Fisiologi Vitamin D
Fisiologi Vitamin D
Pendahuluan
1
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi Vitamin D
Vitamin D adalah grup vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan Union of Pure and
Applied Chemist (IUPAC) vitamin D dikenal juga dengan nama kalsiferol. Vitamin D berperan dalam
pembentukan struktur tulang dan gigi yang baik. Sumber vitamin D bisa diperoleh dari jeruk,
strawberi, tomat, brokoli, dan sayuran hijau lainnya (Kim, 1983).
Terdapat dua bentuk aktif vitamin D, yaitu Vitamin D2 dan vitamin D3. Vitamin D2 dikenal
dengan nama ergokalsiferol berasal dari turunan kolesterol dan banyak diperoleh pada ragi dan
tanaman (Holick, 2007). Vitamin D3 dikenal dengan nama kolekalsiferol, berasal dari turunan senyawa
7-dehidrokolesterol, paling banyak ditemukan pada kulit manusia. Pada ginjal, vitamin D dikonversi
menjadi bentuk aktif yang disebut 1,25-dihidroxycholecalciferol [1,25(OH)2D3] atau kalsitriol.
Kebutuhan vitamin D dipenuhi melalui diet dan pajanan sinar matahari di kulit. Pajanan sinar
matahari ke kulit menginduksi konversi fotolitik dari 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3
yang diikuti oleh isomeriasi termal vitamin D3. Bila kulit terpajan sinar matahari atau sumber
penyinaran artifisial tertentu, radiasi ultraviolet memasuki epidermis dan menyebabkan transformasi
7,8-dehydrocholesterol ke vitamin D3 (cholecalciferol). Selanjutnya vitamin D3 dibawa ke hati dan
dimetabolisir menjadi 25(OH)D oleh mitokondria hati dan enzim mikrosom. Pembuatan 25(OH)D di
hati diatur oleh mekanisme umpan balik, yakni peningkatan konsumsi diet dan produksi endogen
vitamin D3. Setelah pembentukan di hati, 25(OH)D akan dibawa ke ginjal oleh protein pengikat
vitamin D (Vitamin D binding protein) dan mendapat tambahan C1 dan C24. Aktivitas 25(OH)D di
mitokondria ginjal ditingkatkan oleh hipokalsemia dengan meningkatkan konversi 25(OH)D menjadi
1,25(OH)2D (Baeke et al., 2010).
2
Gambar 2. Proses Metabolisme Vitamin D (Baeke et al., 2010)
Dalam proses bioaktifasi vitamin D formasi bentuk 1,25(OH)2D dari 25(OH)D dalam kondisi
fisiologi normal, utamanya dilakukan di ginjal, tetapi ternyata terdapat beberapa organ lain yang dapat
melakukan perubahan tersebut terutama dalam kondisi spesifik (kehamilan, gagal ginjal kronik,
sarkoidosis, tuberkulosis, kelainan granulomatosa dan rheumatoid arthritis). Setelah menjadi metabolit
aktif vitamin D (1,25(OH)2D3 maka vitamin D dapat dimanfaatkan oleh berbagai jaringan perifer
(gambar 2).
3
1,25(OH)2D yang diproduksi di ginjal dan plasenta, pertama berikatan dengan protein
pengikat vitamin D dibawa ke berbagai target organ, lalu bentuk bebas diambil oleh sel serta dibawa
ke protein reseptor inti khusus. Reseptor vitamin D (VDR) merupakan reseptor golongan steroid-
retinoid-thyroid hormone-vitamin D. VDR berinteraksi dengan reseptor asam retinoic X (RXR) ke
bentuk kompleks heterodinamik (RXR-VDR) dan mengikat DNA spesifik dinamakan vitamin D
respon elemen (VDRE) pada promotor region yang selanjutnya terlibat dalam proses Ikatan RNA
pollymerase ke start site transkripsi atau membantu mengurai chromatin pada site gen melalui
rekruitmen histone acetyl transferases (HAT), yang memungkinkan terjadinya proses transkripsi
(gambar 3) (Bikle, 2009).
