Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM KEPERAWATAN -2

“Komunikasi Terapeutik pada Lansia”

Dosen Pengampu : Ikbal Fradianto, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 2 :


Asih Islamiati ( I1031181001 )
Ade Nurianti Saputri ( I1031181009 )
Nanda Herlia ( I1031181014 )
Dewi Safa Oktarini ( I1031181015 )
Thiwa Mula Ardana ( I1031181017 )
Siska Rhafina Dewi ( I1031181028 )
Wahyu Maulana ( I1031181031 )
Zehro Masitoh ( I1031181039 )
Hartini ( I1031181043 )
Putri Andriani ( I1031181044 )

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Komunikasi Terapeutik Pada Lansia”.

Makalah ini kami susun dengan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan maksimal. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Kami berharap makalah “ Komunikasi Terapeutik Pada Lansia ” ini dapat


memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Pontianak, 28 Oktober 2019

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 2

1.3 Tujuan....................................................................................................... 2

1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi .............................................................................................. 3

2.2 Komunikasi Terapeutik ............................................................................ 6

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Komunikasi Terapeutik pada Lansia ...................................................... 12

3.2 Pendekatan Komunikasi pada Lansia ..................................................... 12

3.3 Keterampilan Komunikasi Terapeutik pada Lansia ............................... 15

3.4 Prinsip Komunikasi pada Lansia ............................................................ 16

3.5 Teknik Komunikasi pada Lansia ............................................................ 18

3.6 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan saat Berinteraksi pada Lansia ............ 20

3.7 Hambatan Komunikasi Terapeutik pada Lansia .................................... 21

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan............................................................................................. 25

4.2 Saran ....................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan interaksi verbal
dan non verbal (Ngurah Jaya Antara, 2009). Komunikasi memiliki 2 fungsi
yaitu untuk berinteraksi dengan orang lain dan dapat membantu
menyembuhkan orang yang sedang sakit yaitu komunikasi terapeutik.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
lansia Indonesia adalah 18,57 juta jiwa, meningkat sekitar 7,93% dari tahun
2000 sebanyak 14,44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di
Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Pada tahun
2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan berjumlah sekitar 34,22 juta
jiwa. Proyeksi penduduk oleh Biro Pusat Statistik menggambarkan bahwa
antara tahun 2005-2010 jumlah lansia akan sama dengan jumlah anak balita,
yaitu sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk (BPS,
2010).
Dari hasil Penelitian yang dilakukan oleh Siskayanti, Nugroho, Hartoyo
(2012) tentang pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kemampuan
berinteraksi klien isolasi sosial di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
menunjukkan hasil bahwa komunikasi terapeutik memiliki pengaruh yang
signifikan dalam peningkatan kemampuan interaksi klien isolasi sosial dengan
p-value (p< 0,05). Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan membahas
tentang komunikasi terapeutik pada lansia (gerontik).

1
1.2 Rumusan masalah
1) Apa saja prinsip komunikasi terapeutik pada lansia?
2) Bagaimana tehnik komunikasi terapeutik dengan lansia?
3) Apa saja hambatan dalam komunikasi terapeutik dengan lansia?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui cara komunikasi terapeutik pada lansia
2) Mengetahui tehnik komunikasi terapeutik pada lansia
3) mengetahui apa saja hambatan pada komunukasi terapeutik pada lansia

1.4 Manfaat
Makalah ini disusun dengan maksud agar dapat membantu perawatan
dalam meningkatkan pengetahuan berkomunkasi pada lansia (gerontik).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare –
communicatio dan communicatus yang berarti suatu alat yang
berhubungan dengan sistem penyampaian dan penerimaan berita, seperti
telepon, telegraf, radio, dan sebagainya. Secara sederhana komunikasi
dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran, penyampaian, dan
penerimaan berita, ide, atau informasi dari seseorang ke orang lain.
Dalam berkomunikasi, diperlukan ketulusan hati antara pihak yang
terlibat agar komunikasi yang dilakukan efektif. Pihak yang
menyampaikan harus ada kesungguhan atau keseriusan bahwa informasi
yang disampaikan adalah penting, sedangkan pihak penerima harus
memiliki kesungguhan untuk memperhatikan dan memahami makna
informasi yang diterima serta memberikan respons yang sesuai. (Sarfika
dkk, 2018)
Komunikasi adalah pertukaran keseluruhan perilaku dari
komunikator kepada komunikan, baik yang disadari maupun tidak
disadari, ucapan verbal atau tulisan, gerakan, ekspresi wajah, dan semua
yang ada dalam diri komunikator dengan tujuan untuk memengaruhi
orang lain. Komunikasi adalah proses yang dinamis serta selalu berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang senantiasa berubah.
(Anjaswarni, 2016)
Komunikasi adalah suatu proses yang kompleks untuk mengirim
pesan dari komunikator kepada komunikan. Vecchio (1995, dalam
Anjaswarni, 2016) menguraikan bahwa proses komunikasi merupakan
urutan tahap-tahap komunikasi kompleks meliputi idea generation,
encoding, transmitting via various channels, receiving, decoding,

