Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan
hikmah, hidayah, kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah ini yang
berjudul “Komunikasi Terapeutik pada pasien di Ruangan ICU” ini dapat
terselesaikan. Kami juga berterima kasih kepada Bapak Djoko Priyono S.Kep.,
Ners, M.Kep yang telah memberikan tugas ini sebagai pembelajaran dan penilaian
mata kuliah Komunikasi Keperawatan II.

Dalam makalah ini kami akan membahas masalah mengenai “Komunikasi


Terapeutik pada pasien di Ruangan ICU” karena sangat penting untuk kita ketahui
bagaimana berkomunikasi terapeutik dengan baik. Kami menyadari sepenuhnya,
bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang bisa membangun menuju kesempurnaan
dari pada pembaca untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya.

Pontianak, 16 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii


Daftar Isi .............................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat .................................................................................. 3
BAB II Pembahasan ............................................................................................ 4
2.1 Konsep Dasar Komunikasi Terapeutik, ICU dan Kecemasan .................. 4
2.2 Penerapan Komunikasi Terapeutik di ICU ............................................... 15
2.3 Hubungan Komunikasi Terapeutik di ICU dan Tingkat Kecemasan
Keluarga .................................................................................................... 17
BAB III Penutup ................................................................................................. 20
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 20
3.2 Saran .......................................................................................................... 21
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 adalah kegiatan
pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok baik dalam keadaan sakit
maupun sehat. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
keperawatan, baik didalam maupun diluar negeri yang diakui pemerintah sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan merupakan tenaga medis
yang paling banyak berinteraksi dengan pasien secara langsung. Oleh karena itu,
seorang perawat harus berbekal kemampuan komunikasi yang baik untuk
meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.
Komunikasi merupakan elemen dasar dari interaksi manusia yang
memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan
kontak dengan orang lain. Komunikasi yang dirancang agar hubungan perawat dan
pasien menjadi efektif dalam rangka mencapai kesembuhan disebut dengan
komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan
perawat dengan pasien atau perawat dengan keluarga pasien yang dilakukan secara
sadar dan kegiatan dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Christina, 2013). Suasana
yang menggambarkan komunikasi yang terapeutik adalah ketika telah terjadi
hubungan saling percaya antara perawat dan pasien (Sutoyo & Muhith, 2018)
Intensive Care Unit (ICU) merupakan unit perawatan khusus yang dikelola
untuk merawat pasien sakit berat, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa
dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan
peralatan khusus. Ruang lingkup pelayanan perawatan ICU meliputi dioagnosis dan
penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari,
perawatan intensif juga memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital dan
pelaksanaan spesifik pemenuhan kebutuhan dasar agar kebutuhan pasien terpenuhi,
satu diantara tindakan yang diharapkan adalah perawat dapat menjalin komunikasi
yang baik selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien dan keluarga pasien
di ICU. Pasien di ICU pada umumnya, tidak sadar. Namun, komunikasi terapeutik
juga tetap diterapkan pada pasien tidak sadar karena meskipun pasien tersebut tidak
sadar, organ pendengaran pasien merupakan organ terakhir yang mengalami
penurunan penerimaan rangsangan. Oleh kerena itu, perawat harus meningkatkan
kemampuan komunikasinya untuk meminta persetujuan melakukan tindakan
kepada keluarga dan tetap berkomunikasi pada pasien yang tidak sadar sebelum
melakukan tindakan.
Komunikasi yang kurang baik dari perawat atau informasi yang kurang dari
perawat seringkali membuat pasien cemas terlebih keluarganya. Keluarga yang
anggota keluarganya dirawat di ruang ICU sering mengalami kecemasan karena
angka rata-rata kematian yang tinggi dari pasien dibandingkan dengan ruang
perawatan lainnya. Selain itu, kecemasan keluarga pasien di ruang ICU terjadi
karena pasien terpisah secara fisik dengan keluarga yang dirawat, lingkungan ICU
yang penuh dengan peralatan canggih, bunyi alarm, dan banyaknya alat yang
terpasang di tubuh pasien. Kecemasan yang yang dirasakan oleh pasien ataupun
keluarga pasien dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti pendidikan, informasi,
dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, kelompok tertarik untuk memaparkan lebih rinci
dengan makalah yang berjudul “Komunikasi Terapeutik pada Pasien di ICU” agar
dapat mengetahui konsep dasar komunikasi terapeutik pada pasien di ICU dan
kaitannya dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien maupun keluarga
pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa konsep dasar komunikasi terapeutik, ICU dan kecemasan?