4
Fibroblast Growth Factor-23 (FGF23) terutama dihasilkan di tulang khususnya oleh
osteoblas dan osteosit. Mekanisme 1,25(OH)2D3 menstimulasi proses ini belum diketahui
secara jelas.
Vitamin D sebagai sistem endokrin memiliki kemampuan dalam mengontrol infeksi, penyakit
autoimun dan toleransi pada transplantasi organ. Hal ini berdasarkan kemampuan 1,25(OH) 2D3 yang
mempunyai efek prodiferensiasi dari makrofag monosit, antigen presenting cell (APC), sel dendritik
(DC), dan limfosit (Dusso et al., 2005).
1,25(OH)2D3 juga berfungsi sebagai ajuvan bagi vaksin, mekanismenya adalah 1,25(OH) 2D3
menginduksi p21 dan C/EBPβ yang dapat memediasi peningkatan fungsi imun makrofag-monosit,
1,25(OH)2D3 menginduksi p21 yang berperan secara langsung pada proses diferensiasi monosit
5
menjadi makrofag matang. C/EBPβ adalah faktor transkripsi yang penting bagi makrofag yang
berfungsi sebagai antibakteria, antivirus, dan antitumor, dan penting juga dalam sintesis IL-12, sebuah
sitokin yang memediasi potensi fungsi Th1. 1,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi C/EBPβ di sel
makrofag yang berkontribusi pada peningkatan diferensiasi monosit menjadi makrofag yang dimediasi
oleh 1,25(OH)2D3, fungsi imun, dan kemampuan tubuh melawan bakteria, dan pertumbuhan sel tumor
(Ginanjar et al., 2007).
Secara umum, mekanisme yang mendasari kemampuan 1,25(OH)2D3 dalam aksi imunitas
merupakan reaksi feedback dari parakrin untuk mengurangi inflamasi atau mempengaruhi diferensiasi
sel T CD4 dan atau meningkatkan fungsi
Vitamin D sebagai sistem endokrin adalah komponen penting dalam interaksi antara ginjal,
tulang, hormon paratiroid, dan usus yang hasilnya menjaga kadar kalsium ekstraseluler selalu dalam
batas normal sehingga dapat berguna dalam proses vital fisiologi dan integritas skeletal (Dusso et al.,
2005 dan Akizawa et al., 2003).
Di usus, peranan vitamin D sangat penting dalam proses absorpsi kalsium dan fosfat dari
makanan. 1,25(OH)2D3 merangsang mekanisme mengambilan dan transpor kalsium secara aktif
ditingkat seluler. Di skeleton, vitamin D mempunyai peranan yang sangat penting untuk pembangunan
dan pemeliharaan mineralisasi skeleton. Pertumbuhan dari tulang membutuhkan kalsium dan
1,25(OH)2D3 membuat formasi osteoblastik tulang yang optimal. Selain itu resorpsi osteoklastik juga
sangat membutuhkan 1,25(OH)2D3 dan VDR. Komponen tersebut sangat dibutuhkan sehingga bila
tidak ada satu komponen saja maka proses keseimbangan di skeleton tidak akan berlangsung dengan
baik (Dusso et al., 2005 dan Moe et al., 2006).
6
Di kelenjar paratiroid, vitamin D merupakan suatu sistem endokrin yang sangat berpotensi
sebagai modulator dari fungsi paratiroid. Dimana defisiensi vitamin D menyebabkan hiperplasia dari
paratiroid yang akibatnya terjadi peningkatan sintesis dan sekresi PTH. Pemberian 1,25(OH) 2D3 akan
menghambat sintesis PTH dan pertumbuhan sel paratiroid sehingga pemberian 1,25(OH) 2D3 sebagai
terapi bagi hiperparatiroidisme pada pasien gagal ginjal kronik (Dusso et al., 2005 dan Akizawa et al.,
2003).