3
understanding, dan responding yang merupakan suatu siklus yang selalu
berulang.
Dalam praktek keperawatan, komunikasi adalah suatu alat yang
penting untuk membina hubungan teraupetik dan dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan keperawatan. Komunikasi teraupetik menjadi sangat
penting karena dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan yang diberikan. Komunikasi terapeutik merupakan
komunikasi professional bagi perawat yang direncanakan dan dilakukan
untuk membantu penyembuhan atau pemuliha pasien. Dengan memiliki
keterampilan komunikasi terapeutik yang baik, perawat akan lebih
mudah menjalin hubungan saling percaya dengan pasien, dan hal ini
akan lebih efektif bagi perawat dalam memberikan kepuasan profesional
dalam asuhan keperawatan. (Kusumo, 2016)
2.1.2 Tujuan Komunikasi
a. Menyampaikan ide/informasi/berita
Kalau kita melakukan komunikasi dengan orang lain, tujuan
utamanya adalah sampainya atau dapat dipahaminya apa yang ada
dalam pikiran kita atau ide kita kepada lawan bicara. Dengan
demikian, ada satu kesamaan ide antara apa yang ada dalam pikiran
komunikator dan komunikan.
b. Memengaruhi orang lain
Komunikasi yang kita lakukan kepada orang lain secara kita sadari
ataupun tidak kita sadari akan memengaruhi perilaku orang lain.
Secara sadar, jika kita berkomunikasi untuk tujuan memotivasi
seseorang, kita berharap bahwa orang yang kita motivasi akan
melakukan hal sesuai dengan yang kita inginkan. Secara tidak kita
sadari, jika pada saat kita memotivasi menunjukkan wajah yang
serius, kita akan membuat lawan bicara antusias untuk
mendengarkan dan memperhatikan apa yang disampaikan kepada
dirinya.
c. Memberikan pendidikan

4
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak komunikasi terjadi dengan
tujuan memberikan pendidikan, misalnya komunikasi orang tua
dengan anaknya, guru/dosen dengan murid/mahasiswa, perawat
dengan kliennya, dan lain-lain. Komunikasi ini dilakukan dengan
tujuan agar lawan bicara (komunikan) memperoleh/mencapai tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi dan menunjukkan hal yang lebih baik
dari sebelumnya. Komunikasi yang dilakukan perawat saat
memberikan pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada pasien
tentang pencegahan penularan penyakit, memberikan pendidikan
tentang pertolongan di rumah pada anggota keluarga yang sakit
demam berdarah, dan lain-lain yang tujuannya meningkatkan
pengetahuan agar lebih baik dari sebelumnya.
d. Mengubah perilaku orang lain
Komunikasi bertujuan mengubah perilaku, maksudnya jika kita
bicara dengan seseorang yang berperilaku berbeda dengan norma
yang ada dan kita menginginkan.
e. Memahami ide orang lain
Komunikasi antara dua orang atau lebih akan efektif jika antara
komunikator dan komunikan saling memahami ide masing-masing
dan mereka saling berusaha untuk memberi makna pada komunikasi
yang disampaikan atau diterima.
(Anjaswarni, 2016)
2.1.3 Elemen Komunikasi
DeVito (1997 dalam Anjaswarni 2016) menjelaskan bahwa
komunikasi adalah suatu proses yang terdiri atas komponen-
komponen/elemen-elemennya saling terkait. Setiap elemen dalam
komunikasi saling berhubungan satu dengan yang lain dan elemen yang
satu mendahului elemen lain yang terkait. Taylor, Lillis, LeMone (1989),
dan DeVito (1997) mengidentifikasi bahwa untuk berlangsungnya
komunikasi yang efektif, ada lima elemen utama, yaitu (a) komunikator
(sender), komunikator adalah orang atau kelompok yang menyampaikan

5
pesan/ide/informasi kepada orang/pihak lain sebagai lawan bicara. (b)
informasi/pesan/berita, pesan adalah keseluruhan yang disampaikan oleh
komunikator, disadari atau tidak disadari, secara langsung atau tidak
langsung. (c) komunikan (reciever), komunikan adalah orang atau
sekelompok orang yang menerima pesan yang disampaikan
komunikator. (d) umpan balik (feedback), umpan balik adalah informasi
yang dikirimkan balik ke sumbernya (Clement dan Frandsen, 1976,
dalam DeVito, 1997). Umpan balik bisa berasal dari diri sendiri ataupun
orang lain. Umpan balik dari diri sendiri, misalnya, jika kita
menyampaikan pesan melalui bicara, kita akan dapat secara langsung
mendengar apa yang kita sampaikan. Umpan balik dari orang lain adalah
umpan balik yang datang dari lawan bicara. (e) atmosfer/konteks,
atmosfer adalah lingkungan ketika komunikasi terjadi terdiri atas tiga
dimensi, yaitu dimensi fisik, sosial-psikologis, dan temporal yang
mempunyai pengaruh terhadap pesan yang disampaikan.