1.2.2 Bagaimana penerapan komunikasi terapeutik di ICU?
1.2.3 Bagaimana hubungan komunikasi terapeutik di ICU dan tingkat
kecemasan keluarga?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar komunikasi terapeutik, ICU dan
kecemasan
1.3.2 Untuk mengetahui penerapan komunikasi terapeutik di ICU
1.3.3 Untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik di ICU dan tingkat
kecemasan keluarga
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Komunikasi Terapeutik, ICU dan Kecemasan


2.1.1 Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi interpersonal antara perawat
dan klien yang dilakukan secara sadar ketika perawat dengan klien saling
memengaruhi dan memperoleh pengalaman bersama yang bertujuan untuk
membantu mengatasi masalah klien serta memperbaiki pengalaman emosional
klien yang pada akhirnya mencapai kesembuhan klien.
Komunikasi terapeutik juga dapat diartikan sebagai komunikasi yang di
rencanakan secara sadar bertujuan dan kegiatan dipusatkan untuk kesembuhan
pasien. (Christina, 2013)
2.1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Berdasarkan definisi komunikasi terapeutik, berikut ini tujuan dari
komunikasi terapeutik (Anjaswarni, 2016)
2.1.2.1 Membantu mengatasi masalah klien untuk mengurangi beban perasaan
dan pikiran
2.1.2.2 Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk klien atau pasien
2.1.2.3 Memperbaiki pengalaman emosional klien
2.1.2.4 Mencapai tingkat kesembuhan yang diharapkan
2.1.3 Teknik Komunikasi terapeutik
2.1.3.1 Mendengarkan (Listening), dalam hal ini perawat berusaha mengerti
klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien.
2.1.3.2 Menunjukan penerimaan, menerima tidak berarti menyetujui.
Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukan
keraguan atau ketidaksetujuan.
2.1.3.3 Menanyakan pertanyaan yang berkaitan, tujuan perawat bertanya
adalah untuk mendapat informasi yang spesifik mengenai apa yang
disampaikan oleh klien.
2.1.3.4 Memberikan pertanyaan terbuka (open-ended question), pertanyaan
yang tidak memerlukan jawaban “ya” dan “mungkin” tetapi pertanyaan
memerlukan jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan
masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan
informasi yang diperlukan.
2.1.3.5 Menanyakan hasil observasi, perawat harus memberikan umpan balik
kepada klien dengan menanyakan hasil pengamatan nya.
2.1.3.6 Menawarkan informasi, memberikan tambahan informasi merupakan
tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien.
2.1.3.7 Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri,
melalui pengulangan kembali kata-kata klien perawat memberikan umpan
balik bahwa ia mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
2.1.3.8 Diam (memelihara ketenangan), diam akan memberikan kesempatan
kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pemikirannya. Penggunaan
metode ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu, jika tidak akan
menimbulkan perasaan tidak enak.
2.1.3.9 Meringkas, pengulangan ide utama telah dikomunikasikan secara
singkat.
2.1.3.10 Memberikan penghargaan, penghargaan jangan sampai menjadi
beban untuk klien. Jangan sampai klien berusahan keras dan melakukan
segalanya demi untuk mendapatkan pujian atau persetujuan atas perbuatannya.
2.1.3.11 Menawarkan diri, perawat menyediakan diri tanpa respon bersyarat
atau respon yang diharapkan.
2.1.3.12 Memberikan kesempatan pada pasien untuk memulai pembicaraan,
memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik
pembicaraan.
2.1.3.13 Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan, teknik ini
memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh
pembicaraan.
2.1.3.14 Menempatkan kejadian secara berurutan, mengurutkan kejadian
secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam satu
perspektif.
2.1.3.15 Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengurangi persepsi
nya, apabila perawat ingin mengerti klien maka ia harus melihat segala
sesuatunya dari perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk
mengurangkan persepsinya kepada perawat. Sementara itu perawat harus
waspada terhadap gejala ansietas yang mungkin muncul.
2.1.3.16 Refleksi, refleksi ini memberikan kesempatan kepada klien untuk
mengemukakan dan menerima ide atau perasaan sebagai bagian dari dirinya
sendiri.
2.1.3.17 Assertive, adalah kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman
mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang
lain.
2.1.3.18 Humor, humor sebagai hal yang penting dalam komunikasi verbal
dikarenakan tertawa mengurangi ketegangan dan rasa sakit akibat stress dan
meningkatkan keberhasilan asuhan keperawatan.
2.1.3.19 Mengklarifikasi, klarifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk
menjelaskan dalam kata-kata, ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh
klien. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian.
2.1.4 Fase dalam komunikasi terapeutik
2.1.4.1 Fase prainteraksi, prainteraksi dimulai sebelum kontrak pertama
dengan klien perawat mengumpulkan data dengan klien, mengeksplorasi
perasaan, fantasi dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan
klien.