Di ginjal, peran terpenting dari efek endokrin 1,25(OH)2D di ginjal adalah kontrol yang ketat
dari hemostasisnya sendiri melalui mekanisme supresi dari 1α-hydroxylase dan menstimulasi 24-
hydroxylase dan melalui ekspresi dari megalin di tubulus proksimal (Dusso et al., 2005 dan Rallof,
2004).
Berbagai penelitian genetika, nutrisi dan epidemiologi, serta bukti ilmiah terbaru yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin D tidak hanya berhubungan dengan gangguan dari hemostasis
kalsium tetapi juga banyak yang berkaitan dengan hipertensi, fungsi otot, imunitas dan kemampuan
menahan infeksi, penyakit autoimun dan kanker. Pada bagian ini akan sedikit dibahas tentang
peran vitamin D selain dari perannya secara klasik yang memelihara homeostasis kalsium dan sistem
skeleton (Dusso et al., 2005).
1. 1,25(OH)2D3 menginduksi transkripsi gen cyclin-dependent kinase inibitor p21 sehingga dapat
membuat terhentinya pertumbuhan sel kanker dan merangsang diferensiasi sel monosit-
makrofag.
2. 1,25(OH)2D3 menginduksi sintesis dan atau stabilisasi cyclin-dependent kinase inibitor
p27 sehingga mencegah terjadinya degradasi proteosom.
7
3. Pada tumor yang pertumbuhannya dikontrol oleh over ekspresi dari TGF-α/EGFR, 1,25(OH)2D3
menghambat sinyal pertumbuhan dari EGFR di membran sel dan juga menghambat
transaktivasi gen cyclin D1 dari EGFR di nukleus. Hal ini menjadi bukti bahwa vitamin D
memiliki potensi sebagai terapi pertumbuhan keratinosit hiperplastik pada pasien psoriasis.
4. Pada sel monosit jalur HL60 dan pada osteoblas, 1,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi
dari C/EBPβ sebuah protein yang saat ini dipercaya mempunyai potensi sebagai supresor
dari oncogenic-cyclin D1 pada tumor epitelial.
5. 1,25(OH)2D3 mereduksi kadar HRPA20, sebuah fosfoprotein yang menjaga pertumbuhan dan
ketahanan dari limfoma prolactin-dependent rat Nb2T, sebuah tumor yang sangat dipengaruhi
hormonal.
Modulasi respon imun. Efektifitas vitamin sebagai sistem endokrin dalam mengontrol infeksi,
penyakit autoimun dan toleransi terhadap transplantasi merupakan hasil dari efek prodiferensiasi dari
1,25(OH)2D terhadap makrofag-monosit, antigen presenting cells, sel dendrit (SD) dan limfosit.1 Hal
ini dibuktikan secara in vivo pada manusia dan binatang yang kurang memiliki fungsi VDR dan atau
vitamin D yang secara in vitro dibuat model tentang fungsi regulasi vitamin D terhadap sistem imun
(Rallof, 2004).
Kontrol diferensiasi dan fungsi dari kulit. Vitamin D sudah dipakai secara luas sebagai terapi
dari berbagai penyakit kulit terutama penyakit psoriasis. Namun baru sekitar tahun 1980an diketahui
secara pasti potensi menakjubkan dari vitamin D dalam proteksi kulit dan terapi penyakit
psoriasis. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang memperlihatkan reaksi dramatik terhadap lesi
psoriatik pada pasien yang menerima suplemen 1α-hydroxyvitamin D untuk pengobatan osteoporosis
berat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa 1,25(OH)2D merupakan agen anti proliferatif
pada keratinosit psoriatik yang mengalami over ekspresi dari TGF-α yang memberikan hasil
kemampuan 1,25(OH)2D3 dalam menghambat sinyal mitogenik dari lengkung pertumbuhan TGF-
α/EGFR. Kemampuan imunosupresif dari 1,25(OH)2D3 pada sel Langehans, antigen-presenting
8
cells dari kulit, dapat juga sebagai mediasi efek sterol dalam pengobatan psoriasis, melanoma dan
skleroderma. Tidak hanya itu ternyata 1,25(OH)2D3 juga sangat penting pada pertumbuhan rambut dan
kulit normal melalui mekanisme modulasi diferensiasi keratinosit di kulit (Dusso et al., dan Norman,
1998).