2.2 Komunikasi Terapeutik


2.2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan
focus adanya saling pengertian antarperawat dengan pasien. Komunikasi
ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan pasien
sehingga dapat dikategorikan dalam komunikasi pribadi antara perawat
dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi interpersonal antara perawat
dan klien yang dilakukan secara sadar ketika perawat dan klien saling
memengaruhi dan memperoleh pengalaman bersama yang bertujuan
untuk membantu mengatasi masalah klien serta memperbaiki
pengalaman emosional klien yang pada akhirnya mencapai kesembuhan
klien. (Anjaswarni, 2016)

6
Hubungan terapeutik perawat-klien merupakan sebuah pengalaman
belajar yang saling menguntungkan, pengalaman yang berdasarkan
kemanusiaan antara perawat dan klien dengan saling menghargai dan
saling menerima perbedaan sosial-budaya antara keduanya. Pada
hubungan ini, perawat menggunakan dirinya sendiri dan teknik
komunikasi dalam asuhan keperawatan yang diberikannya untuk
merubah pola fikir dan perubahan perilaku pada klien. (Sarfika dkk,
2018)
Menurut Anthony (dalam Mundakir, 2010:38) komunikasi terapeutik
sangat Renting dan merupakan komunikasi yang direncanakan secara
sadar dan dipusatkan serta bertujuan untuk kesembuhan pasien. Data
penelitian dari Weimann & Giles, 1988 (dalam Rosalind & Lucie,
^999:1413) menunjukan bahwa komunikasi perawat sangat penting bagi
pasien dengan alasan sebagai proses interaksi dengan pasien, pertukaran
informasi serta dukungan selama stres. l^lenurut Rosalind & Lucie
kurangnya komunikasi yang memuaskan dan berkualitas dari perawat
dapat berimplikasi serius terhadap kesehatan fjsik dan psikologis pasien.
(Patty dkk, 2015)
2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Tujuan dari komunikasi terapeutik yaitu, membantu mengatasi
masalah klien untuk mengurangi beban perasaan dan Pikiran, Membantu
mengambil tindakan yang efektif untuk klien/pasien, dan Memperbaiki
pengalaman emosional klien, Mencapai tingkat kesembuhan yang
diharapkan. Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien
sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat-klien. Apabila
perawat tidak memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut
bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang
mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa.
(Anjaswarni, 2016)

7
2.2.3 Tahapan Komunikasi Terapeutik
Menurut Stuart G.W yang dikutip Damaiyanti dalam bukunya yang
berjudul Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik Keperawatan
menyebutkan bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang
terstruktur yang terdiri dari empat tahap yaitu:
a. Fase Pra-interaksi
Prainteraksi dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien. Perawat
mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan, fantasi
dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien
(Oktaria, 2017). Fase ini merupakan fase persiapan yang dapat
dilakukan perawat sebelum berinteraksi dan berkomunikasi dengan
klien. Pada fase ini, perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan
ketakutan sendiri, serta menganalisis kekuatan dan kelemahan
profesional diri. Perawat juga mendapatkan data tentang klien dan
jika memungkinkan merencanakan pertemuan pertama dengan klien.
Perawat dapat bertanya kepada dirinya untuk mengukur kesiapan
berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien. (Anjaswarni, 2016)
b. Fase orientasi atau perkenalan
Fase ini dimulai ketika Perawat dengan klien bertemu untuk pertama
kalinya. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien meminta
pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan
Perawat-klien. (Oktaria, 2017)
c. Fase kerja
Pada fase kerja dalam komunikasi terapeutik, kegiatan yang
dilakukan adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya,
menanyakan keluhan utama, memulai kegiatan dengan cara baik,
melakukan kegiatan sesuai rencana (Oktaria, 2017). Fase ini adalah
fase terpenting karena menyangkut kualitas hubungan perawatklien
dalam asuhan keperawatan. Selama berlangsungnya fase kerja ini,
perawat tidak hanya mencapai tujuan yang telah diinginkan bersama,
tetapi yang lebih bermakna adalah bertujuan untuk memandirikan

8
klien. Pada fase ini, perawat menggunakan teknik-teknik komunikasi
dalam berkomunikasi dengan klien sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan (sesuai kontrak). (Anjaswarni, 2016)
d. Fase terminasi
Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi
akhir. Pada fase ini, perawat memberi kesempatan kepada klien
untuk mengungkapkan keberhasilan dirinya dalam mencapai tujuan
terapi dan ungkapan perasaannya. Selanjutnya perawat
merencanakan tindak lanjut pertemuan dan membuat kontrak
pertemuan selanjutnya bersama klien. Ada tiga kegiatan utama yang
harus dilakukan perawat pada fase terminasi ini, yaitu melakukan
evaluasi subjektif dan objektif; merencanakan tindak lanjut interaksi;
dan membuat kontrak dengan klien untuk melakukan pertemuan
selanjutnya. (Anjaswarni, 2016)
2.2.4 Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik
Menurut Carl Rogers (1961) dalam Sarfika (2018), prinsip-prinsip
komunikasi terapeutik meliputi:
a) Perawat harus mengenal dirinya sendiri (self awareness) yang berarti
memahami nilai-nilai yang di anut
b) Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling
percaya dan saling menghargai
c) Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan klien baik fisik
maupun mental
d) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien bebas
berkembang tanpa rasa takut
e) Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan klien
memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah
lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi

9
f) Perawat harus mampu mengontrol perasaan sendiri secara bertahap
untuk mengetahui dan mengatasi perasaan emosional seperti
perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan, maupun frustasi
g) Perawat harus mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan
dapat mempertahankan konsistensinya
h) Perawat harus mampu memahami arti empati dan menggunakannya
sebagai tindakan yang terapeutik, dan mampu memahami arti simpati
yang bukan sebagai tindakan terapeutik
i) Perawat harus mampu memahami bahwa kejujuran dan komunikasi
terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik
j) Perawat harus mampu menjadi role model agar dapat meyakinkan
dan sebagai contoh kepada orang lain tentang perilaku sehat.
k) Perawat harus mampu mengungkapkan perasaan dan menyatakan
sikap yang jelas
l) Perawat mampu memiliki sifat altruisme yang berarti menolong atau
membantu permasalahan klien tanpa mengharapkan imbalan apapun
dari klien
m) Perawat harus mampu mengambil keputusan berdasarkan prinsip
kesejahteraan manusia
n) Bertanggung jawab pada setiap sikap dan tindakan yang dilakukan.
2.2.5 Komunikasi Terapeutik pada Lansia
Komunikasi terapeutik dilakukan untuk berbagai usia dan kondisi
pasien, termasuk pasien lansia. Secara umum hal yang perlu diperhatikan
dalam berkomunikasi dengan lansia adalah sebagai berikut. Komunikasi
pada lansia memerlukan pendekatan khusus. Pengetahuan yang
dianggapnya benar tidak mudah digantikan dengan pengetahuan baru
sehingga kepada orang lansia, tidak dapat diajarkan sesuatu yang baru.
Dalam berkomunikasi dengan lansia diperlukan pengetahuan tentang
sikap-sikap yang khas pada lansia. Gunakan perasaan dan pikiran lansia,
bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan memberikan
kesempatan pada lansia untuk mengungkapkan pengalaman dan

10
memberi tanggapan sendiri terhadap pengalaman tersebut.
Berkomunikasi dengan lansia memerlukan suasana yang saling hormat
menghormati, saling menghargai, saling percaya, dan saling terbuka.
Penyampaian pesan langsung tanpa perantara, saling memengaruhi dan
dipengaruhi, komunikasi secara timbal balik secara langsung, serta
dilakukan secara berkesinambungan, tidak statis, dan selalu dinamis.
Kesulitan dalam berkomunikasi pada lanjut usia disebabkan oleh
berkurangnya fungsi organ komunikasi dan perubahan kognitif yang
berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan belajar, daya
memori, dan motivasi klien. (Sarfika dkk, 2018)
2.2.6 Karakteristik Lansia
Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia (WHO)
mengelompokan usia lanjut menjadi empat macam meliputi:
a) Usia pertengahan (middle age) kelompok usia 45 samapai 59 tahun
b) Usia lanjut (elderly) kelompok usia antara 60 samapai 70 tahun
c) Usia lanjut usai (old) kelompok usia antara 75 sampai 90 tahun
d) Usia tua (veryold)kelompk usia di atas 90 tahun
Meskipun batasan usia sangat beragam untuk menggolongkan lansia
namun perubahan-perubahan akibat dari usai tersebut telah dapat di
identifikasi, misalnya perubahan pada aspek fisik berupa perubahan
neurologi dan sensorik, perubahan visual, perubahan pendengaran.
Perubahan- perubahan tersebut dapat menghambat proses penerimaan
dan interprestasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini juga
menyebabkan klien lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Belum lagi perubahan kognetif yang berpengaruh pada tingkat
intelegensi, kemampuan belajar, daya memori dan motivasi klien.

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Komunikasi Terapeutik pada Lansia


Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang
telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut
Aging Process atau proses penuaan.
Menurut Wahjudi Nugroho (2008) Komunikasi dengan lansia adalah
proses penyampaian pesan atau gagasan dari petugas atau perawat kepada
lanjut usia dan diperoleh tanggapan dari lanjut usia sehingga diperoleh
kesepakatan tentang isi pesan komunikasi. Komunikasi yang baik pesannya
singkat, jelas, lengkap dan sederhana. Sarana komunikasi meliputi panca indra
manusia (mata, mulut, tangandan jari) dan buatan manusia (TV, Radio, surat
kabar). Sikap penyampaian pesan harus dalam jarak dekat, suara jelas, tidak
terlalu cepat, menggunakan kalimat pendek, wajah berseri-seri, sambil
menatap lansia, sabar, telaten, tidak terburu-buru, dada sedikit membungkuk
dan jempol tangan bersikap mempersilahkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
agar komunikasi berjalan lancar adalah menguasai bahan atau pesan yang
akan disampaikan, menguasai bahasa setempat, tidak terburu-buru, memiliki
keyakinan, bersuara lembut, percaya diri, ramah, dan sopan. Lingkungan yang
mendukung komunikasi adalah suasana terbuka, akrab, santai, menjaga tetap
ramah, posisi menghormati, dan memahai keadaan lanjut usia. (Wahjudi
Nugroho, 2008)
3.2 Pendekatan Komunikasi pada Lansia
Berdasarkan kondisi di lapangan, nyatanya perawatan bagi lanjut usia
mempunyai pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan fisik