2.1.4.2 Fase orientasi atau fase perkenalan, fase ini dimulai ketika perawat
dengan klien bertemu untuk pertama kalinya. Hal utama yang perlu dikaji
adalah alasan klien meminta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya
perawat-klien.
2.1.4.3 Fase kerja, pada kerja dalam komunikasi terapeutik, kegiatan yang
dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada klien untuk bertanya
menanyakan keluhan utama, memulai kegiatan dengan cara baik, melakukan
kegiatan sesuai rencana.
2.1.4.4 Fase terminasi, dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi
akhir.
2.1.5 Definisi ICU
Intensive Care Unit (ICU) adalah ruang rawat rumah sakit dengan staf
dan perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit,
trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa.
Definisi lain dari ICU adalah ruang dirumah sakit yang dilengkapi staf
dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa
oleh kegagalan/disfungsi satu organ atau ganda yang masih reversible
(Musliha,2010).
2.1.6 Peran ICU
Peran ICU erat hubungannya dengan peran rumah sakit di daerah itu agar
pelayanan lebih rasional dan optimalisasi dalam pemakaian sumber daya
(Musliha,2010).
Terapat 3 level ICU:
2.1.6.1 Level I di Rumah Sakit Daerah (Tipe C Dan D )
Pada rumah sakit di daerah yang kecil, di sini ICU lebih tepat disebut
sebagai unit ketergantungan tinggi (high dependency). Disini dilakukan
obsevasi perawatan ketat dengan monitor EKG. Resusitasi segera dapat
dikerjakan, tetapi ventilator hanya diberikan kurang dari 24 jam.
2.1.6.2 Level II di Rumah Sakit Tipe B
Mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter residen yang selalu
unit ditempat dan mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi, patologi
dan radiologi. Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan (misalnya
dyalisis), monitor invasif (monitor tekanan intracranial) dan pemeriksaan
canggih (CT scan) tidak perlu rutin ada, kecuali menunjang peranan rumah
sakit (misal sebagai trauma center).
2.1.6.3 Level III di Rumah Sakit Tertier (Tipe A)
Biasanya pada rumah sakit tipe A, memiliki semua aspek yang dibutuhkan
ICU agar dapat memenuhi peran sebagai rumah sakit. Personil meliputi
intersivist dengan trainee, perawat spesialis, profesional kesehatan (MRI dana
CT Scan) tersedia dengan dukungan spesialis semua disiplin.
2.1.7 Tipe, Ukuran, dan Lokasi ICU
ICU di Indonesia umumnya terbentuk ICU umum, dengan pemisahan
untuk CCU (jantung koroner), unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama
untuk hal ini adalah segi ekonomi dan operasional dengan menghindari duplikasi
peralatan dan pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU medic dan ICU
bedah. Jumlah bed ICU di rumah sakit berkisarantara 1-4% dari kapasitas bed
rumah sakit. Jumlah ini tergantung pada peran dan tipe ICU. Lokasi ICU
sebaiknya di wilayah penanggulangan gawat darurat (critical care area)
dirumah sakit, jadi harus berdekatan dengan unit gawat darurat, kamar bedah,
CCU dan akses ke laboratorium klinik dan radiologi (Musliha,2010).
2.1.7.1 Tranportasi di antara tempat ini harus baik dan lancar, baik untuk alat
maupun tempat tidur
2.1.7.2 Ruang di ICU sebaiknya banyak berjendela lebar dan dari pusat siaga
perawat siaga harus dapat meliputi semua pasien dan untuk ruang isolasi dapat
di pasang monitor televisi.
2.1.7.3 Di pusat siaga ini dapat di tempatkan sentral monitor ,obat-obatan yang
diperlukan, catatan medik, telephone, dan computer.
2.1.7.4 Tempat cuci tangan harus cukup agar memudahkan petugas (dokter dan
perawat) untuk mencapainya setiap sebelum dan sesudah bersentuhan dengan
pasien (bila mungkin 1 bed mempunyai 1 westafel).
2.1.8 Personil (Sumber Daya Manusia) di ICU
Sumber daya manusia yang terdapat di ruang ICU adalah dokter,
perawat, paramedis lain dan non medis tergantung pada level ICU dan
kebutuhan masing-masing (Musliha,2010).
2.1.9 Kebijakan Operasional
Perlu kebijakan operasional yang jelas dalam mengelola ICU
(Musliha,2010).
2.1.9.1 ICU terbuka : mempunyai akses tak terbatas oleh dokter yang dapat
dengan bebas memasukkan dan mengelola pasien.
2.1.9.2 ICU tertutup : mempunyai kebijakan untuk pasien masuk, keluar dan
rujukan oleh kontrol ICU.
2.1.9.3 Kebijakan dapat bersifat universal (misal kebijakan antibiotika) dan
dapat bersifat local (misal memakai baju khusus waktu masuk ICU).