Kontrol sekresi insulin. Pada eksperimen yang menggunakan binatang, defisiensi vitamin D
dikaitkan dengan onset yang lebih awal dan lebih agresifnya penyakit diabetes melitus. Hal ini
kemungkinan sejalan dengan abnormalitas dari fungsi imun dan kerusakan pada sekresi insulin yang
dimediasi glukosa yang disebabkan kurangnya calcitriol. Mekanisme yang saat ini dipercaya adalah
dengan memodulasi ekspresi dari calbindin melalui VDR yang mengatur aliran kalsium intraseluler
sehingga berefek pada pengeluaran insulin di sel. Hal ini dibuktikan dengan defisiensi 1,25(OH)2D3
pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang selalu mengalami gangguan dalam sekresi insulin.
Selanjutnya penelitian terakhir yang menemukan aktifitas 1α-hidroxylase pada sel pankreas,
meningkatkan kemungkinan potensi dari vitamin D dalam mengatur sekresi vitmin D dan mencegah
terjadinya penyakit diabetes melitus (Norman, 1998).
Kontrol fungsi otot. Kelemahan dan atrofi otot dengan gangguan elektrofisiologi pada
mekanisme kontraksi dan relaksasi otot banyak terjadi pada pasien dengan defisiensi vitamin D
contohnya pada pasien gagal ginjal kronik dan penggunaan obat anti konvulsi jangka panjang yang
menurunkan kadar vitamin D pada serum. Khusus pada otot jantung, 1,25(OH) 2D3 mencegah
terjadinya hipertrofi miokard dan membantu mensintesis dan melepaskan faktor natriuretik atrium.
Pada pasien gagal ginjal kronik pemberian vitamin D secara rutin dapat memperbaiki fungsi ventrikel
kiri pada pasien dengan kardiomiopati dan kelemahan otot. Mekanisme yang berlaku sebenarnya
belum jelas betul dan membutuhkan penelitian lebih lanjut (Dusso et al., 2005).
Kontrol susunan saraf pusat. Peranan 1,25(OH)2D3 di susunan saraf pusat termasuk induksi
dari VDR (VDR diekspresikan di otak dan sebagian sistem saraf pusat dan perifer) sehingga
membantu efektifitas konduksi dari motor neuron dan sintesis faktor neurotropik (contohnya faktor
pertumbuhan sel saraf dan neutrophyn) yang berfungsi mencegah kehilangan sel neurons. Penelitian
9
terakhir juga menjelaskan bahwa 1,25(OH)2D3 juga merangsang ekspresi dari faktor neurotropik dari
jalur sel glia sehingga menjadikan vitamin D sebagai kandidat potensial untuk terapi penyakit
Parkinson. Hubungan yang erat antara defisiensi vitamin D dengan pertumbuhan otak yang abnormal
membuat para peneliti saat ini sedang menyelidiki kemungkinan potensi dari vitamin D sebagai terapi
yang potensial untuk schizophrenia. Selain itu sudah ada penelitian pada tikus yang mengalami
difisiensi vitamin D prenatal ternyata mengalami gangguan motorik hebat ketika dewasa (Dusso et al.,
2005).
Berdasarkan regulasi dan peranannya, maka dapat dilihat potensial efek dari vitamin D sesuai
dengan gambar di bawah ini.
10
Amerika mengalami defisiensi vitamin D dengan kadar vitamin D lebih rendah dibandingkan ras
Kaukasia (Marco et al., 2010).