12
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-
kejadian yang dialami pasien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik
pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan
dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau ditekan
progresivitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi pasien lanjut usia
dapat dibagi atas dua bagian, yakni pasien lanjut usia yang masih aktif,
yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain
sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masih mampu melakukan sendiri;
pasien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan
fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui
dasar perawatan pasien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan
kesehatannya. Kebersihan perorangan (personal hygiene) sangat penting
dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi
dapat timbul bila keberihan kurang mendapat perhatian. (Fitria, Witanti,
2017)
b. Pendekatan psikis
Perawat harus mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter,
interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, dan sebagai sahabat yang
akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam
memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat harus
selalu memegang prinsip “Triple S”, yaitu sabar, simpatik, dan service.
Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan
bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban, bila perlu diusahakan agar dimasa lanjut usia ini mereka
dapat merasa puas dan bahagia.menambah beban, bila perlu diusahakan

13
agar dimasa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan bahagia. (Fitria,
Witanti, 2017)
c. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan
sosialisasi mereka. Pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi
perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya, perawat dapat
menciptakan hubungan sosial antara lanjut usia dan lanjut usia maupun
lanjut usia dan perawat sendiri. Perawat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para lajut usia untuk mengadakan komunikasi dan
melakukan rekreasi, misalnya jalan pagi, menonton film, atau hiburan-
hiburan lain misalnya bermain dengan anakanak yang memiliki keceriaan
luar biasa seperti yang dilakukan oleh Sekolah Cita Persada, Cinere,
Depok pada tanggal 30 Maret 2017 lalu dengan mendatangi Graha Werdha
AUSSI Kusuma Lestari. Para lanjut usia perlu dirangsang untuk
mengetahui dunia luar, seperti menonton tv, mendengar radio, atau
membaca majalah dan surat kabar. Dapat disadari bahwa pendekatan
komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya
pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para
pasien lanjut usia. (Fitria, Witanti, 2017)
d. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya, terutama bila
pasien lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi pasien lanjut usia yang
menghadapi kematian, Dr. Tony Setyabudhi mengemukakan bahwa maut
seringkali menggugah rasa takut. Rasa takut semacam ini didasari oleh
berbagai macam faktor, seperti tidakpastian akan pengalaman selanjutnya,
adanya rasa sakit atau penderitaan yang sering menyertainya, kegelisahan

14
untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
(Fitria, Witanti, 2017)

3.3 Keterampilan Komunikasi Terapeutik pada Lansia


Menurut Lilik Ma’arifatul Azizah (2011) Keterampilan komunikasi
terapeutik pada lanjut usia dapat meliputi :
a) Perawat membuka wawancara dengan memerkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan dan lama wawancara.
b) Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menjawab berkaitan
dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal.
c) Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar
belakang sosikulturalnya.
d) Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan
dalam berfikir abstrak.
e) Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan
memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara langsung, duduk
dan menyentuh pasien.
f) Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian
pasien dan distres yang ada.
g) Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan dari
komunikasi dan tindakan.
h) Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan
dengan cermat dan tetap mengobservasi.
i) Tempat mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang baru dan asing
bagi pasien.
j) Lingkungan harus dibuat nyaman, kursi harus dibuat senyaman mungkin.
k) Lingkungan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang
Sensitive, suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan
penglihatan.
l) Perawat harus mengkonsultasi hasil wawancara kepada keluarga pasien.
m) Memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara.

15
Respon perilaku juga harus diperhatikan, karena perilaku merupakan dasar
yang paling penting dalam perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan
perilaku merupakan gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan
mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi lingkungan
rumah, ini menjadi modal pada faktor lingkungan yang dapat mengurangi
kecemasan pada lansia. Pengkajian tingkah laku termasuk mendefinisikan
tingkah laku, frekuensinya, durasi dan factor presipitasi. Ketika terjadi
perubahan perilaku ini sangat penting untuk dianalisis.

