirubin dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainyalebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern icterus kalau
tidak ditanggani dengan baik atau mempunyai hubungan dangan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubin bila kadar bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan (Harison, et all, 2000).
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi
dengan baik (Prawirohardjo, 2005).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah
berlebihan, melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum sehingga menimbulkan
joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia)
yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne
C. Smeltzer, 2002)
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek
pathologis. (Markum, 1991:314)
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar bilirubin
di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).

B. ETIOLOGI
Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :
1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO.
2. Gangguan konjugasi bilirubin.
3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.
4. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).
6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.
7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah.
Disebut juga icterus hemolitik.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya
hiperbilirubin atau karena pengaruh obat-obatan.
9. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau
infeksi.
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti :
infeksi toxoplasma, shypilis.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit berwarna kuning sampe jingga
2. Pasien tampak lemah
3. Nafsu makan berkurang
4. Reflek hisap kurang
5. Urine pekat
6. Perut buncit
7. Pembesaran lien dan hati
8. Gangguan neurologik
9. Feses seperti dempul
10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
12. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
13. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke
3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.

D. PATHWAY

E. PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat beban bilirubin pada sel
hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein berkurang, atau pada
bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam
air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis
pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang
terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kadar bilirubin
indirek lebih dari 20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah
otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan
hipoglikemia. (Markum, 1991).

F. KLASIFIKASI
1. Ikterus prehepatik: Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat
hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi
terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatic: Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam
hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke
dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik: Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga
empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin
dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi: Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan
sembuh pada hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam
memproses bilirubin.
5. Ikterus neonatus patologis: Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya
disertai suhu badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bilirubin serum
a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari
setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7
hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiology: Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau
peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau
hepatoma
3. Ultrasonografi: Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic
dengan ekstra hepatic.
4. Biopsy hati: Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic
selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
5. Peritoneoskopi: Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto
dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita
penyakit ini.
6. Laparatomi: Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto
dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita
penyakit ini.

H. PENCEGAHAN
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa
kehamilan dan kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.

I. KOMPLIKASI
1. Retardasi mental - Kerusakan neurologist
2. Gangguan pendengaran dan penglihatan
3. Kematian.
4. Kernikterus.

J. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan umum
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil: Mencegah truma
lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
b. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan
kebutuhan bayi baru lahir.
c. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
2. Tindakan khusus
a. Fototerapi: Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto.
b. Pemberian fenobarbital: Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi.
Namun pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan
metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
c. Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi, misalnya
pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari
ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan
transfuse tukar.
d. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi: untuk mencegah efek
cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak
retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada
neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
e. Terapi transfuse: digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
Terapi obat-obatan, misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan
bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu
juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin
bebas ke organ hari.
f. Menyusui bayi dengan ASI
g. Terapi sinar matahari
3. Tindak lanjut: Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin
dengan evaluasi berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran
serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap gejala sisa.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.
B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya keadaan umum lemah , TTV tidak stabil terutama suhu tubuh. Reflek
hisap menurun, BB turun, pemeriksan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi
mengalami penurunan, kulit tampak kunin, sclera mata kuning, perubahan warna
pada feses dan urine (Cecely Lynn Betz, 2009).
2. Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang
mengalami neonatal icterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh,
ABO, incompatibilitas lain golongan darah suspect sph). Ada saudara yang
menderita penyakit hemolitik bawaan atau icterus (Haws Paulettet, 2007).
3. Riwayat kehamilan
a. Ketuban pecah dini, kesukaran dengan manipulasi berlebihan merupakan
predisposisi terjadinya infeksi.
b. Pemberian obat anastesi, analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan
gangguan nafas (hypoksia), asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.
c. Bayi dengan APGAR score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia),
asodosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin
d. Kelahiran premature berhubungan dengan prematuritas organ tubuh
hepar (Haws Paulette , 2007)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma
TTV
 TD : -
 N : biasanya 120-160x/i
 R : biasanya 40x/i
 S : biasanya 36,5 – 37 ºC
a. Kesadaran : biasanya apatis sampai koma.
b. Kepala, mata dan leher
c. Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau
terdapat caput. Biasanya dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa
pada mulut. Dapat juga diidentifikasi icterus dengan melakukan tekanan
langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning) (Haws,
Paulette S.Hasws, 2007).
d. Hidung : biasanya tampak bersih
e. Mulut : ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009).
Pada kasus mulut berwarna kuning (Saifuddin, 2002).
f. Telinga : biasanya tidak terdapat serumen.
g. Thorak : Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan
peningkatan frekuensi nafas. Biasanya status kardiologi menunjukan adanya
tachycardia, khususnya icterus disebabkan oleh adanya infeksi.
h. Abdomen : Biasanya perut buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan
metabolism bilirubin enterohepatik.
i. Urogenital : Biasanya feses yang pucat seperti dempul atau kapur akibat
gangguan hepar atau atresia saluran empedu.
j. Ekstremitas : Biasanya tonus otot lemah.
k. Integument : Biasanya tampak ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan
jelek, elastisitas menurun.
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder
fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus

E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
 Jumlah intake dan output seimbang
 Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
 Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
1). Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
2). Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
3). Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
4). Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi )
5). Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan Rasional :
1). Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
2). Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin
serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
3). Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi ).
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
 Tidak terjadi decubitus
 Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
1). Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
2). Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
3). Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah
tersebut ).
4). Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
5). Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi
7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang
tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat
mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
1). Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
2). Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
3). Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
4). Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
5). Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)
Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif
dalamperawatan.
Intervensi :
1). Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
2). Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
3). Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)
5. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
1). Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
2). Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah
genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya
usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
3). Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8
jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
4). Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
5). Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta:EGC
Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi
6. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8. Jakarta : EGC
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.
Ngastiyah. 2000. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Bobak and Jansen (1984), Etential of Nursing. St. Louis : The CV Mosby Company
Hawkins, J.W. and Gorsine, B. (1985), Post Partum Nursing, New York: Springen
Nelson J.P. and May, K.A.(1986), Comprehensive Maternity Nursing. Philadelphia : J.B.
Lippincot Company.
Reeder,S.J. et al.(1983), Maternity Nursing, Philadelphia : J.B. Lippincot Company.

Anda mungkin juga menyukai