Tabel 2. Beberapa penelitian level vitamin D pada pasien LES (Kusworini et al., 2011).
Mok, 2011 290 Chinase 94% 38.9 7.7 96% patients insufficiency; 27% had levels
<15ng/mL;25(OH)D, levels inversely correlated with
disease activity; esp. with renal activity scores
Amital, 2010 378 Europeans 92% 40.2 9.7 25(OH)D, levels inversely correlated with disease activity
and Israeli scores
Cutillas- 55 Spanish 76% 47 8.2 80% had cutaneous lupus; lower 25(OH)D3 levels than
Marco, 2010 controls; 95% had levels <30ng/mL; 11% had levels
<10ng/mL; skin disease associated with vitamin D
deficiency
Kim, 2010 104 Korean 100% 36.2 NA 25(OH)D3 levels lower in SLE patients than controls
(N=49); 16% patients had level <30ng/dL; no significant
Szodory, 177 Hungarian 90% 44.9 12 45% patients had insufficiency; 37% had defficiency ;
2010 25(OH)D3 correlated inversely with SLEDAI; low
25(OH)D3 level associated with higher anti-dsDNA, anti-
Sm and Ig levels, pericarditis and neuropsycjiatric disease
Toloza, 2010 124 65% whites, 100% 48.3 17.7 67% patients had 25 (OH)D3 levels <32ng/mL;18% had
15% black levels <16ng/mL; no correlation between 25 (OH)D3 level
and SLEDAI
Wu, 2009 181 62% whites, 100% 43.2 11.9 62% had 25(OH)D3 level <30ng/mL; 20% had level
27% blacks <15ng/mL; lower 25(OH)D3 level associated with higher
SLEDAI, damage scores and fasting glucose level
Borba, 2009 36 45% whites, 100% 29.9 5.1 Lower 25(OH)D3 levels associated with higher SLEDAI
56% blacks scores but lower osteocalcin levels
Ruiz- 92 98% whites 90% 41 7 75% patients had 25(OH)D3 levels <30ng/mL; 15% had
irastorza, levels <10ng/mL; low levels of 25(OH)D3 associated with
2008 fatigue; no relationship between 25(OH)D3 and SLEDAI or
SDI; male
Metabolit aktif 1,25(OH)2D3 memiliki efek penekan (supresif) pada monosit dan menghambat
IFNa yang dimediasi diferensiasi monosit ke DC sehingga menghambat aktivasi dan perluasan
autoreaktif sel T dan sel B yang mengurangi produksi autoantibody (adam dan Hewison, 2008).
VDR diekspresikan oleh limfosit T dan limfosit B dan pada monosit yang kemudian
berdiferensiasi menjadi sel dendritik (DC). APC terutama sel dendritik adalah target utama dari ligan
VDR, baik in vitro dan in vivo (Adorini et al., 2004). Vitamin D dilaporkan memiliki efek
menghambat diferensiasi sel monosit menjadi sel dendritik (Cutolo, 2009), kemudian
mempertahankan sel dendritik dalam kondisi imatur (Dusso et al., 2005). 1,25-dihydroxyvitamin D
[1,25(OH)₂D] menginduksi penurunan ekspresi dari molekul kostimulator CD40, CD80, CD86 dan
IL-12, secara bersama meningkatkan produksi IL-10, mempromosikan sel dendritik untuk apoptosis
dan menghambat aktivasi sel T (Cutolo, 2009).
11
Dari hasil tersebut maka di asumsikan bahwa defisiensi vitamin D menjadi faktor resiko LES.
Hal ini mendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang efek vitamin D terhadap prevansi
atau pengobatan pasien LES.