3.4 Prinsip Komunikasi pada Lansia


Menurut Wahjudi Nugroho (2008) Lanjut usia yang mengalami penurunan
daya ingat mengalami kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain.
Hal ini sangat mengecewakan dan membingungkan lansia dan perawat oleh
karen itu, perlu diciptakan komunikasi yang mudah antara lain :
a) Buat percakapan yang akrab
 Sebutkan nama orang tersebut untuk menarik perhatiannya
 Bicara langsung pada orang tersebut dan bertatap muka langsung.
 Sentuh lengannya agar ia terfokus pepada pembicaraan.
b) Pakailah kalimat yang pendek dan sederhana
 Gunakan kalimat yang singkat dan mudah dimengerti.
 Bicara dengan singkat dan jelas.
 Ulangi kalimat secara tepat.
 Apabila orang tersebut tidak mengerti suatu kata, ganti dengan kata
lain yang mempunyai arti sama.
 Ulangi apa yang telah dikatakan dan gunakan kata-kata yang sama,
gerak, nada yang sama pula.
c) Berkata yang tepat
 Katakan, “ini buburnya nek, dimakan ya”
 Katakan, “kek, ini kacamatanya ya kek”
d) Beri pilihan yang sederhana

16
 Ajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban “iya” atau “tidak”.
 Batasi pilihan dalam pertanyaan seperti “ apakah kakek mau minum
teh?”, bukan “apakah kakek mau minum sesuatu?”
 Pakailah etiket, Tempelkan etiket pada barang-barang yang sering
dipakai, misalnya:
- Gambar toilet pad pintu WC
- Gambar kepala diguyur air gayung yang ditempel dipintu kamar
mandi
- Gambar mangkuk sayur yang ditempel pada pintu lemari makan.
e) Pakai isayarat, bukan kata-kata
 Lambaikan tangan atau sentuh lengannya dengan lemah lembut untuk
memberi salam.
 Senyum dan menganggukan kepala untuk menyatakan bahwa anda
mengerti maksudnya.
 Memberi isyarat dengan lengan untuk mengajak ikut serta dalam
suatau kegiatan.
 Gunakan sentuhan apabila ia bingung.
 Lihat dan dengarkan apakah ada “gelagat” dalam ingkah lakunya
karena ia sering mondar-mandir, berarti ia perlu ketoilet.
 Sadari bahasa tubuh atau ekspresi wajah, nada suara, dan sikap badan
anda
 karena klien mungkin tidak mengerti apa yang anda katakan, tetapi ia
akan mengerti tanda nonverbal.
f) Buat keputusan yang tepat
 Berhenti berbicara dan dengarkan apa yang dikatakan klien tersebut.
 Ulangi apa yang anda dengar, misalnya “kakek sekarang lapar,
bukan?”
 Pikirkan apa yang sebenarnya dimaksud oleh orang tersebut “saya
ingin pulang kerumah” mungkin hal tersebut berarti ia cemas dan
butuh ketentraman hati.

17
 Kenali nada dan kata-katanya.
 Beri waktu pada untuk berfikir
 Tawarkan bantuan walaupun anda tidak mengerti maksudnya.
g) Kurangi gangguan
 Bercakap-cakap dalam suasana yang sepi, tenang, tanpa gangguan
kegiatan yang lain.
 Dorong lansia untuk memakai kacamata dan alat pendengar.
 Berbincang-bincang sambil bertatap muka.
 Dekati klien dari depan, jangan membuatnya kaget.

3.5 Teknik Komunikasi pada Lansia


Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia, selain
pemahaman yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas kesehatan
atau perawat juga harus mempunyai teknik-teknik khusus agar komunikasi
yang di lakukan dapat berlangsung secara lancar dan sesuai dengan tujuan
yang diinginkan.
Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain:
a. Teknik asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara
dengan menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan
memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau
pembicaraan dapat di mengerti. Asertif merupakan pelaksanaan dan etika
berkomunikasi. Sikap ini akan sangat membantu petugas kesehatan untuk
menjaga hubungan yang terapeutik dengan klien lansia.
b. Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien
merupakana bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat
mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun
hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut
misalnya dengan mengajukan pertanyaan ‘apa yang sedang bapak/ibu
fikirkan saat ini, ‘apa yang bisa bantu…? berespon berarti bersikap aktif

18
tidak menunggu permintaan bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas
kesehatan ini akan menciptakan perasaan tenang bagi klien.
c. Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi
komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan pertanyaan-
pertanyaan di luar materi yang di inginkan, maka perawat hendaknya
mengarahkan maksud pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan karena
umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak
relevan untuk kepentingan petugas kesehatan.
d. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik maupun psikis
secara bertahap menyebabkan emosi klien relative menjadi labil
perubahan ini perlu di sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien
lansia, misalnya dengan mengiyakan, senyum dan mengagukan kepala
ketika lansia mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat
menghargai selama lansia berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan
kepercayaan diri klien lansia sehingga lansia tidak menjadi beban bagi
keluarganya. Dengan demikaian di harapkan klien termotivasi untuk
menjadi dan berkarya sesuai dengan kemampuannya. Selama memberi
dukungan baik secara materiil maupun moril, petugas kesehatan jangan
terkesan menggurui atau mangajari klien karena ini dapat merendahan
kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan lainnya.
Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi motivasi, meningkatkan
kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui atau mengajari misalnya:
‘saya yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu bapak/ibu
dapat melaksanakanya dan bila diperlukan kami dapat membantu’.
e. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses
komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara
mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali
perlu di lakukan oleh perawat agar maksud pembicaraan kita dapat di

19
terima dan di persepsikan sama oleh klien ‘bapak/ibu bisa menerima apa
yang saya sampaikan tadi? bisa minta tolong bapak/ibu untuk menjelaskan
kembali apa yang saya sampaikan tadi?.
f. Sabar dan Ikhlas
Seperti diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami
perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan
perubahan ini bila tidak di sikapai dengan sabar dan ikhlas dapat
menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga komunikasi yang di
lakukan tidak terapeutik, namun dapat berakibat komunikasi berlangsung
emosional dan menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan
petugas kesehatan.