2.1.10 Prosedur Masuk ICU
Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter disiplin lain di luar ICU
setelah konsultasi dengan dokter ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi dapat
juga didahului secara lisan (misal per telepon) terutama dalam keadaan
mendesak, tetapi tetap diikuti dengan konsultasi tertulis. Keadaan yang
mengancam jiwa dari pasien akan ditangani oleh dokter ICU beserta staf, tetapi
penyakit yang mendasari tetap dibicarakan dengan dokter pengirim.
Transportasi ke ICU masih menjadi tanggung jawab dokter pengirim, kecuali
transportasi pasien yang perlu bantuan khusus dapat dibantu pihak ICU.
Selama pengobatan di ICU maka dimungkinkan untuk konsultasi dengan
berbagai spesialis diluar dokter pengirim dan dokter ICU bertindak sebagai
koordinatornya. Terhadap pasien dan atau keluarga diberikan penjelasan
tentang perlunya masuk ICU dengan segala konsekuensinya (termasuk biaya)
dengan menandatangi informed consent (surat persetujuan).
2.1.11 Indikasi ICU
Pasien memenuhi kriteria untuk masuk ICU adalah pasien yang dalam
keadaan terancam jiwanya sewaktu-waktu karena kegagalan atau disfungsi
satu/multiple organ atau sistem dan masih ada kemungkinan dapat
disembuhkan kembali melalui perawatan,pemantauan dan pengobatan intensif
(Musliha,2010).
2.1.12 Kontra Indikasi Masuk ICU
Pasien yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan penyakit
yang sangat menular seperti gas gangrean, sedangkan kontra indikasi relatifnya
adalah yang disebut dalam indikasi sosial di atas.
2.1.13 Kriteria Keluar dari ICU
Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila:
2.1.13.1 Meninggal dunia
2.1.13.2 Tidak ada kegawatan yang mengancam jiwa sehingga dapat dirawat
di ruang biasa atau dapat pulang
2.1.13.3 Atas permintaan keluarga tetapi harus ada informed consent yang
khusus dari keluarga pasien.
2.1.14 Perlakuan Terhadap Pasien
Pasien di ICU sedikit berbeda dengan pasien di rawat inap biasa, karena
pasien ICU memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat dan
dokternya. Pasien ICU umumnya memiliki sakit kritis, kehilangan kesadaran
atau mengalami kelumpuhan, sehingga segala sesuatu yang terjadi pada diri
pasien hanya dapat diketahui melalui monitoring dan recording yang baik dan
teratur.Perubahan yang terjadi harus dianalisis secara cermat untuk
mendapatkan tindakan atau pengobatan yang tepat.
2.1.15 Perlakuan Terhadap Keluarga Pasien
Keluarga tidak dapat menemani pasien selama di ruang ICU sehingga
diperlukan komunikasi yang baik antara dokter/perawat ICU dengan keluarga
secara teratur dan konsisten. Harus dijelaskan secara jelas keadaan sebenarnya
dari pasien dengan bahasa sederhana saat masuk atau bilamana ada perubahan
keadaan pasien. Bila keadaan pasien dalam keadaan sakaratul maut, keluarga
dapat dipersilahkan masuk untuk melakukan ritual agama tertentu.
(Musliha,2010).
Keluarga yang penuh kecemasan takut kehilangan keluarga, penolakan
terhadap penyakit yang menimpa, rasa tidak percaya, rasa berdosa atau rasa
marah perlu mendapatkan pendekatan yang baik dari petugas ICU. Jasa
rohaniawan dapat di pergunakan dalam hal ini. Permintaan untuk menyertakan
pengobatan alternative kadangkala membuat kasulitan untuk dokter atau
perawat, tetapi sepanjang tidak memberi intervensi pengobatan atau dapat
memberi sumber infeksi hal tersebut dapat diakomodasikan (misal meminta
menggosok air putih di kaki).
2.1.16 Pengertian Kecemasan
Cemas berasal dari bahasa latin anxius dan dalam bahasa jerman angst
kemudian menjadi anxiety yang berarti kecemasan. Kecemasan merupakan
suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan
sebagai reaksi umum. Kecemasan muncul bila ada ketidakmampuan mengatasi
suatu masalah, atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu
tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis. (Rochman,
2012).
Kejadian dalam hidup seperti menghadapi tuntutan, persaingan, serta
bencana dapat membawa dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologis.
Salah satu contoh dampak psikologis adalah timbulnya kecemasan atau
ansietas.
2.1.17 Tingkat Kecemasan
Stuart, 2009 membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu :
2.1.17.1 Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa
kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu
akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan
mengahsilakn pertumbuhan kreativitas.
2.1.17.2 Kecemasan sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun atau
individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan
hal lain.