Secara epidemiologi defisiensi vitamin D banyak melanda daerah dengan empat musim
terutama Amerika Utara dan Eropa. Hal ini disebabkan oleh defisit dari makanan ditambah lagi
dengan kurangnya pajanan sinar matahari. Dampak defisiensi vitamin D sebagai berikut (Rosen,
2011):
1. Osteoporosis & Fragility fracture
2. Peningkatan resiko schizofrenia dan depresi
3. Peningkatan resiko penyakit autoimun
4. Pengingkatan resiko multiple sklerosis
5. Peningakatan resiko alergi dan asma
6. Pengingkatan resiko diabetes mellitus
7. Peningkatan resiko obesitas dan infeksi
8. Peningkatan resiko penyakit jantung dan hipertensi
9. Peningkatan resiko kanker payudara, colorectal, GI, Pancreas, leukemia
10. Peningkatan resiko gangguan otot
11. Riketsia, retardasi mental, dan osteomalasi pada orang dewasa.
12
2.8. Farmakokinetik vitamin D
Absorpsi vitamin D melalui saluran cerna cukup baik. Vitamin D3 diabsorpsi lebih cepat dan
lebih sempurna. Gangguan fungsi hati, kandung empedu dan saluran cerna seperti steatore akan
mengganggu absorpsi vitamin D. Vitamin D di ekskresikan terutama melalui empedu dan dalam
jumlah kecil ditemukan dalam urine.
Dewasa sampai berusia 50 tahun membutuhkan 200 IU/hari, dewasa berusia 50-70 tahun dan
bayi membutuhkan 400 IU/hari, Dewasa berusia diatas 70 tahun membutuhkan 600 IU/hari, untuk
pencegahan osteoforosis membutuhkan 800 IU/hari, Pengobatan defisiensi membutuhkan vitamin D
sebagai loading dose sebanyak 50.000 IU/minggu, diikuti maitenance sebanyak 400-1000 IU/hari.
Dosis maksimal pemberian vitamin D adalah 2000 IU/hari (Kusworini et al., 2011).
13
Bab III
Kesimpulan
Vitamin D sebagai sistem endokrin adalah komponen penting dalam interaksi antara ginjal,
tulang, hormon paratiroid, dan usus yang hasilnya menjaga kadar kalsium ekstraseluler selalu dalam
batas normal sehingga dapat berguna dalam proses vital fisiologi dan integritas skeletal.Vitamin
D juga berkaitan dengan hipertensi, fungsi otot, imunitas dan kemampuan menahan infeksi, penyakit
autoimun dan kanker.
Kemampuan 1,25(OH)2D dalam imunitas merupakan reaksi umpan balik dari parakrin untuk
mengurangi inflamasi atau mempengaruhi diferensiasi sel T CD4 dan atau meningkatkan fungsi sel
T supressor atau kombinasi antara keduanya. 1,25(OH)2D dalam menghasilkan dan memelihara
toleransi imunologik diri, beberapa penelitian menunjukan bahwa 1,25(OH)2D menghambat induksi
penyakit pada ensefalomyelitis autoimun, thyoriditis, diabetes melitus tipe 1, inflammatory bowel
disease (IBD), lupus eritematosus sistemik, dan artritis yang diinduksi kolagen danLyme arthritis
1,25(OH)2D menghambat proliferasi sel T dan menurunkan produksi Th1 sehingga terjadi
keseimbangan antara produksi Th1 dan Th2. Selain itu 1,25(OH)2D menghambat Th1 yang
mengkontrol respon hipersensitifitas. Kontrol 1,25(OH)2D terhadap sel T dan keseimbangan inilah
yang saat ini dipercaya sebagai mekanisme yang mendasari aksi protektif vitamin D terhadap penyakit
autoimun. Peran vitamin D dalam tubuh kita baik klasik maupun non klasik, secara khusus peranannya
dalam imunitas dan penyakit autoimun masih belum jelas betul, maka membutuhkan penelitian yang
lebih lanjut.