3.6 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan saat Berinteraksi pada Lansia


a) Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak” “ibu” kecuali apabila
sebelumnya pasien telah meminta anda untuk memanggil panggilan
kesukaannya.
b) Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien
c) Pertahankan kontak mata dengan pasien
d) Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah
kunci komunikasi efektif
e) Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya
f) Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa
dan kalimat yang sederhana.
g) Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien
h) Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien
i) Menyederhanakan atau menuliskan instruksi
j) Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien
k) Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri
penerangan yang cukup saat berinteraksi.
l) Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau
bahu.

20
m) Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.

3.7 Hambatan Komunikasi Terapeutik pada Lansia


a. Pasien dengan Defisit Sensorik
 Bagi mereka yang berusia diatas 80 tahun, jumlah gangguan sensorik
meningkat menjadi lebih dari 60% (Chia et al., 2006).
 Aging/penuaan mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran yang
dikenal sebagai presbyacussis, yang terutama berkenaan dengan suara
berfrekuensi tinggi.
 Gangguan visual yang berhubungan dengan usia meliputi reduksi
diameter pupil; lensa mata menguning, yang mempersulit untuk
membedakan warna dengan panjang gelombang pendek seperti
lavender, biru, dan hijau; dan menurunkan elastisitas ciliary muscles.
Kebanyakan pasien lanjut usia mengalami penyakit mata yang
menurunkan ketajaman penglihatan (mis. katarak, degenerasi macular,
glaucoma, komplikasi ocular pada diabetes).
b. Pasien dengan Demensia
Pasien pada stadium awal sering mengalami masalah untuk menemukan
kata yang ingin disampaikan. Demensia memiliki efek yang merugikan
pada penerimaan dan ekspresi komunikasi pasien. Sebagian besar pasien
mengalami kehilangan memori dan mengalami kesulitan mengingat
kejadian yang baru terjadi. Sebagian pasien demensia memiliki rentang
konsentrasi yang sangat singkat dan sulit untuk tetap berada dalam satu
topik tertentu (Miller, 2008)
c. Pasien Tanpa Caregiver
Karakteristik utama kunjungan poliklinik geriatri adalah adanya orang
ketiga, dengan seorang anggota keluarga atau caregiver informal lainnya
yang hadir sedikitnya pada sepertiga kunjungan geriatrik (Roter, 2000).
Meskipun caregiver dapat mengasumsikan berbagai peran, termasuk
pendukung, peserta pasif, atau antagonis, pada sebagian besar kasus,
caregiver menempatkan kesehatan orang yang mereka cintai sebagai

21
prioritasnya. Caregiver sangat penting untuk sistem perawatan kesehatan
lanjut usia. Mereka tidak hanya membantu dengan nutrisi, aktivitas
kehidupan sehari-hari, tugas rumah tangga, pemberian obat, transportasi,
dan perawatan lain untuk pasien lanjut usia, caregiver membantu
memudahkan komunikasi antara dokter dan pasien serta mempertinggi
keterlibatan pasien dalam perawatan mereka sendiri (Clayman et al., 2005
; Wolff & Roter, 2008).
d. Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia :
Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan
terganggu apabila ada sikap agresif dan sikap nonasertif.
1) Agresif
Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya di tandai dengan prilaku-
prilaku di bawah ini:
 Berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawan bicara).
 Meremehkan orang lain.
 Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain
 Menonjolkan diri sendiri
 Pempermalukan orang lain di depan umum, baik dalam perkataan
maupun tindakan.
2) Non asertif
 Tanda-tanda dari non asertif ini antara lain :
 Menarik diri bila di ajak berbicara
 Merasa tidak sebaik orang lain (rendah diri)
 Merasa tidak berdaya
 Tidak berani mengungkap keyakinaan
 Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya
 Tampil diam (pasif)
 Mengikuti kehendak orang lain
 Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik
dengan orang lain.