2.1.17.3 Kecemasan berat
Pada kecemasan berat lahan persepso menjadi sempit. Inidividu
cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain.
Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan
atau tuntunan.
2.1.17.4 Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah
tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa
walaupun sudah diberi pengarahan atau tuntunan.
2.1.18 Penyebab kecemasan
Kecemasan adalah segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan
organisme. Kecemasan dapat timbul dari situasi apapun yang bersifat
mengancam keberadaan individu. Kecemasan sendiri bisa timbul karena
adanya:
2.1.18.1 Threat (ancaman)
Ancaman dapat disebabkan oleh sesuatu yang benar-benar realistis dan
juga yang tidak realistis, contohnya: ancaman terhadap tubuh, jiwa atau
psikisnya (seperti kehilangan kemerdekaan dan arti hidup, maupun ancaman
terhadap eksistensinya).
2.1.18.2Conflict (pertentangan)
Timbul karena adanya dua keinginan yang keadaanya bertolak belakang.
Setiap konflik mempunyai dan melibatkan dua alternatif atau lebih yang
masing-masing mempunyai sifat apptoach dan avoidance
2.1.18.3Fear (ketakutan)
Ketakutan akan segala hal dapat menimbulkan kecemasan dalam
menghadapi ujian atau ketakutan akan penolakan menimbulkan kecemasan
setiap hari harus berhadapan dengan orang baru.
2.1.18.4 Umneed need (kebutuhan yang tidak terpenuhi)
Kebutuhan manusia begitu kompleks dan sangat banyak. Jika tidak
terpenuhi maka hal itu akan menimbulkan rasa cemas.
2.1.19 Rentang Respon Kecemasan
Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisasikan dalam rentang
respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai
maladative. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan
deskruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk belajar memahami
terhadap perubahan-perubahan terutama tentang perubahan terhadap perasan
tidak nyaman dan befokus pada kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi
deskruktif adalah reaksi yang dapat menimbulkan tingkah laku maladaptive
serta difungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panic. Rentang respon
kecemasan menurut Stuart, 2007 digambarkan seperti gambar dibawah ini :
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon
kecemasan menurut Suliswati, 2005 dalam saputra, 2015 antara lain:
2.1.19.1Respon Fisiologis terhadap Kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan
mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem
saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem saraf
parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh.
2.1.19.2Respon Psikologis terhadap Kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal.
Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan
mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan
dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan
orang lain.
2.1.19.3 Respon Kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses piker
maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi
menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, dan bingung.
2.1.19.4 Respon Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan
dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.
2.1.20 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen, faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan adalah :
2.1.20.1 Usia
Usia mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia
semakin baik tingkat kematangan emosi seseorang serta kemampuan dalam
menghadapi berbagai persoalan
2.1.20.2 Status kesehatan jiwa dan fisik
Kelelahan fisik dan penyakit dapat menurunkan mekanisme
pertahanan alami seseorang
2.1.20.3 Nilai-nilai budaya dan spiritual
Budaya dan spiritual mempengaruhi cara pemikiran seseorang.
Religiusitas yang tinggi menjadikan seseorang berpandangan positif atas
masalah yang dihadapi
2.1.20.4 Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan menyebabkan orang
tersebut mudah mengalami kecemasan, semakin tingkat pendidikannya
tinggi akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir
2.1.20.5 Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan.
Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif sebagai penyebab
tersedianya perilaku patologis.
2.1.20.6 Dukungan sosial
Dukungan sosial dan lingkungan sebagai sumber koping, dimana
kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi kecemasan dan
lingkungan mempengaruhi area berfikir seseorang
2.1.20.7 Tahap perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas
stresor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tiap
perkembangan berbeda. Pada tingkat perkembangan individu membentuk
kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stresor.
2.1.20.8 Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam menghadapi stresor yang sama
2.1.20.9 Pengetahuan
Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan dan pengetahuan dapat
digunakan untuk mengatasi masalah

2.2 Penerapan Komunikasi Terapeutik di ICU


Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang di rencanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. (Christina,
2013). Keterampilan komunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki
seorang perawat, karena komunikasi merupakan proses dinamis yang digunakan
untuk mengumpulkan data pengkajian, memberikan pendidikan atau informasi
kesehatan yang mempengaruhi klien untuk mengaplikasikan dalam kehidupannya,
menunjukkan caring, memberikan rasa yaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan
menghargai nilai-nilai klien. Komunikasi terapeutik diterapkan pada semua pasien
baik pasien anak, pasien gawat darurat, pasien lansia, maupun pasien yang berada
di Intensive Care Unit (ICU).
ICU adalah ruang rawat rumah sakit dengan staf dan perlengkapan khusus
ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma atau komplikasi yang
mengancam jiwa. Selama berada di dalam ruang ICU pasien akan dipantau selama
24 jam penuh oleh dokter, perawat, dan staf khusus dari rumah sakit yang sudah
kompeten.