Berdasarkan studi pustaka dan beberapa hasil penelitian diasumsikan bahwa Vitamin D
memiliki hubungan terhadap patogenitas Lupus Eritematosus Sistemik dimana defisiensi vitamin D
menjadi faktor resiko LES melalui mekanisme prodiferensiasi makrofag monosit menjadi sel dendritik
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek vitamin D terhadap sel dendritik
sebagai dasar untuk prevansi atau pengobatan pasien LES.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.S., and M. Hewison. 2008. Unexpected actions of vitamin D: new perspectives on the
regulation of innate and adaptive immunity. Nat. Clin. Pract. Endocrinol. Metab. 4(2): 80-
90.
Adorini, L., and G. Penna. 2009. Dendritic cell tolerogenicity: a key mechanism in
immunomodulation by vitamin d receptor agonist. Human Immunol. 70(5): 345-52.
Baeke, F., Etten, E. V., Overbergh, L., & Mathieu, C. (2007). Vitamin D3 and the immune
system: maintaining the balance in health and disease. Nutrition research reviews, 20(1),
106-18. doi:10.1017/S0954422407742713
Costenbader, K.H., Feskanich, D., Garcia, E.B., Holmes, M., Karison, E.W. 2008. Vitamin D
intake and risk of systemic lupus erythematosus and rheumatoid arthritis in women. Ann.
Rheum. Dis. 67(4): 530-535.
Cutolo, M. 2009. Vitamin D and autoimmune rheumatic diseases. Rheumatology. 48: 210-212.
Dusso, A.D., Brown, A.J., Slatopolsky, E. 2005. Vitamin D. Am. J. Physiol. Renal. Physiol. 289:
8-28.
Ginanjar, E., Sumariyono, Setiati, S., Setiyohadi, B. 2007. Vitamin D and autoimmune disease.
Acta Med Ind. J. Intern. Med. 39(3): 133-141
Holick, M.F. High prevalence of vitamin D inadequacy and implications for health.Mayo. Clin
Proc. 81(3):353-373.
Irastorza, G.R, Egurbide, M.V., Olivares, N., Berritxoa, A.M., Aguirre, C. 2008. Vitamin D
deficiency in systemic lupus erythematosus: prevalence, predictors and clinival
consequences. Drhematology. 47:920-923.
Janssen HCJP, Samson MM, Verhaar HJJ. Vitamin D deficiency, muscle function, falls in ederly
people. Am J Clin Nutr.2002; 75 : p611-5
Kamen DL, Cooper GS, Bouali H, et al, 2006. Vitamin D deficiency in systemic lupus
erythematosus. Autoimmune Rev, 5; 114-7
Kim YS, Stumpff WE, Clark SA, Sar M, deLuca HF. 1983. Target Cells for 1,25-
Dihydroxyvitamin D3 in Developing Rat Incisor Teeth. J Dent Res 62(1):58-59.
15
Kusworini et al., 2011. Role of Vitamin D in Healthy and Rheumatic Autoimmune. Faculty of
Medicine - Brawijaya University.
Lane, N.E., et al. 1999. Serum vitamin D levels and incident changes of radiographic hip
osteoarthritis. Arthritis & Rheumatism 42(May):854-860. Available
athttp://www.interscience.wiley.com.
Marco EC, Morales MM, Vila M, et al, 2010. Serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with
cutaneous lupus erythematosus in a mediterranean region. Lupus (2010)
Moe SM. Overview of vitamin D biology. Available at www.hdcn.org. Sited on February 25,
2006
Nagpal, S., Lu, J., & Boehm, M. F. (2001). Vitamin D analogs: mechanism of action and
therapeutic applications. Current medicinal chemistry, 8(13), 1661-79. Retrieved
from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11562285
Raloff J. Vitamin D: From muscle strength to immunity, scientists find new vitamin D benefits—
cancers, immunity, diabetes. Magazine, Oct 16, 2004, Vol 166, No 16
Visser M, Deeg DJ, Lips P. Low vitamin D and high parathyroid hormon levels as determinants
of loss muscle strength and muscle mass (sarcopenia) : the longitudinal aging
studyAmsterdam. J Clin Endocrinol Metab. 2003; 88 : p5766-72
16