22
 Adanya hambatan komunikasi kepada lansia merupkan hal yang
wajar seiring dengan menurunya fisik dan pskis klien namun
sebagai tenaga kesehatan yang professional perawat di tuntut
mampu mengatasi hambatan tersebut untuk itu perlu adanya teknik
atau tips-tips tertentu yang perlu di perhatikan agar komunikasi
berjalan dengan efektif antara lain :
- Selalu mulai komunikasi dengan mengecek pendengaran klien
- Keraskan suara anda jika perlu
- Dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah dia
agar dia dapat melihat mulut anda.
 Atur lingkungan sehinggga menjadi kondusif untuk komunikasi
yang baik. Kurangi gangguan visual dan auditory. Pastikan adanya
pencahayaan yang cukup.
 Ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi, ingat
kelemahannya. Jangan menganggap kemacetan komunikasi
merupakan hasil bahwa klien tidak kooperatif.
 Jangan berharap untuk berkomunikasi dengan cara yang sama
dengan orang yang tidak mengalami gangguan. Sebaliknya
bertindaklah sebagai partner yang tugasnya memfasilitasi klien
untuk mengungkapkan perasaan dan pemahamannya.
 Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan
kalimat pendek dengan bahasa yang sederhana.
 Bantulah kata-kata anda dengan isyarat visual.
 Serasikan bahasa tubuh anda denagn pembicaraan anda, misalnya
ketika melaporkan hasil tes yang di inginkan, pesan yang
menyatakan bahwa berita tersebut adalah bagus seharusnya di
buktikan dengan ekspresi, postur dan nada suara anda yang
menggembirakan (misalnya denagn senyum, ceria atau tertawa
secukupnya).
 Ringkaslah hal-hal yang paling penting dari pembicaraan tersebut.

23
 Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan anda.
 Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara
langsung, tahan keinginan anda menyelesaikan kalimat.
 Jadilah pendengar yang baik walaupun keinginan sulit
mendengarkanya.
 Arahkan ke suatu topic pada suatu saat.
 Jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat ruangan
bersama anda. Orang ini biasanya paling akrab dengan pola
komunikasi klien dan dapat membantu proses komunikasi.

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan
tukar menukar perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina
hubungan intim terapeutik (Stuart dan Sundeen). Teknik komunikasi yang
baik akan memperbaiki outcome pasien lanjut usia dan caregiver-nya. Bukti
mengindikasikan bahwa outcome perawatan kesehatan untuk orang tua tidak
hanya tergantung pada perawatan kebutuhan biomedis tetapi juga tergantung
pada hubungan perawatan yang diciptakan melalui komunikasi yang efektif.
Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan
kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien.
lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam
ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan
waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang
menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Berdasarkan usianya, organisasi
kesehatan dunia (WHO) mengelompokan usia lanjut menjadi empat macam
meliputi:usia pertengahan, usia lanjut, usia lanjut usia dan usia tua.
Pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ada pendekatan fisik,
psikologis, social, dan spiritual.
Teknik komunikasi pada lansia terdiri dari : teknik asertif, responsif,
focus, supportif , klarifikasi, sabar dan ikhlas dan lain-lain. Pendekatan
komunikasi pada lansia diantaranya yaitu pendekatan fisik, pendekatan psikis,
pendekatan sosial,dan pendekatan spiritual. Hambatan berkomunkasi dengan
lansia ada agresif, non-asertif dan sebagainya. Teknik perawatan lansia pada
reaksi penolakan : kenali segera reaksi penolakan klien, orientasikan klien
lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri, libatkan keluarga atau pihak
keluarga terdekat dengan tepat. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat
berinteraksi pada lansia: menunjukkan rasa hormat hindari menggunakan

25
istilah yang merendahkan pasien, pertahankan kontak mata dengan pasien dan
lainnya.

4.2 Saran
1. Bagi perawat harus memahami tentang aplikasi terapeutik pada lansia agar
pemeriksaan pasien lansia di rumah sakit berjalan dengan lancar.
2. Komunikasi pada lansia baiknya dilakukan secara bertahap supaya mudah
dalam pemahamannya.
Lansia merupakan kelompok yang sensitive dalam perasaannya oleh sebab
itu, saat komunikasi harus berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Anjaswarni, T. (2016). Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Arwani. 2003. Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC


Ayuningtyas, F., & Dkk. (2017). Komunikasi Terapeutik pada Lansia Di Graha
Werdha AUSSI Kusuma Lestari, Depok. Mediator, 201-215.

Azizah, Lilik Ma’arifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha


Ilmu.
Indrawati. 2003. Komunikasi Untuk Perawat. Jakarta : EGC
Kusumo, M. P. (2017, Januari). Pengaruh Komunikasi Terapeutik Perawat
Terhadap Kepuasan. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah
Sakit, 6, 72-81.

Lestari, P., & Dkk. (2013). Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap


Kecemasan Lansia yang Tinggal di Balai Rehabilitasi Sosial "Mandiri"
Pucang Gading Semarang. Jurnal Keperawatan Jiwa, 88-97.

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.


Oktaria, G. (2017, Oktober). Komunikasi Terapeutik Perawat Dalam Proses
Penyembuhan Pasien Psikosis Di Upt. Bina Laras Provinsi Riau. IV, 1-
15.

Patty, M. F., Sari, D. K., & Pradikatama, Y. (2015, April). Hubungan Komunikasi
Terapeutik Perawat Terhadap Tingkat Stres Pasien di Ruang Neurologi
Rumah Sakit Umum Daerah dr M.Haulussy Ambon. Jumal komunikasi,
IX, 171-185.

Sarfika, R., Maisa, E. A., & Freska, W. (2018). Buku Ajar Keperawatan Dasar 2.
Padang: Andalas University Press.

27

Anda mungkin juga menyukai