Anggota keluarga pasien tidak bisa terus-menerus menemani, tarif ICU yang
relatif mahal lingkungan ICU yang penuh dengan peralatan canggih, bunyi alarm,
dan banyaknya alat terpasang di tubuh pasien salah satunya adalah ventilator
menjadi faktor yang menimbulkan kecemasan, penolakan, depresi bahkan takut
kehilangan orang yang mereka cintai. Perawat memiliki tugas memberikan
perawatan secara holistic atau menyeluruh bagi pasien maupun keluarga. Oleh
sebab itu, komunikasi terapeutik perlu dilakukan oleh perawat untuk memenuhi
kebutuhan informasi tentang perkembangan penyakit pasien, penyebab atau alasan
suatu tindakan tertentu dilakukan pada pasien, kondisi sesungguhnya mengenai
perkembangan penyakit pasien, kondisi pasien setelah dilakukan tindakan, dan
informasi mengenai peraturan di ruang ICU untuk menurunkan tingkat kecemasan
yang dialami oleh keluarga (Rusdianti & Arofiati, 2019).
Selain diterapkan kepada keluarga, tentunya komunikasi terapeutik juga
diterapkan langsung kepada pasien. Pasien ICU umumnya memiliki sakit kritis,
kehilangan kesadaran atau mengalami kelumpuhan. Dengan pasien tidak sadar
sekalipun, komunikasi penting adanya. Komunikasi dengan pasien tidak sadar
merupakan suatu komunikasi dengan menggunakan teknik komunikasi
khusus/teurapetik dikarenakan fungsi sensorik dan motorik pasien mengalami
penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat diterima klien dan
klien tidak dapat merespons kembali stimulus tersebut.
Tahap atau proses komunikasi terapeutik yang diterapkan tetap sama pada
pasien biasa yaitu tahap prainteraksi, tahap orientasi, tahap kerja dan tahap
terminasi. Namun, terdapat karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak
sadar, dimana perawat tidak menemukan feed back (umpan balik), yang merupakan
satu diantara elemen komunikasi. Hal ini dikarenakan klien tidak dapat merespon
kembali apa yang telah kita komunikasikan sebab pasien sendiri tidak sadar. Walau
pasien tidak sadar sekali pun, ia tetaplah merupakan seorang pasien yang memiliki
hak-hak sebagai pasien yang harus tetap kita penuhi (Efrianti, 2014).
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan kesadaran,
tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada pendengarannya. Perawat
dapat menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi yang berfungsi untuk
pengembangan motivasi pada klien. Pada setiap fase kita dituntut untuk tidak
bersikap negatif terhadap klien, karena itu akan berpengaruh secara tidak
langsung/langsung terhadap klien. Setiap prosedur tindakan keperawatan harus
dikomunikasikan untuk menginformasikan pada klien karena itu merupakan hak
klien. Klien memiliki hak penuh untuk menerima dan menolak terhadap tindakan
yang akan kita berikan. Pada pasien tidak sadar ini, perawat dapat meminta
persetujuan terhadap keluarga, dan selanjutnya pada klien sendiri. Pasien berhak
mengetahui apa saja yang akan perawat lakukan pada klien. Perawat dapat
memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut, dan apa yang akan terjadi jika
kita tidak melakukan tindakan tersebut kepadanya.
Adapun teknik komunikasi teraprutik yang dapat diterapkan saat melakukan
komunikasi pada pasien yang tak sadar adalah
2.2.1 Menjelaskan
Dalam berkomunikasi, perawat menjelaskan apa yang akan perawat lakukan
terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan kepada
klien dengan menjelaskan pesan secara spesifik, kemungkinan untuk dipahami
menjadi lebih besar oleh klien.
2.2.2 Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau konsep kunci
dari pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan informasi yang akan diberikan
pada klien untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
2.2.3 Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah memberikan
informasi. Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan maupun
kemajuan dari status kesehatannya, karena dengan keterbukaan yang dilakukan
oleh perawat dapat menumbuhkan kepercayaan klien dan pendorongnya untuk
menjadi lebih baik.
2.2.4 Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketenagan pada pasien tidak sadar, perawat dapat
menujukkan dengan kesabaran dalam merawat klien. Ketenangan yang perawat
berikan dapat membantu atau mendorong klien menjadi lebih baik. Ketenangan
dapat ditampilkan berupa sentuhan yang hangat.
2.3 Hubungan Komunikasi Terapeutik di ICU dan Tingkat Kecemasan
Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan di ruang intensive care unit
(ICU) Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi, ditemukan bahwa terdapat hubungan
antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan keluarga pasien yang
menjalani perawatan di ruang ICU.
Menurut Tamsuri (2006) dalam (Nurhusna dan Oktarina, 2019), faktor yang
paling penting yang digunakan untuk menetapkan hubungan terapeutik antara
perawat dan keluarga pasien adalah kemampuan perawat dalam melakukan
komunikasi. Komunikasi perawat yang kurang baik akan berdampak buruk bagi
pasien maupun keluarga pasien diantaranya bisa menimbulkan kesalahpahaman
antara perawat dengan pasien maupun keluarga pasien. Pasien yang dirawat di
ruang ICU tidak membolehkan keluarga menunggu di samping pasien, sehingga
keluarga tidak dapat mengikuti perkembangan kondisi pasien. Oleh sebab itu,
mendapatkan informasi terkait kondisi medis pasien merupakan prioritas utama
yang diharapkan dan diperlukan oleh keluarga pasien, dimana hal tersebut dapat
membantu keluarga pasien mengatasi kecemasan.
Beberapa faktor penyabab yang memengaruhi tingkat kecemasan yang timbul
pada keluarga menurut Nurhusna dan Oktarina (2019), adalah usia. Usia
mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia semakin baik tingkat
kematangan emosi seseorang serta kemampuan dalam menghadapi barbagai
persoalan. Jenis kelamin juga mempengaruhi kecemasan yang dialami responden,
dimana hasil penelitian mengemukakan bahwa gangguan kecemasan lebih sering
dialami perempuan dari pada laki-laki. Karena perempuan lebih peka terhadap
emosinya yang dapat akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya. Selain usia
dan jenis kelamin, pekerjaan juga menjadi satu diantara factor yang dapat
menyebabkan kecemasan dimana pekerjaan akan mempengaruhi timbulnya stres.
Orang dengan status ekonomi yang kuat akan juga jauh lebih sukar mengalami stres
dibanding mereka yang status ekonominya lemah. Hal ini secara tidak langsung
dapat mempengaruhi seseorang mengalami ansietas, demikian pula fungsi integrasi
sosialnya menjadi terganggu yang pada akhirnya mencetuskan terjadinya ansietas.
Dalam penelitian Peni, (2014) menambahkan yang menjadi faktor penyabab
yang memengaruhi tingkat kecemasan yang timbul pada keluarga adalah
Pendidikan. Pendidkan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada
seseorang agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki. Jadi dapat diasumsikan bahwa factor pendidikan sangat
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan seseorang tentang hal baru yang belum
pernah dirasakan atau sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang terhadap
kesehatannya.
Kebutuhan akan kejelasan informasi tentang perkembangan penyakit, pasien,
kondisi pasien setelah dilakukan tindakan/pengobatan, perkembangan kondisi
pasien, rencana pindah atau keluar dari ruangan dan informasi mengenai peraturan
di ruangan ICU paling sedikit sehari sekali. Kurangnya informasi dan komunikasi
dengan staf ICU dapat menimbulkan kecemasan. Selain pendidikan dan informasi,
berkunjung juga menjadi satu diantara factor penyebab karena pasien ruang ICU
yang terisolasi dari luar, waktu berkunjung terbatas sehingga tidak memungkinkan
untuk bersosialisasi dengan anggota keluarganya yang dirawat di dalam ruang ICU
sehingga dapat menimbulkan kecemasan.
Kehangatan suatu hubungan akan mendorong pengungkapan beban perasaan
dan pikiran yang dirasakan selama hospitalisasasi yang dapat menjadi jembatan
dalam menurunkan tingkat kecemasan yang terjadi. Diharapkan bagi perawat harus
lebih kreatif dan inisiatif dalam mencari informasi yang dibutuhkan mengenai
kebutuhan keluarga dan pasien yang dirawat di ICU dengan menggunakan teknik
komunikasi yang tepat sehingga mampu menurunkan tingkat kecemasan keluarga
yang mempunyai pasien di ruang ICU. Dalam melaksanakan komunikasi
terapeutik, perawat mempunyi tugas penting dalam pendidikan dan konseling tidak
hanya untuk pasien tetapi juga untuk kelurga pasien.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien yang mengalami kegagalan atau
disfungsi organ sehingga mengancam jiwa namun masih terdapat kemungkinan
untuk disembuhkan kembali melalui perwatan, pemantauan, dan pengobatan
intensif. Perlakuan terhadap pasien di ruang ICU berbeda dengan pasien di ruang
rawat inap biasa, karena pasien ICU memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
petugas medis.
Terdapat karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak sadar,
dimana perawat tidak menemukan feed back (umpan balik), yang merupakan satu
diantara elemen komunikasi. Pada pasien tidak sadar ini, perawat dapat meminta
persetujuan terhadap keluarga, dan selanjutnya pada klien sendiri. Walau pasien
tidak sadar sekali pun, ia tetaplah merupakan seorang pasien yang memiliki hak-
hak sebagai pasien yang harus tetap kita penuhi. Oleh sebab itu, pasien berhak
mengetahui apa saja yang akan perawat lakukan pada klien. Perawat dapat
memberitahu maksud tujuan dari tindakan, dan apa yang akan terjadi jika kita tidak
melakukan tindakan tersebut kepadanya.
Anggota keluarga pasien tidak bisa terus-menerus menemani, tarif ICU yang
relatif mahal lingkungan ICU yang penuh dengan peralatan canggih, bunyi alarm,
dan banyaknya alat terpasang di tubuh pasien salah satunya adalah ventilator
menjadi faktor yang menimbulkan kecemasan, penolakan, depresi bahkan takut
kehilangan orang yang mereka cintai. Oleh sebab itu, komunikasi terapeutik perlu
dilakukan oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang
perkembangan penyakit pasien, penyebab atau alasan suatu tindakan tertentu
dilakukan pada pasien, kondisi sesungguhnya mengenai perkembangan penyakit
pasien, kondisi pasien setelah dilakukan tindakan, dan informasi mengenai
peraturan di ruang ICU untuk menurunkan tingkat kecemasan yang dialami oleh
keluarga Anggota keluarga pasien tidak dapat mendampingi pasien di dalam ruang
ICU, diperlukan komunikasi terapeutik yang baik antara perawat ICU dukngan
keluarga secara teratur dan konsisten.
3.1 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan yang merupakan calon pemberi pelayanan
kesehatan, sudah seharusnya kita mempelajari teknik-teknik komunikasi terapeutik,
khususnya komunikasi terhadap pasien di ruang ICU. Karena pasien yang berada
di ruang ICU memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap petugas medis, setiap
perubahan yang terjadi harus dianalisis dengan cermat untuk menentukan tindakan
yang tepat. Keluarga pasien juga tidak dapat secara langsung merawat keluarganya
dari dekat karena ketatnya peraturan-peraturan di ruang ICU sehingga sering sekali
terjadi kecemasan pada keluarga pasien apabila komunikasi terapeutik antara
perawat dan keluarga tidak berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, mulai dari
sekarang, seorang calon perawat profesional sudah harus mempelajari teknik-teknik
dalam komunikasi terapeutik di ICU, sehingga nantinya akan memiliki bekal
pemahaman dan keterampilan komunikasi terapeutik yang cukup untuk diterapkan
kepada pasien ataupun keluarga pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Sutoyo, Sandu., Muhith, Abdul. (2018). Aplikasi Komunikasi Terapeutik


Nursing & Health. Yogyakarta : Penerbit ANDI
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha Medika
Oktarina, Yosi., Nurhusna. (2018). Analisis Penerapan Komunikasi
Terapueutik Perawat Pelaksana terhadap Kecemasan Keluarga
Pasien yang Di Rawat Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD
Raden Mattaher. Seminar Nasional Keperawatan. Vol 4(1)
Peni, Tri. (2014). Kecemasan Keluarga Pasien Ruang ICU Rumah Sakit
Daerah Sidoarjo. Hospital Majapahit. Vol 6(1)
Christina. (2013). Komunikasi Kebidanan. Jakarta : EGC
Anjaswarni, Tri. (2016). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Rochman. (2012). Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta
: Pustaka Populer Obor
Stuart, G,. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa (Edisi 5). Jakarta : EGC
Saputra, Sofyan Hadi. (2015). Hubungan lingkungan belajar klinik dengan
tingkatkecemasan pada pembelajaran klinik mahasiswa keperawatan di rsud
adnaan w.d kota payakumbuh tahun 2015. Skripsi. Fakultas kesehatan dan mipa
Universitas Muhammadiyah : Bukittinggi.
Efrianti, Yuyun Elok. (2014). Peran Komunikasi Terapeutik pada Pasien Gangguan
Kardiovaskular di Ruang Intemsive Care Unit. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kusuma Husada : Surakarta
Rusdianti, A., & Arofiati, F. (2019). Kebutuhan Keluarga Pasien yang
Dirawat di Intensive Care Unit (ICU): Literature Review. Tunas-
Tunas Riset Kesehatan, 9(1), 1-7. DOI:
http://dx.doi.org/10.33846/2trik9101.
Nurhusna, & Oktarina, Y. (2019). Analisis Penerapan Komunikasi
Teraupetik Perawat Pelaksana terhadap Kecemasan Keluarga Pasien
yang di rawat di Ruang Intensive Care Unit (icu) RSUD Raden
Mattaher. Seminar Nasional Keperawatan “Tren Perawatan Paliatif
sebagai Peluang Praktik Keperawatan Mandiri”, 159-163: E ISSN
: 2685-4449.

Anda mungkin juga menyukai